"Gue nggak terlambat kan, Bang?" Raline masuk ke salam rumah Bang Ali dengan napas tersengal-sengal. Angkot yang ia naiki tadi mengalami pecah ban. Ia harus berganti Angkot dua kali sebelum sampai di rumah Bang Ali. Karena tidak pernah naik Angkot, ia dua kali salah jurusan. Makanya ia terlambat. Para badut ternyata telah selesai merias diri.
"Lo punya mata nggak? Kalo punya, lo pasti tahu jawabannya." Ketusnya suara Bang Ali membuat Raline kicep.
"Ya kan gue cuma nanya, Bang. Jawab aja, iya lo terlambat. 'Kan nggak susah, Bang. Daripada Abang nyolot pagi-pagi. Ntar si rezeki jadi kabur karena ngeliat Abang marah-marah melulu." Raline berupaya mendinginkan suasana. Ketika tatapan Raline singgah pada anak remaja yang minta dipanggil badut sedih, Raline mengedipkan sebelah matanya. Si remaja meringis melihat tingkah selownya.
"Nyaut aja mulut lo." Bang Ali memelototi Raline. Kalau saja ia kemarin bukan si badut sedih yang membuat perempuan yang menurut si badut sedih dulunya kaya ini ke sini, dirinya juga ogah menerima Raline. Gadis ini disinyalir bisa membuat perpecahan di antara para anak jalanan. Maklum saja, Raline ini cantik. Anak-anak jalanan yang rata-rata sedang mengalami masa puber, pasti tertarik melihat gadis secantik Raline. Miskin tidak menjadikan mata mereka buta.
"Iya, maaf, Bang. Habisnya tadi angkotnya mogok. Terus saya salah naik--"
"Udah diem. Gue nggak butuh alasan. Lain kali kalo lo merasa bakal terlambat lagi, lo bisa bangun lebih pagi. Gue paling benci sama orang yang terlalu banyak alasan."
Ya Tuhan, gue harus bangun jam berapa lagi? Masa jam tiga pagi?
"Iya, Bang. Besok gue akan bangun lebih pagi." Raline melepas sepatu dan buru-buru duduk di depan sebuah cermin besar. Ia ingin di make up badut oleh para badut-badut yang sudah lebih dulu berdandan dengan macam-macam karakter. Raline tidak mengambil hati atas perkataan tidak enak Bang Ali. Raline maklum. Bang Ali itu hidup di jalanan. Kekerasan adalah nama tengahnya. Raline sangat memahami akan hal itu.
"Adik-adik sekalian ada yang bersedia mendandani Kakak tidak? Soalnya Kakak belum mahir berdandan sendiri." Raline melayangkan senyum penuh pengharapan pada para badut yang rata-rata masih berusia awal 15 sampai 19 tahunan.
"Saya, Kak. Saya!" Beberapa remaja bergegas menghampirinya.
"Tidak usah! Sekarang sudah siang. Kalian langsung beraksi saja. Jam segini banyak anak sekolah dan orang-orang yang bekerja di kantor. Ayo bergerak. Jangan malas. Karena perut lapar itu tidak bisa dikenyangkan oleh angin saja!" Hardikan Bang Ali membuat para badut remaja kicep. Satu persatu dari mereka kemudian berlalu. Sekarang di rumah hanya tinggal Raline dan Bang Ali.
"Lo duduk yang bener di depan kaca. Gue akan mengajari lo berdandan. Tapi bukan dengan tangan gue. Melainkan dengan tangan lo sendiri. Gue hanya akan mengarahkan lo berdandan sesuai dengan gambar-gambar ini." Bang Ali meraih beberapa lembar gambar badut di samping kaca.
"Sebelum berhias, pilih dulu karakter badut yang ingin lo perankan. Lo itu ingin menjadi badut yang bagaimana? Badut sedih seperti Randy. Badut riang, pemarah, bingung atau seksi, dan sebagainya," terang Ali seraya memperlihatkan karakter-karakter badut pada Raline. Sebenarnya dalam hati Bang Ali tidak yakin. Apa Raline mampu menari berpanas-panasan di jalanan. Menilik mulusnya kulit Raline, jangan-jangan mantan gadis kaya ini akan pingsan di jalanan. Nanti dirinya juga yang akan susah.
"Gue mau jadi badut riang saja, Bang. Di kehidupan nyata gue udah sering bingung didera keadaan, dan sedih dijejali kenyataan. Masa di dunia perbadutan gue harus bingung dan sedih lagi? Ogah!" Raline menggeleng kuat.
"Oke. Kalau begitu, keluarkan semua alat-alat rias yang semalam gue berikan pada lo."
Dengan patuh Raline mengeluarkan isi tasnya, dan meletakkannya di depan cermin.
"Karena lo udah memilih menjadi badut riang, lo akan merias wajah lo seperti ini." Ali mengulurkan sebuah gambar badut yang sedang tersenyum lebar pada Raline.
"Sekarang oleskan krim dasar putih ini di semua bagian wajah lo. Termasuk bagian alis juga. Petakan pola riasan pada mata, mulut dan hidung dengan menggunakan pensil minyak hitam untuk membuat garis tepi di wajah lo. Seperti gambar ini." Bang Ali menunjuk gambar badut senyum.
"Oke, Bang." Dengan patuh Raline mengikuti instruksi dari Bang Ali.
"Sekarang, gambar lengkungan pada mata dengan jarak 2,5 cm dari sudut luar mata. Lalu gambar lengkungan yang puncaknya di posisi antara alis dan garis rambut. Selanjutnya akhiri lengkungan di sudut dalam pada mata yang sama."
Raline berupaya melaksanakan instruksi Bang Ali sebaik mungkin. Ia juga berkali-kali melirik gambar badut di depannya. Hasilnya lumayan mirip.
"Untuk ekspresi girang, buat garis senyum yang berlebihan di bagian bawah wajah. Awali dari bawah hidung kemudian buat garis melengkung yang melewati lubang hidung tepat di bawah tulang pipi. buat garis melengkung ke atas di sekeliling mulut dan dagu. Kemudian bubuhkan perona cat warna merah pada tulang pipi, ujung hidung dan bibir."
Lima belas menit kemudian, dandan Raline telah selesai. Setelah diberi rambut gimbal berwarna merah dan pakaian badut berwarna kuning terang, Raline pun siap beraksi.
"Oke Raline. Sekarang lo adalah seorang badut. Bukan Raline lagi. Jadi lo nggak boleh sedih saat ditertawakan orang-orang saat ini. Karena apa? Karena lo adalah badut. Dan untuk menghormati badut adalah dengan cara menertawakannya."
"Baik. Jadi apapun yang dilakukan orang-orang pada gue nanti gue nggak boleh sedih karena gue adalah seorang badut. Begitu?"
"Benar. Dan supaya lo kuat menghadapi apapun, ingat baik-baik pesan gue ini. Sesungguhnya semua orang adalah badut. Hanya saja wajah mereka tanpa topeng dan senyum yang dilukis. Paham arti dari kata-kata gue?" Bang Ali menyentuh sekilas rambut palsu Raline.
"Mengerti, Bang. Artinya orang-orang pada nggak mau jadi badut karena nggak mau pakai topeng dan senyum yang dilukis. Bener nggak, Bang?"
"Astaga. Lo itu belum ngapa-ngapain aja udah membuat gue ngakak. Anak siapa sih lo ini?"
"Anak Adjie dan Lidya Raharjo Soeryo Soemarno. Melamar jadi badut apa harus menyebutkan nama orang tua juga ya, Bang?" Raline memicingkan mata. Jadi badut saja banyak amat persyaratannya.
"Hahahaha... udah lo jalan sana. Sekarang gue udah dapet jawabannya, kenapa lo ngelamar jadi badut alih-alih kerja di kantoran." Bang Ali terkekeh-kekeh sendiri. Gadis ini bocor halus rupanya.
"Siap, Bang." Raline membuat gerakan menghormat sebelum berjalan tertatih-tatih. Pakaiannya cukup berat untuk tubuhnya yang mungil. Namun ia tetap semangat menjalani perannya. Ia bisa melakukan apa saja sekarang. Menari, menyanyi dan bertingkah sesuka hatinya. Yang penting membuat orang-orang tertawa.
Ketika tiba di lampu merah, Raline melihat si badut sedih yang ternyata bernama Randy sedang beraksi. Raline tidak jadi beraksi di sana. Ia tidak mau berebut lahan dengan Randy. Ia pun memutar tubuh. Bermaksud beraksi ke arah yang berlawanan. Sialnya ia tidak sadar kalau lampu lalu lintas telah berubah hijau.
Ckitttt!
"Huaaaaa!"
Raline berteriak kaget saat sebuah mobil mengerem mendadak.
"Lo mau mati, Badut? Setidaknya kalo lo mau mati, jangan pake seragam badut. Lo membuat citra badut menjadi buruk!"
Axel Delacroix Adams menatapnya tajam membuat Raline terkejut.
'Matiiii!'
Suara pintu mobil yang dibuka dan ditutup dengan cepat, membuat nyali Raline ciut. Entah mengapa caranya bertemu Axel acapkali melalui insiden nyaris tertabrak. Raline khawatir. Saat pertemuan mereka ketiga kalinya nanti, jangan-jangan dirinya akan tertabrak sungguhan. "Hei, Badut. Lo itu mau menghibur orang atau mau bunuh diri hah?" Axel mengamuk. Ia nyaris saja menabrak badut berambut gimbal yang tiba-tiba saja menerjang mobilnya yang tengah melaju kencang.Raline berdiri mematung kala Axel mengutukinya. Ia tidak berani bersuara. Karena Axel pasti akan mengenali suaranya ketika ia membuka mulut. Saat ini saja sebenarnya ia sudah ketakutan kalau Axel akan mengenalinya. Walaupun saat ini wajahnya telah digambar menjadi seorang badut, tapi tetap saja Raline khawatir. Siapa tahu Axel masih bisa mengenalinya. Supaya aman, Raline memilih untuk terus diam dan menundukkan wajahnya dalam-dalam."Maaf ya, Om. Kakak badut ini baru saja belajar menjadi badut. Jadi belum terbiasa main di jalana
"Kak, dengar. Zaman sekarang ini cari uang yang haram aja susah, apalagi yang halal. Saya ingatkan ya, Kak. Uang ini akan sangat bermanfaat untuk Kakak. Kakak pikir baju badut ini gratis? Nggak kan, Kak. Kakak harus menyetor uang sewa baju pada Bang Ali setelah kita bekerja. Belum lagi biaya makan dan minum. Lantas dana cadangan untuk ke dokter atau membeli obat kalau Kakak tepar karena kepanasan di jalanan. Kebutuhan Kakak itu masih buanyakkk. Kakak juga harus membawa uang pulang untuk orang tua Kakak bukan?" Randy membeberkan kenyataan hidup di depan mata Raline."Kak, menjadi badut itu tidak selalu untung. Kadang bisa buntung kalau seharian hujan deras. Kalau sudah begitu jangankan uangnya bisa dibawa pulang, bisa membeli makanan dan membayar sewa kostum aja sudah syukur alhamdullilah. Benar tidak, Kak?""Iya juga ya, Ran." Raline mengangguk lesu."Makanya uang tadi saya terima atas nama Kakak. Sekarang simpan uangnya baik-baik. Tuh, di depan banyak anak-anak. Kakak ke sana aja. Si
Raline berdiri di ujung jalan, dengan mata terus memindai lampu lalu lintas. Ketika lampu berubah warna dari kuning ke merah, ia segera menghampiri mobil-mobil yang berhenti. Saatnya beraksi menghibur para pengguna jalan. "Badut lucu, sini!" Seorang gadis cilik melambaikan tangan di depan jendela mobil yang terbuka. Raline bergegas mendekati sang gadis cilik. Rezeki tidak akan ke mana."Hallo, Cantik. Kita menari bersama ya?" Raline tersenyum dan mulai meliuk-liukkan tubuhnya. Sang gadis tertawa dan ikut berjoget ria.Raline sontak menghentikan aksinya menari, kala sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti sisi kanannya. Ia sangat mengenal mobil mewah itu. Dulu dirinya adalah penumpang tetap di sana. Ya, mobil itu adalah milik Heru. Mantan pacarnya yang kini menjadi suami Lily. Dari kaca mobil, Raline memindai Lily duduk di tempatnya dulu. Lily menggelendoti lengan Heru yang tengah memegang kemudi. Heru mengecup mesra pipi Lily, sebelum kembali fokus menatap ke depan. Sepasang suami
Beberapa jam kemudian, Raline telah berada di cinema bersama Axel. Suasana cinema di malam minggu seperti ini ramai oleh pasangan yang ingin menghabiskan malam panjang berdua. Rata-rata mereka datang dengan saling bergandengan tangan. Beberapa sepertinya masih dalam taraf penjajakan, karena masih malu-malu kucing. Namun bahasa tubuh mereka sangat kentara tengah dimabuk cinta. Hanya dirinya dan Axel saja pasangan yang aneh. Mereka memang berjalan bersisian. Namun ada jarak setidaknya dua orang di antara mereka. Bahasa tubuh mereka mirip dengan dua orang anak SD yang sedang musuhan. "Lo mau nonton film genre apa Al--""Raline. Nama gue Raline. Harus berapa puluh kali gue ngingetin lo?" Raline menekan dada Axel dengan jari telunjuknya kesal. Ini orang bebal amat ya?"Singkirkan tangan lo. Gue memang suka lupa nama orang. Tapi gue akan selalu ingat dengan perbuatan yang mereka lakukan. Kalo begitu, mulai hari ini gue akan manggil lo calon istri. Dengan begitu gue nggak akan pernah salah
"Ya serius lah. Masa mau menikah main-main?" Axel merangkul bahu Raline erat. Memperlihatkan pada Lily kedekatan keduanya. Axel tidak menyangka akan bertemu dengan Lily dan Axel di cinema."Baguslah kalau begitu." Lily menepuk punggung Axel gembira. Sekarang ia tidak khawatir lagi akan nasib kakaknya. Ada seorang istri yang akan menjaga dan mencintai kakaknya. "Jagain kakak gue baik-baik ya, calon ipar? Sayangi dan cintai Kak Axel cukup sepenuh hati. Tidak perlu sepenuh jiwa. So, kalau suatu saat, amit-amit... lo sakit jiwa, hati lo akan tetap sama." Lily sekarang ganti merangkul calon kakak iparnya. Akhirnya kakaknya akan menikah juga. "Kamu bicara apa sih, Sayang? Jangan membicarakan hal-hal buruk. Apalagi yang belum terjadi. Ingat, kamu sedang hamil." Heru memperingati Lily. Istrinya ini memang tidak pernah menyaring ucapannya."Tenang, Mas. Lily tidak membatin. Cuma memberi gambaran saja. Sedia payung, sebelum hujan." Lily berdeklmasi."Lanjutkan peribahasa ini calon kakak ipar.
"Apa dua hal itu?" Axel bersedekap. Ia kini menyadari. Bahwa meskipun Heru tidak mencintai Raline, tapi Heru peduli."Bunuh diri atau sisi jahatnya muncul lagi.""Bunuh diri udah berhasil gue cegah beberapa waktu lalu. Sisi jahat? Bukannya Raline ini memang jahat dari sononya? Dia pernah menyakiti Lia dan Lily bukan?" pancing Axel. Ia ingin tahu bagaimana cara Heru memandang Raline."Raline bukan jahat, Xel. Raline itu hanya mencoba mempertahankan apa yang menurutnya adalah miliknya. Dia tidak pernah mendapatkan cinta yang tulus. Makanya, begitu ia merasa mungkin akan mendapatkannya, ia akan berjuang mati-matian. Gue dan Aksa pernah menyakitinya, walaupun sebenarnya kami tidak ingin. Jangan lo tambah lagi penderitaannya.""Lo kenal dengan dosen bule Raline dulu?" Axel tiba-tiba mengubah topik pembicaraan."Nggak kenal, tapi gue tahu. Raline jatuh dalam perangkap si dosen, karena dosennya ini melimpahinya dengan kasih sayang. Maklum saja, selama delapan tahun bersama, Aksa tidak perna
"Ada apa lagi sih ini?" Raline menepuk kening tatkala memindai ribut-ribut di rumahnya. Ibunya tampak beradu mulut dengan Tante Angela, sementara ayahnya menarik-narik lengan ibunya. Ya Tuhan, masalah apalagi yang dibuat orang tuanya sekarang?Dirinya baru saja pulang menonton dan Axel mengantarnya pulang. Kini di pagar, ia sudah disambut dengan pemandangan seperti ini. Akhir-akhir ini hidupnya sangat akrab dengan masalah."Ayo kita lihat apa yang terjadi di dalam sana, calon istri." Teguran Axel memupus lamunan Raline. Ia sampai melupakan kehadiran Axel. Tidak boleh! Axel tidak boleh mengetahui kebobrokan keluarganya lagi."Kagak usah. Gue bisa mengatasi masalah keluarga gue sendiri. Lo pulang aja." Raline meraih panel pintu mobil. Ia harus secepatnya melerai pertengkaran Tante Angela dan ibunya sebelum ramai. Tetangga kanan dan kirinya sekarang mempunyai hobby baru. Yaitu memviralkan aib-aib keluarganya. Mereka kompak membalas dendam pada keluarganya, karena pada saat jaya dulu ked
"Tidak peduli kamu bilang? Kamu ibu lahirkan, ibu beri makan, ibu besarkan dan ibu sekolah hingga kamu sedewasa sekarang. Itu yang kamu sebut sebagai ketidakpedulian?" Bu Lidya mengamuk. Kehilangan tas kesayangan dan dianggap tidak peduli pada anak membuat emosinya membeludak. Anak sekarang memang tidak tahu berterima kasih."Setelah pengorbanan kami untukmu, harusnya kamu bisa membalas budi. Tunjukkan kalau kamu itu adalah anak yang baik." Pak Adjie mendukung pernyataan istrinya. Ia sudah stress terus disindir-sindir sebagai pengusaha bangkrut oleh grup golfnya. Karena ia sudah lama tidak pernah bermain golf, rekan-rekannya beramai-ramai menyindirnya. Menjadikannya bahan olokan, seolah-olah dirinya tidak ada di grup tersebut. Ia sampai keluar dari grup karena tidak tahan dibully. Ia sangat berambisi untuk kembali kaya, agar bisa membungkam mulut-mulut nyinyir yang membullynya. Raline termangu. Ia tidak tahu harus menjawab apa atas tuntutan kedua orang tuanya. "Melahirkan, memberi
"Heh, Cecev Saklitinov. Ponakan lo bapaknya orang Rusia ya?" Axel bersiul. Hebat juga adik Kang Endang ini bisa mendapatkan suami orang Rusia. Karena sepengetahuannya keluarga Kang Endang itu suku Sunda. "Bukan, Boss. Adik ipar saya teh namanya Mulyono, orang Jawa. Mana ada orang Rusia panggilannya si Mul?" Kang Endang meringis."Lah, itu namanya kenapa Cecev Saklitinov? Cecev-nya huruf V lagi, bukan P," tukas Axel lagi."Itu mah cuma singkatan, Boss. Saklitinov itu teh singkatan dari Sabtu kliwon tiga November kata bapaknya." Kang Endang nyengir."Astaga." Axel menggeleng-gelengkan kepala sementara Bang Raju tersedak kopi. Nama keponakan Kang Endang memang antik."Boss, dicariin Mbak Raline." Bik Sari berlari-lari kecil menghampiri Axel. Nyonya mudanya kebingungan karena tidak menemukan bayinya."Nah, jagoan. Kita sudah dicariin. Kita ke mamamu dulu ya? Nanti Papa akan membawamu ke ruang bawah tanah. Banyak jalan-jalan rahasia yang harus kamu ingat nantinya." Axel mempercepat langka
Axel tak henti-hentinya mengagumi putranya yang baru saja pulang ke rumah. Setelah empat hari lamanya berada di rumah sakit, ini adalah hari pertama sang putra berada di rumah sendiri. Gemas, Axel mengelus jemari putranya. Menghitung jumlahnya yang sempurna dalam ukuran yang sangat mungil. "Bangun dong, jagoan. Masa tidur terus sih? Baru aja minum susu eh sekarang udah tidur lagi. Papa 'kan pengen main sama kamu." Axel menjawil pipi sang putra lembut. Putranya yang saat ini masih tertidur dalam boks bayi, hanya meresponnya dengan erangan khas bayi."Namanya juga bayi umur empat hari, Mas. Kerjaannya kalo nggak minum susu ya molor. Kata dokter anak bayi usia nol sampai satu bulan itu minimal tidur sekitar enam belas jam sehari." Raline yang baru keluar dari kamar mandi memberitahu Axel. "Begitu ya? Ya udah, Xander bobok aja kalau gitu. Papa mau mesra-mesraan dengan mama dulu ya?" Axel mengecup pipi Raline mesra, saat istrinya itu duduk di sudut ranjang."Mas, beneran nggak ilfeel nge
Raline ada di tempat tidur aneh dengan penutup kepala seperti dirinya. Tangan kirinya diinfus sementara hidungnya dipasang selang oksigen. Tubuh Raline ditutupi semacam kain berbahan parasut. Hal aneh yang Axel maksud adalah mengenai ranjang Raline. Ranjangnya memiliki dua penyangga. Di atas penyangga itulah kedua kaki Raline diletakkan. Sementara kedua tangan Raline diletakkan pada pegangan tangan di sisi kanan dan kiri ranjang. Posisi berbaring Raline juga aneh. Ia tidak berbaring dalam posisi tidur telentang. Melainkan setengah duduk dengan kedua kaki terbuka lebar. Axel sebenarnya tidak nyaman melihat posisi Raline seperti ini. Namun ia sadar mungkin inilah posisi orang yang akan melahirkan."Kalo lo mau menemani istri lo melahirkan, jangan banyak protes. Gue udah melakukan prosedur yang benar. Tolong lo jangan mendebat gue di saat yang tidak tepat." Dokter Saka lebih dulu memperingati Axel yang ekspresi wajahnya sudah menyiratkan ketidaksenangan. Axel menarik napas panjang dua k
"Dokter, Suster, tolong istri saya!" Axel berteriak keras setelah mobil yang dikendarai Pak Hamid berhenti di parkiran UGD rumah sakit. "Ini petugasnya pada ke mana sih? Masa rumah sakit sebesar ini nggak ada petugasnya? Brankar mana brankar?" Axel meneriaki petugas di ruang UGD."Sabar, Mas. Ini tengah ma--malam. Itu petugasnya juga sudah berlari ke dalam. Pasti mereka akan mengambil brankar. "Raline menenangkan Axel dari dalam mobil."Lama! Ayo, lo gue gendong aja, Istriku. Menunggu petugas membawa brankar, anak kita keburu lahir di dalam mobil," rutuk Axel kesal. Axel membuka pintu mobil. Mengambil ancang-ancang menggendong Raline. Axel tahu Raline pasti sedang kesakitan walau istrinya itu tidak bersuara. Wajah Raline sudah basah oleh keringat dan ia juga terus menggigit-gigit bibirnya. Pasti istrinya itu bersusah payah menahan suara erangan kesakitan agar dirinya tidak khawatir.Namun aksinya urung dilakukan karena petugas rumah sakit sudah menyiapkan brankar. Axel hanya menggend
"Pak Hamid... Pak Hamid... siapkan mobil sekarang!" Axel berteriak keras. Ia cemas melihat Raline yang kesakitan dengan keringat bermanik di dahinya. Padahal kamar diberi pendingin udara. Napas Raline juga pendek-pendek. Kentara sekali kalau Raline tengah kesakitan. "Ada ada, Boss? Oh, Mbak Raline mau ke rumah sakit ya? Saya akan meminta Mas Hamid bersiap-siap." Bik Sari yang melongok ke kamar, dan dengan cepat menarik kesimpulan. Ia segera ke paviliun, untuk membangunkan suaminya. Untung saja ia tadi mengecek stok bahan makanan di dapur, sehingga ia mendengar teriakan Axel. "Mas, tunggu sebentar. Ambil dulu tas gue di lemari." Raline menunjuk lemari tempat ia menyimpan tas serbagunanya. Ia telah menyiapkan tas besar untuk keperluannya di rumah sakit. Axel tidak jadi keluar kamar. Ia membuka lemari yang sebelumnya telah terbuka setengah dengan bahunya. "Peluk leher gue sebentar. Gue mau nyangklongin tas." Axel meraih tas tangan bling-bling kesayangan Raline. Ia kemudian menyandangn
Delapan bulan kemudian.Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Namun Raline masih belum bisa memejamkan mata. Ia terus membolak-balik tubuhnya di ranjang. Sedari sore tadi perutnya terasa tidak enak. Ia merasa mulas dan begah. Kandung kemihnya juga acapkali penuh. Makanya ia bolak-balik ke kamar mandi."Gue kebanyakan makan rujak kali ya?" Raline meringis. Tadi siang ia memang memakan rujak yang dikirim oleh Lily. Perutnya sekarang mengencang diikuti rasa sakit yang menusuk. "Apa gue mau melahirkan ya? Tapi 'kan belum jadwalnya? Kata si Saka sekitar lima hari lagi." Raline mengelus-elus perut buncitnya."Gue coba ke belakang aja deh. Siapa tahu gue cuma mules karena mau buang air." Bersusah payah, Raline beringsut dari ranjang. Hamil tua begini membuat gerakannya sangat terbatas. Raline menghabiskan waktu lima belas menit di toilet. Ia memang buang air. Tapi rasa mulas di perutnya tidak juga berkurang."Apa gue nelpon Mas Axel aja ya? Tapi dia 'kan lagi ada pertemuan dengan Bang
Raline terbangun karena merasa kedinginan. Saat ini ia tidak tahu ada di mana. Kepalanya pusing, dan perutnya mual. "Ini gue di mana sih?" Raline kebingungan. Matanya terbuka tapi ia tidak bisa fokus pada objek di depannya. Semua masih berupa bayang-bayang. "Dingin banget." Raline menggigil. "Aduh!" Raline meringis saat ia mencoba berbalik. Tangannya terasa nyeri dan seperti ada sesuatu yang menariknya. Raline mencoba memfokuskan pandangannya. Satu detik, dua detik, pandangannya mulai terang. Ia melihat tangannya di infus."Tangan gue kok diinfus?" Raline bingung. Setelah berpikir sejenak Raline sadar kalau dirinya saat ini berada di rumah sakit. Infus yang dipasang tangannya, ruangan yang serba putih, serta aroma antiseptik telah menjelaskan keberadaannya."Lho kaki gue ke mana? Kok kaki gue ilang?" Raline panik. Ia mencoba mengangkat kakinya, tapi tidak bisa. Ia tidak punya kekuatan untuk menggerakkannya. "Jangan panik, Raline. Tarik napas dalam-dalam dan mulai mengingat." Ralin
Axel berjalan hilir mudik di depan ruang operasi. Tidak seperti kedua mertuanya yang duduk tegang di ruang tunggu, Axel tidak bisa diam. Tatapannya terus terarah ke pintu ruang operasi. Ia tidak sabar menunggu pintu terbuka, agar ia bisa mengetahui keadaan istrinya."Duduk dan berdoa saja, Xel. Kamu membuah Ibu pusing dengan terus mondar-mandir begini." Bu Lidya menegur Axel. Tingkah Axel membuatnya bertambah khawatir. Putrinya yang sedang hamil, tertembak. Hati ibu mana yang tidak ketar-ketir karenanya?"Saya sedang cemas, Bu. Mana bisa saya duduk tenang." Axel berdecak."Kalau begitu berdoalah," usul Bu Lidya lagi. "Lihat ayahmumu. Dalam diamnya sesungguhnya ayahmu tidak henti-hentinya mendoakan Raline." Bu Lidya mengedikkan kepalanya ke samping. Ke arah Pak Adjie yang duduk dengan khusyu. Mulut Pak Adjie terus berkomat-kamit. Tiada henti-hentinya berdzikir untuk keselamatan sang putri."Saya segan, Bu. Tidak pantas rasanya kalau berdoa hanya pada saat saya menginginkan sesuatu saj
"Ya udah kalo lo nggak mau, nggak apa-apa. Gue cuma mau bilang. Kalo seseorang itu bukan jodoh lo, mau lo jungkir balik buat mengesankan dia, usaha lo nggak akan terlihat di matanya. Sebaliknya, lo diem-diem bae pun, kalo dia orang emang jodoh lo, dia akan tetap menjadi milik lo walau bagaimanapun caranya. Percayalah." Walaupun Cia menolak membantunya Raline tetap memberikan nasehat pada Cia. Ia melakukannya karena ia pernah berada dalam posisi Cia. Semua yang ia lakukan dulu sia-sia. Ia tidak mau Cia melakukan kebodohan yang sama."Kenapa lo ngomong begitu?""Karena gue dulu kayak lo. Gue melakukan apa aja bahkan sampai melanggar hukum demi mengesankan pasangan gue. Tapi endingnya keduanya nggak gue dapetin. Di saat gue udah pasrah dan nggak mau berekspektasi apapun lagi, gue malah mendapatkan seseorang yang jatuh cinta setengah mati sama gue. Padahal gue diam-diam bae, kagak ngapa-ngapain. Kalo gue udah ngomong begini lo masih belum ngerti juga, kayaknya bukan gue deh yang oneng, ta