Abah Aziz sedari tadi mondar-mandir di depan gerbang asrama putra. Tidak seperti biasanya ia dirundung gelisah, khawatir jikalau ada masalah baru yang menimpa Gus Farhan. Bayangkan saja, seorang lulusan kampus Islam tertua itu justru menghabiskan malam bersama miras, bukan lantunan ayat suci atau lingkaran pengajian. Abah Aziz dipenuhi dengan amarah. Ia ingin segera bertemu dengan Gus Farhan, menuntut perihal perbuatan yang dianggap tidak senonoh itu. "Ada apa dengan Kyai?" bisik santri yang melongok dari jendela kamar. Semalam itu mengapa Abah Aziz masih di area pesantren putra. "Entahlah, tetapi pasti ada hal mendesak yang sangat penting!" balas teman di sisinya. "Jarang-jarang beliau bersikap demikian, mungkinkah Gus Farhan membuat ulah lagi?""Hush, sembrono kamu, kalau bicara disaring dulu, jangan menimbulkan gosip!" tukas santri pertama sambil memandang pergerakan Abah Aziz. Di luar sana, dingin menusuk sum-sum tulang. Udara yang terhirup seolah akan membekukan aliran darah.
Bunda imgin menyiapkan sarapan. Ia tidak tega membiarkan Agam makan sendiri, terkadang hanya menyeduh mie instan karena buru-buru berangkat kerja. Dengan tubuh lemah ia keluar demi membeli sayuran. Rencananya Bunda sedang berdiskusi dengan fisiknya supaya mau diajak kompromi. Selalu memikirkan Shofi membuatnya terpuruk dan jatuh sakit. Ia bermaksud bangkit, menghirup udara segar, mengembalikan hari layunya dengan ikut berbincang di lingkaran gerobak sayur. Akan tetapi, topik pagi itu begitu menyayat perasaan. Bunda bukannya bangkit, justru dijerumuskan ke lubang paling pekat. "Shofi sudah pulang, Bu?" tanya tetangganya. "Belum. Doakan dia segera pulang ya, Bu." "Harapannya sih demikian, tetapi kalau dipikir-pikir si Shofi ini sungguh hilang atau justru ngelayap bersama pria asing ya?" "Maksudnya?" Ibu-ibu yang berbelanja mulai terpancing. "Itu loh seperti yang beredar di berita-berita, anak gadis pergi bersama-sama dengan kekasih dunia mayanya karena alasan saling cinta, tetapi u
"Ada hal yang paling tidak kusukai dalam diriku, Shof!" ungkap Marti sambil mengobati luka pada tengkuk Shofi. Darah telah dibersihkan dengan air hangat menggunakan kain. Ia telah meneteskan antibiotik supaya tidak terjadi infeksi, kemudian siap menutup dengan perban. Shofi duduk menghadap jendela, memandang hampa sambil menahan perih dan sensasi sakit luar biasa. Entah sudah berapa kali dirinya terluka. Lingkungan Bos Bagong sangat mengerikan, orang tidak bersalah bisa menjadi pusat pelampiasan amarah. Fisik normal bahkan bisa terluka sewaktu-waktu jika tidak mampu membaca situasi darurat. Ia menarik sebuah garis merah, tempat mencari uang Bos Bagong adalah lokasi berkumpulnya manusia-manusia rusak yang bingung mencari solusi masalah kehidupan. Detik itu Shofi sedang malas berbicara. Sakit di tengkuk akibat hantaman miras itu sangat menyebalkan, membuatnya malas bersuara apalagi melawan Bawon dan para penjaganya. Maka ia hanya membalas kalimat Marti dengan gidikan kedua bahu. “Ras
Gus Farhan dan malam tetiba menjadi kawan saling dekap dalam keheningan. Ia menyelaraskan gelap dalam diam, lampu kamar sengaja dipadamkan. Berhari-hari keluar dari ruang lima meter kali enam meter itu hanya untuk makan, membuang sampah, dan menghirup udara segar di belakang rumah. Ia belum berani menampakkan wajah di hadapan Abah Aziz juga Umi. Kedua orang tua itu sedang dilanda kecewa. Akan lebih baik jika mereka tidak saling sapa terlebih dahulu, demi meredam emosi yang semula mengambang ke permukaan wajah. Ia banyak bersujud, merenungi perbuatan lampau—berpikir keras, mendalami ketepatan Langkah dalam mengabil alur kehidupan. Atau jangan-jangan selama ini ia sungguh salah melangkah? Malam dihabiskan untuk berdzikir dan meluruhkan rasa letih terhadap kefanaan duniawi. Gus Farhan istighfar, memohon ampun atas dosa-dosa yang tertimbun. Jika merasa cukup menundukkan kepala, maka ia akan mengambil kitab suci Al-Quran, nderes. Umi mendengar rintih batin Gus Farhan melalui bacaan terse
Hari itu, di rumah sakit yang sama, Agam melihat Anggi menangis tersedu-sedan. Ia berdiri di depan ruang ICU. Rambut pirangnya disapu angin pagi, bedaknya luntur terbasuh gigil dari dalam hati. Perlahan tubuhnya merosot pada dinding rumah sakit, menenggelamkan wajah di antara lutut, meratap dengan bahu berguncang hebat. Agam berdiri tiga meter darinya, ada pertanyaan yang berkelindan di kepala. Bunda ditemukan pingsan di kamar. Empat hari lalu ia membawa Bunda ke UGD dengan perasaan kalang kabut. Ingin menangis tetapi waktu menahan, ingin meminta bantuan, sayang ia tidak mau menyusahkan para tetangga yang terlanjur melepas lelah. Pada akhirnya Agam menghubungi taxi online. Kondisi Bunda melemah, beban pikiran yang merundung di kepala membuat tekanan darahnya drop, disusul ia jarang makan teratur dan kurang beraktivitas. Beban hidup Agam bertambah, bukan perihal biaya, sebab administrasi rumah sakit telah ditanggung layanan kesehatan oleh pemerintah, akan tetapi lebih pada batin Bunda
Pembeli silih bergantian masuk, membeli barang sesuai kebutuhan. Wajah-wajah pendatang selalu datar, serupa papan titian, sewaktu-waktu akan berubah di atas, bisa juga terjun ke bawah menabrak permukaan tanah, adakalanya mereka seramah nenek moyang, tetapi tidak mustahil pula bersikap dingin. Di waktu pagi atmosfer toserba seringkali dipasok suasana sepi, hanya satu dua pembeli yang mencari-cari sarapan instan. Di jam-jam sibuk ketika matahari bertengger di atas kepala, kaum wanita mulai sibuk mencari diapers dan susu formula, hal itu membuat tempat kerja Agam menjadi sesak. Di jam-jam kepulangan kerja, rak-rak makanan, rak-rak sembako, rak-rak camilan, kulkas-kulkas ice cream diburu tanpa terkecuali pembalut perempuan. Selepas senja, menjelang malam bertandang, toko kembali menggeluti sepi, Zea akan duduk di kursi sebelah kasir, istirahat menenggak soft drink, sementara Agam sibuk memelototi jalanan. Ia menghapal plat-plat mobil, mencatat dalam ingatan siapa saya yang kerap singgah
"Kekasih?" tanya Bawon, tetiba sudah mendekat. "Maksud gue mantan kekasih?" Ia memastikan. Shofi menghela napas. Sisa bulir perih yang masih membekas di pipi, ia seka pelan-pelan. "Jangan diam saja, cantik! Jawab!" sentak Bawon. Shofi masih kesal dengan Bawon, lebih-lebih setelah Agam datang. Ia mendoakan hal buruk menimpa Bawon supaya bisa membuatnya sadar. Beberapa jam yang lalu, ketika Shofi beristirahat di rumah sekapan. Lelaki itu datang membawa kabar mengenaskan dengan rupa penuh kebahagiaan. Ada sunggingan senyum di sudut bibir. "Lihat ini!" ponsel Bawon dilempar ke pangkuan Shofi. Sebuah vidio menampilkan seorang gadis yang tengah meronta-ronta Karena kehilangan ibunya—Anggi. .Jantung Shofi bergemuruh hebat. Anggi menangis sekuat tenaga, mengguncangkan tubuh kaku yang tak lagi memiliki nyawa, kemudian ia kembali duduk. Satu hal yang membuat Shofi dipenuhi perasaan takut, wanita tua di dalam vidio itu sudah berbalut kain kafan. Bawon mengambil kesempatan dalam kesempitan o
"Abah ..." Gus Farhan menghampiri Abah Aziz yang sedang berdiri di serambi masjid, menyaksikan rutinitas pagi para santri. Ada yang bergegas mandi kemudian menuju dapur, sarapan lantas berangkat sekolah. Ada juga yang masih sibuk mengeluarkan keringat, menyongsong matahari terbit dengan lari-lari kecil, pun ada yang duduk khusyuk di dalam masjid, senantiasa menggemakan ayat-ayat suci Al-Quran sembari menunggu waktu sujud dhuha tiba. Sinar matahari menyepuh wajah Abah Aziz, membuatnya berseri-seri dan kewibaannya bertambah tajam. "Ada apa, Farhan?" Abah Aziz merespons dengan lembut. Dalam kondisi tenang ia tidak membawa-bawa rasa kecewa juga sakit hatinya akibat ulah Gus Farhan. Abah Aziz sudah berpengalaman dalam mengolah emosi. "Farhan merasa seperti kucing yang dikurung sang majikan," ungkap Gus Farhan beranalogi. "Setelah dibiarkan mencari pengalaman hidup berlimpah di luar sana dengan liar," lanjut Gus Farhan sambil mengenang kisahnya selama berada di Negara Mesir. Saat itu ia
Ruang itu temaram, lampu jamur di atas meja kecil sebelah ranjang dinyalakan. Aroma wewangian mawar mendominasi lubang hidung. Shofi tengah duduk di hadapan cermin, dia mematut wajahnya yang tegang, ada ketakutan akut yang tidak bisa dia hindari. Bayangan pria bertubuh kekar menarik tubuhya dengan paksa. Jeritan permintaan tolong yang tidak dipedulikan oleh telinga-telinga orang awam membuatnya terjebak pada dimensi kelam. Dia sudah resmi menjadi istri Gus Farhan melalu pertentangan restu berkali-kali, pada akhirnya Abah Aziz dan Umi mengalah. Baiklah masa depan miliknya Gus Farhan secara utuh. Hal yang diharapkan manis di malam romantis bersaksikan milyaran titik gerimis di luar sana justru disambut oleh tangis. Shofi tersedu-sedu meminta maaf kepada Gus Farhan. Sudah satu bulan penuh dirinya tinggal serumah bersama Gus Farhan, satu atap dalam satu ruang tetapi pisah ranjang ... ya tubuh mereka belum bersentuhan sama sekali. Ada hal yang menjanggal. Shofi terlarut dalam trauma psiki
Ketika meja sarapan menghidangkan sepiring tempe mendoan dengan kepulan hangat, dilengkapi tiga buah bubur bersahabat sayur tahu kuning berkuah santan, ketika pagi dirimbuni embun semalam dan daun-daun masih basah. Malam tadi ada gerimis Mei yang membasuh bumi. Bunga alamanda milik tetangga menguning indah bersama butiran air. Jendela melukis air terjun, sementara udara menyergap dalam dingin tidak berkesudahan. Mereka bertiga sarapan bubur buatan tangan Bunda. Hari itu minggu, Bunda mengambil libur jualan. Ada setoples kerupuk udang yang menjadi saksi kebersamaan mereka. Agam menyantap bubur serupa orang tidak makan satu hari penuh. Shofi sesekali mencuri pandang kelakuan sang adik, sepertinya dia tidak sedang lapar, tetapi ada aura kebahagiaan yang membuat nafsu makannya bertambah. Zea, gadis toserba itu, sosok yang menjadikan alasannya lari tergesa, sudah pasti menjadi alasan Agam makan begitu nikmat. "Zea sepertinya sholihah, dia menutup aurat dan kelebihannya adalah cantik," cel
Selajur sinar neon menyiram wajah Gus Farhan, dia setengah rebah di atas dipan, melembari surat Shofi yang kemarin belum terbaca tuntas tetapi jantungnya telah ditabuh penuh kemenangan. Bibir merah tipisnya menyungging, bibir yang tak akan pernah dia kotori menggunakan nikotin apalagi kata-kata dusta, serupa janji manis. Bising serangga malam di luar kamar bagaikan koor lagu romantis detik itu. ...'Satu hal yang pasti darimu semenjak kita bertemu, Farhan. Kau tampan, lalu kau baik karena mau memberi pertolongan kepadaku yang belum dikenal. Hatimu begitu ikhlas. Ini bukan bentuk pujian, tetapi begitulah kenyataan tersurat untukmu. Kalau untuk orang yang tidak dikenal saja kau berani mempertaruhkan harga diri dan keselamatanmu, maka aku pastikan kamu orang bertanggungjawab. Untuk itu, tanggunglah kesedihan dan hidupku di masa depan. Ayo kita menikah, kita lawan kegelisahan dan cobaan-cobaan kehidupan. Aku tidak akan mengajakmu hidup bahagia, sesungguhnya kebahagiaan hanyalah kamuflase
Pemuda itu menekan tombol untuk menjalankan roda secara otomatis, kemudian dia menyetirnya ke kanan dan ke kiri menuju garasi. Putra yang malang, dia meringis kesakitan, menahan bulir-bulir peluh, menyeret dua kakinya yang mati rasa, berat seumpama ditindih batu ratusan kilo. Kalau pantas, sudah diungsikan kaki-kakinya yang tiada guna itu. Mereka hanya menjadi beban, tidak bisa digunakan sekali pun dalam posisi Putra ingin berlari. Ya, sungguh pada petang itu dia ingin mendatangi toserba yang dibicarakan warga netizen, seorang konten kreator mengunggah vidio pertengkaran dua kaum hawa di media sosial, dan entah bagaimana ceritanya mendadak kontennya viral—karena menggunakan tagline 'Gadis Bar Berjilbab, Shofi dan Gus Farhan.' Padahal anak satu-satunya Abah Aziz itu sedang tidak di lokasi. "Kumohon ...," rintihnya sambil bersusah payah menaiki mobil. Setelah berhasil kursi rodanya ditarik kemudian dilipat di sisinya. Ia mengusap keringat dengan punggung tangan. Lantas menghubungi Mahe
Pop up pesan di layar ponsel Agam membuat pemuda itu langsung lompat ke halaman rumah, ia seret sepeda motornya di bawah kain langit yang membentang jingga. Shofi yang baru saja duduk menikmati teh hangat seduhan Bunda dibuat terkejut olehnya. "Ada apa, Gam?" teriak Shofi, dia pun lari menghampiri Agam. "Temanku berantem," celetuk Agam. "Sejak kapan dirimu punya teman?" seru Shofi dengan kening berkerut. Agam menghela napas panjang, dia kemudian menumpangi sepeda motor, menyalakan mesin. "Aku ikut!" "Enggak! Ini bukan urusanmu!" sergah Agam dengan suara lantang, lebih keras dari amukan petir sewaktu badai. Ada hal yang tidak ingin dipertemukan oleh Agam, kakaknya berada di mode tenang. Jika dia melihat sosok Anggi, maka peperangan batinnya akan kembali mengamuk. Beberapa hari ini, Shofi terlihat murung, Agam belum mengetahui penyebabnya, jika Anggi hadir dalam kehidupan sekarang, maka batin saudaranya akan terkungkung dalam amarah dan kebencian. Agam tidak mau saudaranya menderit
"Hei kau tahu kabar gadis bar yang dulu pakai jilbab?" tanya seorang remaja yang duduk di kursi tunggu toserba, mereka tengah asyik menikmati cemilan ringan dan soft drink aneka rasa. "Pernah dengar sih, cuma agak blur, nggak nyimak medsos, ada apa?" "Ternyata dia diselamatkan oleh Gus Farhan, tahu kan pemuda tampan putranya Kyai Aziz? Gara-gara dia nama Gus Farhan sempat menjadi perbincangan," "Lah kok bisa Gus Farhan dekat dengan gadis bar, okelah dia berjilbab, tapi kan lingkungannya buruk!" celetuk temannya kemudian menenggak minuman. "Menurut berita sih gadis itu ternyata dijebak oleh Bos Bagong, dipekerjakan tanpa gaji, tapi ya entahlah, namanya juga kabar kabur," "Bos Bagong itu siapa?" "Itu nama gelapnya Pak Hendra, si pengusaha yang mempunyai berbagai toko bangunan, kau tahu?" "Hmmm, nggak kenal sih, cuma kejam juga itu si Bos Bagong, masak iya mau mempekerjakan orang tapi nggak mau bayar, lah duitnya diapakan?" "Itu dia, aneh kan? Bukan hanya gadis itu saja yang dipe
Pemuda itu tengah menunggu kepulangan Shofi, dia seperti biasa diantar oleh Mahes. Keduanya seperti jarum dan benang, saling berkaitan jika mau digunakan. Putra memandang langit sementara Mahes sibuk duduk di atas kursi bambu dengan memoles layar gawai. Dia merasa rumah Shofi begitu miris, kecil dan tampak memperihatinkan. Bunda menyambut kedua tamunya dengan baik, menyuguhi teh hangat dan pacitan sisa lebaran. Akan tetapi dua bibir milik pemuda itu tidak berselera menyentuh kue yang dihidangkan. Apalagi Putra, pokok pikirannya sedang tertuju kepada Shofi, dia ingin segera bertemu dengan Shofi. "Jadi kamu anaknya Bos Bagong—maaf maksudnya Pak Hendra yang menyekap anak saya itu?" Bunda meluruskan. "Ya, dan Ibu yang ditolong Anda adalah istrinya," Bunda terkejut, begitu lihai takdir menyatukan kehidupan seseorang, hal yang mustahil dijadikan kenyataan, hal yang seolah enggan dilembutkan, menjadi lunak. "Bu Ika?" Putra memberi anggukan, Mahes masih asyik dengan permainan online di p
Bangunan itu berdiri kokoh dengan pondasi berumur senja. Pintu-pintu kamar yang catnya luntur, dipadukan dengan lantai teras yang retak-retak. Engsel jendela kebanyakan rusak. Satu-satunya gedung yang terbilang masih kokoh dan memiliki daya tarik karismatik yakni masjid di dalamnya, apalagi cat dindingnya baru dipoles kemarin sebelum lebaran. Santri piket mengumandangkan takbir di bawah gemerlap lampu yang dinyalakan. Halaman bangunan itu mendadak dirundung sepi selama dua minggu. Santri cuti mengaji, kebanyakan pulang untuk bersilaturahmi dengan keluarga di kampung halaman. Kang Zaki juga tidak kelihatan duduk di kantor pondok putra. Mobil-mobil pondok mangkrak di garasi, itu artinya Abah Aziz, Umi dan Farhan ada di ndalem. Lantas bisakah Shofi menyapa mata teduh pemuda yang pernah menyelamatkannya? April menyapa akhir bulan di kalender masehi, daun-daun trembesi meranggas di halaman asrama, dikombinasi rontokan daun kering rambutan dan kersen. Daun-daun kering itu berserak di atas
Orang-orang bersliweran mengenakan sandang luwes, rapi dan bau pewangi yang baru saja dibeli dari supermarket. Kendaraan-kendaraan berplat putih turun berkeliaran di jalanan kampung, disusul mobil rentalan dari luar kota membludak membuat macet. Petasan berdenging mengusik kedamaian siput kecil di dalam gendang telinga, para sesepuh berkali menggerundel karena terkejut hingga jantungnya mau semaput. Ketika itu, Shofi mengembangkan senyum di hadapan Bunda dan Agam, mereka hanya bertiga, belum memulai perjalanan keliling kampung untuk ulurkan salam permintaan ampun kepada para orang tua. Kebiasaan orang desa, memohon maaf atas khilaf selama setahun penuh baik disengaja maupun tidak disengaja. Hal itu tentu dilakukan pula oleh Agam dan Shofi, sekalipun pemuda berambut cepak yang baru saja cukur kemarin itu sempat bersikap dingin karena menahan malu. “Sudah, jangan jaim, aku telah mengampunimu walaupun kau tidak mau meminta maaf,” ungkap Shofi membunuh kebungkaman waktu. Selepas shalad