"Siapa namamu, Mbak?" tanya Shofi. Marti dan Shofi sedang istirahat di ruang belakang. Pertolongan dari Marti kemarin, membuat jarak mereka tidak bersekat meski dipekerjakan pada bagian yang berbeda. Ruang itu dipenuhi oleh perempuan -perempuan penikmat malam. Mereka sedang bersolek menghadap cermin masing-masing. Sementara Marti dan Shofi hanya duduk pada sofa panjang di belakang tubuh mereka. Cahaya ruang begitu terang sehingga mampu dirasakan menusuk sel kulit Shofi. Nyala AC membuat tempat itu terbilang nyaman juga damai. Tidak ada hentakan kaki di atas lantai, tidak ada aroma alkohol, juga jauh dari tatapan liar kaum adam yang membuat Shofi risih. "Nama sialnya Melati, nama penuh doanya Marti." "Ha?" Shofi tidak mengerti, ia menatap wajah Marti dengan penuh tanda tanya."Jangan berpura bodoh, kamu tahu kalau wanita seperti kita telah dibeli oleh Bos Bagong, dijadikan lahan bercocok tanam supaya dapat dipanen!" ungkap Marti dengan ketus, ia mengeluarkan bedak merek pasaran dar
Abah Aziz sedari tadi mondar-mandir di depan gerbang asrama putra. Tidak seperti biasanya ia dirundung gelisah, khawatir jikalau ada masalah baru yang menimpa Gus Farhan. Bayangkan saja, seorang lulusan kampus Islam tertua itu justru menghabiskan malam bersama miras, bukan lantunan ayat suci atau lingkaran pengajian. Abah Aziz dipenuhi dengan amarah. Ia ingin segera bertemu dengan Gus Farhan, menuntut perihal perbuatan yang dianggap tidak senonoh itu. "Ada apa dengan Kyai?" bisik santri yang melongok dari jendela kamar. Semalam itu mengapa Abah Aziz masih di area pesantren putra. "Entahlah, tetapi pasti ada hal mendesak yang sangat penting!" balas teman di sisinya. "Jarang-jarang beliau bersikap demikian, mungkinkah Gus Farhan membuat ulah lagi?""Hush, sembrono kamu, kalau bicara disaring dulu, jangan menimbulkan gosip!" tukas santri pertama sambil memandang pergerakan Abah Aziz. Di luar sana, dingin menusuk sum-sum tulang. Udara yang terhirup seolah akan membekukan aliran darah.
Bunda imgin menyiapkan sarapan. Ia tidak tega membiarkan Agam makan sendiri, terkadang hanya menyeduh mie instan karena buru-buru berangkat kerja. Dengan tubuh lemah ia keluar demi membeli sayuran. Rencananya Bunda sedang berdiskusi dengan fisiknya supaya mau diajak kompromi. Selalu memikirkan Shofi membuatnya terpuruk dan jatuh sakit. Ia bermaksud bangkit, menghirup udara segar, mengembalikan hari layunya dengan ikut berbincang di lingkaran gerobak sayur. Akan tetapi, topik pagi itu begitu menyayat perasaan. Bunda bukannya bangkit, justru dijerumuskan ke lubang paling pekat. "Shofi sudah pulang, Bu?" tanya tetangganya. "Belum. Doakan dia segera pulang ya, Bu." "Harapannya sih demikian, tetapi kalau dipikir-pikir si Shofi ini sungguh hilang atau justru ngelayap bersama pria asing ya?" "Maksudnya?" Ibu-ibu yang berbelanja mulai terpancing. "Itu loh seperti yang beredar di berita-berita, anak gadis pergi bersama-sama dengan kekasih dunia mayanya karena alasan saling cinta, tetapi u
"Ada hal yang paling tidak kusukai dalam diriku, Shof!" ungkap Marti sambil mengobati luka pada tengkuk Shofi. Darah telah dibersihkan dengan air hangat menggunakan kain. Ia telah meneteskan antibiotik supaya tidak terjadi infeksi, kemudian siap menutup dengan perban. Shofi duduk menghadap jendela, memandang hampa sambil menahan perih dan sensasi sakit luar biasa. Entah sudah berapa kali dirinya terluka. Lingkungan Bos Bagong sangat mengerikan, orang tidak bersalah bisa menjadi pusat pelampiasan amarah. Fisik normal bahkan bisa terluka sewaktu-waktu jika tidak mampu membaca situasi darurat. Ia menarik sebuah garis merah, tempat mencari uang Bos Bagong adalah lokasi berkumpulnya manusia-manusia rusak yang bingung mencari solusi masalah kehidupan. Detik itu Shofi sedang malas berbicara. Sakit di tengkuk akibat hantaman miras itu sangat menyebalkan, membuatnya malas bersuara apalagi melawan Bawon dan para penjaganya. Maka ia hanya membalas kalimat Marti dengan gidikan kedua bahu. “Ras
Gus Farhan dan malam tetiba menjadi kawan saling dekap dalam keheningan. Ia menyelaraskan gelap dalam diam, lampu kamar sengaja dipadamkan. Berhari-hari keluar dari ruang lima meter kali enam meter itu hanya untuk makan, membuang sampah, dan menghirup udara segar di belakang rumah. Ia belum berani menampakkan wajah di hadapan Abah Aziz juga Umi. Kedua orang tua itu sedang dilanda kecewa. Akan lebih baik jika mereka tidak saling sapa terlebih dahulu, demi meredam emosi yang semula mengambang ke permukaan wajah. Ia banyak bersujud, merenungi perbuatan lampau—berpikir keras, mendalami ketepatan Langkah dalam mengabil alur kehidupan. Atau jangan-jangan selama ini ia sungguh salah melangkah? Malam dihabiskan untuk berdzikir dan meluruhkan rasa letih terhadap kefanaan duniawi. Gus Farhan istighfar, memohon ampun atas dosa-dosa yang tertimbun. Jika merasa cukup menundukkan kepala, maka ia akan mengambil kitab suci Al-Quran, nderes. Umi mendengar rintih batin Gus Farhan melalui bacaan terse
Hari itu, di rumah sakit yang sama, Agam melihat Anggi menangis tersedu-sedan. Ia berdiri di depan ruang ICU. Rambut pirangnya disapu angin pagi, bedaknya luntur terbasuh gigil dari dalam hati. Perlahan tubuhnya merosot pada dinding rumah sakit, menenggelamkan wajah di antara lutut, meratap dengan bahu berguncang hebat. Agam berdiri tiga meter darinya, ada pertanyaan yang berkelindan di kepala. Bunda ditemukan pingsan di kamar. Empat hari lalu ia membawa Bunda ke UGD dengan perasaan kalang kabut. Ingin menangis tetapi waktu menahan, ingin meminta bantuan, sayang ia tidak mau menyusahkan para tetangga yang terlanjur melepas lelah. Pada akhirnya Agam menghubungi taxi online. Kondisi Bunda melemah, beban pikiran yang merundung di kepala membuat tekanan darahnya drop, disusul ia jarang makan teratur dan kurang beraktivitas. Beban hidup Agam bertambah, bukan perihal biaya, sebab administrasi rumah sakit telah ditanggung layanan kesehatan oleh pemerintah, akan tetapi lebih pada batin Bunda
Pembeli silih bergantian masuk, membeli barang sesuai kebutuhan. Wajah-wajah pendatang selalu datar, serupa papan titian, sewaktu-waktu akan berubah di atas, bisa juga terjun ke bawah menabrak permukaan tanah, adakalanya mereka seramah nenek moyang, tetapi tidak mustahil pula bersikap dingin. Di waktu pagi atmosfer toserba seringkali dipasok suasana sepi, hanya satu dua pembeli yang mencari-cari sarapan instan. Di jam-jam sibuk ketika matahari bertengger di atas kepala, kaum wanita mulai sibuk mencari diapers dan susu formula, hal itu membuat tempat kerja Agam menjadi sesak. Di jam-jam kepulangan kerja, rak-rak makanan, rak-rak sembako, rak-rak camilan, kulkas-kulkas ice cream diburu tanpa terkecuali pembalut perempuan. Selepas senja, menjelang malam bertandang, toko kembali menggeluti sepi, Zea akan duduk di kursi sebelah kasir, istirahat menenggak soft drink, sementara Agam sibuk memelototi jalanan. Ia menghapal plat-plat mobil, mencatat dalam ingatan siapa saya yang kerap singgah
"Kekasih?" tanya Bawon, tetiba sudah mendekat. "Maksud gue mantan kekasih?" Ia memastikan. Shofi menghela napas. Sisa bulir perih yang masih membekas di pipi, ia seka pelan-pelan. "Jangan diam saja, cantik! Jawab!" sentak Bawon. Shofi masih kesal dengan Bawon, lebih-lebih setelah Agam datang. Ia mendoakan hal buruk menimpa Bawon supaya bisa membuatnya sadar. Beberapa jam yang lalu, ketika Shofi beristirahat di rumah sekapan. Lelaki itu datang membawa kabar mengenaskan dengan rupa penuh kebahagiaan. Ada sunggingan senyum di sudut bibir. "Lihat ini!" ponsel Bawon dilempar ke pangkuan Shofi. Sebuah vidio menampilkan seorang gadis yang tengah meronta-ronta Karena kehilangan ibunya—Anggi. .Jantung Shofi bergemuruh hebat. Anggi menangis sekuat tenaga, mengguncangkan tubuh kaku yang tak lagi memiliki nyawa, kemudian ia kembali duduk. Satu hal yang membuat Shofi dipenuhi perasaan takut, wanita tua di dalam vidio itu sudah berbalut kain kafan. Bawon mengambil kesempatan dalam kesempitan o