Ucapan Axel membuyarkan prikiran Raline yang tengah membayangkan reaksi kedua orang tuanya atas kejutan yang ia bawa. Ia sampai tergagap karena Axel tiba-tiba mengajukan pertanyaan padanya setelah sepanjang perjalanan ia diam seperti patung. Bagaimana ia tidak kaget coba?
"Hah... heh... hah... heh... lo kebanyakan bengong mantan pacar Heru," ketus Axel kesal.
"Gue tanya, apa yang akan lo katakan pada nyokap bokap lo mengenai kedatangan gue." Axel mencoba memperpanjang kesabarannya. Menghadapi orang rada-rada oneng seperti Raline memang memerlukan kesabaran ekstra.
"Oh, bilang dong dari tadi!" Raline berdecak. Karakter Axel ini membingungkan. Kalau diam seperti orang bisu. Tapi sekalinya membuka mulut, marah-marah melulu.
Breath in, breath out, sabar Axel. Ini orang memang mengesalkan. Tapi, dia juga calon istri lo. Lo harus mulai belajar sabar sampai mengalahkan Bang Sabaruddin, tujang ojek pengkolan.
"Gue akan bilang pada mereka kalo lo akan menukar gue dengan uang dua milyar rupiah. Bener 'kan?" Raline tersenyum lebar. Memamerkan barisan giginya yang putih dan rapi. Ia bahagia karena akan terbebas dari keharusan dinikahi oleh seorang aki-aki. Tawa lebarnya membuat matanya yang sipit, making melengkung serupa bulat sabit.
"Ya Tuhan! Tolong jangan buat hamba kepingin menembak kepala calon istri hamba sendiri," desah Axel putus asa.
Axel meremas kemudi geram. Ia memang sudah merasa kalau Raline ini rada-rada oneng.
Namun, ia sama sekali tidak menyangka kalau tingkat keonengan Raline ini sudah sampai pada stadium akhir, alias akut. Bisa bubar jalan kalau Raline dibiarkan bicara sendiri di depan kedua orang tuanya nanti."Bukan begitu konsepnya, mantan pacar He--"
"Stop! Jangan menyanding-nyandingkan nama Heru dengan gue lagi. Heru udah bersanding di pelaminan dengan perempuan lain. Dengan adik lo malahan. Sebut nama gue langsung apa susahnya sih?" Raline melotot.
Perempuan itu memperhatikan sedari tadi Axel ini jarang sekali menyebut namanya. Cuma sekali, sepertinya.Sisanya, Axel hanya memanggilnya dengan sebutan pelakor atau mantannya Heru. Seperti inilah Heru selalu menjulukinya, apabila mereka tidak sengaja bertemu.
Axel menghitung satu sampai sepuluh dalam hati. Mempertimbangkan apakah ia harus mengatakan yang sejujurnya, atau mencari alasan lain.
"Memang susah. Karena gue sekarang sudah lupa lagi dengan nama lo. Gue memang payah mengingat nama orang-orang baru."
Axel memutuskan mengatakan yang sejujurnya. Ia memang acapkali lupa dengan nama orang-orang baru. Apalagi, nama yang susah-susah panggilannya.
"Heh? Lupa nama gue?" Raline menunjuk hidungnya sendiri. Ia heran Axel yang masih muda sudah pelupa akut. Bagaimana nanti kalau mereka berdua sudah menjadi kakek dan nenek? Masa iya Axel masih memanggilnya dengan sebutan mantan si Heru? Mengenaskan!
"Nama gue Raline. Tadi lo inget. Sekarang kenapa bisa lupa sih? Lo belum kakek-kakek udah pelupa." Raline mengejek Axel.
"Eh nama Heru, itu lo inget. Kagak baik lo, lupa nama orang pake milih-milih dulu." Raline memberengut. Axel memang selalu sentimen padanya.
"Eh Alkaline. Heru udah gue kenal dari kapan tahun. Makanya, gue inget namanya. Nah elo? Gue kenal lo cuma dalam hitungan hari. Lo kagak nyimak gue ngomong apa tadi?"
Axel mencengkram kemudi kian erat. Kekuatannya bersabar telah sampai di titik nadir. Mantan pacar Heru ini, selain oneng juga bawel. Protes melulu lagi.
"Nama gue Raline. Bukan Alkaline. Alkaline itu merek batere." Raline sampai mau menangis saking kesalnya.
Masa namanya disetarakan dengan merek batere? Itu cuma nama depan tok. Pun Axel bisa lupa. Apalagi jika ia menyebut nama lengkapnya Raline Raharjo Soeryo Soemarno. Bisa dipanggil Sumo ia oleh si Axel pelupa ini.
"Udah, sama aja itu. Ada Line... Line-nya. Mirip." Axel mengibaskan tangannya ke udara.
"Mirip dari mana? Lo sembarangan aja mengganti nama orang. Tidak pakai bubur putih Bubur merah lagi." Raline masih belum terima kalau namanya diganti sembarangan.
"Eh tadi lo bilang kalo gue kagak nyimak? Nyimak apaan? Emang lo ngomong apaan tadi?" Raline mengerutkan keningnya. Mencoba mengingat-ingat apa saja yang dikatakan oleh Axel tadi. Namun, ia tidak menemukan benang merahnya.
Axel mengelus dada.
Sudahlah. Lebih baik, ia fokus pada tujuan.
Ia tidak mau meladeni omongan yang tidak ada ujung pangkal Alkaline eh Raline lagi. Syukurlah, akhirnya ia ingat kembali nama gadis ini.
"Udah diem. Lo jangan ngomong lagi. Gini aja. Ntar sesampainya kita di rumah lo, gue aja yang ngomong sama bokap nyokap lo. Lo cukup mingkem dan jangan mengeluarkan sepatah kata pun sebelum gue izinin." Axel mencari jalan aman.
Daripada ia naik darah dan semua rencana berantakan, lebih naik dirinya yang memegang kendali.
"Ogah!" Raline menggeleng cepat. "Ntar lo bilang yang jelek-jelek soal gue, gue kagak bisa membantah." Raline protes. Ia takut kalau Axel nanti menjelek-jelekkannya di depan kedua orang tuanya, sementara ia tidak bisa membela diri. Soalnya ia sudah janji tidak akan bersuara.
"Gue nggak akan ngejelek-jelekin lo," sahut Axel enteng seraya kembali menjalankan mobil.
"Soalnya lo udah jelek dari sononya," imbuh Axel lagi.
Axel bersiap-siap menerima amukan Raline.
Perempuan di mana-mana pasti histerus kalau dikata-katai jelek.
Toh, ia memang sengaja. Ia memerlukan pemanasan sebelum berkonfrotasi dengan kedua orang tua Raline, dan mungkin juga orang yang dipanggil Pak Riswan.
Dirinya adalah type orang yang terlambat panas. Kalau memakai istilah Erick, ia seperti mesin diesel. Panasnya naik pelan-pelan dan baru meledak belakangan. Untuk itu, ia harus mencuri start duluan.
"Iya, gue emang jelek kayaknya ya? Cuma selama ini orang-orang pada kagak enak hati aja mengatakannya di depan mata gue. Kalo lo kan bukan orang. Tapi, mafia. Makanya bacot lo kagak ada saringannya," tukas Raline lesu.
Kedua bahunya melorot. Ia baru menyadari satu hal. Pasti dirinya jelek, makanya ia bolak-balik ditinggal pacar.
Axel melirik ke samping dengan sudut mata. Ia sama sekali tidak menyangka akan mendapat reaksi sedih bin pasrah seperti ini dari Alkaline eh Raline.
Perasaannya menjadi tidak enak. Seperti rasa bersalah yang tidak ingin ia akui.
"Lo jelek di mata orang yang tidak tepat. Kalo di mata orang yang tepat, lo cantik juga kok."
Apa boleh buat? Berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Ia sudah membuat Raline kecil hati. Untuk itu ia harus membesarkan hati Raline kembali. Inilah yang disebut dengan konsekuensi.
"Begitu, ya? Karena lo sudah berani melamar gue, itu artinya lo sudah menganggap gue tepat. Jadi di mata lo. Gue ini cantik, dong?" Raline meminta pengakuan Axel.
Namun, yang dimintai pengakuan berdecak tidak nyaman.
Breath in, breath out. Berbesar hatilah Axel. Jadi laki-laki itu harus konsisten. Kalau sudah mengatakan satu, maka sampai mati pun harus tetap bilang satu.
"Iya, lo cantik di mata gue. Dan hanya gue seorang yang boleh lo percaya, kalau gue bilang lo itu cantik. Apabila ada orang lain yang mengatakannya, mereka bohong. Karena mereka bukan orang yang tepat untuk lo. Ngerti lo?" dikte Axel lagi.
"Mengerti." Raline mengangguk takzim. "Hanya lo yang boleh gue percaya kalo lo bilang gue ini cantik."
Raline tersenyum lebar di antara kedua matanya yang terasa makin panas. Suhu tubuhnya naik lagi sepertinya.
Semoga saja, Axel segera membayar hutang pada Pak Riswan. Dengan begitu ia bisa beristirahat dengan tenang di kamarnya.
Sejenak Axel termangu. Gadis ini kalau tersenyum girang begini, manis juga.
Wajah antagonisnya berubah lucu. Matanya yang sipit berubah seperti bulan sabit.Hilang sudah aura jahatnya. Cara berbicaranya mirip Marilyn lagi. Oneng- oneng menggemaskan.'Lo mikir apa sih, Axel? Marilyn itu udah jadi istri orang!' Axel mendecakkan lidah.Ia kembali menjalankan kendaraan. Sepertinya, rencananya akan lancar jaya.Gadis di sampingnya ini tidak akan menginterupsi apapun yang dikatakannya. Ia yakin gadis ini akan diam saja, terkait apa yang sudah ia perintahkan tadi.Mengapa ia yakin kalau gadis ini tidak akan melanggar janjinya? Jawabannya insting.
Menjadi seorang mafia yang berkecimpung di dunia kelam dan berhadapan dengan 1001 sifat orang, membuatnya piawai membaca situasi.Ada dua hal yang membuat Axel yakin gadis ini akan patuh.Pertama, gadis ini tadi langsung protes kala ia perintahkan tidak boleh berbicara. Gadis ini takut kalau dirinya tidak bisa membela diri apabila diceritakan tidak dengan semestinya. Dari hal ini saja, Axel telah mendapat satu gambaran. Gadis ini patuh pada peraturan. Kalau ia ingin membangkang, pasti ia tidak akan protes. Ia baru akan beraksi di saat ada kesempatan.
Yang kedua, dari masalah puji memuji kecantikan tadi. Air muka Raline memperlihatkan kepercayaan mutlak atas kata-katanya. Oleh karenanya Axel sangat yakin kalau semuanya akan aman terkendali. Intuisinya jarang salah dalam membaca karakter orang.
***
"Stop. Ini rumah gue." Raline meminta Axel menghentikan laju mobil.
Seperti yang sudah ia perkirakan, Pak Riswan sudah berada di rumahnya.Hal itu ia tandai dengan mobil hitam mewah yang terlihat parkir di halaman.Raline mengenalinya sebagai mobil Pak Riswan.Pria itu biasa berkunjung dengan mobil ini beserta supir dan dua orang bodyguardnya. Pak Riswan tidak pernah datang sendirian. Mungkin, Pak Riswan takut apabila ia terserah stroke, tidak ada orang yang akan menggotong-gotongnya ke rumah sakit.Sebelum turun, Raline ingin memastikan sesuatu karena dirinya sudah berjanji untuk tidak membuka mulut di dalam rumah nanti pada Axel.
"Seperti yang gue bilang tadi, Pak Riswan sudah ada di dalam. Jadi, kita harus bagaimana?"
Axel menatap Raline malas. "Ya tidak bagaimana-bagaimana. Kita harus masuk tentu saja. Satu hal yang harus lo ingat. Kalo gue tidak meminta lo bicara, jangan bersuara. Paham?" "Oke. Sebelum gue bisu, gue kasih tahu lo satu hal. Nama aki-aki rentenir itu Pak Riswan. Lo jangan lupa lagi." Raline memperingatkan Axel."Katanya aja mafia? Masa mafia bisa lupa nama orang? Kagak pantes amat lo menyandang julukan seorang mafia," gerutu Raline."Eh mafia itu kerjanya membunuh orang. Bukan menghapal nama orang. Paham lo?" Axel panas karena terus diceng-cengi oleh Raline."Iya... iya... gue cuma mengeluarkan pendapat sebelum jadi orang bisu ntar di dalem. Gue turun dulu. Mau buka pager." Raline membuka pintu mobil. Ia bermaksud melebarkan pintu gerbang. "Kagak usah!" bantah Axel."Lah, kagak usah jadi kita masuknya lewat mana? Terbang? Berubah jadi semut?" Raline lama-lama emosi juga karena semua kalimatnya dibantah oleh Axel."Kagak perlu lo yang turun maksud gue. Sejak lo setuju jadi istri
"Hah, bayar hutang? Calon menantu?" Diberi kejutan bertubi-tubi, membuat Pak Adjie kebingungan. "Ah saya ingat sekarang. Kamu ini adalah Axel Delacroix Adams. Kakak Lily, istri Heru. Kamu ini seorang mafia!" Bu Lidya bangkit dari sofa. Sekarang, ia ingat di mana ia pernah melihat bule gahar ini. Di pernikahan Heru dan Lily! "Betul. Bawa kedua orang tuamu ke dalam Alka--" Axel mendecakkan lidah. Ia lupa lagi nama perempuan ini. "Raline. Nama gue Raline. Inget baik-baik. Jangan lupa lagi. Bagaimana ortu gue percaya kalo lo serius pengen nikahin gue, kalo nama gue aja lo lupa?" bisik Raline di sisi telinga Axel. "Oke. Ra--line." Axel balas berbisik. "Pinter. Oh ya, jangan lupa. Nanti pas lo ngelamar, bilang kalo lo itu kaya. Ortu gue suka khilaf kalau membahas soal harta. Oke kakaknya Lily?" Raline mambalas Axel iseng. Ia mendadak ceria karena telah lepas dari cengkraman Pak Riswan. "Axel. Nama gue Axel. Tapi nanti setelah kita nikah, lo bisa manggil gue Mas Axel." Axel mengulti
"Ah lo ngagetin aja kayak jaelangkung. Urusan lo dengan ortu gue udah kelar, belum?" Demi menutupi rasa malu, Raline pura-pura acuh. Axel terlihat mengangguk singkat."Cakep. Lo ngomong apa sih sama mereka?" Raline penasaran. Mengapa cepat sekali Axel meluluhkan hati kedua orang tuanya? Jangan-jangan Axel menodongkan senjata pada keduanya? Dia kan mafia ...."Seperti yang lo pesan. Gue bilang kalo gue kaya."****Raline kini mendorong pintu kaca kantor dengan lesu. Dikepitnya map coklat yang berisi dokumen-dokumen lamaran kerjanya di bawah lengan. Ia kemudian berjalan gontai keluar kantor. Untuk ke sekian kali lamaran kerjanya kembali ditolak. Di depan pintu kaca kantor yang baru saja ia tinggalkan, Raline memandang kantor salah seorang kolega ayahnya miris. Tidak ada yang bersedia menolongnya saat keluarganya tengah terpuruk begini. Beginilah sifat dasar manusia. Didekati ketika berjaya, dan dijauhi ketika tertimpa musibah.Raline memandang nanar map coklatnya yang kini tampak le
"Tidak!" jawab Raline cepat sambil mengangguk takzim. "Tidak, tapi kok ngangguk?" sang remaja menjinjitkan alis.Raline menggigit bibit. Dirinya memang cenderung kesulitan jikalau harus berbohong. Istimewa keadaannya sedang lapar begini. Kalau orang sedang lapar, otak cenderung tidak bisa diajak berpikir bukan?"Sesungguhnya Kakak memang lapar. Tapi--" Raline menghentikan kalimatnya. Tidak! Dirinya tidak boleh mengeluh. Bukankah dirinya semalam begitu jumawa mengaku akan berjuang? Masa baru cobaan seiprit begini dirinya sudah menyerah? Tidak bisa!"Tapi...?" Sang remaja putra menanti jawaban. Kedua matanya yang digambari dengan cat hitam tebal menatap dengan penasaran."Tapi Kakak belum punya uang untuk membeli makanan. Uang Kakak hanya cukup untuk ongkos mencari pekerjaan." Raline memutuskan untuk jujur saja. Otaknya tidak sampai, kalau harus berbohong yang panjang-panjang. Dirinya sedang malas berpikir. Yang penting dia 'kan tidak minta-minta. "Oh, Kakak tidak punya uang? Masa s
"Kamu sebenarnya bekerja di kantor mana sih, Line? Masa pagi sekali masuk kerjanya?" Bu Lidya heran melihat putrinya akan bekerja pada pukul enam pagi."Kantor sejuta umat, Bu," ucap Raline sambil lalu. Ia sibuk mengecek peralatan tempurnya di dalam tas. Spon rias, kuas cat, cotton bud, bedak bubuk teater, bubuk dasar putih, pembubuh bedak, dan krim warna riasan. Semuanya sudah ada. Komplit."Kantor sejuta umat? Kok Ibu baru dengar ada nama kantor yang seperti itu?" Di mana alamat kantormu itu, Line?" Bu Lidya makin heran."Kantor Raline itu ada di mana pun, Bu." Raline menutup resleting tas besarnya. Semua peralatan tempur pemberian Bang Ali telah masuk ke dalam tas. Bang Ali memintanya datang pagi-pagi agar bisa melihat para badut merias wajah. Menurut Bang Ali, modal utama menjadi seorang badut adalah make up badut. Selanjutnya tinggal mental yang kuat dan berani malu.Kantornya ada di jalanan, karena ia akan bekerja menjadi badut. Oleh karenanya tidak salah kalau ia menyebut kant
"Gue nggak terlambat kan, Bang?" Raline masuk ke salam rumah Bang Ali dengan napas tersengal-sengal. Angkot yang ia naiki tadi mengalami pecah ban. Ia harus berganti Angkot dua kali sebelum sampai di rumah Bang Ali. Karena tidak pernah naik Angkot, ia dua kali salah jurusan. Makanya ia terlambat. Para badut ternyata telah selesai merias diri. "Lo punya mata nggak? Kalo punya, lo pasti tahu jawabannya." Ketusnya suara Bang Ali membuat Raline kicep. "Ya kan gue cuma nanya, Bang. Jawab aja, iya lo terlambat. 'Kan nggak susah, Bang. Daripada Abang nyolot pagi-pagi. Ntar si rezeki jadi kabur karena ngeliat Abang marah-marah melulu." Raline berupaya mendinginkan suasana. Ketika tatapan Raline singgah pada anak remaja yang minta dipanggil badut sedih, Raline mengedipkan sebelah matanya. Si remaja meringis melihat tingkah selownya. "Nyaut aja mulut lo." Bang Ali memelototi Raline. Kalau saja ia kemarin bukan si badut sedih yang membuat perempuan yang menurut si badut sedih dulunya kaya i
Suara pintu mobil yang dibuka dan ditutup dengan cepat, membuat nyali Raline ciut. Entah mengapa caranya bertemu Axel acapkali melalui insiden nyaris tertabrak. Raline khawatir. Saat pertemuan mereka ketiga kalinya nanti, jangan-jangan dirinya akan tertabrak sungguhan. "Hei, Badut. Lo itu mau menghibur orang atau mau bunuh diri hah?" Axel mengamuk. Ia nyaris saja menabrak badut berambut gimbal yang tiba-tiba saja menerjang mobilnya yang tengah melaju kencang.Raline berdiri mematung kala Axel mengutukinya. Ia tidak berani bersuara. Karena Axel pasti akan mengenali suaranya ketika ia membuka mulut. Saat ini saja sebenarnya ia sudah ketakutan kalau Axel akan mengenalinya. Walaupun saat ini wajahnya telah digambar menjadi seorang badut, tapi tetap saja Raline khawatir. Siapa tahu Axel masih bisa mengenalinya. Supaya aman, Raline memilih untuk terus diam dan menundukkan wajahnya dalam-dalam."Maaf ya, Om. Kakak badut ini baru saja belajar menjadi badut. Jadi belum terbiasa main di jalana
"Kak, dengar. Zaman sekarang ini cari uang yang haram aja susah, apalagi yang halal. Saya ingatkan ya, Kak. Uang ini akan sangat bermanfaat untuk Kakak. Kakak pikir baju badut ini gratis? Nggak kan, Kak. Kakak harus menyetor uang sewa baju pada Bang Ali setelah kita bekerja. Belum lagi biaya makan dan minum. Lantas dana cadangan untuk ke dokter atau membeli obat kalau Kakak tepar karena kepanasan di jalanan. Kebutuhan Kakak itu masih buanyakkk. Kakak juga harus membawa uang pulang untuk orang tua Kakak bukan?" Randy membeberkan kenyataan hidup di depan mata Raline."Kak, menjadi badut itu tidak selalu untung. Kadang bisa buntung kalau seharian hujan deras. Kalau sudah begitu jangankan uangnya bisa dibawa pulang, bisa membeli makanan dan membayar sewa kostum aja sudah syukur alhamdullilah. Benar tidak, Kak?""Iya juga ya, Ran." Raline mengangguk lesu."Makanya uang tadi saya terima atas nama Kakak. Sekarang simpan uangnya baik-baik. Tuh, di depan banyak anak-anak. Kakak ke sana aja. Si
"Heh, Cecev Saklitinov. Ponakan lo bapaknya orang Rusia ya?" Axel bersiul. Hebat juga adik Kang Endang ini bisa mendapatkan suami orang Rusia. Karena sepengetahuannya keluarga Kang Endang itu suku Sunda. "Bukan, Boss. Adik ipar saya teh namanya Mulyono, orang Jawa. Mana ada orang Rusia panggilannya si Mul?" Kang Endang meringis."Lah, itu namanya kenapa Cecev Saklitinov? Cecev-nya huruf V lagi, bukan P," tukas Axel lagi."Itu mah cuma singkatan, Boss. Saklitinov itu teh singkatan dari Sabtu kliwon tiga November kata bapaknya." Kang Endang nyengir."Astaga." Axel menggeleng-gelengkan kepala sementara Bang Raju tersedak kopi. Nama keponakan Kang Endang memang antik."Boss, dicariin Mbak Raline." Bik Sari berlari-lari kecil menghampiri Axel. Nyonya mudanya kebingungan karena tidak menemukan bayinya."Nah, jagoan. Kita sudah dicariin. Kita ke mamamu dulu ya? Nanti Papa akan membawamu ke ruang bawah tanah. Banyak jalan-jalan rahasia yang harus kamu ingat nantinya." Axel mempercepat langka
Axel tak henti-hentinya mengagumi putranya yang baru saja pulang ke rumah. Setelah empat hari lamanya berada di rumah sakit, ini adalah hari pertama sang putra berada di rumah sendiri. Gemas, Axel mengelus jemari putranya. Menghitung jumlahnya yang sempurna dalam ukuran yang sangat mungil. "Bangun dong, jagoan. Masa tidur terus sih? Baru aja minum susu eh sekarang udah tidur lagi. Papa 'kan pengen main sama kamu." Axel menjawil pipi sang putra lembut. Putranya yang saat ini masih tertidur dalam boks bayi, hanya meresponnya dengan erangan khas bayi."Namanya juga bayi umur empat hari, Mas. Kerjaannya kalo nggak minum susu ya molor. Kata dokter anak bayi usia nol sampai satu bulan itu minimal tidur sekitar enam belas jam sehari." Raline yang baru keluar dari kamar mandi memberitahu Axel. "Begitu ya? Ya udah, Xander bobok aja kalau gitu. Papa mau mesra-mesraan dengan mama dulu ya?" Axel mengecup pipi Raline mesra, saat istrinya itu duduk di sudut ranjang."Mas, beneran nggak ilfeel nge
Raline ada di tempat tidur aneh dengan penutup kepala seperti dirinya. Tangan kirinya diinfus sementara hidungnya dipasang selang oksigen. Tubuh Raline ditutupi semacam kain berbahan parasut. Hal aneh yang Axel maksud adalah mengenai ranjang Raline. Ranjangnya memiliki dua penyangga. Di atas penyangga itulah kedua kaki Raline diletakkan. Sementara kedua tangan Raline diletakkan pada pegangan tangan di sisi kanan dan kiri ranjang. Posisi berbaring Raline juga aneh. Ia tidak berbaring dalam posisi tidur telentang. Melainkan setengah duduk dengan kedua kaki terbuka lebar. Axel sebenarnya tidak nyaman melihat posisi Raline seperti ini. Namun ia sadar mungkin inilah posisi orang yang akan melahirkan."Kalo lo mau menemani istri lo melahirkan, jangan banyak protes. Gue udah melakukan prosedur yang benar. Tolong lo jangan mendebat gue di saat yang tidak tepat." Dokter Saka lebih dulu memperingati Axel yang ekspresi wajahnya sudah menyiratkan ketidaksenangan. Axel menarik napas panjang dua k
"Dokter, Suster, tolong istri saya!" Axel berteriak keras setelah mobil yang dikendarai Pak Hamid berhenti di parkiran UGD rumah sakit. "Ini petugasnya pada ke mana sih? Masa rumah sakit sebesar ini nggak ada petugasnya? Brankar mana brankar?" Axel meneriaki petugas di ruang UGD."Sabar, Mas. Ini tengah ma--malam. Itu petugasnya juga sudah berlari ke dalam. Pasti mereka akan mengambil brankar. "Raline menenangkan Axel dari dalam mobil."Lama! Ayo, lo gue gendong aja, Istriku. Menunggu petugas membawa brankar, anak kita keburu lahir di dalam mobil," rutuk Axel kesal. Axel membuka pintu mobil. Mengambil ancang-ancang menggendong Raline. Axel tahu Raline pasti sedang kesakitan walau istrinya itu tidak bersuara. Wajah Raline sudah basah oleh keringat dan ia juga terus menggigit-gigit bibirnya. Pasti istrinya itu bersusah payah menahan suara erangan kesakitan agar dirinya tidak khawatir.Namun aksinya urung dilakukan karena petugas rumah sakit sudah menyiapkan brankar. Axel hanya menggend
"Pak Hamid... Pak Hamid... siapkan mobil sekarang!" Axel berteriak keras. Ia cemas melihat Raline yang kesakitan dengan keringat bermanik di dahinya. Padahal kamar diberi pendingin udara. Napas Raline juga pendek-pendek. Kentara sekali kalau Raline tengah kesakitan. "Ada ada, Boss? Oh, Mbak Raline mau ke rumah sakit ya? Saya akan meminta Mas Hamid bersiap-siap." Bik Sari yang melongok ke kamar, dan dengan cepat menarik kesimpulan. Ia segera ke paviliun, untuk membangunkan suaminya. Untung saja ia tadi mengecek stok bahan makanan di dapur, sehingga ia mendengar teriakan Axel. "Mas, tunggu sebentar. Ambil dulu tas gue di lemari." Raline menunjuk lemari tempat ia menyimpan tas serbagunanya. Ia telah menyiapkan tas besar untuk keperluannya di rumah sakit. Axel tidak jadi keluar kamar. Ia membuka lemari yang sebelumnya telah terbuka setengah dengan bahunya. "Peluk leher gue sebentar. Gue mau nyangklongin tas." Axel meraih tas tangan bling-bling kesayangan Raline. Ia kemudian menyandangn
Delapan bulan kemudian.Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Namun Raline masih belum bisa memejamkan mata. Ia terus membolak-balik tubuhnya di ranjang. Sedari sore tadi perutnya terasa tidak enak. Ia merasa mulas dan begah. Kandung kemihnya juga acapkali penuh. Makanya ia bolak-balik ke kamar mandi."Gue kebanyakan makan rujak kali ya?" Raline meringis. Tadi siang ia memang memakan rujak yang dikirim oleh Lily. Perutnya sekarang mengencang diikuti rasa sakit yang menusuk. "Apa gue mau melahirkan ya? Tapi 'kan belum jadwalnya? Kata si Saka sekitar lima hari lagi." Raline mengelus-elus perut buncitnya."Gue coba ke belakang aja deh. Siapa tahu gue cuma mules karena mau buang air." Bersusah payah, Raline beringsut dari ranjang. Hamil tua begini membuat gerakannya sangat terbatas. Raline menghabiskan waktu lima belas menit di toilet. Ia memang buang air. Tapi rasa mulas di perutnya tidak juga berkurang."Apa gue nelpon Mas Axel aja ya? Tapi dia 'kan lagi ada pertemuan dengan Bang
Raline terbangun karena merasa kedinginan. Saat ini ia tidak tahu ada di mana. Kepalanya pusing, dan perutnya mual. "Ini gue di mana sih?" Raline kebingungan. Matanya terbuka tapi ia tidak bisa fokus pada objek di depannya. Semua masih berupa bayang-bayang. "Dingin banget." Raline menggigil. "Aduh!" Raline meringis saat ia mencoba berbalik. Tangannya terasa nyeri dan seperti ada sesuatu yang menariknya. Raline mencoba memfokuskan pandangannya. Satu detik, dua detik, pandangannya mulai terang. Ia melihat tangannya di infus."Tangan gue kok diinfus?" Raline bingung. Setelah berpikir sejenak Raline sadar kalau dirinya saat ini berada di rumah sakit. Infus yang dipasang tangannya, ruangan yang serba putih, serta aroma antiseptik telah menjelaskan keberadaannya."Lho kaki gue ke mana? Kok kaki gue ilang?" Raline panik. Ia mencoba mengangkat kakinya, tapi tidak bisa. Ia tidak punya kekuatan untuk menggerakkannya. "Jangan panik, Raline. Tarik napas dalam-dalam dan mulai mengingat." Ralin
Axel berjalan hilir mudik di depan ruang operasi. Tidak seperti kedua mertuanya yang duduk tegang di ruang tunggu, Axel tidak bisa diam. Tatapannya terus terarah ke pintu ruang operasi. Ia tidak sabar menunggu pintu terbuka, agar ia bisa mengetahui keadaan istrinya."Duduk dan berdoa saja, Xel. Kamu membuah Ibu pusing dengan terus mondar-mandir begini." Bu Lidya menegur Axel. Tingkah Axel membuatnya bertambah khawatir. Putrinya yang sedang hamil, tertembak. Hati ibu mana yang tidak ketar-ketir karenanya?"Saya sedang cemas, Bu. Mana bisa saya duduk tenang." Axel berdecak."Kalau begitu berdoalah," usul Bu Lidya lagi. "Lihat ayahmumu. Dalam diamnya sesungguhnya ayahmu tidak henti-hentinya mendoakan Raline." Bu Lidya mengedikkan kepalanya ke samping. Ke arah Pak Adjie yang duduk dengan khusyu. Mulut Pak Adjie terus berkomat-kamit. Tiada henti-hentinya berdzikir untuk keselamatan sang putri."Saya segan, Bu. Tidak pantas rasanya kalau berdoa hanya pada saat saya menginginkan sesuatu saj
"Ya udah kalo lo nggak mau, nggak apa-apa. Gue cuma mau bilang. Kalo seseorang itu bukan jodoh lo, mau lo jungkir balik buat mengesankan dia, usaha lo nggak akan terlihat di matanya. Sebaliknya, lo diem-diem bae pun, kalo dia orang emang jodoh lo, dia akan tetap menjadi milik lo walau bagaimanapun caranya. Percayalah." Walaupun Cia menolak membantunya Raline tetap memberikan nasehat pada Cia. Ia melakukannya karena ia pernah berada dalam posisi Cia. Semua yang ia lakukan dulu sia-sia. Ia tidak mau Cia melakukan kebodohan yang sama."Kenapa lo ngomong begitu?""Karena gue dulu kayak lo. Gue melakukan apa aja bahkan sampai melanggar hukum demi mengesankan pasangan gue. Tapi endingnya keduanya nggak gue dapetin. Di saat gue udah pasrah dan nggak mau berekspektasi apapun lagi, gue malah mendapatkan seseorang yang jatuh cinta setengah mati sama gue. Padahal gue diam-diam bae, kagak ngapa-ngapain. Kalo gue udah ngomong begini lo masih belum ngerti juga, kayaknya bukan gue deh yang oneng, ta