"Bu, jangan memaksa Raline menikah dengan--Bu... Ibu!"
Namun, Raline panik karena ibunya menutup ponsel begitu saja.
Raline ketakutan.
Tidak! Ia tidak mau menikahi bandot tua mesum seperti Pak Riswan. Ia tidak sudi menjadi tumbal atas ambisi kedua orang tuanya. Dulu, ia selalu mengikuti keinginan kedua orang tuanya yang begitu berambisi ingin menjadi orang kaya.
Sedari remaja ia sudah didoktrin harus menuruti keinginan kedua orang tuanya karena dirinya adalah anak satu-satunya.
Oleh karena itu ia berpikir, pada dirinyalah kedua orang tuanya memupuk harapan. Dirinya terus didikte harus melakukan ini dan itu yang sebenarnya bertentangan dengan hati nuraninya. Tapi tetap ia lakukan, demi baktinya kepada kedua orang tua.
Ia juga pernah terjerumus menjalin hubungan dengan dosennya sendiri sewaktu kuliah di luar negeri. Dirinya kala itu masih sangat muda. Ia begitu haus akan cinta dan kasih sayang. Aksa tidak pernah memperlakukannya sebagai kekasih. Ia sangat kesepian.
Makanya kala sang dosen mendekatinya dan menawarkan telinga untuk menampung segala keluh kesahnya, ia mengira kalau itulah cinta.
Bahu kekar sang dosen yang selalu siap sedia dijadikan tempatnya menyandarkan luka, ia kira tulus karena wujud dari cintanya.
Ternyata ia salah! Sang dosen hanya memanfaatkan keluguannya. Mencari keuntungan atas dirinya yang terlunta-lunta kala mencari cinta sejati. Hingga akhirnya ia hamil dan keguguran ketika ia tahu bahwa sebenarnya sang dosen menipunya. Lebih jauh lagi, sang dosen ternyata telah berkeluarga.
Raline trauma.
Ia kini ngeri jika berhadapan dengan kaum pria. Mereka rata-rata hanya ingin mengambil kesempatan di kala ia lengah.
Dengan Heru dan Aksa yang baik-baik pun, dia melakukannya karena paksaan orang tuanya.Dan sekarang, kedua orang tuanya ingin menikahkannya dengan laki-laki yang jelas-jelas adalah seorang bajingan? Tidak, ia tidak mau!
Trauma dan ketakutan membuat Raline berlari tak tentu arah di tengah hujan yang mulai turun. Raline takut kalau kedua orang tuanya akan menemukannya di minimarket ini. Ia harus pergi. Ya, pokoknya ia harus pergi sejauh mungkin!
Ckitttt!
"Huaaaa!"
Raline kaget kala sebuah mobil menghentikan kendaraannya secara mendadak. Nyaris saja! Raline mengelus dada. Ia nyaris tertabrak oleh mobil yang melaju, karena tidak memperhatikan jalan. Dirinya yang salah.
"Kalo lo mau bunuh diri jangan di jalanan, brengsek! Nanti lo-nya nggak mati, malah gue yang masuk penjara. Ngerti lo?!"
Suara pintu mobil yang dibuka dan dibanting kembali, membuat Raline sadar. Bahwa ia bisa saja mencelakakan orang.
"Mmm--ma--maaf!" Dengan bibir bergetar karena takut dan kedinginan, Raline meminta maaf.
"Tunggu! Elo?"
Raline kaget saat menyadari siapa yang nyaris menabraknya ini. Axel Delacroix Adams. Pria seram tattoan pemarah yang juga kakak Lily.
Sial sekali ia berjumpa denga mafia galak ini. Mana dirinya sedang tidak fit untuk bertengkar lagi."Lo ngapain lelarian kagak ada juntrungannya di jalan hah? Mau mati? Sana, terjun dari atas jembatan! Itu lebih cepet matinya. Sekalian mayatnya juga akan susah diidentifikasi saat diautopsi!" Hardikan Axel menghadirkan ide segar di kepala Raline.
"Oh iya, ya. Kenapa gue kagak kepikiran?" Raline berbicara pada dirinya sendiri.
Axel benar. Daripada ia hidup namun serasa mati. Lebih baik ia benar-benar mati saja. Dengan begitu semua masalahnya selesai dalam satu langkah.
Briliant!
Tanpa banyak bicara, Raline berjalan ke arah jembatan.
Raline berpikir kalau ia meloncat dari jembatan, matinya juga akan lebih cepat. Flyover itu cukup tinggi. Jadi, ia juga tidak perlu lama-lama menahan sakit. Sakaratul mautnya pasti instan.Baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba Raline merasa seseorang menyeret tangannya kasar.
Axellah yang melakukannya. Axel menyeretnya menuju mobil. membuka pintu mobil dan memaksanya masuk.
"Lo sebenarnya mau ke mana malem-malem? Hujan-hujan lagi?!" Axel membentaknya lagi.
"Mau nyari uang dua milyar," ungkap Raline terus terang. Ia memang membutuhkan uang dua miliar untuk membebaskan ayahnya dari Pak Riswan.
"What the fuc*?! Eh Raline, zaman sekarang mau nyari uang gopekan logam di jalan aja susah. Ini lo malah mau nyari dua milyar? Gue rasa otak lo itu emang ketuker sama otak ayam kali ya? Makanya bloonnya all out. Buat apa itu uang dua milyar?"
"Ayah gue berhutang dua milyar pada rentenir. Sekarang, rentenirnya lagi nagih ke rumah. Karena ayah gue nggak punya uang, Pak Riswan mau jadiin gue istri yang entah ke berapa, buat nebus utang. Kalau gue nggak mau, gue harus nyari uang dua milyar buat bayar itu utang. Kalo nggak, ayah gue akan dimasukkan ke penjara." Sekalian saja Raline menceritakan semuanya.
Entah mengapa, perasaannya sedikit lebih lega setelah membagi masalahnya pada Axel.
"Ayo kita ke rumah lo. Gue yang akan nebus utang lo biar lo nggak jadi pelakor musiman lagi. Tapi ada syaratnya, lo harus jadi bini gue. Bagaimana, deal?"
Raline mendengkus kesal. Axel selalu mengejeknya sebagai seorang Pelakor, karena ia selalu mengusik rumah tangga adiknya. Dan herannya, Axel sekarang malah melamarnya. Orang terlalu pintar rupanya bisa gila.
"Tapi gue kan nggak cinta sama lo?" Raline memberi jawaban yang sebenarnya. Akan jadi apa dirinya bersuamikan seorang mafia?
"Gue juga nggak. Mungkin belum. Gini, bagaimana kalau mulai sekarang kita belajar mengubah mindset? Lo tunangan delapan tahun dengan Aksa, eh lo ditinggal kawin. Cinta setengah sarap sama Heru, juga ditinggal kawin. Gue juga begitu. Cinta setengah gila sama orang, juga ditinggal kawin. Kita berdua adalah orang-orang yang tidak beruntung dalam dunia percintaan."
Raline merenung.
Benar juga! Ia tidak pernah beruntung dalam masalah asmara.
"Jadi, mungkin kita berdua harus mencoba opsi lain. Jika kita berdua tidak bisa menikahi orang yang kita cintai, bagaimana kalau kita belajar mencintai orang yang kita nikahi?"
"Berani mencoba?" ucap pria itu lagi.
Alasan Axel membuat Raline berpikir keras.Ia memutar-mutar rambut ikalnya. Keningnya berkerut karena mencoba memikirkan untung ruginya menikah dengan Axel.
"Belajar mencintai orang yang kita nikahi? Itu artinya gue harus belajar mencintai mahkluk penuh tatoo seperti lo, ya?" guman Raline pelan. Ia kemudian meneliti Axel yang duduk di depannya.
"Ok. Not bad lah. Walaupun tatooan, tapi lo ganteng maksimal. Mana banyak duit lagi. Kalo lo mati, 'kan gue bisa jadi janda kaya. Oke, deal. Gue setuju nikah sama lo." Raline mengangguk-anggukkan kepalanya. Puas oleh pemikirannya sendiri.
"Mengenai lo bakal jadi janda kaya kalo gue mati, harap lo hapus pikiran itu. Karena gue belum ada rencana mati akhir-akhir ini." Axel menjawab santai, seraya menghidupkan mesin mobil.
"Oke, gampang mah itu." Hapus!" Dan Raline pun membuat gerakan seperti menghapus papan whiteboard dari keningnya.
"Selesai. Sudah dihapus." Raline nyengir sehingga matanya yang cuma segaris bulan sabit, menghilang.
Ia sekarang bisa tertawa. Soalnya, ia tidak jadi menikah dengan aki-aki. Melainkan menikah dengan mafia tatooan, yang walaupun galak tetapi sangat tampan. Nikmat mana lagi yang ia dustakan bukan?
"Apa yang perlu gue bilang pada orang tua lo, untuk meyakinkan mereka agar melepas lo buat gue?" tanya Raline bingung.
"Gampang. Bilang aja kalo lo kaya. Habis perkara!"
"Oke. Sekarang kita ke rumah lo."
Dalam rintik hujan, Raline merenung separuh senang, separuh sedih. Senangnya ia tidak jadi menikahi aki-aki. Sedihnya, ia kembali harus menjadi milik laki-laki yang tidak mencintainya lagi.
*******
Memasuki komplek perumahan mewah yang ditunjukkan oleh gadis di sampingnya ini, Axel melambatkan laju kendaraan.
Ia harus memastikan bahwa gadis aneh ini benar-benar bersedia menjadi istrinya.
Waktunya akan terbuang cuma-cuma kalau hanya untuk mengantarkan mantan pacar adik iparnya ini pulang.
Maklum saja, gadis ini walau kelihatannya pintar, sesungguhnya sama somplaknya dengan adiknya, Lily.
Kalau diam, terlihat cantik dan anggun. Namun kalau sudah membuka mulut, hancur semua citra cantik dan anggun tersebut.
"Coba lo ulangi sekali apa tujuan kita menemui orang tuamu?" tanya Axel mendadak.
"Hah, apa?"
Ucapan Axel membuyarkan prikiran Raline yang tengah membayangkan reaksi kedua orang tuanya atas kejutan yang ia bawa. Ia sampai tergagap karena Axel tiba-tiba mengajukan pertanyaan padanya setelah sepanjang perjalanan ia diam seperti patung. Bagaimana ia tidak kaget coba?"Hah... heh... hah... heh... lo kebanyakan bengong mantan pacar Heru," ketus Axel kesal. "Gue tanya, apa yang akan lo katakan pada nyokap bokap lo mengenai kedatangan gue." Axel mencoba memperpanjang kesabarannya. Menghadapi orang rada-rada oneng seperti Raline memang memerlukan kesabaran ekstra."Oh, bilang dong dari tadi!" Raline berdecak. Karakter Axel ini membingungkan. Kalau diam seperti orang bisu. Tapi sekalinya membuka mulut, marah-marah melulu.Breath in, breath out, sabar Axel. Ini orang memang mengesalkan. Tapi, dia juga calon istri lo. Lo harus mulai belajar sabar sampai mengalahkan Bang Sabaruddin, tujang ojek pengkolan."Gue akan bilang pada mereka kalo lo akan menukar gue dengan uang dua milyar rupiah
Axel menatap Raline malas. "Ya tidak bagaimana-bagaimana. Kita harus masuk tentu saja. Satu hal yang harus lo ingat. Kalo gue tidak meminta lo bicara, jangan bersuara. Paham?" "Oke. Sebelum gue bisu, gue kasih tahu lo satu hal. Nama aki-aki rentenir itu Pak Riswan. Lo jangan lupa lagi." Raline memperingatkan Axel."Katanya aja mafia? Masa mafia bisa lupa nama orang? Kagak pantes amat lo menyandang julukan seorang mafia," gerutu Raline."Eh mafia itu kerjanya membunuh orang. Bukan menghapal nama orang. Paham lo?" Axel panas karena terus diceng-cengi oleh Raline."Iya... iya... gue cuma mengeluarkan pendapat sebelum jadi orang bisu ntar di dalem. Gue turun dulu. Mau buka pager." Raline membuka pintu mobil. Ia bermaksud melebarkan pintu gerbang. "Kagak usah!" bantah Axel."Lah, kagak usah jadi kita masuknya lewat mana? Terbang? Berubah jadi semut?" Raline lama-lama emosi juga karena semua kalimatnya dibantah oleh Axel."Kagak perlu lo yang turun maksud gue. Sejak lo setuju jadi istri
"Hah, bayar hutang? Calon menantu?" Diberi kejutan bertubi-tubi, membuat Pak Adjie kebingungan. "Ah saya ingat sekarang. Kamu ini adalah Axel Delacroix Adams. Kakak Lily, istri Heru. Kamu ini seorang mafia!" Bu Lidya bangkit dari sofa. Sekarang, ia ingat di mana ia pernah melihat bule gahar ini. Di pernikahan Heru dan Lily! "Betul. Bawa kedua orang tuamu ke dalam Alka--" Axel mendecakkan lidah. Ia lupa lagi nama perempuan ini. "Raline. Nama gue Raline. Inget baik-baik. Jangan lupa lagi. Bagaimana ortu gue percaya kalo lo serius pengen nikahin gue, kalo nama gue aja lo lupa?" bisik Raline di sisi telinga Axel. "Oke. Ra--line." Axel balas berbisik. "Pinter. Oh ya, jangan lupa. Nanti pas lo ngelamar, bilang kalo lo itu kaya. Ortu gue suka khilaf kalau membahas soal harta. Oke kakaknya Lily?" Raline mambalas Axel iseng. Ia mendadak ceria karena telah lepas dari cengkraman Pak Riswan. "Axel. Nama gue Axel. Tapi nanti setelah kita nikah, lo bisa manggil gue Mas Axel." Axel mengulti
"Ah lo ngagetin aja kayak jaelangkung. Urusan lo dengan ortu gue udah kelar, belum?" Demi menutupi rasa malu, Raline pura-pura acuh. Axel terlihat mengangguk singkat."Cakep. Lo ngomong apa sih sama mereka?" Raline penasaran. Mengapa cepat sekali Axel meluluhkan hati kedua orang tuanya? Jangan-jangan Axel menodongkan senjata pada keduanya? Dia kan mafia ...."Seperti yang lo pesan. Gue bilang kalo gue kaya."****Raline kini mendorong pintu kaca kantor dengan lesu. Dikepitnya map coklat yang berisi dokumen-dokumen lamaran kerjanya di bawah lengan. Ia kemudian berjalan gontai keluar kantor. Untuk ke sekian kali lamaran kerjanya kembali ditolak. Di depan pintu kaca kantor yang baru saja ia tinggalkan, Raline memandang kantor salah seorang kolega ayahnya miris. Tidak ada yang bersedia menolongnya saat keluarganya tengah terpuruk begini. Beginilah sifat dasar manusia. Didekati ketika berjaya, dan dijauhi ketika tertimpa musibah.Raline memandang nanar map coklatnya yang kini tampak le
"Tidak!" jawab Raline cepat sambil mengangguk takzim. "Tidak, tapi kok ngangguk?" sang remaja menjinjitkan alis.Raline menggigit bibit. Dirinya memang cenderung kesulitan jikalau harus berbohong. Istimewa keadaannya sedang lapar begini. Kalau orang sedang lapar, otak cenderung tidak bisa diajak berpikir bukan?"Sesungguhnya Kakak memang lapar. Tapi--" Raline menghentikan kalimatnya. Tidak! Dirinya tidak boleh mengeluh. Bukankah dirinya semalam begitu jumawa mengaku akan berjuang? Masa baru cobaan seiprit begini dirinya sudah menyerah? Tidak bisa!"Tapi...?" Sang remaja putra menanti jawaban. Kedua matanya yang digambari dengan cat hitam tebal menatap dengan penasaran."Tapi Kakak belum punya uang untuk membeli makanan. Uang Kakak hanya cukup untuk ongkos mencari pekerjaan." Raline memutuskan untuk jujur saja. Otaknya tidak sampai, kalau harus berbohong yang panjang-panjang. Dirinya sedang malas berpikir. Yang penting dia 'kan tidak minta-minta. "Oh, Kakak tidak punya uang? Masa s
"Kamu sebenarnya bekerja di kantor mana sih, Line? Masa pagi sekali masuk kerjanya?" Bu Lidya heran melihat putrinya akan bekerja pada pukul enam pagi."Kantor sejuta umat, Bu," ucap Raline sambil lalu. Ia sibuk mengecek peralatan tempurnya di dalam tas. Spon rias, kuas cat, cotton bud, bedak bubuk teater, bubuk dasar putih, pembubuh bedak, dan krim warna riasan. Semuanya sudah ada. Komplit."Kantor sejuta umat? Kok Ibu baru dengar ada nama kantor yang seperti itu?" Di mana alamat kantormu itu, Line?" Bu Lidya makin heran."Kantor Raline itu ada di mana pun, Bu." Raline menutup resleting tas besarnya. Semua peralatan tempur pemberian Bang Ali telah masuk ke dalam tas. Bang Ali memintanya datang pagi-pagi agar bisa melihat para badut merias wajah. Menurut Bang Ali, modal utama menjadi seorang badut adalah make up badut. Selanjutnya tinggal mental yang kuat dan berani malu.Kantornya ada di jalanan, karena ia akan bekerja menjadi badut. Oleh karenanya tidak salah kalau ia menyebut kant
"Gue nggak terlambat kan, Bang?" Raline masuk ke salam rumah Bang Ali dengan napas tersengal-sengal. Angkot yang ia naiki tadi mengalami pecah ban. Ia harus berganti Angkot dua kali sebelum sampai di rumah Bang Ali. Karena tidak pernah naik Angkot, ia dua kali salah jurusan. Makanya ia terlambat. Para badut ternyata telah selesai merias diri. "Lo punya mata nggak? Kalo punya, lo pasti tahu jawabannya." Ketusnya suara Bang Ali membuat Raline kicep. "Ya kan gue cuma nanya, Bang. Jawab aja, iya lo terlambat. 'Kan nggak susah, Bang. Daripada Abang nyolot pagi-pagi. Ntar si rezeki jadi kabur karena ngeliat Abang marah-marah melulu." Raline berupaya mendinginkan suasana. Ketika tatapan Raline singgah pada anak remaja yang minta dipanggil badut sedih, Raline mengedipkan sebelah matanya. Si remaja meringis melihat tingkah selownya. "Nyaut aja mulut lo." Bang Ali memelototi Raline. Kalau saja ia kemarin bukan si badut sedih yang membuat perempuan yang menurut si badut sedih dulunya kaya i
Suara pintu mobil yang dibuka dan ditutup dengan cepat, membuat nyali Raline ciut. Entah mengapa caranya bertemu Axel acapkali melalui insiden nyaris tertabrak. Raline khawatir. Saat pertemuan mereka ketiga kalinya nanti, jangan-jangan dirinya akan tertabrak sungguhan. "Hei, Badut. Lo itu mau menghibur orang atau mau bunuh diri hah?" Axel mengamuk. Ia nyaris saja menabrak badut berambut gimbal yang tiba-tiba saja menerjang mobilnya yang tengah melaju kencang.Raline berdiri mematung kala Axel mengutukinya. Ia tidak berani bersuara. Karena Axel pasti akan mengenali suaranya ketika ia membuka mulut. Saat ini saja sebenarnya ia sudah ketakutan kalau Axel akan mengenalinya. Walaupun saat ini wajahnya telah digambar menjadi seorang badut, tapi tetap saja Raline khawatir. Siapa tahu Axel masih bisa mengenalinya. Supaya aman, Raline memilih untuk terus diam dan menundukkan wajahnya dalam-dalam."Maaf ya, Om. Kakak badut ini baru saja belajar menjadi badut. Jadi belum terbiasa main di jalana
"Heh, Cecev Saklitinov. Ponakan lo bapaknya orang Rusia ya?" Axel bersiul. Hebat juga adik Kang Endang ini bisa mendapatkan suami orang Rusia. Karena sepengetahuannya keluarga Kang Endang itu suku Sunda. "Bukan, Boss. Adik ipar saya teh namanya Mulyono, orang Jawa. Mana ada orang Rusia panggilannya si Mul?" Kang Endang meringis."Lah, itu namanya kenapa Cecev Saklitinov? Cecev-nya huruf V lagi, bukan P," tukas Axel lagi."Itu mah cuma singkatan, Boss. Saklitinov itu teh singkatan dari Sabtu kliwon tiga November kata bapaknya." Kang Endang nyengir."Astaga." Axel menggeleng-gelengkan kepala sementara Bang Raju tersedak kopi. Nama keponakan Kang Endang memang antik."Boss, dicariin Mbak Raline." Bik Sari berlari-lari kecil menghampiri Axel. Nyonya mudanya kebingungan karena tidak menemukan bayinya."Nah, jagoan. Kita sudah dicariin. Kita ke mamamu dulu ya? Nanti Papa akan membawamu ke ruang bawah tanah. Banyak jalan-jalan rahasia yang harus kamu ingat nantinya." Axel mempercepat langka
Axel tak henti-hentinya mengagumi putranya yang baru saja pulang ke rumah. Setelah empat hari lamanya berada di rumah sakit, ini adalah hari pertama sang putra berada di rumah sendiri. Gemas, Axel mengelus jemari putranya. Menghitung jumlahnya yang sempurna dalam ukuran yang sangat mungil. "Bangun dong, jagoan. Masa tidur terus sih? Baru aja minum susu eh sekarang udah tidur lagi. Papa 'kan pengen main sama kamu." Axel menjawil pipi sang putra lembut. Putranya yang saat ini masih tertidur dalam boks bayi, hanya meresponnya dengan erangan khas bayi."Namanya juga bayi umur empat hari, Mas. Kerjaannya kalo nggak minum susu ya molor. Kata dokter anak bayi usia nol sampai satu bulan itu minimal tidur sekitar enam belas jam sehari." Raline yang baru keluar dari kamar mandi memberitahu Axel. "Begitu ya? Ya udah, Xander bobok aja kalau gitu. Papa mau mesra-mesraan dengan mama dulu ya?" Axel mengecup pipi Raline mesra, saat istrinya itu duduk di sudut ranjang."Mas, beneran nggak ilfeel nge
Raline ada di tempat tidur aneh dengan penutup kepala seperti dirinya. Tangan kirinya diinfus sementara hidungnya dipasang selang oksigen. Tubuh Raline ditutupi semacam kain berbahan parasut. Hal aneh yang Axel maksud adalah mengenai ranjang Raline. Ranjangnya memiliki dua penyangga. Di atas penyangga itulah kedua kaki Raline diletakkan. Sementara kedua tangan Raline diletakkan pada pegangan tangan di sisi kanan dan kiri ranjang. Posisi berbaring Raline juga aneh. Ia tidak berbaring dalam posisi tidur telentang. Melainkan setengah duduk dengan kedua kaki terbuka lebar. Axel sebenarnya tidak nyaman melihat posisi Raline seperti ini. Namun ia sadar mungkin inilah posisi orang yang akan melahirkan."Kalo lo mau menemani istri lo melahirkan, jangan banyak protes. Gue udah melakukan prosedur yang benar. Tolong lo jangan mendebat gue di saat yang tidak tepat." Dokter Saka lebih dulu memperingati Axel yang ekspresi wajahnya sudah menyiratkan ketidaksenangan. Axel menarik napas panjang dua k
"Dokter, Suster, tolong istri saya!" Axel berteriak keras setelah mobil yang dikendarai Pak Hamid berhenti di parkiran UGD rumah sakit. "Ini petugasnya pada ke mana sih? Masa rumah sakit sebesar ini nggak ada petugasnya? Brankar mana brankar?" Axel meneriaki petugas di ruang UGD."Sabar, Mas. Ini tengah ma--malam. Itu petugasnya juga sudah berlari ke dalam. Pasti mereka akan mengambil brankar. "Raline menenangkan Axel dari dalam mobil."Lama! Ayo, lo gue gendong aja, Istriku. Menunggu petugas membawa brankar, anak kita keburu lahir di dalam mobil," rutuk Axel kesal. Axel membuka pintu mobil. Mengambil ancang-ancang menggendong Raline. Axel tahu Raline pasti sedang kesakitan walau istrinya itu tidak bersuara. Wajah Raline sudah basah oleh keringat dan ia juga terus menggigit-gigit bibirnya. Pasti istrinya itu bersusah payah menahan suara erangan kesakitan agar dirinya tidak khawatir.Namun aksinya urung dilakukan karena petugas rumah sakit sudah menyiapkan brankar. Axel hanya menggend
"Pak Hamid... Pak Hamid... siapkan mobil sekarang!" Axel berteriak keras. Ia cemas melihat Raline yang kesakitan dengan keringat bermanik di dahinya. Padahal kamar diberi pendingin udara. Napas Raline juga pendek-pendek. Kentara sekali kalau Raline tengah kesakitan. "Ada ada, Boss? Oh, Mbak Raline mau ke rumah sakit ya? Saya akan meminta Mas Hamid bersiap-siap." Bik Sari yang melongok ke kamar, dan dengan cepat menarik kesimpulan. Ia segera ke paviliun, untuk membangunkan suaminya. Untung saja ia tadi mengecek stok bahan makanan di dapur, sehingga ia mendengar teriakan Axel. "Mas, tunggu sebentar. Ambil dulu tas gue di lemari." Raline menunjuk lemari tempat ia menyimpan tas serbagunanya. Ia telah menyiapkan tas besar untuk keperluannya di rumah sakit. Axel tidak jadi keluar kamar. Ia membuka lemari yang sebelumnya telah terbuka setengah dengan bahunya. "Peluk leher gue sebentar. Gue mau nyangklongin tas." Axel meraih tas tangan bling-bling kesayangan Raline. Ia kemudian menyandangn
Delapan bulan kemudian.Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Namun Raline masih belum bisa memejamkan mata. Ia terus membolak-balik tubuhnya di ranjang. Sedari sore tadi perutnya terasa tidak enak. Ia merasa mulas dan begah. Kandung kemihnya juga acapkali penuh. Makanya ia bolak-balik ke kamar mandi."Gue kebanyakan makan rujak kali ya?" Raline meringis. Tadi siang ia memang memakan rujak yang dikirim oleh Lily. Perutnya sekarang mengencang diikuti rasa sakit yang menusuk. "Apa gue mau melahirkan ya? Tapi 'kan belum jadwalnya? Kata si Saka sekitar lima hari lagi." Raline mengelus-elus perut buncitnya."Gue coba ke belakang aja deh. Siapa tahu gue cuma mules karena mau buang air." Bersusah payah, Raline beringsut dari ranjang. Hamil tua begini membuat gerakannya sangat terbatas. Raline menghabiskan waktu lima belas menit di toilet. Ia memang buang air. Tapi rasa mulas di perutnya tidak juga berkurang."Apa gue nelpon Mas Axel aja ya? Tapi dia 'kan lagi ada pertemuan dengan Bang
Raline terbangun karena merasa kedinginan. Saat ini ia tidak tahu ada di mana. Kepalanya pusing, dan perutnya mual. "Ini gue di mana sih?" Raline kebingungan. Matanya terbuka tapi ia tidak bisa fokus pada objek di depannya. Semua masih berupa bayang-bayang. "Dingin banget." Raline menggigil. "Aduh!" Raline meringis saat ia mencoba berbalik. Tangannya terasa nyeri dan seperti ada sesuatu yang menariknya. Raline mencoba memfokuskan pandangannya. Satu detik, dua detik, pandangannya mulai terang. Ia melihat tangannya di infus."Tangan gue kok diinfus?" Raline bingung. Setelah berpikir sejenak Raline sadar kalau dirinya saat ini berada di rumah sakit. Infus yang dipasang tangannya, ruangan yang serba putih, serta aroma antiseptik telah menjelaskan keberadaannya."Lho kaki gue ke mana? Kok kaki gue ilang?" Raline panik. Ia mencoba mengangkat kakinya, tapi tidak bisa. Ia tidak punya kekuatan untuk menggerakkannya. "Jangan panik, Raline. Tarik napas dalam-dalam dan mulai mengingat." Ralin
Axel berjalan hilir mudik di depan ruang operasi. Tidak seperti kedua mertuanya yang duduk tegang di ruang tunggu, Axel tidak bisa diam. Tatapannya terus terarah ke pintu ruang operasi. Ia tidak sabar menunggu pintu terbuka, agar ia bisa mengetahui keadaan istrinya."Duduk dan berdoa saja, Xel. Kamu membuah Ibu pusing dengan terus mondar-mandir begini." Bu Lidya menegur Axel. Tingkah Axel membuatnya bertambah khawatir. Putrinya yang sedang hamil, tertembak. Hati ibu mana yang tidak ketar-ketir karenanya?"Saya sedang cemas, Bu. Mana bisa saya duduk tenang." Axel berdecak."Kalau begitu berdoalah," usul Bu Lidya lagi. "Lihat ayahmumu. Dalam diamnya sesungguhnya ayahmu tidak henti-hentinya mendoakan Raline." Bu Lidya mengedikkan kepalanya ke samping. Ke arah Pak Adjie yang duduk dengan khusyu. Mulut Pak Adjie terus berkomat-kamit. Tiada henti-hentinya berdzikir untuk keselamatan sang putri."Saya segan, Bu. Tidak pantas rasanya kalau berdoa hanya pada saat saya menginginkan sesuatu saj
"Ya udah kalo lo nggak mau, nggak apa-apa. Gue cuma mau bilang. Kalo seseorang itu bukan jodoh lo, mau lo jungkir balik buat mengesankan dia, usaha lo nggak akan terlihat di matanya. Sebaliknya, lo diem-diem bae pun, kalo dia orang emang jodoh lo, dia akan tetap menjadi milik lo walau bagaimanapun caranya. Percayalah." Walaupun Cia menolak membantunya Raline tetap memberikan nasehat pada Cia. Ia melakukannya karena ia pernah berada dalam posisi Cia. Semua yang ia lakukan dulu sia-sia. Ia tidak mau Cia melakukan kebodohan yang sama."Kenapa lo ngomong begitu?""Karena gue dulu kayak lo. Gue melakukan apa aja bahkan sampai melanggar hukum demi mengesankan pasangan gue. Tapi endingnya keduanya nggak gue dapetin. Di saat gue udah pasrah dan nggak mau berekspektasi apapun lagi, gue malah mendapatkan seseorang yang jatuh cinta setengah mati sama gue. Padahal gue diam-diam bae, kagak ngapa-ngapain. Kalo gue udah ngomong begini lo masih belum ngerti juga, kayaknya bukan gue deh yang oneng, ta