"Cih, gue benci lo Bara... dan saat ini gue hanya butuh jasad lo buat ketenangan gue! Dan ketenangan Sherin!"Bara terdiam dengan perasaan yang mulai bergejolak tinggi. "A-aku tidak mengerti apa yang kau katakan Barez. Sherin?"Barez mengepalkan tangannya kuat hingga semakin menarik tangan Bara ke belakang. Sungguh, ia benci ini! Benci segala hal yang membuatnya harus kembali mengingat rasa sakit ini. "Lo gak pernah tau apa-apa Bara! Karena lo gak pernah mau nyari kebenaran apapun! Lo egois! Lo hanya memikirkan diri lo sendiri! Dan dia! Pria tua itu, bahkan tak pernah mau memperbaiki atas apa yang dia perbuat! Lo dan dia, sama-sama manusia kejam yang pernah gue temui di muka bumi ini! Seharusnya dari dulu gue udah bunuh kalian berdua! Lo denger kan Bara?! Gue benci kalian berdua! Gue benci terlahir dari benih pria tua yang bahkan tega membuat istrinya mati karena depresi!""A-apa yang kau katakan Barez? Ap-apa semua ini?"Barez melepaskan Bara dengan kasar, kemudian ia berdiri untuk
"Barez... gimana kabar lo? Lo baik-baik aja?" tanya Sherin sembari duduk di samping Barez yang tengah menggambar. Barez bergeming. "Aku? Baik-baik saja."Sherin tertawa kecil. Ia menunduk lemah. "Kenapa lagi?" tanya Barez sesaat menatap Sherin yang menunduk lesu. "Seperti biasa," jawabnya. Barez menyimpan terlebih dahulu pensilnya. Ia menatap Sherin. "Hem, kalau gitu, bolehkan gue yang habisin?" Sherin mendongak, membalas tatapan Barez. Ia tertawa. Namun tawanya malah terlihat menyedihkan."Tentu saja." Ia mengangguk, segera membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah kotak berisi makanan. "Maaf," ucapnya sebelum memberikan kotak makan tersebut kepada Barez. "Ck! Lo tau, makanan lo lah yang paling gue suka." Barez tertawa kecil, setelahnya membuka kotak makan yang berisi nasi goreng bercampur sosis. Di atasnya terdapat telur mata sapi. Nampak indah. "Bara gak pernah mau nerima ini. Tapi, gue gak pernah mau nyerah buat kasih dia makanan khusus buatan gue," ucap Sherin tersenyum keci
“Ayah, kenapa gubuk ini dinamakan gubuk terkutuk?" tanya Barez kecil yang saat itu berumur 6 tahun. Barez memegang tangan kanan Vano, sedang tangan kiri dipegang oleh Bara. Keduanya saling mendongak, Mira dan Kala juga saling melempar pandang kepada Vano. Vano tersenyum terlebih dahulu, kemudian ia sedikit membungkuk untuk mensejajarkan tubuhnya. “Kalian benar-benar ingin tahu?"“Ya!" serempak keduanya, Mira dan Kala ikut memgangguk, mereka sedikit mendekat untuk mengetahui ceritanya. “Baiklah. Kalian tahu, dahulu kala ada anggota keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan kedua anaknya. Keluarga itu hidup miskin selama puluhan tahun. Tidak punya uang, apalagi bahan makanan untuk dimakan."“Berhari-hari mereka menahan lapar, kedua anaknya terus merengek ingin makan. Saat itu, keluarga tersebut berjalan entah ke mana. Mereka melangkah tanpa tau tujuan. Yang mereka tau adalah mereka harus bisa mendapatkan makanan walau sekecil apapun itu."Vano bercerita sembari melangkahkan kakinya me
“Kak Rea, Mas Bara berbohong!" Laila menangis terisak dalam dekapan Rea. Dia menangis histeris saat tau bahwa Bara suaminya telah membohongi dirinya. “Kak, Mas Bara bohongin Laila...," lanjutnya semakin menderas. “Sutt, enggak Laila. Kamu percaya kan kalau suami kamu akan kembali? " tanya Rea berusaha mungkin menenangkan Laila. Setelah mendengar semua yang dikatakan Laila jelas membuat dirinya ikut cemas. “Tapi, dia belum kembali Kak. Mas Bara bahkan bohongin Laila akan tempat itu. Dia bilang bahwa Ayah dibawa ke Istana Kaveril, tapi setiba di sini tempat itu gak ada siapa-siapa Kak..." Ya, setelah bertanya kepada suaminya sebelum dia pergi, Laila langsung memberikan informasi kepada Reno dan Rea bahwa mereka disekap di Istana Kaveril, perbukitan Kaveril. Tapi nyatanya suaminya itu telah membohonginya. Ini bukan tempat yang sebenarnya. Bara benar-benar sengaja tidak memberi tahu kan di mana tempat yang sebenarnya. “Kak, Mas Bara Kak..." Laila semakin terisak, sungguh ia takut jik
“Apa kau tidak tau bahwa aku... merindukanmu Kak?"Deg! Shaka merapatkan bibirnya dalam-dalam. Namun matanya tidak bisa berbohong bahwa ia juga merasakan akan apa yang dirasakan Bara. “Selama ini aku hidup dengan rasa bersalah karena tidak bisa menjaga kakakku. Aku bahkan sudah berjanji akan melindunginya, tapi... nyatanya aku sendiri yang mengingkarinya. Dan kini, sosok itu--"“Maaf." Shaka menepuk pelan bahu Bara yang kanan. “Maaf karena selama ini membuatmu khawatir."Bara melebarkan pupil matanya. Matanya mulai berembun. Siap menjatuhkan airnya kapan saja. “Tapi percayalah...sampai sejak itu, kaulah satu-satunya harapan yang membuatku sampai melangkah sejauh ini,Bara ..." lanjut Shaka dengan tatapan sayu. Dan benar saja, detik itu juga Bara menangis dan segera memeluk Shaka. Dia menangis dibahunya. Shaka ikut membalas pelukan Bara, ia tertawa dengan mata yang ikut menangis. Akhirnya... adiknya itu kini sudah mengerti. Bahwa semuanya tidak seperti apa yang dia pikirkan. Dan s
"Shaka, apa yang akan kita lakukan? Evilina, dia menuju ke sini?" panik Barez kala ia mengintip di sebuah lubang kecil. Di ujung sana ia melihat bahwa komplotan Evilina menuju ke gubuk ini. Shaka ikut mengintip di balik lubang kecil itu. Benar, Evilina menuju ke sini. Sial! "Dengarkan aku! Semua rencana ini aku sudah persiapkan di lain dahulu, untuk itu ... aku yang bertanggung jawab atas keselamatan kalian," ucap Shaka sembari menarik lengan Barez. Shaka menghela nafas gusar, ia menatap silih berganti antara Vano, Barez dan Bara yang berada di hadapannya saat ini. Posisi mereka saat ini tengah melingkar. "Barez, kau tau bukan bahwa tujuan dari kisah ini adalah sebuah kematian? Namun hal itu tidak akan pernah aku biarkan terjadi! " Barez bergeming, perasaannya kini benar-benar dilanda gundah. Lalu, apa yang akan dilakukan Shaka? "A-apa yang ...." Ucapan Barez tergagap saat melihat Shaka berjongkok di antara tengah-tengah mereka. Dia mengobrak-abrik sebagian jerami di sana. Bara
Shaka bergeming. Pikirannya benar-benar dipenuhi akan hasrat untuk segera membunuh Evilina. Ia ingin mengakhiri dendam ini. Ia sudah muak membiarkan seorang penjahat berkeliaran menyakiti keluarganya. Selama ini, ia sudah bersabar dan terus berpura-pura kerap kali Evilina membuat Vano harus menuruti setiap ucapannya. Hanya karena Vano ingin anak-anaknya tetap hidup, dia rela menjadi anjing untuk majikannya. Sial! Mengingatnya saja sudah membuat darah mendesir ke segala pembuluh yang ada. Tidak ada waktu lagi. Shaka dengan tekad penuh percaya diri menarik pelatuknya, ia segera berlari ke belakang gubuk. Salah satu cara untuk menghentikan semua ini adalah di dalam gubuk ini! Brak! Shaka menendang keras pintu dari arah belakang, namun sialnya pengawal yang mejaga Evilina melihat dirinya. Kini berakhirlah dia melawan beberapa pengawalnya itu. Di arah yang sama Evilina tersenyum menyeringai. Apa-apaan ini? Mereka berkontribusi dalam penghianat ini? Hah! Menyebalkan! Shaka! Ia kira a
"Laila ... Mas mohon, bangunlah sayang."Bara memegang telapak tangan Laila erat, sembari sebelah tangannya yang tengah mengusap kepala Laila yang tertutup kerudung. "Buka mata kamu sayang," ucapnya lirih. Menarik tangan Laila kemudian mencium punggungnya. Kekuatan cinta sepertinya tengah mengadu pada semesta, membuat jari-jari tangan Laila tergerak pelan.Pelan, mata Laila terbuka. Remang-remang ia mendengar sebuah seruan nama dirinya. "Laila, alhamdulillah kamu bangun juga."Sebuah senyuman terbit dari wajah Bara membuat Laila menangis saat itu juga. "Laila, kenapa kamu nangis sayang? Kamu baik-baik saja kan? Laila---"Grep! "Mas Bara ... "Saat itu juga Laila memeluk erat suaminya. Dia menangis menenggelamkan segala rasa takut yang ada. Ia menangis terisak mengingat kembali tragedi yang menimpa keluarganya. Apalagi untuk suaminya. "Laila tau bahwa kau akan kembali. Laila tau kalau Mas Bara enggak bakal ingkar janji. Dan sekarang Laila bersyukur Mas Bara baik-baik, Laila kira M