“Ayah, kenapa gubuk ini dinamakan gubuk terkutuk?" tanya Barez kecil yang saat itu berumur 6 tahun. Barez memegang tangan kanan Vano, sedang tangan kiri dipegang oleh Bara. Keduanya saling mendongak, Mira dan Kala juga saling melempar pandang kepada Vano. Vano tersenyum terlebih dahulu, kemudian ia sedikit membungkuk untuk mensejajarkan tubuhnya. “Kalian benar-benar ingin tahu?"“Ya!" serempak keduanya, Mira dan Kala ikut memgangguk, mereka sedikit mendekat untuk mengetahui ceritanya. “Baiklah. Kalian tahu, dahulu kala ada anggota keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan kedua anaknya. Keluarga itu hidup miskin selama puluhan tahun. Tidak punya uang, apalagi bahan makanan untuk dimakan."“Berhari-hari mereka menahan lapar, kedua anaknya terus merengek ingin makan. Saat itu, keluarga tersebut berjalan entah ke mana. Mereka melangkah tanpa tau tujuan. Yang mereka tau adalah mereka harus bisa mendapatkan makanan walau sekecil apapun itu."Vano bercerita sembari melangkahkan kakinya me
“Kak Rea, Mas Bara berbohong!" Laila menangis terisak dalam dekapan Rea. Dia menangis histeris saat tau bahwa Bara suaminya telah membohongi dirinya. “Kak, Mas Bara bohongin Laila...," lanjutnya semakin menderas. “Sutt, enggak Laila. Kamu percaya kan kalau suami kamu akan kembali? " tanya Rea berusaha mungkin menenangkan Laila. Setelah mendengar semua yang dikatakan Laila jelas membuat dirinya ikut cemas. “Tapi, dia belum kembali Kak. Mas Bara bahkan bohongin Laila akan tempat itu. Dia bilang bahwa Ayah dibawa ke Istana Kaveril, tapi setiba di sini tempat itu gak ada siapa-siapa Kak..." Ya, setelah bertanya kepada suaminya sebelum dia pergi, Laila langsung memberikan informasi kepada Reno dan Rea bahwa mereka disekap di Istana Kaveril, perbukitan Kaveril. Tapi nyatanya suaminya itu telah membohonginya. Ini bukan tempat yang sebenarnya. Bara benar-benar sengaja tidak memberi tahu kan di mana tempat yang sebenarnya. “Kak, Mas Bara Kak..." Laila semakin terisak, sungguh ia takut jik
“Apa kau tidak tau bahwa aku... merindukanmu Kak?"Deg! Shaka merapatkan bibirnya dalam-dalam. Namun matanya tidak bisa berbohong bahwa ia juga merasakan akan apa yang dirasakan Bara. “Selama ini aku hidup dengan rasa bersalah karena tidak bisa menjaga kakakku. Aku bahkan sudah berjanji akan melindunginya, tapi... nyatanya aku sendiri yang mengingkarinya. Dan kini, sosok itu--"“Maaf." Shaka menepuk pelan bahu Bara yang kanan. “Maaf karena selama ini membuatmu khawatir."Bara melebarkan pupil matanya. Matanya mulai berembun. Siap menjatuhkan airnya kapan saja. “Tapi percayalah...sampai sejak itu, kaulah satu-satunya harapan yang membuatku sampai melangkah sejauh ini,Bara ..." lanjut Shaka dengan tatapan sayu. Dan benar saja, detik itu juga Bara menangis dan segera memeluk Shaka. Dia menangis dibahunya. Shaka ikut membalas pelukan Bara, ia tertawa dengan mata yang ikut menangis. Akhirnya... adiknya itu kini sudah mengerti. Bahwa semuanya tidak seperti apa yang dia pikirkan. Dan s
"Shaka, apa yang akan kita lakukan? Evilina, dia menuju ke sini?" panik Barez kala ia mengintip di sebuah lubang kecil. Di ujung sana ia melihat bahwa komplotan Evilina menuju ke gubuk ini. Shaka ikut mengintip di balik lubang kecil itu. Benar, Evilina menuju ke sini. Sial! "Dengarkan aku! Semua rencana ini aku sudah persiapkan di lain dahulu, untuk itu ... aku yang bertanggung jawab atas keselamatan kalian," ucap Shaka sembari menarik lengan Barez. Shaka menghela nafas gusar, ia menatap silih berganti antara Vano, Barez dan Bara yang berada di hadapannya saat ini. Posisi mereka saat ini tengah melingkar. "Barez, kau tau bukan bahwa tujuan dari kisah ini adalah sebuah kematian? Namun hal itu tidak akan pernah aku biarkan terjadi! " Barez bergeming, perasaannya kini benar-benar dilanda gundah. Lalu, apa yang akan dilakukan Shaka? "A-apa yang ...." Ucapan Barez tergagap saat melihat Shaka berjongkok di antara tengah-tengah mereka. Dia mengobrak-abrik sebagian jerami di sana. Bara
Shaka bergeming. Pikirannya benar-benar dipenuhi akan hasrat untuk segera membunuh Evilina. Ia ingin mengakhiri dendam ini. Ia sudah muak membiarkan seorang penjahat berkeliaran menyakiti keluarganya. Selama ini, ia sudah bersabar dan terus berpura-pura kerap kali Evilina membuat Vano harus menuruti setiap ucapannya. Hanya karena Vano ingin anak-anaknya tetap hidup, dia rela menjadi anjing untuk majikannya. Sial! Mengingatnya saja sudah membuat darah mendesir ke segala pembuluh yang ada. Tidak ada waktu lagi. Shaka dengan tekad penuh percaya diri menarik pelatuknya, ia segera berlari ke belakang gubuk. Salah satu cara untuk menghentikan semua ini adalah di dalam gubuk ini! Brak! Shaka menendang keras pintu dari arah belakang, namun sialnya pengawal yang mejaga Evilina melihat dirinya. Kini berakhirlah dia melawan beberapa pengawalnya itu. Di arah yang sama Evilina tersenyum menyeringai. Apa-apaan ini? Mereka berkontribusi dalam penghianat ini? Hah! Menyebalkan! Shaka! Ia kira a
"Laila ... Mas mohon, bangunlah sayang."Bara memegang telapak tangan Laila erat, sembari sebelah tangannya yang tengah mengusap kepala Laila yang tertutup kerudung. "Buka mata kamu sayang," ucapnya lirih. Menarik tangan Laila kemudian mencium punggungnya. Kekuatan cinta sepertinya tengah mengadu pada semesta, membuat jari-jari tangan Laila tergerak pelan.Pelan, mata Laila terbuka. Remang-remang ia mendengar sebuah seruan nama dirinya. "Laila, alhamdulillah kamu bangun juga."Sebuah senyuman terbit dari wajah Bara membuat Laila menangis saat itu juga. "Laila, kenapa kamu nangis sayang? Kamu baik-baik saja kan? Laila---"Grep! "Mas Bara ... "Saat itu juga Laila memeluk erat suaminya. Dia menangis menenggelamkan segala rasa takut yang ada. Ia menangis terisak mengingat kembali tragedi yang menimpa keluarganya. Apalagi untuk suaminya. "Laila tau bahwa kau akan kembali. Laila tau kalau Mas Bara enggak bakal ingkar janji. Dan sekarang Laila bersyukur Mas Bara baik-baik, Laila kira M
1 tahun kemudian ... Seorang wanita berjalan menuju podium utama. Menaiki panggung kebanggaan mereka dengan wajah yang terpatri akan kesenangan. Andalanesia- yap, itulah kampus kebanggaan mereka."Teruntuk fakultas Hukum. Hadiah ini dimenangkan oleh ... Hafsah Laila Azzahra," seruan MC tersebut itulah yang membuat wanita bernama Laila berjalan menuju podium. Suara tepuk tangan menggema diseluruh podium tersebut. Memberi apresiasi untuk Laila.Laila tersenyum amat lebar. Dengan pakaian yang nampak modis dengan jilbabnya, dia seperti model muslimah yang nampak elegan. "Selamat. Selamat atas prestasi yang telah Anda raih." Laila mengangguk seraya menggenggam sebuah piala atas hadiah yang ia dapat. Sebuah piagam penghargaan juga ia dapatkan dengan penuh bangga. Pak Herman—selaku pemilik kampus memakaikan topi bertanda lulus wisuda pada kepalanya, tidak lupa lehernya yang dimasukkan sebuah medali emas berlogo dua bintang. Sungguh mengesankan.Tidak butuh waktu lama untuk acara wisuda ter
Laila mendesah lelah. Sudah 2 jam ia menghabiskan waktu untuk mencari nama suaminya di daftar absen masuk. Tapi tidak ada, tidak ada nama yang juga menurutnya curiga. "Apa dia tidak absen saat masuk?" gumam Laila sembari melihat kembali nama absen tersebut. Namun, nihil! "Sudah cukup, kepalaku pusing," keluh Laila pada akhirnya. Kemudian ia duduk untuk istirahat sebentar. Rasanya ... punggungnya sangat sakit setelah berjam-jam cuman mencari ini. "Apa masih belum ketemu, Buk?" tanya karyawan yang menjaga bagian di sana. Laila mendesah lelah. Namun, dengan tiba-tiba Laila langsung teringat sesuatu, membuat mukanya nampak berbinar. Laila menatap Pak Adhi. Kemudian ia mengeluarkan sebuah foto di dalam dompet kecilnya. Foto suaminya yang tampan 7 turunan"Pak Adhi, apa Bapak pernah melihat lelaki ini?" tanya Laila sembari memperlihatkan foto tersebut. Pak Adhi nampak berpikir. "Ahh, ya. Kemarin saya melihatnya."Nah kan! Sudah kuduga, dia datang ke sini! senang Laila dalam hatinya.