"Hah, bayar hutang? Calon menantu?" Diberi kejutan bertubi-tubi, membuat Pak Adjie kebingungan.
"Ah saya ingat sekarang. Kamu ini adalah Axel Delacroix Adams. Kakak Lily, istri Heru. Kamu ini seorang mafia!" Bu Lidya bangkit dari sofa.
Sekarang, ia ingat di mana ia pernah melihat bule gahar ini. Di pernikahan Heru dan Lily!
"Betul. Bawa kedua orang tuamu ke dalam Alka--" Axel mendecakkan lidah. Ia lupa lagi nama perempuan ini.
"Raline. Nama gue Raline. Inget baik-baik. Jangan lupa lagi. Bagaimana ortu gue percaya kalo lo serius pengen nikahin gue, kalo nama gue aja lo lupa?" bisik Raline di sisi telinga Axel.
"Oke. Ra--line." Axel balas berbisik.
"Pinter. Oh ya, jangan lupa. Nanti pas lo ngelamar, bilang kalo lo itu kaya. Ortu gue suka khilaf kalau membahas soal harta. Oke kakaknya Lily?" Raline mambalas Axel iseng. Ia mendadak ceria karena telah lepas dari cengkraman Pak Riswan.
"Axel. Nama gue Axel. Tapi nanti setelah kita nikah, lo bisa manggil gue Mas Axel." Axel mengultimatum tegas.
"Sekarang juga nggak apa-apa, Mas Axel." Raline nyengir. Kedua mata sipitnya membentuk bulan sabit kala ia tertawa.
Sejurus kemudian, Raline memandu kedua orang tuanya masuk ke ruang keluarga. Raline mamahami maksud Axel. Axel akan membahas masalah hutang piutang dengan Pak Riswan.
"Raline, ingat janji lo," teriak Axel. Ia mengingatkan Raline akan janjinya yang tidak boleh membuka mulut.
"Siap, Mas Axel," Raline balas berteriak seraya membuat gerakan mengunci mulut. Setelahnya ia kaget sendiri.
"Set dah, mulut gue kok lancar amat ya manggil itu mafia reseh, Mas?" Raline bingung sendiri.
"Udah ah, biarin aja. Gue lagi males mikir." Raline menyusul kedua orang tuanya masuk ke dalam ruang keluarga. Akhirnya ia bebas juga dari keharusan menjadi istri aki-aki tua bau tanah. Alhamdullilah.
***
"Raline, coba ceritakan bagaimana ceritanya mafia itu ujug-ujug bisa menjadi calon suamimu? Ayah bingung."
Di ruang keluarga, Pak Adjie berjalan hilir mudik. Sungguh, ia tidak mengerti bagaimana putrinya bisa berhubungan dengan seorang mafia berbahaya seperti Axel.
"Ehem.. ehem... ehem..." Raline menjawab dengan bahasa isyarat seraya menggeleng-gelengkan kepala. Sesuai janjinya dengan Axel, Raline tetap menutup mulut.
Saat ini ia duduk manis di sofa keluarga bersama sang bunda. Ia menjawab pertanyaan ayahnya hanya dengan deheman. Ia tetap memegang teguh janjinya pada Axel, walau ia pusing melihat tingkah ayahnya. Ya, ayahnya terus mondar-mandiri di depannya seperti setrikaan yang tidak licin-licin.
"Ham... hem... ham... hem... melulu. Kamu kenapa Line? Tenggorokanmu gatal?" Pak Adjie kesal karena tingkah aneh putrinya.
Raline menggeleng cepat. Ia kemudian menunjuk mulutnya. Memberi kode kalau ia tidak bisa berbicara dengan gerakan tangan seperti mengunci.
"Oh, kamu tiba-tiba sakit gigi?" Kali ini Bu Lidya yang menebak. Raline kembali menggeleng.
"Bukan sakit gigi? Kamu sariawan?" tebak Bu Lidya lagi. Raline tetap menggeleng. Melihat gelengan kepala putrinya Bu Lidya menepuk kening putus asa.
"Astaga, kenapa kamu mendadak gagu begini?" Pak Adjie yang ikut putus asa menghempaskan pinggul di sofa.
"Lihat, anak perempuanmu, Lid. Bagaimana caramu mendidiknya sampai berperangai seperti ini?" Pak Adjie memijat-mijat keningnya.
"Raline bukan cuma anakku seorang, Mas. Aku tidak bisa hamil sendirian. Itu artinya mendidiknya juga bukan tugasku seorang. Mengenai perangainya, itu juga di luar kuasaku. Aku bukan Tuhan," desis Bu Lidya geram.
Raline diam seribu bahasa. Perdebatan kedua orang tuanya selalu tidak jauh-jauh dari kekurangannya. Raline sedih.
Jujur kadang ia ingin sekali protes.
Dirinya selama ini selalu menuruti keinginan kedua orang tuanya, walau terkadang keinginan mereka berdua bertentangan dengan hati nuraninya. Tetapi ia tetap menurut, agar kedua orang tuanya bahagia.
Jikalau dalam menjalankan aksinya, ia gagal dan kedua orang tuanya kembali kecewa, itu bukan salahnya, bukan?
Manusia hanya bisa merencanakan, namun Tuhan yang punya kuasa. Begitulah kalau menurut tanggapan Lesty Kejora.
"Kalian berdua ini orang tua macam apa? Menghina dan mematahkan hati anak kalian sendiri, yang sesungguhnya kalian juga tahu semua itu bukan salahnya? Anak kalian toh tidak pernah minta dilahirkan?" Axel yang sebenarnya sudah berdiri cukup lama di koridor ruang keluarga, tidak tahan untuk tidak memaki kedua orang tua egois ini.
"Dengar baik-baik. Kalian berdua tidak fair jika kalian menyalahkan anak, atas segala ketidakpuasan kalian. Kalian itu punya pilihan untuk mau, atau tidak mau punya anak. Tetapi anak, mereka tidak punya pilihan. Mereka ada, karena kalian keenakan berhubungan."
Raline menatap Axel dengan mata berair. Untuk pertama kalinya, ada orang yang mampu menyuarakan isi hatinya. Apa yang dikatakan oleh Axel sebenarnya sudah lama sekali ingin ia ungkapkan. Namun ia tidak sampai hati mengucapkannya.
Ia menyayangi kedua orang tuanya, bagaimanapun keadaan mereka. Ia tidak pernah membanding-bandingkan kedua orang tuanya yang selalu bertengkar dalam segala hal, dengan orang tua-orang tua teman-temannya yang harmonis. Ia memahami bahwa tiap-tiap keluarga mempunyai nilai plus dan minusnya sendiri.
Ia juga tidak pernah iri melihat orang tua-orang tua teman-temannya, selalu mendukung dan memuji anak-anak mereka, baik dikala anak-anak mereka menang ataupun kalah. Sementara kedua orangnya tidak pernah sekalipun memuji dirinya pada saat ia menang, apalagi kalah. Namun begitu, ia tidak benci apalagi menyesal mempunyai orang tua seperti orang tuanya. Ia mencintai keduanya tanpa syarat.
Pak Adjie dan Bu Lidya terdiam.
Mereka berdua tidak bisa membantah kata-kata Axel, karena memang benar adanya. Mereka sadar, mereka memang salah. Tapi sebagai orang tua, wajar kalau mereka sesekali kesal karena anak mereka tidak seperti anak orang lain yang cerdas dan pintar.
*****
"Saya telah menyelesaikan masalah hutang piutang kalian berdua dengan Pak Riswan. Saya pastikan, mulai hari ini dan seterusnya Pak Riswan tidak akan berani mengusik Anda lagi."
Entah mengapa Raline jadi kepingin bergoyang bebek mabuk, seperti yang diajarkan Lily di rumah sakit kemarin.
Lily adalah rivalnya dalam meraih cinta Heru dulu sekaligus adik perempuan Axel. Entah mengapa, Raline jadi akrab dengan Lily akhir-akhir ini. Lily itu sama somplaknya seperti dirinya. Bedanya Lily sedikit lebih cerdas darinya. Ingat ya, sedikit saja.
Lily mengajarkannya banyak hal. Salah satunya adalah; Apabila kita sedang kesal, sedih, senang, kecewa ataupun bahagia, jogetin saja. Dengan begitu semua perasaan hati kita akan tersalurkan tanpa kita harus bunuh diri ataupun memamerkan masalah kita.
Perlahan, Raline meper-meper ke dapur. Setelah sedikit menjauh dari ruang keluarga, Raline menundukkan tubuh seksinya sambil menggoyangkan bokongnya ke kiri satu kali dan ke kanan dua kali. Ia terus berjoget berulang-ulang sampai dirinya puas.
Axel yang telah selesai bernegosiasi dengan kedua orang tua Raline dan berniat ke toilet, meringis melihat calon istrinya bergoyang heboh sendirian.
Tidak adik, tidak istri, ternyata keduanya doyan berjoget dangdut campur sari.
Hidupnya tidak jauh-jauh dari perempuan-perempuan istimewa sepertinya. Sebentar lagi ia akan bergabung dengan Christian dan Heru, dalam club para istri istimewa.
"Lantai dapur akan runtuh kalau kamu terus bergoyang heboh seperti itu."
Raline yang baru menggoyangkan bokong sekali ke kiri, seketika berdiri tegak. Mampus, ia ketahuan sedang joget bebek mabuk oleh Axel.
"Ah lo ngagetin aja kayak jaelangkung. Urusan lo dengan ortu gue udah kelar, belum?" Demi menutupi rasa malu, Raline pura-pura acuh. Axel terlihat mengangguk singkat."Cakep. Lo ngomong apa sih sama mereka?" Raline penasaran. Mengapa cepat sekali Axel meluluhkan hati kedua orang tuanya? Jangan-jangan Axel menodongkan senjata pada keduanya? Dia kan mafia ...."Seperti yang lo pesan. Gue bilang kalo gue kaya."****Raline kini mendorong pintu kaca kantor dengan lesu. Dikepitnya map coklat yang berisi dokumen-dokumen lamaran kerjanya di bawah lengan. Ia kemudian berjalan gontai keluar kantor. Untuk ke sekian kali lamaran kerjanya kembali ditolak. Di depan pintu kaca kantor yang baru saja ia tinggalkan, Raline memandang kantor salah seorang kolega ayahnya miris. Tidak ada yang bersedia menolongnya saat keluarganya tengah terpuruk begini. Beginilah sifat dasar manusia. Didekati ketika berjaya, dan dijauhi ketika tertimpa musibah.Raline memandang nanar map coklatnya yang kini tampak le
"Tidak!" jawab Raline cepat sambil mengangguk takzim. "Tidak, tapi kok ngangguk?" sang remaja menjinjitkan alis.Raline menggigit bibit. Dirinya memang cenderung kesulitan jikalau harus berbohong. Istimewa keadaannya sedang lapar begini. Kalau orang sedang lapar, otak cenderung tidak bisa diajak berpikir bukan?"Sesungguhnya Kakak memang lapar. Tapi--" Raline menghentikan kalimatnya. Tidak! Dirinya tidak boleh mengeluh. Bukankah dirinya semalam begitu jumawa mengaku akan berjuang? Masa baru cobaan seiprit begini dirinya sudah menyerah? Tidak bisa!"Tapi...?" Sang remaja putra menanti jawaban. Kedua matanya yang digambari dengan cat hitam tebal menatap dengan penasaran."Tapi Kakak belum punya uang untuk membeli makanan. Uang Kakak hanya cukup untuk ongkos mencari pekerjaan." Raline memutuskan untuk jujur saja. Otaknya tidak sampai, kalau harus berbohong yang panjang-panjang. Dirinya sedang malas berpikir. Yang penting dia 'kan tidak minta-minta. "Oh, Kakak tidak punya uang? Masa s
"Kamu sebenarnya bekerja di kantor mana sih, Line? Masa pagi sekali masuk kerjanya?" Bu Lidya heran melihat putrinya akan bekerja pada pukul enam pagi."Kantor sejuta umat, Bu," ucap Raline sambil lalu. Ia sibuk mengecek peralatan tempurnya di dalam tas. Spon rias, kuas cat, cotton bud, bedak bubuk teater, bubuk dasar putih, pembubuh bedak, dan krim warna riasan. Semuanya sudah ada. Komplit."Kantor sejuta umat? Kok Ibu baru dengar ada nama kantor yang seperti itu?" Di mana alamat kantormu itu, Line?" Bu Lidya makin heran."Kantor Raline itu ada di mana pun, Bu." Raline menutup resleting tas besarnya. Semua peralatan tempur pemberian Bang Ali telah masuk ke dalam tas. Bang Ali memintanya datang pagi-pagi agar bisa melihat para badut merias wajah. Menurut Bang Ali, modal utama menjadi seorang badut adalah make up badut. Selanjutnya tinggal mental yang kuat dan berani malu.Kantornya ada di jalanan, karena ia akan bekerja menjadi badut. Oleh karenanya tidak salah kalau ia menyebut kant
"Gue nggak terlambat kan, Bang?" Raline masuk ke salam rumah Bang Ali dengan napas tersengal-sengal. Angkot yang ia naiki tadi mengalami pecah ban. Ia harus berganti Angkot dua kali sebelum sampai di rumah Bang Ali. Karena tidak pernah naik Angkot, ia dua kali salah jurusan. Makanya ia terlambat. Para badut ternyata telah selesai merias diri. "Lo punya mata nggak? Kalo punya, lo pasti tahu jawabannya." Ketusnya suara Bang Ali membuat Raline kicep. "Ya kan gue cuma nanya, Bang. Jawab aja, iya lo terlambat. 'Kan nggak susah, Bang. Daripada Abang nyolot pagi-pagi. Ntar si rezeki jadi kabur karena ngeliat Abang marah-marah melulu." Raline berupaya mendinginkan suasana. Ketika tatapan Raline singgah pada anak remaja yang minta dipanggil badut sedih, Raline mengedipkan sebelah matanya. Si remaja meringis melihat tingkah selownya. "Nyaut aja mulut lo." Bang Ali memelototi Raline. Kalau saja ia kemarin bukan si badut sedih yang membuat perempuan yang menurut si badut sedih dulunya kaya i
Suara pintu mobil yang dibuka dan ditutup dengan cepat, membuat nyali Raline ciut. Entah mengapa caranya bertemu Axel acapkali melalui insiden nyaris tertabrak. Raline khawatir. Saat pertemuan mereka ketiga kalinya nanti, jangan-jangan dirinya akan tertabrak sungguhan. "Hei, Badut. Lo itu mau menghibur orang atau mau bunuh diri hah?" Axel mengamuk. Ia nyaris saja menabrak badut berambut gimbal yang tiba-tiba saja menerjang mobilnya yang tengah melaju kencang.Raline berdiri mematung kala Axel mengutukinya. Ia tidak berani bersuara. Karena Axel pasti akan mengenali suaranya ketika ia membuka mulut. Saat ini saja sebenarnya ia sudah ketakutan kalau Axel akan mengenalinya. Walaupun saat ini wajahnya telah digambar menjadi seorang badut, tapi tetap saja Raline khawatir. Siapa tahu Axel masih bisa mengenalinya. Supaya aman, Raline memilih untuk terus diam dan menundukkan wajahnya dalam-dalam."Maaf ya, Om. Kakak badut ini baru saja belajar menjadi badut. Jadi belum terbiasa main di jalana
"Kak, dengar. Zaman sekarang ini cari uang yang haram aja susah, apalagi yang halal. Saya ingatkan ya, Kak. Uang ini akan sangat bermanfaat untuk Kakak. Kakak pikir baju badut ini gratis? Nggak kan, Kak. Kakak harus menyetor uang sewa baju pada Bang Ali setelah kita bekerja. Belum lagi biaya makan dan minum. Lantas dana cadangan untuk ke dokter atau membeli obat kalau Kakak tepar karena kepanasan di jalanan. Kebutuhan Kakak itu masih buanyakkk. Kakak juga harus membawa uang pulang untuk orang tua Kakak bukan?" Randy membeberkan kenyataan hidup di depan mata Raline."Kak, menjadi badut itu tidak selalu untung. Kadang bisa buntung kalau seharian hujan deras. Kalau sudah begitu jangankan uangnya bisa dibawa pulang, bisa membeli makanan dan membayar sewa kostum aja sudah syukur alhamdullilah. Benar tidak, Kak?""Iya juga ya, Ran." Raline mengangguk lesu."Makanya uang tadi saya terima atas nama Kakak. Sekarang simpan uangnya baik-baik. Tuh, di depan banyak anak-anak. Kakak ke sana aja. Si
Raline berdiri di ujung jalan, dengan mata terus memindai lampu lalu lintas. Ketika lampu berubah warna dari kuning ke merah, ia segera menghampiri mobil-mobil yang berhenti. Saatnya beraksi menghibur para pengguna jalan. "Badut lucu, sini!" Seorang gadis cilik melambaikan tangan di depan jendela mobil yang terbuka. Raline bergegas mendekati sang gadis cilik. Rezeki tidak akan ke mana."Hallo, Cantik. Kita menari bersama ya?" Raline tersenyum dan mulai meliuk-liukkan tubuhnya. Sang gadis tertawa dan ikut berjoget ria.Raline sontak menghentikan aksinya menari, kala sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti sisi kanannya. Ia sangat mengenal mobil mewah itu. Dulu dirinya adalah penumpang tetap di sana. Ya, mobil itu adalah milik Heru. Mantan pacarnya yang kini menjadi suami Lily. Dari kaca mobil, Raline memindai Lily duduk di tempatnya dulu. Lily menggelendoti lengan Heru yang tengah memegang kemudi. Heru mengecup mesra pipi Lily, sebelum kembali fokus menatap ke depan. Sepasang suami
Beberapa jam kemudian, Raline telah berada di cinema bersama Axel. Suasana cinema di malam minggu seperti ini ramai oleh pasangan yang ingin menghabiskan malam panjang berdua. Rata-rata mereka datang dengan saling bergandengan tangan. Beberapa sepertinya masih dalam taraf penjajakan, karena masih malu-malu kucing. Namun bahasa tubuh mereka sangat kentara tengah dimabuk cinta. Hanya dirinya dan Axel saja pasangan yang aneh. Mereka memang berjalan bersisian. Namun ada jarak setidaknya dua orang di antara mereka. Bahasa tubuh mereka mirip dengan dua orang anak SD yang sedang musuhan. "Lo mau nonton film genre apa Al--""Raline. Nama gue Raline. Harus berapa puluh kali gue ngingetin lo?" Raline menekan dada Axel dengan jari telunjuknya kesal. Ini orang bebal amat ya?"Singkirkan tangan lo. Gue memang suka lupa nama orang. Tapi gue akan selalu ingat dengan perbuatan yang mereka lakukan. Kalo begitu, mulai hari ini gue akan manggil lo calon istri. Dengan begitu gue nggak akan pernah salah
"Heh, Cecev Saklitinov. Ponakan lo bapaknya orang Rusia ya?" Axel bersiul. Hebat juga adik Kang Endang ini bisa mendapatkan suami orang Rusia. Karena sepengetahuannya keluarga Kang Endang itu suku Sunda. "Bukan, Boss. Adik ipar saya teh namanya Mulyono, orang Jawa. Mana ada orang Rusia panggilannya si Mul?" Kang Endang meringis."Lah, itu namanya kenapa Cecev Saklitinov? Cecev-nya huruf V lagi, bukan P," tukas Axel lagi."Itu mah cuma singkatan, Boss. Saklitinov itu teh singkatan dari Sabtu kliwon tiga November kata bapaknya." Kang Endang nyengir."Astaga." Axel menggeleng-gelengkan kepala sementara Bang Raju tersedak kopi. Nama keponakan Kang Endang memang antik."Boss, dicariin Mbak Raline." Bik Sari berlari-lari kecil menghampiri Axel. Nyonya mudanya kebingungan karena tidak menemukan bayinya."Nah, jagoan. Kita sudah dicariin. Kita ke mamamu dulu ya? Nanti Papa akan membawamu ke ruang bawah tanah. Banyak jalan-jalan rahasia yang harus kamu ingat nantinya." Axel mempercepat langka
Axel tak henti-hentinya mengagumi putranya yang baru saja pulang ke rumah. Setelah empat hari lamanya berada di rumah sakit, ini adalah hari pertama sang putra berada di rumah sendiri. Gemas, Axel mengelus jemari putranya. Menghitung jumlahnya yang sempurna dalam ukuran yang sangat mungil. "Bangun dong, jagoan. Masa tidur terus sih? Baru aja minum susu eh sekarang udah tidur lagi. Papa 'kan pengen main sama kamu." Axel menjawil pipi sang putra lembut. Putranya yang saat ini masih tertidur dalam boks bayi, hanya meresponnya dengan erangan khas bayi."Namanya juga bayi umur empat hari, Mas. Kerjaannya kalo nggak minum susu ya molor. Kata dokter anak bayi usia nol sampai satu bulan itu minimal tidur sekitar enam belas jam sehari." Raline yang baru keluar dari kamar mandi memberitahu Axel. "Begitu ya? Ya udah, Xander bobok aja kalau gitu. Papa mau mesra-mesraan dengan mama dulu ya?" Axel mengecup pipi Raline mesra, saat istrinya itu duduk di sudut ranjang."Mas, beneran nggak ilfeel nge
Raline ada di tempat tidur aneh dengan penutup kepala seperti dirinya. Tangan kirinya diinfus sementara hidungnya dipasang selang oksigen. Tubuh Raline ditutupi semacam kain berbahan parasut. Hal aneh yang Axel maksud adalah mengenai ranjang Raline. Ranjangnya memiliki dua penyangga. Di atas penyangga itulah kedua kaki Raline diletakkan. Sementara kedua tangan Raline diletakkan pada pegangan tangan di sisi kanan dan kiri ranjang. Posisi berbaring Raline juga aneh. Ia tidak berbaring dalam posisi tidur telentang. Melainkan setengah duduk dengan kedua kaki terbuka lebar. Axel sebenarnya tidak nyaman melihat posisi Raline seperti ini. Namun ia sadar mungkin inilah posisi orang yang akan melahirkan."Kalo lo mau menemani istri lo melahirkan, jangan banyak protes. Gue udah melakukan prosedur yang benar. Tolong lo jangan mendebat gue di saat yang tidak tepat." Dokter Saka lebih dulu memperingati Axel yang ekspresi wajahnya sudah menyiratkan ketidaksenangan. Axel menarik napas panjang dua k
"Dokter, Suster, tolong istri saya!" Axel berteriak keras setelah mobil yang dikendarai Pak Hamid berhenti di parkiran UGD rumah sakit. "Ini petugasnya pada ke mana sih? Masa rumah sakit sebesar ini nggak ada petugasnya? Brankar mana brankar?" Axel meneriaki petugas di ruang UGD."Sabar, Mas. Ini tengah ma--malam. Itu petugasnya juga sudah berlari ke dalam. Pasti mereka akan mengambil brankar. "Raline menenangkan Axel dari dalam mobil."Lama! Ayo, lo gue gendong aja, Istriku. Menunggu petugas membawa brankar, anak kita keburu lahir di dalam mobil," rutuk Axel kesal. Axel membuka pintu mobil. Mengambil ancang-ancang menggendong Raline. Axel tahu Raline pasti sedang kesakitan walau istrinya itu tidak bersuara. Wajah Raline sudah basah oleh keringat dan ia juga terus menggigit-gigit bibirnya. Pasti istrinya itu bersusah payah menahan suara erangan kesakitan agar dirinya tidak khawatir.Namun aksinya urung dilakukan karena petugas rumah sakit sudah menyiapkan brankar. Axel hanya menggend
"Pak Hamid... Pak Hamid... siapkan mobil sekarang!" Axel berteriak keras. Ia cemas melihat Raline yang kesakitan dengan keringat bermanik di dahinya. Padahal kamar diberi pendingin udara. Napas Raline juga pendek-pendek. Kentara sekali kalau Raline tengah kesakitan. "Ada ada, Boss? Oh, Mbak Raline mau ke rumah sakit ya? Saya akan meminta Mas Hamid bersiap-siap." Bik Sari yang melongok ke kamar, dan dengan cepat menarik kesimpulan. Ia segera ke paviliun, untuk membangunkan suaminya. Untung saja ia tadi mengecek stok bahan makanan di dapur, sehingga ia mendengar teriakan Axel. "Mas, tunggu sebentar. Ambil dulu tas gue di lemari." Raline menunjuk lemari tempat ia menyimpan tas serbagunanya. Ia telah menyiapkan tas besar untuk keperluannya di rumah sakit. Axel tidak jadi keluar kamar. Ia membuka lemari yang sebelumnya telah terbuka setengah dengan bahunya. "Peluk leher gue sebentar. Gue mau nyangklongin tas." Axel meraih tas tangan bling-bling kesayangan Raline. Ia kemudian menyandangn
Delapan bulan kemudian.Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Namun Raline masih belum bisa memejamkan mata. Ia terus membolak-balik tubuhnya di ranjang. Sedari sore tadi perutnya terasa tidak enak. Ia merasa mulas dan begah. Kandung kemihnya juga acapkali penuh. Makanya ia bolak-balik ke kamar mandi."Gue kebanyakan makan rujak kali ya?" Raline meringis. Tadi siang ia memang memakan rujak yang dikirim oleh Lily. Perutnya sekarang mengencang diikuti rasa sakit yang menusuk. "Apa gue mau melahirkan ya? Tapi 'kan belum jadwalnya? Kata si Saka sekitar lima hari lagi." Raline mengelus-elus perut buncitnya."Gue coba ke belakang aja deh. Siapa tahu gue cuma mules karena mau buang air." Bersusah payah, Raline beringsut dari ranjang. Hamil tua begini membuat gerakannya sangat terbatas. Raline menghabiskan waktu lima belas menit di toilet. Ia memang buang air. Tapi rasa mulas di perutnya tidak juga berkurang."Apa gue nelpon Mas Axel aja ya? Tapi dia 'kan lagi ada pertemuan dengan Bang
Raline terbangun karena merasa kedinginan. Saat ini ia tidak tahu ada di mana. Kepalanya pusing, dan perutnya mual. "Ini gue di mana sih?" Raline kebingungan. Matanya terbuka tapi ia tidak bisa fokus pada objek di depannya. Semua masih berupa bayang-bayang. "Dingin banget." Raline menggigil. "Aduh!" Raline meringis saat ia mencoba berbalik. Tangannya terasa nyeri dan seperti ada sesuatu yang menariknya. Raline mencoba memfokuskan pandangannya. Satu detik, dua detik, pandangannya mulai terang. Ia melihat tangannya di infus."Tangan gue kok diinfus?" Raline bingung. Setelah berpikir sejenak Raline sadar kalau dirinya saat ini berada di rumah sakit. Infus yang dipasang tangannya, ruangan yang serba putih, serta aroma antiseptik telah menjelaskan keberadaannya."Lho kaki gue ke mana? Kok kaki gue ilang?" Raline panik. Ia mencoba mengangkat kakinya, tapi tidak bisa. Ia tidak punya kekuatan untuk menggerakkannya. "Jangan panik, Raline. Tarik napas dalam-dalam dan mulai mengingat." Ralin
Axel berjalan hilir mudik di depan ruang operasi. Tidak seperti kedua mertuanya yang duduk tegang di ruang tunggu, Axel tidak bisa diam. Tatapannya terus terarah ke pintu ruang operasi. Ia tidak sabar menunggu pintu terbuka, agar ia bisa mengetahui keadaan istrinya."Duduk dan berdoa saja, Xel. Kamu membuah Ibu pusing dengan terus mondar-mandir begini." Bu Lidya menegur Axel. Tingkah Axel membuatnya bertambah khawatir. Putrinya yang sedang hamil, tertembak. Hati ibu mana yang tidak ketar-ketir karenanya?"Saya sedang cemas, Bu. Mana bisa saya duduk tenang." Axel berdecak."Kalau begitu berdoalah," usul Bu Lidya lagi. "Lihat ayahmumu. Dalam diamnya sesungguhnya ayahmu tidak henti-hentinya mendoakan Raline." Bu Lidya mengedikkan kepalanya ke samping. Ke arah Pak Adjie yang duduk dengan khusyu. Mulut Pak Adjie terus berkomat-kamit. Tiada henti-hentinya berdzikir untuk keselamatan sang putri."Saya segan, Bu. Tidak pantas rasanya kalau berdoa hanya pada saat saya menginginkan sesuatu saj
"Ya udah kalo lo nggak mau, nggak apa-apa. Gue cuma mau bilang. Kalo seseorang itu bukan jodoh lo, mau lo jungkir balik buat mengesankan dia, usaha lo nggak akan terlihat di matanya. Sebaliknya, lo diem-diem bae pun, kalo dia orang emang jodoh lo, dia akan tetap menjadi milik lo walau bagaimanapun caranya. Percayalah." Walaupun Cia menolak membantunya Raline tetap memberikan nasehat pada Cia. Ia melakukannya karena ia pernah berada dalam posisi Cia. Semua yang ia lakukan dulu sia-sia. Ia tidak mau Cia melakukan kebodohan yang sama."Kenapa lo ngomong begitu?""Karena gue dulu kayak lo. Gue melakukan apa aja bahkan sampai melanggar hukum demi mengesankan pasangan gue. Tapi endingnya keduanya nggak gue dapetin. Di saat gue udah pasrah dan nggak mau berekspektasi apapun lagi, gue malah mendapatkan seseorang yang jatuh cinta setengah mati sama gue. Padahal gue diam-diam bae, kagak ngapa-ngapain. Kalo gue udah ngomong begini lo masih belum ngerti juga, kayaknya bukan gue deh yang oneng, ta