Axel menatap Raline malas. "Ya tidak bagaimana-bagaimana. Kita harus masuk tentu saja. Satu hal yang harus lo ingat. Kalo gue tidak meminta lo bicara, jangan bersuara. Paham?"
"Oke. Sebelum gue bisu, gue kasih tahu lo satu hal. Nama aki-aki rentenir itu Pak Riswan. Lo jangan lupa lagi." Raline memperingatkan Axel.
"Katanya aja mafia? Masa mafia bisa lupa nama orang? Kagak pantes amat lo menyandang julukan seorang mafia," gerutu Raline.
"Eh mafia itu kerjanya membunuh orang. Bukan menghapal nama orang. Paham lo?" Axel panas karena terus diceng-cengi oleh Raline.
"Iya... iya... gue cuma mengeluarkan pendapat sebelum jadi orang bisu ntar di dalem. Gue turun dulu. Mau buka pager." Raline membuka pintu mobil. Ia bermaksud melebarkan pintu gerbang.
"Kagak usah!" bantah Axel.
"Lah, kagak usah jadi kita masuknya lewat mana? Terbang? Berubah jadi semut?" Raline lama-lama emosi juga karena semua kalimatnya dibantah oleh Axel.
"Kagak perlu lo yang turun maksud gue. Sejak lo setuju jadi istri gue, maka gue akan memperlakukan lo selayaknya seorang istri. Istri gue akan gue perlakukan kayak ratu, bukan babu."
Axel turun dari mobil dan melebarkan pintu gerbang.
Kalau menuruti kebiasaan, ia akan menerjang saja pintu gerbang ini dengan mobil hingga terbuka.
Namun, Axel sadar.
Saat ini, ia harus berperilaku baik. Bagaimanapun, jeleknya prilaku kedua orang tua Raline. Namun, keduanya tetap akan menjadi calon mertuanya.
Untuk itu, ia akan menghormati keduanya sebagai orang yang telah menyebabkan calon istrinya ada di dunia ini. Baginya adab pada orang yang lebih tua, adalah wajib.Sementara Raline yang masih berada di dalam mobil, menyusuti air mata yang tiba-tiba saja mengalir bagai air bah.
Seumur hidupnya, ia tidak pernah diperlakukan sehormat ini sebagai seorang perempuan.Dipuji cantik, sering.Namun, tujuan orang yang memujinya rata-rata busuk.Mereka merayunya karena ingin mendapatkan akses memiliki tubuhnya.Diperlakukan manis, sering juga. Tapi lagi-lagi ada pamrihnya. Ujung-ujungnya mereka ingin menidurinya.Sementara Axel berbeda.Axel memujinya tanpa bermaksud mencari keuntungan darinya.Axel dingin namun menghargainya.Hal ini yang tidak ia dapatkan dari laki-laki yang ada di sekelilingnya.
Kalau Aksa dan Heru, mereka berdua menyayanginya. Bukan mencintainya. Mereka menganggapnya adik dan bagian dari keluarga besar. Raline tidak bisa menyalahkan keduanya.
Tapi Axel ini? Lihatlah!Betapa gentlenya seorang mafia gahar ini membuka pintu pagar rumahnya. Menegaskan padanya bahwa istrinya akan ia hormati dan perlakukan selayaknya seorang ratu. Bukan babu.Bagaimana Raline tidak terharu? Inilah yang ia inginkan dari laki-laki yang akan menjadi imamnya. Menghormatinya dan syukur-syukur mencintainya.
"Ke mana saja kamu seharian ini hah?" Raline nyaris terjungkal kala ayahnya membentak kasar.Ia kaget. Untungnya, ia masih sempat meraih pegangan pintu. Akan sangat memalukan kalau ia terjerembab seperti katak lompat di depan semua orang.
Saat ini yang tampak dalam penglihatan Raline adalah ayah dan ibunya, Pak Riswan serta dua orang bodyguard si aki-aki yang biasa.Ayah dan ibunya duduk bersisian di sofa.Sementara Pak Riswan duduk di hadapan kedua orang tuanya.Kedua bodyguard Pak Riswan masing-masing berdiri di belakang sofa dalam posisi siaga. Sepertinya Pak Riswan tengah mengintimidasi kedua orang tuanya.
Raline tidak langsung menjawab pertanyaan ayahnya. Melainkan ia menatap Pak Riswan dengan pandangan penuh kebencian.
Ketika tatapan Raline bersirobok dengan Pak Riswan di udara, si tua bangka itu mengedipkan sebelah matanya mesum. Raline memelototi Pak Riswan.Dulu, ia memang takut pada Pak Riswan. Makanya, Raline tidak pernah menatap mata Pak Riswan secara langsung.
Tapi, kali ini beda! Sudah ada Axel yang berdiri di sampingnya. Bersama Axel, Raline tidak takut terhadap apapun lagi.
"Raline mencari uang, Yah. Ayah jangan marah-marah terus. Duduk dulu, Yah. Nanti darah tinggi Ayah naik lagi. Kita sedang tidak punya uang ke rumah sakit bukan?"
Setelah memberi tatapan peringatan kepada Pak Riswan, Raline bergegas menghampiri ayahnya.
Ayahnya berdiri sembari memegangi dada.
Raline takut kalau ayahnya kolaps lagi. Dalam sebulan ini, sudah dua kali ayahnya kolaps karena tensinya melonjak. Ia sampai harus menjual tas branded terakhirnya demi membawa ayahnya ke dokter.
"Mencari uang katamu? Lantas mana uangnya?" Pak Adjie menepis tangan Raline. Selain marah, sesungguhnya ia juga cemas.
Seharian putrinya ini tidak pulang-pulang.
Ponselnya juga tidak aktif.
Bagaimanapun, Raline itu putrinya. Ia takut kalau putrinya yang naif ini mendapat masalah di luar sana.
Belum lagi, Pak Riswan yang mengamuk karena mengira dirinya bersekongkol dengan Raline untuk mengelakkan perjodohan.
Dan kini pulang-pulang putrinya malah membawa seorang laki-laki bule?Ia sangat antipati pada bule. Karena di masa lalu, putrinya ini sudah pernah ditipu oleh seorang bule. Bagaimana ia tidak makin jengkel karenanya?
"Bule ini siapa?" Pak Adjie menunjuk Axel.
"Ini Mas Axel, Yah. Sebagai informasi Mas Axel bukan bule original. Tapi bule KW. Kata Lily, almarhum papanya saja yang orang Prancis. Kalau mamanya mah asli Ciamis." Raline mengedit tuduhan ayahnya.
"Mau original, mau KW, tetap saja judulnya bule. Apa kamu tidak kapok pernah ditipu bule?" sembur Pak Adjie gusar. Putrinya ini memang susah diajak berbicara serius. Kekurangancerdasannya lah yang kerap membuat putrinya ini mudah dipengaruhi dan ditipu.
"Tapi sepertinya Ayah pernah melihat wajah orang ini. Tapi, entah di mana, ya?" Pak Adjie mengerutkan kening.
Ia mencoba mengingat-ingat di mana ia melihat wajah bule dingin ini. Tatapan mata sang bule begitu mengintimidasi. Ada aura sangar yang menguar dari raut wajahnya.
Pak Adjie mengalihkan tatapan. Ia ngeri memandang sang bule. Tatapan mata bule ini jelas menyiratkan ancaman tanpa kata-kata. Siapa dia?
Beda lagi dengan Pak Riswan. Nyalinya langsung ciut ketika mendengar Raline menyebut nama Axel.
Ternyata, dugaannya benar.
Bule gahar ini adalah anak almarhun Pierre Delacroix Adams. Kakak angkat almarhum Texas Delacroix Bimantara, sahabat lamanya.Walau semua orang mengenal Axel sebagai anak kandung Pierre, sesungguhnya Axel adalah anak kandung Texas.Aimee, ibu Axel, sebelumnya adalah pacar Texas sebelum menikah dengan Pierre. Rahasia ini hanya segelintir orang yang tahu. Sebelum Texas tewas tertembak karena mencoba menyerang Lily, sahabatnya itu sempat memberitahu rahasianya.
Sebenarnya, Pak Riswan telah mempunyai prasangka, kala menatap wajah dingin si bule. Garis wajahnya bagai pinang dibelah dua dengan Texas. Namun, ia masih berharap semoga dugaannya salah.
Tapi ketika Raline menyebut nama Axel dan Lily, Pak Riswan seketika loyo.
Nama anak-anak Pierre memang Axel dan Lily. Dulu, ia pernah beberapa kali bertemu dengan anak-anak Pierre, kala ia menemani Texas mengunjungi kakak angkatnya.Saat itu, Pierre belum tewas. Texas menembak kakak angkatnya sendiri karena cemburu. Waktu berlalu begitu cepat. Axel sekarang sudah sedewasa ini.Nama Delacroix Adams sendiri adalah nama yang paling menakutkan dalam dunia hitam. Tiga generasi Delacroix Adams, terkenal bengis kalau diusik. Dimulai dari Javier, Pierre dan kini Axel.Sepertinya, niatnya memperdaya Pak Adjie agar bisa memperistri Raline, tidak akan terwujud.Putra Texas ini sudah menandai daerah teritorinya. Bersahabat dengan Texas, membuat Pak Riswan khatam dengan karakter sahabatnya itu.Texas itu kalau sudah punya mau, semua rintangan akan ia terjang. Darah Texas dan Axel sama. Keduanya pasti memiliki karakter yang kurang lebih sama juga.
"Nanyanya satu-satu dong, Yah. Raline bingung kalau pertanyaan Ayah keroyokan begini. Yang mana dulu yang harus Raline jawab? Oh, sepertinya masalah uang saja dulu yang Raline jelaskan. Ayah 'kan suka sekali dengan uang."
Raline menjentikkan jari dengan gembira. Ia bangga atas ide cemerlang yang tiba-tiba saja singgah di benaknya. Ayahnya pasti tidak jadi marah kalau dirinya membahas masalah uang.
"Ayah tadi tanya mana uang yang Raline cari bukan? Nah, ini uangnya." Raline menepuk-nepuk saku celana Axel dengan senyum lebar.
"Lo biasa naroh uang di saku yang mana? Saku celana atau saku jas?" bisik Raline lirih.
"Di saku jas." Axel balas berbisik lirih. Ia memang selalu membawa cek di saku jasnya untuk pembayaran dalam jumlah besar. Di saku celana, ia mengisi dompet dengan uang cash beberapa lembar dan beberapa kartu sekedarnya saja.
"Oke, gue ngerti." Raline mengangguk takzim. Kalimatnya salah. Untuk itu ia akan mengulanginya lagi.
"Di sini uangnya, Yah. Raline salah tunjuk." Raline menepuk-nepuk saku jas Axel dengan bangga.
"Apa maksudmu, Line?" Pak Adjie meremas rambut frustasi. Putrinya ini sedang kambuh onengnya. Lain yang ia tanya, lain juga yang ia jawab.
"Maksud Raline, Mas Axel ini membawa uang dua--"
"Biar saya saja yang akan menjelaskan semuanya." Axel mendekat dan dengan cepat memotong kata-kata Raline. Ia juga mengganti kata gue dengan saya. Bagaimanapun tidak respeknya dirinya pada orang tua Raline, tetap saja mereka berdua akan menjadi mertuanya. Adab harus ia utamakan.
"Saya Axel Delacroix Adams. Saya akan membayar hutang Anda pada orang ini sebesar dua milyar, beserta bonus bunga dari saya; calon menantu Anda." Axel menunjuk Pak Riswan saat mengucapkan kata orang ini.
"Hah, bayar hutang? Calon menantu?"
"Hah, bayar hutang? Calon menantu?" Diberi kejutan bertubi-tubi, membuat Pak Adjie kebingungan. "Ah saya ingat sekarang. Kamu ini adalah Axel Delacroix Adams. Kakak Lily, istri Heru. Kamu ini seorang mafia!" Bu Lidya bangkit dari sofa. Sekarang, ia ingat di mana ia pernah melihat bule gahar ini. Di pernikahan Heru dan Lily! "Betul. Bawa kedua orang tuamu ke dalam Alka--" Axel mendecakkan lidah. Ia lupa lagi nama perempuan ini. "Raline. Nama gue Raline. Inget baik-baik. Jangan lupa lagi. Bagaimana ortu gue percaya kalo lo serius pengen nikahin gue, kalo nama gue aja lo lupa?" bisik Raline di sisi telinga Axel. "Oke. Ra--line." Axel balas berbisik. "Pinter. Oh ya, jangan lupa. Nanti pas lo ngelamar, bilang kalo lo itu kaya. Ortu gue suka khilaf kalau membahas soal harta. Oke kakaknya Lily?" Raline mambalas Axel iseng. Ia mendadak ceria karena telah lepas dari cengkraman Pak Riswan. "Axel. Nama gue Axel. Tapi nanti setelah kita nikah, lo bisa manggil gue Mas Axel." Axel mengulti
"Ah lo ngagetin aja kayak jaelangkung. Urusan lo dengan ortu gue udah kelar, belum?" Demi menutupi rasa malu, Raline pura-pura acuh. Axel terlihat mengangguk singkat."Cakep. Lo ngomong apa sih sama mereka?" Raline penasaran. Mengapa cepat sekali Axel meluluhkan hati kedua orang tuanya? Jangan-jangan Axel menodongkan senjata pada keduanya? Dia kan mafia ...."Seperti yang lo pesan. Gue bilang kalo gue kaya."****Raline kini mendorong pintu kaca kantor dengan lesu. Dikepitnya map coklat yang berisi dokumen-dokumen lamaran kerjanya di bawah lengan. Ia kemudian berjalan gontai keluar kantor. Untuk ke sekian kali lamaran kerjanya kembali ditolak. Di depan pintu kaca kantor yang baru saja ia tinggalkan, Raline memandang kantor salah seorang kolega ayahnya miris. Tidak ada yang bersedia menolongnya saat keluarganya tengah terpuruk begini. Beginilah sifat dasar manusia. Didekati ketika berjaya, dan dijauhi ketika tertimpa musibah.Raline memandang nanar map coklatnya yang kini tampak le
"Tidak!" jawab Raline cepat sambil mengangguk takzim. "Tidak, tapi kok ngangguk?" sang remaja menjinjitkan alis.Raline menggigit bibit. Dirinya memang cenderung kesulitan jikalau harus berbohong. Istimewa keadaannya sedang lapar begini. Kalau orang sedang lapar, otak cenderung tidak bisa diajak berpikir bukan?"Sesungguhnya Kakak memang lapar. Tapi--" Raline menghentikan kalimatnya. Tidak! Dirinya tidak boleh mengeluh. Bukankah dirinya semalam begitu jumawa mengaku akan berjuang? Masa baru cobaan seiprit begini dirinya sudah menyerah? Tidak bisa!"Tapi...?" Sang remaja putra menanti jawaban. Kedua matanya yang digambari dengan cat hitam tebal menatap dengan penasaran."Tapi Kakak belum punya uang untuk membeli makanan. Uang Kakak hanya cukup untuk ongkos mencari pekerjaan." Raline memutuskan untuk jujur saja. Otaknya tidak sampai, kalau harus berbohong yang panjang-panjang. Dirinya sedang malas berpikir. Yang penting dia 'kan tidak minta-minta. "Oh, Kakak tidak punya uang? Masa s
"Kamu sebenarnya bekerja di kantor mana sih, Line? Masa pagi sekali masuk kerjanya?" Bu Lidya heran melihat putrinya akan bekerja pada pukul enam pagi."Kantor sejuta umat, Bu," ucap Raline sambil lalu. Ia sibuk mengecek peralatan tempurnya di dalam tas. Spon rias, kuas cat, cotton bud, bedak bubuk teater, bubuk dasar putih, pembubuh bedak, dan krim warna riasan. Semuanya sudah ada. Komplit."Kantor sejuta umat? Kok Ibu baru dengar ada nama kantor yang seperti itu?" Di mana alamat kantormu itu, Line?" Bu Lidya makin heran."Kantor Raline itu ada di mana pun, Bu." Raline menutup resleting tas besarnya. Semua peralatan tempur pemberian Bang Ali telah masuk ke dalam tas. Bang Ali memintanya datang pagi-pagi agar bisa melihat para badut merias wajah. Menurut Bang Ali, modal utama menjadi seorang badut adalah make up badut. Selanjutnya tinggal mental yang kuat dan berani malu.Kantornya ada di jalanan, karena ia akan bekerja menjadi badut. Oleh karenanya tidak salah kalau ia menyebut kant
"Gue nggak terlambat kan, Bang?" Raline masuk ke salam rumah Bang Ali dengan napas tersengal-sengal. Angkot yang ia naiki tadi mengalami pecah ban. Ia harus berganti Angkot dua kali sebelum sampai di rumah Bang Ali. Karena tidak pernah naik Angkot, ia dua kali salah jurusan. Makanya ia terlambat. Para badut ternyata telah selesai merias diri. "Lo punya mata nggak? Kalo punya, lo pasti tahu jawabannya." Ketusnya suara Bang Ali membuat Raline kicep. "Ya kan gue cuma nanya, Bang. Jawab aja, iya lo terlambat. 'Kan nggak susah, Bang. Daripada Abang nyolot pagi-pagi. Ntar si rezeki jadi kabur karena ngeliat Abang marah-marah melulu." Raline berupaya mendinginkan suasana. Ketika tatapan Raline singgah pada anak remaja yang minta dipanggil badut sedih, Raline mengedipkan sebelah matanya. Si remaja meringis melihat tingkah selownya. "Nyaut aja mulut lo." Bang Ali memelototi Raline. Kalau saja ia kemarin bukan si badut sedih yang membuat perempuan yang menurut si badut sedih dulunya kaya i
Suara pintu mobil yang dibuka dan ditutup dengan cepat, membuat nyali Raline ciut. Entah mengapa caranya bertemu Axel acapkali melalui insiden nyaris tertabrak. Raline khawatir. Saat pertemuan mereka ketiga kalinya nanti, jangan-jangan dirinya akan tertabrak sungguhan. "Hei, Badut. Lo itu mau menghibur orang atau mau bunuh diri hah?" Axel mengamuk. Ia nyaris saja menabrak badut berambut gimbal yang tiba-tiba saja menerjang mobilnya yang tengah melaju kencang.Raline berdiri mematung kala Axel mengutukinya. Ia tidak berani bersuara. Karena Axel pasti akan mengenali suaranya ketika ia membuka mulut. Saat ini saja sebenarnya ia sudah ketakutan kalau Axel akan mengenalinya. Walaupun saat ini wajahnya telah digambar menjadi seorang badut, tapi tetap saja Raline khawatir. Siapa tahu Axel masih bisa mengenalinya. Supaya aman, Raline memilih untuk terus diam dan menundukkan wajahnya dalam-dalam."Maaf ya, Om. Kakak badut ini baru saja belajar menjadi badut. Jadi belum terbiasa main di jalana
"Kak, dengar. Zaman sekarang ini cari uang yang haram aja susah, apalagi yang halal. Saya ingatkan ya, Kak. Uang ini akan sangat bermanfaat untuk Kakak. Kakak pikir baju badut ini gratis? Nggak kan, Kak. Kakak harus menyetor uang sewa baju pada Bang Ali setelah kita bekerja. Belum lagi biaya makan dan minum. Lantas dana cadangan untuk ke dokter atau membeli obat kalau Kakak tepar karena kepanasan di jalanan. Kebutuhan Kakak itu masih buanyakkk. Kakak juga harus membawa uang pulang untuk orang tua Kakak bukan?" Randy membeberkan kenyataan hidup di depan mata Raline."Kak, menjadi badut itu tidak selalu untung. Kadang bisa buntung kalau seharian hujan deras. Kalau sudah begitu jangankan uangnya bisa dibawa pulang, bisa membeli makanan dan membayar sewa kostum aja sudah syukur alhamdullilah. Benar tidak, Kak?""Iya juga ya, Ran." Raline mengangguk lesu."Makanya uang tadi saya terima atas nama Kakak. Sekarang simpan uangnya baik-baik. Tuh, di depan banyak anak-anak. Kakak ke sana aja. Si
Raline berdiri di ujung jalan, dengan mata terus memindai lampu lalu lintas. Ketika lampu berubah warna dari kuning ke merah, ia segera menghampiri mobil-mobil yang berhenti. Saatnya beraksi menghibur para pengguna jalan. "Badut lucu, sini!" Seorang gadis cilik melambaikan tangan di depan jendela mobil yang terbuka. Raline bergegas mendekati sang gadis cilik. Rezeki tidak akan ke mana."Hallo, Cantik. Kita menari bersama ya?" Raline tersenyum dan mulai meliuk-liukkan tubuhnya. Sang gadis tertawa dan ikut berjoget ria.Raline sontak menghentikan aksinya menari, kala sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti sisi kanannya. Ia sangat mengenal mobil mewah itu. Dulu dirinya adalah penumpang tetap di sana. Ya, mobil itu adalah milik Heru. Mantan pacarnya yang kini menjadi suami Lily. Dari kaca mobil, Raline memindai Lily duduk di tempatnya dulu. Lily menggelendoti lengan Heru yang tengah memegang kemudi. Heru mengecup mesra pipi Lily, sebelum kembali fokus menatap ke depan. Sepasang suami
"Heh, Cecev Saklitinov. Ponakan lo bapaknya orang Rusia ya?" Axel bersiul. Hebat juga adik Kang Endang ini bisa mendapatkan suami orang Rusia. Karena sepengetahuannya keluarga Kang Endang itu suku Sunda. "Bukan, Boss. Adik ipar saya teh namanya Mulyono, orang Jawa. Mana ada orang Rusia panggilannya si Mul?" Kang Endang meringis."Lah, itu namanya kenapa Cecev Saklitinov? Cecev-nya huruf V lagi, bukan P," tukas Axel lagi."Itu mah cuma singkatan, Boss. Saklitinov itu teh singkatan dari Sabtu kliwon tiga November kata bapaknya." Kang Endang nyengir."Astaga." Axel menggeleng-gelengkan kepala sementara Bang Raju tersedak kopi. Nama keponakan Kang Endang memang antik."Boss, dicariin Mbak Raline." Bik Sari berlari-lari kecil menghampiri Axel. Nyonya mudanya kebingungan karena tidak menemukan bayinya."Nah, jagoan. Kita sudah dicariin. Kita ke mamamu dulu ya? Nanti Papa akan membawamu ke ruang bawah tanah. Banyak jalan-jalan rahasia yang harus kamu ingat nantinya." Axel mempercepat langka
Axel tak henti-hentinya mengagumi putranya yang baru saja pulang ke rumah. Setelah empat hari lamanya berada di rumah sakit, ini adalah hari pertama sang putra berada di rumah sendiri. Gemas, Axel mengelus jemari putranya. Menghitung jumlahnya yang sempurna dalam ukuran yang sangat mungil. "Bangun dong, jagoan. Masa tidur terus sih? Baru aja minum susu eh sekarang udah tidur lagi. Papa 'kan pengen main sama kamu." Axel menjawil pipi sang putra lembut. Putranya yang saat ini masih tertidur dalam boks bayi, hanya meresponnya dengan erangan khas bayi."Namanya juga bayi umur empat hari, Mas. Kerjaannya kalo nggak minum susu ya molor. Kata dokter anak bayi usia nol sampai satu bulan itu minimal tidur sekitar enam belas jam sehari." Raline yang baru keluar dari kamar mandi memberitahu Axel. "Begitu ya? Ya udah, Xander bobok aja kalau gitu. Papa mau mesra-mesraan dengan mama dulu ya?" Axel mengecup pipi Raline mesra, saat istrinya itu duduk di sudut ranjang."Mas, beneran nggak ilfeel nge
Raline ada di tempat tidur aneh dengan penutup kepala seperti dirinya. Tangan kirinya diinfus sementara hidungnya dipasang selang oksigen. Tubuh Raline ditutupi semacam kain berbahan parasut. Hal aneh yang Axel maksud adalah mengenai ranjang Raline. Ranjangnya memiliki dua penyangga. Di atas penyangga itulah kedua kaki Raline diletakkan. Sementara kedua tangan Raline diletakkan pada pegangan tangan di sisi kanan dan kiri ranjang. Posisi berbaring Raline juga aneh. Ia tidak berbaring dalam posisi tidur telentang. Melainkan setengah duduk dengan kedua kaki terbuka lebar. Axel sebenarnya tidak nyaman melihat posisi Raline seperti ini. Namun ia sadar mungkin inilah posisi orang yang akan melahirkan."Kalo lo mau menemani istri lo melahirkan, jangan banyak protes. Gue udah melakukan prosedur yang benar. Tolong lo jangan mendebat gue di saat yang tidak tepat." Dokter Saka lebih dulu memperingati Axel yang ekspresi wajahnya sudah menyiratkan ketidaksenangan. Axel menarik napas panjang dua k
"Dokter, Suster, tolong istri saya!" Axel berteriak keras setelah mobil yang dikendarai Pak Hamid berhenti di parkiran UGD rumah sakit. "Ini petugasnya pada ke mana sih? Masa rumah sakit sebesar ini nggak ada petugasnya? Brankar mana brankar?" Axel meneriaki petugas di ruang UGD."Sabar, Mas. Ini tengah ma--malam. Itu petugasnya juga sudah berlari ke dalam. Pasti mereka akan mengambil brankar. "Raline menenangkan Axel dari dalam mobil."Lama! Ayo, lo gue gendong aja, Istriku. Menunggu petugas membawa brankar, anak kita keburu lahir di dalam mobil," rutuk Axel kesal. Axel membuka pintu mobil. Mengambil ancang-ancang menggendong Raline. Axel tahu Raline pasti sedang kesakitan walau istrinya itu tidak bersuara. Wajah Raline sudah basah oleh keringat dan ia juga terus menggigit-gigit bibirnya. Pasti istrinya itu bersusah payah menahan suara erangan kesakitan agar dirinya tidak khawatir.Namun aksinya urung dilakukan karena petugas rumah sakit sudah menyiapkan brankar. Axel hanya menggend
"Pak Hamid... Pak Hamid... siapkan mobil sekarang!" Axel berteriak keras. Ia cemas melihat Raline yang kesakitan dengan keringat bermanik di dahinya. Padahal kamar diberi pendingin udara. Napas Raline juga pendek-pendek. Kentara sekali kalau Raline tengah kesakitan. "Ada ada, Boss? Oh, Mbak Raline mau ke rumah sakit ya? Saya akan meminta Mas Hamid bersiap-siap." Bik Sari yang melongok ke kamar, dan dengan cepat menarik kesimpulan. Ia segera ke paviliun, untuk membangunkan suaminya. Untung saja ia tadi mengecek stok bahan makanan di dapur, sehingga ia mendengar teriakan Axel. "Mas, tunggu sebentar. Ambil dulu tas gue di lemari." Raline menunjuk lemari tempat ia menyimpan tas serbagunanya. Ia telah menyiapkan tas besar untuk keperluannya di rumah sakit. Axel tidak jadi keluar kamar. Ia membuka lemari yang sebelumnya telah terbuka setengah dengan bahunya. "Peluk leher gue sebentar. Gue mau nyangklongin tas." Axel meraih tas tangan bling-bling kesayangan Raline. Ia kemudian menyandangn
Delapan bulan kemudian.Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Namun Raline masih belum bisa memejamkan mata. Ia terus membolak-balik tubuhnya di ranjang. Sedari sore tadi perutnya terasa tidak enak. Ia merasa mulas dan begah. Kandung kemihnya juga acapkali penuh. Makanya ia bolak-balik ke kamar mandi."Gue kebanyakan makan rujak kali ya?" Raline meringis. Tadi siang ia memang memakan rujak yang dikirim oleh Lily. Perutnya sekarang mengencang diikuti rasa sakit yang menusuk. "Apa gue mau melahirkan ya? Tapi 'kan belum jadwalnya? Kata si Saka sekitar lima hari lagi." Raline mengelus-elus perut buncitnya."Gue coba ke belakang aja deh. Siapa tahu gue cuma mules karena mau buang air." Bersusah payah, Raline beringsut dari ranjang. Hamil tua begini membuat gerakannya sangat terbatas. Raline menghabiskan waktu lima belas menit di toilet. Ia memang buang air. Tapi rasa mulas di perutnya tidak juga berkurang."Apa gue nelpon Mas Axel aja ya? Tapi dia 'kan lagi ada pertemuan dengan Bang
Raline terbangun karena merasa kedinginan. Saat ini ia tidak tahu ada di mana. Kepalanya pusing, dan perutnya mual. "Ini gue di mana sih?" Raline kebingungan. Matanya terbuka tapi ia tidak bisa fokus pada objek di depannya. Semua masih berupa bayang-bayang. "Dingin banget." Raline menggigil. "Aduh!" Raline meringis saat ia mencoba berbalik. Tangannya terasa nyeri dan seperti ada sesuatu yang menariknya. Raline mencoba memfokuskan pandangannya. Satu detik, dua detik, pandangannya mulai terang. Ia melihat tangannya di infus."Tangan gue kok diinfus?" Raline bingung. Setelah berpikir sejenak Raline sadar kalau dirinya saat ini berada di rumah sakit. Infus yang dipasang tangannya, ruangan yang serba putih, serta aroma antiseptik telah menjelaskan keberadaannya."Lho kaki gue ke mana? Kok kaki gue ilang?" Raline panik. Ia mencoba mengangkat kakinya, tapi tidak bisa. Ia tidak punya kekuatan untuk menggerakkannya. "Jangan panik, Raline. Tarik napas dalam-dalam dan mulai mengingat." Ralin
Axel berjalan hilir mudik di depan ruang operasi. Tidak seperti kedua mertuanya yang duduk tegang di ruang tunggu, Axel tidak bisa diam. Tatapannya terus terarah ke pintu ruang operasi. Ia tidak sabar menunggu pintu terbuka, agar ia bisa mengetahui keadaan istrinya."Duduk dan berdoa saja, Xel. Kamu membuah Ibu pusing dengan terus mondar-mandir begini." Bu Lidya menegur Axel. Tingkah Axel membuatnya bertambah khawatir. Putrinya yang sedang hamil, tertembak. Hati ibu mana yang tidak ketar-ketir karenanya?"Saya sedang cemas, Bu. Mana bisa saya duduk tenang." Axel berdecak."Kalau begitu berdoalah," usul Bu Lidya lagi. "Lihat ayahmumu. Dalam diamnya sesungguhnya ayahmu tidak henti-hentinya mendoakan Raline." Bu Lidya mengedikkan kepalanya ke samping. Ke arah Pak Adjie yang duduk dengan khusyu. Mulut Pak Adjie terus berkomat-kamit. Tiada henti-hentinya berdzikir untuk keselamatan sang putri."Saya segan, Bu. Tidak pantas rasanya kalau berdoa hanya pada saat saya menginginkan sesuatu saj
"Ya udah kalo lo nggak mau, nggak apa-apa. Gue cuma mau bilang. Kalo seseorang itu bukan jodoh lo, mau lo jungkir balik buat mengesankan dia, usaha lo nggak akan terlihat di matanya. Sebaliknya, lo diem-diem bae pun, kalo dia orang emang jodoh lo, dia akan tetap menjadi milik lo walau bagaimanapun caranya. Percayalah." Walaupun Cia menolak membantunya Raline tetap memberikan nasehat pada Cia. Ia melakukannya karena ia pernah berada dalam posisi Cia. Semua yang ia lakukan dulu sia-sia. Ia tidak mau Cia melakukan kebodohan yang sama."Kenapa lo ngomong begitu?""Karena gue dulu kayak lo. Gue melakukan apa aja bahkan sampai melanggar hukum demi mengesankan pasangan gue. Tapi endingnya keduanya nggak gue dapetin. Di saat gue udah pasrah dan nggak mau berekspektasi apapun lagi, gue malah mendapatkan seseorang yang jatuh cinta setengah mati sama gue. Padahal gue diam-diam bae, kagak ngapa-ngapain. Kalo gue udah ngomong begini lo masih belum ngerti juga, kayaknya bukan gue deh yang oneng, ta