Selama 26 tahun hidup, Raline merasa kesialan kerap mengikutinya ke mana pun ia melangkah. Dua kali dia berhubungan dengan pria dalam waktu cukup lama. Namun, keduanya meninggalkan Raline dan menikahi perempuan lain. Belum lagi, ayahnya pun sekarang bangkrut dan terlilit hutang! Tak ada yang membantunya, sampai Raline bertemu dengan Axel Delacroix Adams. Dalam kurun waktu empat menit, ia dilamar oleh mafia sadis sekaligus kakak laki-laki Lily, rivalnya dulu. Pria itu juga menawarkan uang dua milyar untuk membayar hutang ayahnya. Seperti apakah takdir cinta Raline kali ini? Belum lagi ... untuk menghidupi keluarganya, kali ini Raline memilih untuk menjadi badut jalanan. Apakah Tuan Mafia Kejam itu mau menerima istri yang bekerja sebagai Badut?
View MoreRaline memindai jam di pergelangan tangannya. Pukul 19.30 WIB. Berarti, ia telah menghabiskan waktu kurang lebih sepuluh jam untuk mencari pekerjaan.
Ia keluar rumah pada pukul 09.00 WIB tadi pagi. Sialnya dalam kurun waktu sepuluh jam itu, ia belum juga mendapat pekerjaan.Raline melirik pos Satpam di depan pintu gerbang yang kosong melompong. Namun, Pak Udin atau Bang Jaja tidak lagi di sana.
"Tentu saja, keduanya tidak ada," gumam Raline lesu.Satpam, supir, ataupun Aristen Rumah Tangga.
Ayah Raline memang telah memberhentikan semua pegawai untuk menghemat pengeluaran,Raline lantas membuka pintu pagar dan menutupnya perlahan.
Setelah seharian berjibaku dari satu kantor ke kantor lainnya untuk mencari pekerjaan, Raline ingin mengisi perut dan beristirahat.Ia merasa sangat lelah. Mungkin dengan beristirahat, ia bisa memulihkan kondisinya. Dengan begitu, diharapkan keesokan harinya ia bisa kembali mencari pekerjaan."Semua masalah ini terjadi, itu karena kamu tidak bisa mendidik anak!"
"Mas!"
Baru saja tiba di depan pintu, Raline telah disambut oleh pertengkaran kedua orang tuanya.
Akhir-akhir ini, kedua orang tuanya kerap berselisih paham. Tepatnya, sejak Heru batal menjadi suaminya, karena menikahi Lily.
Dengan lepasnya Heru sebagai kandidat menantu potensial, ayahnya sekarang pusing tujuh keliling.Dulu, ayahnya tenang-tenang saja terus dan terus meminjam uang panas pada Pak Riswan meski renternir itu menetapkan suku bunga di atas rata-rata.Ayahnya mengira Heru akan melunasi semua hutang-hutangnya setelah Heru menjadi menantunya.
Untung tidak dapat diraih, malang tidak dapat ditolak. Rencana pernikahan mereka gagal karena Heru mendadak jatuh cinta pada Lily.
Semua rencana yang disusun ayahnya, berbalik 180 derajat. Hutang ayahnya semakin menggunung, sementara ayahnya tidak mempunyai uang untuk melunasinya.
Ayahnya bangkrut. Perusahaan mereka telah ditutup sebulan yang lalu.Sisa uang yang ada, telah habis untuk membayar pesangon para karyawan. Itu pun tidak cukup.
Setiap hari, ada saja mantan-mantan karyawan ayahnya yang berteriak-teriak di luar rumah. Mereka menuntut pesangon yang lebih besar.Karena ayahnya memang sudah tidak lagi memiliki uang, ayahnya mendiamkan Raline.
Mau bagaimana lagi? Mereka memang sudah tidak memiliki apapun lagi. Bahkan, rumah yang mereka tempati ini kabarnya akan segera disita oleh bank. Mereka hanya tinggal menunggu waktu.Kedua orang tuanya sudah satu satu bulan ini tidak berani keluar rumah. Mereka malu pada tetangga kanan kiri. Biasanya kedua orang tuanya ini sombong dan tinggi hati. Sehingga pada saat susah seperti ini, para tetangga dengan bahagia menyoraki alih-alih ikut bersusah hati.
"Pokoknya, ini semua salah dirimu yang tidak bisa mendidik Raline dengan benar!"
Mendengar suara bentakan ayahnya, Raline urung memutar panel pintu.
Ia takut terkena imbas amarah kedua orang tuanya. Jika sedang bertengkar seperti ini, keduanya acapkali menjadikannya pelampiasan atas rasa frustasi. Semua kesalahannya di masa lalu akan terus diungkit-ungkit. Sebaiknya ia menyingkir saja.
Padahal saat ini ia sangat lelah dan lapar. Seharian berkeliling dari satu kantor ke kantor yang lain untuk mencari pekerjaan, benar-benar menguras tenaganya.
Sialnya lagi, meskipun telah berjibaku seharian, tidak ada satu perusahaan pun yang bersedia menerimanya. Selain ijazahnya yang nilainya memang pas-pasan, mungkin karena isu-isu ayahnya yang bangkrut juga. Makanya mereka semua kompak menolaknya.
Untuk meminta tolong Aksa atau Heru, Raline tidak berani.
Pada Aksa, dulu Raline pernah berbuat jahat pada Camelia, istri Aksa. Atas desakan ibunya, Raline terpaksa memfitnah Camelia supaya Aksa tidak jadi menikahi Camelia.
Selain itu, Raline juga takut dihajar oleh Camelia. Istri Aksa itu sangat mumpuni dalam ilmu bela diri. Ia bisa dijadikan perkedel oleh Camelia, kalau ia tahu bahwa dirinya berani menemui Aksa lagi.
Meminta bantuan pada Heru, Raline juga tidak enak hati.
Selain masih di rumah sakit, Heru sekarang juga telah menikah dengan Lily. Tidak pantas rasanya jika ia merecoki suami orang.
Lagi pula, dulu ia dan sang mama kerap menyakiti Lily, demi mempertahankan Heru.
Tidak tahu diri sekali kalau ia sekarang mengemis pada Lily, bukan? Makanya, Raline berinisiatif untuk mencari pekerjaan demi menyambung hidup. Ia tidak mau menjadi tukang minta-minta lagi.
Namun pada kenyataannya, bekerja itu sangat tidak mudah. Terbiasa dimanja sedari kecil, membuat Raline gamang saat menghadapi kenyataan hidup.
Di luar tembok rumahnya, kehidupan begitu keras. Tanpa koneksi, mencari pekerjaan itu bagai mencari jarum di dalam tumpukan jerami. Sulitnya pangkat tiga. Alias sulit, sulit dan sulit.
Sementara keadaan keuangan keluarganya sudah sampai pada taraf kritis. Selain tidak mampu lagi membayar gaji karyawan, untuk mengisi perut saja mereka harus benar-benar berhemat.
"Kok aku yang disalahkan? Dari kecil, aku sudah mengajarinya berdandan. Mendidiknya agar pandai membawa diri dan bersikap layaknya seorang wanita kelas atas. Salahku di mana, Mas?"
Bantahan keras sang ibu yang tidak mau disalahkan, memutus lamunan Raline.
Raline meringis. Seperti inilah perangai ibunya apabila diintimidasi. Ibunya akan balik menyerang apabila diserang.
Nyali Raline menciut.
Ia jadi takut masuk ke dalam rumah.
Karena kalau ia memaksa, sudah bisa dipastikan ia akan menjadi bulan-bulanan kedua orang tuanya.
Tapi kalau tidak masuk, ia sangat lelah dan lapar. Lagi pula, nanti ia akan tidur di mana? Di depan pintu rumah, Raline berhadapan dengan dilema.
"Kamu masih berani bertanya? Salahmu itu tidak mendidik otaknya! Kamu hanya fokus pada penampilan fisiknya, tapi tidak dengan cara berpikirnya!"
Deg!
Raline menutup telinga dengan kedua tangan, kala mendengar ayahnya membahas kekurangcerdasannya.
Terkadang, Raline bingung.Mengapa kedua orang tuanya acapkali menganggapnya bodoh? Padahal di sekolah dulu ia tidak bodoh-bodoh amat. Buktinya ia tidak pernah tidak naik kelas.Guru-gurunya dulu juga mengatakan bahwa dirinya cukup cerdas terkait calistung.Menghapal, ia jagonya. Ia mampu menghapal titik dan koma dalam buku pelajarannya.Berhitung pun, ya bisalah. Dirinya hanya lemah pada bidang studi yang memerlukan inisiatif sendiri.Misalnya menggambar atau mengarang. Ia selalu tidak punya ide jika diminta berpikir sendiri. Dalam hal apapun, ia memang memerlukan pengarahan.
"Kalau cara berpikirnya itu bukan salahku. Tapi salah genetika Mas dong. Toh, benih Mas lah yang menghasilkan Raline!"
Cukup sudah! Raline memutuskan tidak akan masuk ke dalam rumah.Lebih baik, ia membeli mie instan dan makan malam di Indomare* saja.Kalau hanya membeli mie instan, sepertinya sisa uangnya masih cukup. Paling ia akan menghemat untuk tidak membeli air minum.Perkara tidur, nanti saja ia pikirkan. Kalau hanya sekedar memejamkan mata di pos Satpam juga bisa. Pokoknya, ia harus menunggu emosi kedua orang tuanya reda barulah ia pulang ke rumah.
Dengan langkah tersaruk-saruk, Raline kembali membuka pintu pagar. Niatnya untuk makan dan berisrirahat buyar sudah.
***
Raline duduk terkantuk-kantuk setelah satu cup popmie berpindah ke perutnya.
Saat ini, ia duduk di depan minimarket komplek. Ia menumpang mengisi perut setelah membeli satu cup popmie di sana.Raline menggigil kedinginan ketika angin basah bertiup.
Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Raline berdehem. Tenggorokan sakit dan matanya terasa panas. Raline sangat ingin berbaring.Kepalanya seperti diganduli batu berat, sementara suhu tubuhnya terus merangkak naik. Sembari memeluk diri sendiri, Raline menelungkupkan kepalanya di meja. Ia akan mencoba tidur sebentar untuk meredakan sakit kepalanya.Raline tidak tahu berapa lama ia tertidur, kala suara ponsel yang terus berdering membangunkannya. Raline yang kaget, terbangun sembari mengucek-ucek mata. Ternyata ibunya yang menelepon. Dengan segera Raline mengangkat teleponnya.
"Ha--"
"Ini sudah jam sembilan malam, Raline. Kamu ada di mana?!"
Raline meringis. Belum sempat mengucapkan kata halo, ibunya sudah membentaknya.
"Raline ada di minimarket komplek, Bu. Ada a--"
"Cepat pulang ke rumah! Pak Riswan ingin bertemu denganmu. Pak Riswan akan membicarakan masalah pernikahan."
Mata Raline terpejam, Dia tahu arah pembicaraan ini.
Dengan tegas, perempun itu pun berkata, "Tidak! Raline tidak mau menikah dengan Pak Riswan! Pak Riswan bahkan lebih tua dari ayah. Istrinya juga banyak sekali. Raline--"
"Jadi kamu memilih kalau ayahmu di penjara oleh Pak Riswan karena hutang dua milyar? Dasar anak durhaka kamu. Ibu tidak mau tahu. Pokoknya kamu pulang sekarang!"
"Apa? Penjara?"
"Heh, Cecev Saklitinov. Ponakan lo bapaknya orang Rusia ya?" Axel bersiul. Hebat juga adik Kang Endang ini bisa mendapatkan suami orang Rusia. Karena sepengetahuannya keluarga Kang Endang itu suku Sunda. "Bukan, Boss. Adik ipar saya teh namanya Mulyono, orang Jawa. Mana ada orang Rusia panggilannya si Mul?" Kang Endang meringis."Lah, itu namanya kenapa Cecev Saklitinov? Cecev-nya huruf V lagi, bukan P," tukas Axel lagi."Itu mah cuma singkatan, Boss. Saklitinov itu teh singkatan dari Sabtu kliwon tiga November kata bapaknya." Kang Endang nyengir."Astaga." Axel menggeleng-gelengkan kepala sementara Bang Raju tersedak kopi. Nama keponakan Kang Endang memang antik."Boss, dicariin Mbak Raline." Bik Sari berlari-lari kecil menghampiri Axel. Nyonya mudanya kebingungan karena tidak menemukan bayinya."Nah, jagoan. Kita sudah dicariin. Kita ke mamamu dulu ya? Nanti Papa akan membawamu ke ruang bawah tanah. Banyak jalan-jalan rahasia yang harus kamu ingat nantinya." Axel mempercepat langka
Axel tak henti-hentinya mengagumi putranya yang baru saja pulang ke rumah. Setelah empat hari lamanya berada di rumah sakit, ini adalah hari pertama sang putra berada di rumah sendiri. Gemas, Axel mengelus jemari putranya. Menghitung jumlahnya yang sempurna dalam ukuran yang sangat mungil. "Bangun dong, jagoan. Masa tidur terus sih? Baru aja minum susu eh sekarang udah tidur lagi. Papa 'kan pengen main sama kamu." Axel menjawil pipi sang putra lembut. Putranya yang saat ini masih tertidur dalam boks bayi, hanya meresponnya dengan erangan khas bayi."Namanya juga bayi umur empat hari, Mas. Kerjaannya kalo nggak minum susu ya molor. Kata dokter anak bayi usia nol sampai satu bulan itu minimal tidur sekitar enam belas jam sehari." Raline yang baru keluar dari kamar mandi memberitahu Axel. "Begitu ya? Ya udah, Xander bobok aja kalau gitu. Papa mau mesra-mesraan dengan mama dulu ya?" Axel mengecup pipi Raline mesra, saat istrinya itu duduk di sudut ranjang."Mas, beneran nggak ilfeel nge
Raline ada di tempat tidur aneh dengan penutup kepala seperti dirinya. Tangan kirinya diinfus sementara hidungnya dipasang selang oksigen. Tubuh Raline ditutupi semacam kain berbahan parasut. Hal aneh yang Axel maksud adalah mengenai ranjang Raline. Ranjangnya memiliki dua penyangga. Di atas penyangga itulah kedua kaki Raline diletakkan. Sementara kedua tangan Raline diletakkan pada pegangan tangan di sisi kanan dan kiri ranjang. Posisi berbaring Raline juga aneh. Ia tidak berbaring dalam posisi tidur telentang. Melainkan setengah duduk dengan kedua kaki terbuka lebar. Axel sebenarnya tidak nyaman melihat posisi Raline seperti ini. Namun ia sadar mungkin inilah posisi orang yang akan melahirkan."Kalo lo mau menemani istri lo melahirkan, jangan banyak protes. Gue udah melakukan prosedur yang benar. Tolong lo jangan mendebat gue di saat yang tidak tepat." Dokter Saka lebih dulu memperingati Axel yang ekspresi wajahnya sudah menyiratkan ketidaksenangan. Axel menarik napas panjang dua k
"Dokter, Suster, tolong istri saya!" Axel berteriak keras setelah mobil yang dikendarai Pak Hamid berhenti di parkiran UGD rumah sakit. "Ini petugasnya pada ke mana sih? Masa rumah sakit sebesar ini nggak ada petugasnya? Brankar mana brankar?" Axel meneriaki petugas di ruang UGD."Sabar, Mas. Ini tengah ma--malam. Itu petugasnya juga sudah berlari ke dalam. Pasti mereka akan mengambil brankar. "Raline menenangkan Axel dari dalam mobil."Lama! Ayo, lo gue gendong aja, Istriku. Menunggu petugas membawa brankar, anak kita keburu lahir di dalam mobil," rutuk Axel kesal. Axel membuka pintu mobil. Mengambil ancang-ancang menggendong Raline. Axel tahu Raline pasti sedang kesakitan walau istrinya itu tidak bersuara. Wajah Raline sudah basah oleh keringat dan ia juga terus menggigit-gigit bibirnya. Pasti istrinya itu bersusah payah menahan suara erangan kesakitan agar dirinya tidak khawatir.Namun aksinya urung dilakukan karena petugas rumah sakit sudah menyiapkan brankar. Axel hanya menggend
"Pak Hamid... Pak Hamid... siapkan mobil sekarang!" Axel berteriak keras. Ia cemas melihat Raline yang kesakitan dengan keringat bermanik di dahinya. Padahal kamar diberi pendingin udara. Napas Raline juga pendek-pendek. Kentara sekali kalau Raline tengah kesakitan. "Ada ada, Boss? Oh, Mbak Raline mau ke rumah sakit ya? Saya akan meminta Mas Hamid bersiap-siap." Bik Sari yang melongok ke kamar, dan dengan cepat menarik kesimpulan. Ia segera ke paviliun, untuk membangunkan suaminya. Untung saja ia tadi mengecek stok bahan makanan di dapur, sehingga ia mendengar teriakan Axel. "Mas, tunggu sebentar. Ambil dulu tas gue di lemari." Raline menunjuk lemari tempat ia menyimpan tas serbagunanya. Ia telah menyiapkan tas besar untuk keperluannya di rumah sakit. Axel tidak jadi keluar kamar. Ia membuka lemari yang sebelumnya telah terbuka setengah dengan bahunya. "Peluk leher gue sebentar. Gue mau nyangklongin tas." Axel meraih tas tangan bling-bling kesayangan Raline. Ia kemudian menyandangn
Delapan bulan kemudian.Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Namun Raline masih belum bisa memejamkan mata. Ia terus membolak-balik tubuhnya di ranjang. Sedari sore tadi perutnya terasa tidak enak. Ia merasa mulas dan begah. Kandung kemihnya juga acapkali penuh. Makanya ia bolak-balik ke kamar mandi."Gue kebanyakan makan rujak kali ya?" Raline meringis. Tadi siang ia memang memakan rujak yang dikirim oleh Lily. Perutnya sekarang mengencang diikuti rasa sakit yang menusuk. "Apa gue mau melahirkan ya? Tapi 'kan belum jadwalnya? Kata si Saka sekitar lima hari lagi." Raline mengelus-elus perut buncitnya."Gue coba ke belakang aja deh. Siapa tahu gue cuma mules karena mau buang air." Bersusah payah, Raline beringsut dari ranjang. Hamil tua begini membuat gerakannya sangat terbatas. Raline menghabiskan waktu lima belas menit di toilet. Ia memang buang air. Tapi rasa mulas di perutnya tidak juga berkurang."Apa gue nelpon Mas Axel aja ya? Tapi dia 'kan lagi ada pertemuan dengan Bang
Raline terbangun karena merasa kedinginan. Saat ini ia tidak tahu ada di mana. Kepalanya pusing, dan perutnya mual. "Ini gue di mana sih?" Raline kebingungan. Matanya terbuka tapi ia tidak bisa fokus pada objek di depannya. Semua masih berupa bayang-bayang. "Dingin banget." Raline menggigil. "Aduh!" Raline meringis saat ia mencoba berbalik. Tangannya terasa nyeri dan seperti ada sesuatu yang menariknya. Raline mencoba memfokuskan pandangannya. Satu detik, dua detik, pandangannya mulai terang. Ia melihat tangannya di infus."Tangan gue kok diinfus?" Raline bingung. Setelah berpikir sejenak Raline sadar kalau dirinya saat ini berada di rumah sakit. Infus yang dipasang tangannya, ruangan yang serba putih, serta aroma antiseptik telah menjelaskan keberadaannya."Lho kaki gue ke mana? Kok kaki gue ilang?" Raline panik. Ia mencoba mengangkat kakinya, tapi tidak bisa. Ia tidak punya kekuatan untuk menggerakkannya. "Jangan panik, Raline. Tarik napas dalam-dalam dan mulai mengingat." Ralin
Axel berjalan hilir mudik di depan ruang operasi. Tidak seperti kedua mertuanya yang duduk tegang di ruang tunggu, Axel tidak bisa diam. Tatapannya terus terarah ke pintu ruang operasi. Ia tidak sabar menunggu pintu terbuka, agar ia bisa mengetahui keadaan istrinya."Duduk dan berdoa saja, Xel. Kamu membuah Ibu pusing dengan terus mondar-mandir begini." Bu Lidya menegur Axel. Tingkah Axel membuatnya bertambah khawatir. Putrinya yang sedang hamil, tertembak. Hati ibu mana yang tidak ketar-ketir karenanya?"Saya sedang cemas, Bu. Mana bisa saya duduk tenang." Axel berdecak."Kalau begitu berdoalah," usul Bu Lidya lagi. "Lihat ayahmumu. Dalam diamnya sesungguhnya ayahmu tidak henti-hentinya mendoakan Raline." Bu Lidya mengedikkan kepalanya ke samping. Ke arah Pak Adjie yang duduk dengan khusyu. Mulut Pak Adjie terus berkomat-kamit. Tiada henti-hentinya berdzikir untuk keselamatan sang putri."Saya segan, Bu. Tidak pantas rasanya kalau berdoa hanya pada saat saya menginginkan sesuatu saj
"Ya udah kalo lo nggak mau, nggak apa-apa. Gue cuma mau bilang. Kalo seseorang itu bukan jodoh lo, mau lo jungkir balik buat mengesankan dia, usaha lo nggak akan terlihat di matanya. Sebaliknya, lo diem-diem bae pun, kalo dia orang emang jodoh lo, dia akan tetap menjadi milik lo walau bagaimanapun caranya. Percayalah." Walaupun Cia menolak membantunya Raline tetap memberikan nasehat pada Cia. Ia melakukannya karena ia pernah berada dalam posisi Cia. Semua yang ia lakukan dulu sia-sia. Ia tidak mau Cia melakukan kebodohan yang sama."Kenapa lo ngomong begitu?""Karena gue dulu kayak lo. Gue melakukan apa aja bahkan sampai melanggar hukum demi mengesankan pasangan gue. Tapi endingnya keduanya nggak gue dapetin. Di saat gue udah pasrah dan nggak mau berekspektasi apapun lagi, gue malah mendapatkan seseorang yang jatuh cinta setengah mati sama gue. Padahal gue diam-diam bae, kagak ngapa-ngapain. Kalo gue udah ngomong begini lo masih belum ngerti juga, kayaknya bukan gue deh yang oneng, ta
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments