“Kak Rea, Mas Bara berbohong!" Laila menangis terisak dalam dekapan Rea. Dia menangis histeris saat tau bahwa Bara suaminya telah membohongi dirinya. “Kak, Mas Bara bohongin Laila...," lanjutnya semakin menderas. “Sutt, enggak Laila. Kamu percaya kan kalau suami kamu akan kembali? " tanya Rea berusaha mungkin menenangkan Laila. Setelah mendengar semua yang dikatakan Laila jelas membuat dirinya ikut cemas. “Tapi, dia belum kembali Kak. Mas Bara bahkan bohongin Laila akan tempat itu. Dia bilang bahwa Ayah dibawa ke Istana Kaveril, tapi setiba di sini tempat itu gak ada siapa-siapa Kak..." Ya, setelah bertanya kepada suaminya sebelum dia pergi, Laila langsung memberikan informasi kepada Reno dan Rea bahwa mereka disekap di Istana Kaveril, perbukitan Kaveril. Tapi nyatanya suaminya itu telah membohonginya. Ini bukan tempat yang sebenarnya. Bara benar-benar sengaja tidak memberi tahu kan di mana tempat yang sebenarnya. “Kak, Mas Bara Kak..." Laila semakin terisak, sungguh ia takut jik
“Apa kau tidak tau bahwa aku... merindukanmu Kak?"Deg! Shaka merapatkan bibirnya dalam-dalam. Namun matanya tidak bisa berbohong bahwa ia juga merasakan akan apa yang dirasakan Bara. “Selama ini aku hidup dengan rasa bersalah karena tidak bisa menjaga kakakku. Aku bahkan sudah berjanji akan melindunginya, tapi... nyatanya aku sendiri yang mengingkarinya. Dan kini, sosok itu--"“Maaf." Shaka menepuk pelan bahu Bara yang kanan. “Maaf karena selama ini membuatmu khawatir."Bara melebarkan pupil matanya. Matanya mulai berembun. Siap menjatuhkan airnya kapan saja. “Tapi percayalah...sampai sejak itu, kaulah satu-satunya harapan yang membuatku sampai melangkah sejauh ini,Bara ..." lanjut Shaka dengan tatapan sayu. Dan benar saja, detik itu juga Bara menangis dan segera memeluk Shaka. Dia menangis dibahunya. Shaka ikut membalas pelukan Bara, ia tertawa dengan mata yang ikut menangis. Akhirnya... adiknya itu kini sudah mengerti. Bahwa semuanya tidak seperti apa yang dia pikirkan. Dan s
"Shaka, apa yang akan kita lakukan? Evilina, dia menuju ke sini?" panik Barez kala ia mengintip di sebuah lubang kecil. Di ujung sana ia melihat bahwa komplotan Evilina menuju ke gubuk ini. Shaka ikut mengintip di balik lubang kecil itu. Benar, Evilina menuju ke sini. Sial! "Dengarkan aku! Semua rencana ini aku sudah persiapkan di lain dahulu, untuk itu ... aku yang bertanggung jawab atas keselamatan kalian," ucap Shaka sembari menarik lengan Barez. Shaka menghela nafas gusar, ia menatap silih berganti antara Vano, Barez dan Bara yang berada di hadapannya saat ini. Posisi mereka saat ini tengah melingkar. "Barez, kau tau bukan bahwa tujuan dari kisah ini adalah sebuah kematian? Namun hal itu tidak akan pernah aku biarkan terjadi! " Barez bergeming, perasaannya kini benar-benar dilanda gundah. Lalu, apa yang akan dilakukan Shaka? "A-apa yang ...." Ucapan Barez tergagap saat melihat Shaka berjongkok di antara tengah-tengah mereka. Dia mengobrak-abrik sebagian jerami di sana. Bara
Shaka bergeming. Pikirannya benar-benar dipenuhi akan hasrat untuk segera membunuh Evilina. Ia ingin mengakhiri dendam ini. Ia sudah muak membiarkan seorang penjahat berkeliaran menyakiti keluarganya. Selama ini, ia sudah bersabar dan terus berpura-pura kerap kali Evilina membuat Vano harus menuruti setiap ucapannya. Hanya karena Vano ingin anak-anaknya tetap hidup, dia rela menjadi anjing untuk majikannya. Sial! Mengingatnya saja sudah membuat darah mendesir ke segala pembuluh yang ada. Tidak ada waktu lagi. Shaka dengan tekad penuh percaya diri menarik pelatuknya, ia segera berlari ke belakang gubuk. Salah satu cara untuk menghentikan semua ini adalah di dalam gubuk ini! Brak! Shaka menendang keras pintu dari arah belakang, namun sialnya pengawal yang mejaga Evilina melihat dirinya. Kini berakhirlah dia melawan beberapa pengawalnya itu. Di arah yang sama Evilina tersenyum menyeringai. Apa-apaan ini? Mereka berkontribusi dalam penghianat ini? Hah! Menyebalkan! Shaka! Ia kira a
"Laila ... Mas mohon, bangunlah sayang."Bara memegang telapak tangan Laila erat, sembari sebelah tangannya yang tengah mengusap kepala Laila yang tertutup kerudung. "Buka mata kamu sayang," ucapnya lirih. Menarik tangan Laila kemudian mencium punggungnya. Kekuatan cinta sepertinya tengah mengadu pada semesta, membuat jari-jari tangan Laila tergerak pelan.Pelan, mata Laila terbuka. Remang-remang ia mendengar sebuah seruan nama dirinya. "Laila, alhamdulillah kamu bangun juga."Sebuah senyuman terbit dari wajah Bara membuat Laila menangis saat itu juga. "Laila, kenapa kamu nangis sayang? Kamu baik-baik saja kan? Laila---"Grep! "Mas Bara ... "Saat itu juga Laila memeluk erat suaminya. Dia menangis menenggelamkan segala rasa takut yang ada. Ia menangis terisak mengingat kembali tragedi yang menimpa keluarganya. Apalagi untuk suaminya. "Laila tau bahwa kau akan kembali. Laila tau kalau Mas Bara enggak bakal ingkar janji. Dan sekarang Laila bersyukur Mas Bara baik-baik, Laila kira M
1 tahun kemudian ... Seorang wanita berjalan menuju podium utama. Menaiki panggung kebanggaan mereka dengan wajah yang terpatri akan kesenangan. Andalanesia- yap, itulah kampus kebanggaan mereka."Teruntuk fakultas Hukum. Hadiah ini dimenangkan oleh ... Hafsah Laila Azzahra," seruan MC tersebut itulah yang membuat wanita bernama Laila berjalan menuju podium. Suara tepuk tangan menggema diseluruh podium tersebut. Memberi apresiasi untuk Laila.Laila tersenyum amat lebar. Dengan pakaian yang nampak modis dengan jilbabnya, dia seperti model muslimah yang nampak elegan. "Selamat. Selamat atas prestasi yang telah Anda raih." Laila mengangguk seraya menggenggam sebuah piala atas hadiah yang ia dapat. Sebuah piagam penghargaan juga ia dapatkan dengan penuh bangga. Pak Herman—selaku pemilik kampus memakaikan topi bertanda lulus wisuda pada kepalanya, tidak lupa lehernya yang dimasukkan sebuah medali emas berlogo dua bintang. Sungguh mengesankan.Tidak butuh waktu lama untuk acara wisuda ter
Laila mendesah lelah. Sudah 2 jam ia menghabiskan waktu untuk mencari nama suaminya di daftar absen masuk. Tapi tidak ada, tidak ada nama yang juga menurutnya curiga. "Apa dia tidak absen saat masuk?" gumam Laila sembari melihat kembali nama absen tersebut. Namun, nihil! "Sudah cukup, kepalaku pusing," keluh Laila pada akhirnya. Kemudian ia duduk untuk istirahat sebentar. Rasanya ... punggungnya sangat sakit setelah berjam-jam cuman mencari ini. "Apa masih belum ketemu, Buk?" tanya karyawan yang menjaga bagian di sana. Laila mendesah lelah. Namun, dengan tiba-tiba Laila langsung teringat sesuatu, membuat mukanya nampak berbinar. Laila menatap Pak Adhi. Kemudian ia mengeluarkan sebuah foto di dalam dompet kecilnya. Foto suaminya yang tampan 7 turunan"Pak Adhi, apa Bapak pernah melihat lelaki ini?" tanya Laila sembari memperlihatkan foto tersebut. Pak Adhi nampak berpikir. "Ahh, ya. Kemarin saya melihatnya."Nah kan! Sudah kuduga, dia datang ke sini! senang Laila dalam hatinya.
Karena terdapat warung di depan sana membuat Laila dengan segera membeli obat luka. Kecelakaan barusan tentu membuat dirinya dan pria yang berwajah Bara terluka.Laila kembali setelah membeli obat luka tersebut, ikut duduk di mana pria itu duduk. "Biar aku bersihkan lukamu," ujar Laila sembari membuka cairan alkohol. "Biar saya saja, Mbak. Saya bisa sendiri, kok," jawab pria itu menolak halus. "Diamlah, lukamu agak parah, biar aku obati dulu.""Tidak perlu, Mbak. Saya baik---"Ucapan pria itu terkatup saat Laila menatapnya dengan sorot mata tajam. Kemudian Laila melanjutkan kembali mengobati luka dari pria yang telah berhasil menarik perhatiannya. Di balik itu, Laila menyunggingkan senyumnya. Debaran jantungnya kian berdetak lebih cepat dari biasanya. Bahkan tangannya sedikit bergetar kala ia mengobati luka lelaki itu. Lelaki itu ... lelaki yang sudah membuat Laila merasakan galau kumat dalam 3 hari ini. Lelaki yang sudah berhari-hari ia cari keberadaannya. Dan lelaki itu yang su
"Bunda? Di dalam pelut Bunda ini, nanti bakal ada belapa bayi?" tanya anak kecil berumur 3 tahun. Dia Albyshaka Ghibran Arseno, anak pertama Bara dan Laila. Setelah proses yang sempat tertunda akibat kecelakaan dahulu membuat Laila bisa kembali hamil. "Eum, berapa ya ...?" Laila nampak berpikir, jari telunjuknya tersimpan di dagu. "Emangnya kakak maunya berapa?" tanya Laila. Bukannya menjawab Laila malah balik bertanya. "Alby maunya sih satu. Laki-laki lagi! Kalau pelempuan Alby gak mau, pelempuan itu banyak maunya Bunda, telus celewet lagi! Shaka gak mau!" Laila tertawa atas keinginan Alby yang terlewat jujur. "Tapi kalau nanti adik kamu perempuan, gimana? Semuanya kan, sudah kehendak Allah," ucap Laila. "Kehendak itu apa Bunda?" tanya Alby mengerutkan keningnya. Laila yang tengah duduk di kursi taman itu membuat Alby ikut duduk di samping sang Bunda. "Kehendak itu sebuah keinginan, kemauan atau juga bisa harapan. Suatu hal yang tidak bisa kita paksakan kecuali dengan mengikut
Suara tangis bayi menggema di udara, membuat Laila yang tengah membereskan beberapa pakaian harus terhenti. Ah, anaknya sudah bangun ternyata. Dengan segera Laila menuju ranjang, hendak mengambil anaknya namun gerakannya terhenti kala melihat Bara yang tengah tertidur pulas. "Astaghfirullah, di mana bayinya?" Suara tangis itu ada, hanya saja kenapa anaknya tidak terlihat. Namun sedetik kemudian Laila melotot terkejut kala selimut besar malah membungkus bayi tersebut. "Astaghfirullah, anak Bunda ... " Dengan segera Laila menyibak kasar selimut hingga selimut itu menutupi muka Bara yang asik tidur. "Cup, cup, cup. Anak Bunda ternyata udah bangun, iya? Eumm, manisnya ..." ujar Laila yang kini Alby dalam gendongannya. Anak Laila yang bernama Albyshaka itu terhenti dari tangisnya. Dia tersenyum ceria kala sang Bunda terus berceloteh sembari menggoyang-goyangkan badannya ke sana ke mari. Kini usia Alby sudah menginjak 9 bulan, yang mana sudah bisa berceloteh bahasa planet. Terbukti de
"La, Mas mohon ... bertahanlah ..." Tangis Bara kian luruh. Tubuhnya gemetar dengan tatapan mata yang mengarah pada lampu bewarna merah, di mana sang istri berada. "Bara?" Sebuah seruan di belakang sana membuat Bara membalikkan badan hingga melihat Vano berlari ke arahnya. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Vano cemas. Dia berdiri di hadapan Bara, dan bukannya menjawab pertanyaan sang Ayah, Bara dengan segera memeluk tubuh Vano. "Ayah, Bara takut .. Laila---""Kita doakan keselamatan untuk Laila. Insya Allah dia pasti akan baik-baik saja," ucap Vano berusaha menenangkan sang anak. Walau nyatanya dia juga ikut merasakan takut. Tidak bisa dipungkiri, rasa takut itu kian bertambah kala pintu di mana Laila berada terbuka. Membuat Bara dan Vano langsung menatap sang Dokter yang baru keluar. "Dok--?""Siapa wali dari pasien ini?""Saya, saya suaminya Dok? A--ada apa?" tanya Bara berusaha mungkin untuk tenang. Walau faktanya tidak. "Pasien mengalami pendarahan yang cukup fatal. Menja
Dalam remang-remang Laila membuka mata pelan. Masih dalam proses kesadaran, Laila menatap ruangan serba putih itu. Bukan rumah sakit atau ruangan lainnya. Melainkan warna putih yang tidak berbentuk apa-apa. Laila masih dalam keterdiaman, masih merasakan kenyamanan yang baru kali ini ia rasakan. Sebuah kenyamanan yang terasa sejuk nan menentramkan. Sampai saat sebuah suara terdengar membuat lamunan Laila terbuyarkan. "Hah!" Laila beranjak duduk. Nafasnya sedikit memburu. Yang kemudian matanya melirik di sekitar ruangan tersebut. Putih, hanya putih yang Laila tangkap di dalam ruangan ini. "Putri Abi ..."Sebuah seruan membuat Laila kembali menoleh yang mana membuat Laila terbelalak. "Abi?!" pekik Laila dengan segera berlari. Berlari menuju Abinya yang tengah tertawa. Detik berikutnya Laila memeluk Rahman yang sudah lama ini tidak Laila peluk. Ya, setelah 5 tahun lamanya atas kepergian sang Ayah membuat Laila merindukan sosoknya. "Abi, ternyata Abi ada di sini juga? Ya Allah, Laila
Makin besar perut Laila makin besar pula harapan yang selalu Laila nantikan. Ya, akan kelahiran bayi ini yang mungkin sebulan lagi. Kini Laila tengah duduk bersantai di depan TV. Semakin hari dirinya hanya berdiam diri di tempat. Jik tidak paling hanya membereskan rumah dengan menyapu lantai, membantu Mbok Eka. Tidak banyak, namun cukup membuat keringat Laila bercucuran. Kata Uminya hal seperti ini baik untuk Ibu hamil. Karena dengan begitu akan memperlancar dalam melahirkan. Dan tentu, setiap pagi Laila selalu jalan pagi bersama Bara. Hal itu pun katanya memudahkan dalam lahiran.Rumah kini sepi. Bara yang tengah bekerja, Mbok Eka yang pergi berbelanja, dan Pak Imron yang katanya istrinya tengah sakit. Menjadikan dia harus pulang untuk menjenguk. "Ya Allah bosan ..," keluh Laila. Menjadi Ibu hamil terasa serba salah. Duduk begini pegal, duduk begitu sakit, mau duduk seperti apapun rasanya benar-benar tidak nyaman. Derrrtt DerrtttSuara dering ponsel terdengar membuat atensi Laila
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Tidak terasa, usia kandungan Laila sudah naik 8 bulan. Pemeriksaan rutin mingguan sering dilakukan, demi sang bayi yang ingin sehat, apapun akan Bara dan Laila lakukan."Assalamu'alaikum?" Bara baru masuk ke dalam. Laila yang tengah makan buah apel di atas karpet langsung menjawab panggilan sang suami. "Wa'alaikumussalam," jawabnya. Bara tersenyum kala melihat sang istri tengah lesehan di atas karpet. Dengan segera dia ikut lesehan di atas karpet dengan menjatuhkan kepalanya di atas kaki Laila yang diselonjorkan. Sebelum itu Laila mencium punggung tangan Bara yang habis pulang kerja. "Enggak biasanya pulang siang, Mas?" tanya Laila masih sibuk mengupas apel. Sedang Bara sudah mencium perut Laila yang sudah membesar itu."Mas rindu kamu, emang enggak boleh?"Laila terkekeh, "boleh dong sayang, apa sih yang enggak boleh buat kamu? Kamu ngidam aneh aja Laila lakuin!" sindirnya dengan sehalus mungkin. Namun, sang empu malah tertawa mendeng
"Eugh ..." Laila melenguh dalam tidurnya. Matanya merem-melek dengan gerakan pelan. Hingga, kala mata itu terbuka sebuah senyuman terbit di bibir Laila. Wajah suaminya. Ya, di depannya Bara masih tertidur pulas dengan dengkuran yang amat halus. Refleks Laila semakin memeluk Bara dari depan. Mengingat kejadian malam itu membuat Laila merasa lega. Sangat. Walau terasa sakit tapi, dia juga menikmatinya. Pelan, Bara ikut membuka mata. Menarik Laila agar lebih dekat dengannya. Dikecupnya kening Laila dengan begitu lembut. Yang kemudian mengusap lembut rambut sang istri. "Terima kasih ya sayang?" ucap Bara dengan terus menerus mencium kening Laila. Tubuh yang masih polos itu saling melekat hangat. Laila tersenyum. "Makasih juga Mas. Akhirnya, akhirnya Mas Bara nebang Laila," ucapnya parau. Namun, dengan tiba-tiba Bara menarik Laila yang malah sudah menangis. "Hey? Sayang, kenapa nangis?" Dengan sigap Bara menghapus air mata Laila yang jatuh menetes. "Udah, jangan nangis. Harusnya kita
Laila menghela nafas pelan. Dia duduk di tepi ranjang dengan jantung yang deg-deg an. Bagaimana tidak deg-degan, selepas makan Bara berlalu pergi tanpa mengatakan apapun. Entah ke mana, yang pasti Bara pergi setelah makan itu selesai.Dan sekarang Laila harus menunggu sang suami pulang. Apalagi teringat akan Bara yang sudah menginginkan dirinya malam ini. Hal yang jelas membuat Laila deg-degan. Berpikir bahwa haruskah malam ini keduanya melakukan hubungan suami-istri? Apakah malam ini keduanya akan memadu kasih? Tiba-tiba pipi Laila memanas. Memikirkannya saja sudah membuatnya panas-dingin. Tapi, jikapun tidak ... bukankah selama ini inilah yang ia harapkan? Memadu kasih hingga terciptanya sang buah hati? Bukankah ini yang Laila harapkan setelah bertahun-tahun lamanya? Masa dirinya masih belum siap? Tidak! Laila menggeleng. Malam ini harus menjadi malam paling indah untuk keduanya. Terutama untuk Bara, suaminya! Laila beranjak berdiri. Beringusut menuju lemari yang sebelumnya dia
"Alhamdulillah ya Allah, akhirnya ..." Mata Laila berbinar indah kala menatap pemandangan yang belum pernah ia lihat. Di mana ia dan sang suami sudah berada di Turki. Perjalanan dari Indonesia ke Turki membutuhkan waktu sekitar 4 jam. Yang mana waktu antara Indonesia-Turki jauh berbeda. Yang mana mereka turun dari Bandara Turki tepat pukul 21.00. Perbedaan waktu yang cukup jauh bukan? Yah, jika di Indonesia mungkin hari ini jam satu pagi, tapi karena ini di Turki membuat jalanan kota ini masih nampak sangat ramai. Tidak hanya ramai, tapi ramai sekali. Bara tersenyum, raut kebinaran dari matanya pun tidak bisa terelakkan. Dia begitu takjub melihat negara yang baru kali ini ia lihat. "Biar Mas yang bawakan barangnya," ucap Bara sembari mengambil alih koper yang Laila pegang. "Gpp, Mas. Biar Laila aja.""Udah, kamu lebih baik diam aja. Bias Mas! "Baiklah."Bara mengambil barang-barang bawaan. Melihat sebuah taksi membuat keduanya langsung masuk dan melaju ke Hotel Aydinli. Katanya,