Sara dengan lihai memoleskan lipstik warna merah terang ke bibirnya. Dengan bantuan kaca mungil yang selalu ada di tas kecilnya, ia memastikan kembali riasannya pagi ini sudah sempurna. Paling tidak, jika terjadi apa-apa nanti, ia masih terlihat cantik badai.
"Bal," panggil Sara pada seorang disampingnya yang sudah sejak lima tahun lalu menjadi asisten pribadinya. "Kalau gue udah gak kaya lagi, lo lebih baik balik kampung aja. Beli sawah kek, bangun warung atau jadi juragan sapi. Terserah lo. Yang penting gaji besar yang gue kasih selama lo kerja sama gue, berguna. Gue harap hidup lo gak ngenes banget."
"No no no!" kilah Iqbal alias Babal sambil mengayunkan telunjuknya ke kanan dan ke kiri seperti jarum jam. "Gue tetep setia sama lo. Mau lo kaya atau miskin. Gue rela gak dibayar asal tetep bisa urusin lo."
Sara menghela nafasnya kasar lalu menghempaskan rambut curly-nya dengan manja. "Jangan naif deh. Makan lo kan banyak, setelah ini gue udah gak bisa kasih lo makan lagi. Nanti lo malnutrisi gue gak tanggung ya."
"Pesimis banget lo, beb! Menurut lo gue udah gak punya tangan dan kaki? Heh! denger ya, rejeki manusia udah ada takarannya. Burung aja dikasih makan tiap hari sama Tuhan. Ngerti gak?!" omel Babal.
Lagi-lagi Sara menghela nafasnya. "Terserah lo deh!"
Kalau dipikir secara logika, Babal benar juga. Tidak mungkin Sara langsung jatuh miskin sekarang juga. Meskipun rumah papa dan segala asetnya disita, ia masih punya perhiasan dan tas branded diluar aset papanya. Nanti bisa ia jual. Paling tidak, bisa untuk makan seminggu atau mencari kos sementara.
Mobil yang dibawa Babal itu berhenti tepat di loby gedung perusahaan. Sudah banyak orang yang mengeruminu mobil hingga Sara mengernyit ngeri dan Babal hanya melongo.
"Kok kita kayak diserang zombie begini sih?" Babal
"Lo harus doain gue, semoga gue gak dicakar para wartawan dan bonyok diserang anggota direksi dan pemegang saham. Syukur-syukur bisa keluar dari sini hidup-hidup tanpa lecet sedikitpun itu udah cukup."
Mata Sara mengerjap dan kedua sudut bibirnya turun bagaikan anak kecil yang takut akan sesuatu. Namun, ia jelas bukan anak kecil. Sekarang ia adalah seorang yang punya tanggung jawab besar untuk menyelamatkan perusahaan papanya dan juga dirinya sendiri.
Kitten heels itu menapak lantai dengan bunyi yang berirama melewati segerombolan wartawan yang super barbar. Untungnya meskipun sikapnya Babal melambai, tapi ia rajin nge-gym dan punya badan yang besar, sehingga ia bisa melindungi Sara dari anarkisme yang terjadi di sini.
"Mbak Sara, bagaimana nasib Healthy Human setelah kejadian ini?"
Ya jelas genting! batin
Sara seraya melirik tajam ke arah wartawan itu."Sara, udah jenguk papanya di lapas belum? papanya sehat kan?"
Ihsss! Sok-sokan perhatian dengan papa pula! Di sosmed pedes banget hujatannya, jangan-jangan netizen tuh sebenarnya dua manusia ya?
"Mbak Sara cantik banget."
Oh selalu! Sara mulai tersenyum lebar.
"SARAGITA ISWARY, I LOVE YOU!" teriak seorang wartawan lelaki tepat di samping Sara. Lantas, ia langsung menoleh dan mengangkat tangannya dengan tumpukan ibu jari dan telunjuk membentuk simbol saranghae.
Meski nyeleneh, teriakan pujian dan kata-kata cinta itu cukup membuat mood Sara sedikit naik.
Tuhan, tolong banyakin orang-orang seperti itu saja. Batinnya.
Setelah melewati kerumunan wartawan, akhirnya ia selamat sampai dalam gedung kantor. Selain Babal, ada satpam juga yang ternyata masih respect dengannya dan mengamankannya dari para wartawan. Gestur Sara sangat percaya diri berjalan ke tempat tujuan. Perempuan ber-blazer abu dengan celana kain warna senada serta tas bermerk di tangannya itu, memasuki ruangan meeting. Hari ini begitu penting, sebab nasibnya benar-benar akan ditentukan di ruangan ini.
Mario Iswary, papan nama berbahan akrilik itu masih bertengger di meja utama. Ia duduk dengan anggun. Wajahnya mendongak seolah semuanya akan baik-baik saja. Sara harus optimis meski hati kecilnya sangat bertolak belakang. Tidak dipungkiri ada sedikit khawatir yang mendiami hatinya sejak langkah pertama keluar dari rumah dan berangkat ke sini untuk mewakili papanya sebagai anak pemilik perusahaan.
Semua orang sudah duduk menunggunya. Mereka memperhatikan setiap detail gerakan Sara dengan mata elang masing-masing. Ini memang sudah resikonya jika ia memutuskan datang ke sini untuk menyelesaikan semuanya. Selanjutnya, senyumnya tersungging pada semua orang menegaskan bahwa ia siap dengan apapun hasilnya.
"Bisa kita mulai sekarang?" tanyanya pada semua orang yang hadir dengan nada penuh wibawa.
Beberapa ada yang mengangguk cepat, ada juga yang sama sekali tidak menggubris pertanyaan Sara. Namun kebanyakan dari mereka menunjukkan ekspresi jijik dan tidak sudi. Sara sadar.
Rapat internal direksi dan pemegang saham memang terpaksa dilaksanakan hari ini. Desakan-desakan mereka tentang menarik semua saham dari PT. Healthy Human terus bergaung sejak kemarin. Semua ini terjadi begitu tiba-tiba. Sumber masalahnya adalah Mario Iswary. Papa Sara itu kemarin tertangkap polisi karena dugaan pencucian uang aliran dana gelap yang melibatkan beberapa tokoh publik, dan perusahaan ini juga terkena dampak langsung. Sebagai anak direktur HH, Sara tentu saja harus turun tangan membereskan semuanya.
"Sebelumnya, saya Saragita Iswary, meminta maaf atas kejadian yang menimpa papa saya..."
"Langsung ke intinya saja. Kami serasa dibohongi habis-habisan. Kami gak sudi lagi bergabung dengan perusahaan yang pemiliknya main kotor!" potong seorang pria muda dengan lantang dan menggebu tanpa mau menunggu Sara selesai bicara.
Lalu, semua orang di dalam ruangan meeting itu ikut-ikutan mengutarakan kekesalannya bersamaan, hampir seperti suara lebah yang terbang bergerombol di telinga Sara, saling bersahut-sahutan, dan berdengung. Sara sampai menelan salivanya kasar karena ngeri dengan situasi ini. Bayangan ia akan di rujak oleh semua orang di ruangan ini sangat jelas. Ini satu lawan banyak dan kemungkinan besar tidak ada yang akan membelanya satu pun karena semua tampak punya tujuan yang sama; hengkang dari perusahaan ini dan menarik saham mereka.
Andai ia bisa punya kesempatan mengirim chat pada Babal untuk menyewa bodyguard untuknya sekarang juga. Namun itu jelas tidak mungkin, masa semakin tidak bisa terkondisi, brutal dan tidak beradab. Semua yang terjadi ini sungguh mengancam keselamatan Sara di singgasananya. Seperti adegan slow motion di film, lemparan pulpen, buku, kursi atau benda apapun yang ada di hadapan mereka seperti kapas yang berhamburan. Satu kata, porak poranda. Meski jarak antara meja pemimpin dan peserta rapat lumayan jauh dan benda-benda itu tidak benar-benar sampai ke wajahnya, Sara tetap ketar-ketir.
Jangan menunduk Ra! Hadapi! Sara meneguhkan hatinya untuk jangan terpancing atau terlihat ketakutan karena itu hanya akan membuat semakin kacau.
Situasi sudah tidak seperti yang Sara harapkan lagi dan di luar kendalinya. Tidak mungkin juga ia bisa melanjutkan kata-katanya jika semua orang di sini sudah dikuasai oleh emosi. Situasi macam apa ini? Akhirnya dengan spontan, tangan Sara menggebrak meja. Semua orang diam, suasana jadi hening dan itu justru membuat keberanian Sara kian menciut.
"Memangnya kalian bisa jamin kalau uang yang kalian tanamkan di perusahaan ini bukan hasil dari main kotor? Jangan merasa sok jadi yang paling sengsara. Ya, papa saya memang salah, tapi apa boleh kalian bertindak brutal seperti ini, menghancurkan fasilitas perusahaan dan mundur dari perusahaan seenaknya? Udah merasa kaya?" teriak Sara hingga kerongkongannya kering kerontang.
Kali ini, Sara tertawa sarkas. Ia menaikkan satu kaki di atas kaki satunya. Semua orang tidak tahu bahwa gerakan di bawah meja itu begitu terbata dan bergetar, sangat kontras dengan wajah dan bagian atas badannya. Hebat sekali Sara bisa mengontrol sikapnya ditengah kepungan masa di ruangan ini. Pokoknya setelah ini Sara harus memanjakan diri, stay cation di Bali, spa dan makan ice cream super enak karena sudah sekeren ini.
Diam-diam, ia menghela napasnya untuk memenuhi pasokan udara di paru-paru. Sesak perlahan menjalari. Ia harus tetap kuat. Paling tidak, sampai rapat -yang sialannya sudah seperti perang- ini selesai, entah dengan hasil yang seperti apa.
"Gak penting! Yang jelas kami mau menyelamatkan uang dan diri kami, sebelum ikutan terlibat dalam kasus pak Mario." timpal Ansori, pria berkacamata yang sudah bergabung dengan HH belasan tahun.
Semua juga menyuarakan hal yang sama.
Sara lantas memindai satu-satu orang-orang. Hampir semuanya pernah jadi orang penting dan orang kepercayaan papa di HH. Ia sungguh tak percaya jika tidak ada satupun yang mau bertahan di sini. Lalu, mata Sara tertuju pada orang di kursi paling belakang. Satu-satunya orang yang berharap bisa ia andalkan, sebab ia sudah mengenalnya lama. Sara hampir memanggil orang itu dan meminta pertimbangannya untuk tetap di perusahaan ini dan menanamkan sahamnya. Sayangnya, saat mulut itu hampir terbuka, lidahnya tiba-tiba kelu. Sara tak sanggup merendahkan dirinya seperti ini. Ia tidak siap mengemis empati.
Gak! Gak boleh terlihat mengemis di depan orang-orang. Stay calm, Sara! Lo harus bisa tenang menghadapi ini.
"Kita semua di sini, sembilan puluh sembilan persen sepakat untuk mengundurkan diri dan meninggalkan HH!"
"Ya, betul!" sahut pak Rudi, manager marketing.
Suara sahut-sahutan itu kembali terdengar lagi. Kali ini dibarengi dengan deretan suara kursi dan orang-orang berdiri. Baru sekarang, semenjak masuk ke ruangan meeting, Sara menunduk. Aksi mereka di mulai kembali. Ia takut orang-orang sungguhan akan mengeroyoknya. Matanya terpejam dengan telinga yang masih mendengar suara keriuhan. Semuanya tidak bisa ia kontrol.
Remasan kertas berhasil orang-orang itu lempar dan mengenai Sara hingga ia menutupi kepalanya dengan kedua tangan. Lalu entah bagaimana, ia langsung berlindung di bawah meja, menekuk lututnya dan rasa takut itu tiba-tiba menyerbu.
Sara telah kalah. Ya, ia kalah dengan keadaan dan dirinya sendiri. Bahkan untuk mempertahankan satu orang di HH saja, ia tidak mampu. Pikirannya sungguh kusut. Benar dugaannya, semua akan berakhir begini dan tinggal tunggu waktu, HH akan kolaps. Rasanya ia ingin menangis, tapi tidak mungkin di sini. Sara sudah janji apapun yang terjadi, ia tidak akan menangis dan membasahi riasan flawless-nya sampai luntur, meski hatinya sudah menjerit. Tidak!
"Nangis gratis kok, gak ada yang larang juga." ujar seseorang saat Sara masih menunduk memejamkan mata dan berkutat dengan isi kepalanya yang penuh. Ia tahu pemilik suara ini.
Sara pun membuka matanya dan mendongak, lalu yang ia sadari pertama adalah, sepasang kaki yang berdiri di depannya. Suara keributan orang-orang itu sudah tidak terdengar lagi. Sepertinya huru-hara ini sudah selesai. Namun, tentu saja tidak dengan kepala Sara yang riuh bukan main. Bayangan ia akan hidup di kosan satu petak dengan kecoak dan tikus, makan mie instan dan kulitnya kusam serta menjalani hidup sendirian di dunia yang luas ini. Benarkah ini adalah titik balik paling rendah dalam hidupnya?
Lalu, satu pikiran melintas begitu saja. Tangan Sara meraih satu kaki berbalut celana kain warna hitam itu dan mencengkeramnya dengan kuat.
"Apaan sih!"
"Bay! Nikahin gue!"
***
Banyu Sadewa terpaksa menyempatkan datang ke rapat internal dimana ia pernah menanam saham di sana, PT. Healthy Human. Awalnya ia tidak ingin datang karena merasa tidak terlalu penting. Toh, saham yang ia punya di sana tidak begitu banyak. Namun, salah seorang senior yang lebih dulu menanam sahamnya di HH mengajaknya untuk melihat detik-detik hancurnya perusahaan besar itu, akhirnya ia berangkat.Banyu sudah mendengar berita soal Mario Iswary tertangkap polisi. Meski semua orang menganggap berita ini menghebohkan, Banyu justru berpikir jika ini berita yang epic. Seorang Mario Iswary, pengusaha terkenal di bidang kesehatan, lifestyle dan kini merambah ke kecantikan, ditangkap atas kasus pencucian uang. Apalagi konon melibatkan tokoh publik yang sedang sangat di sorot namanya karena akan mencalonkan diri jadi pejabat. Tentu saja Banyu penasaran, bagaimana nasib perusahaan besar itu? Sementara kabarnya, banyak karyawan yang demo minta resign sekaligus uang pesangon. Apa benar nanti ia ak
Babal bersidekap dan bahu kirinya menyandar di kusen pintu, memperhatikan orang gila di dalam kamarnya. Meraung-raung sambil menutup wajahnya dengan bantal, kadang nungging, kadang kakinya menendang-nendang seperti anak yang sedang tantrum, kadang tertawa linglung sambil menjambak rambutnya sendiri. Benar-benar tidak habis pikir, mengapa bisa ia mengevakuasi bosnya yang superaneh ini. Apa mungkin Sara makan kecubung sampai bisa begini?Lagipula apa yang sebenarnya terjadi di ruang meeting?Tadi Sara meminta Babal untuk menunggunya di ruangan sekretaris, lalu saat mendengar ribut-ribut, ia keluar dan mendapati semua orang yang mengikuti rapat sudah keluar ruangan dengan wajah yang tidak mengenakkan. Terakhir sebelum ia mau masuk ke ruang meeting untuk menjemput Sara, ia berpapasan dengan Banyu, spesies lelaki manis yang ramah kesukannya. Namun, kali ini ia melihat Banyu keluar dengan wajah yang masam dan sama tidak mengenakkannya dengan orang-orang. Wajahnya memarah, kaku seperti menah
"Bal, serius kan di komplek ini gak ada yang melihara anjing?""Iya, kalau ada paling anjing galak rumahan, gak akan di lepas juga." jawabnya sambil mengikir kukunya."Ya udah, ayo! temenin gue jogging."Babal menguap lebar tanpa menutupnya. Ini masih pukul enam pagi dan Sara sudah ribet sendiri meminjam hoodie, headben, dan minta rute lari yang tidak ada tanjakan atau turunan ekstrim. Mana tahu Babal soal itu? ia tidak pernah lari di sekitaran komplek sini, nanti pulang-pulang sudah babak belur di toel-toel ibu-ibu beli sayur karena terlalu sexy saat berkeringat.Huh!"Ngapain sih jogging di kompleks? kenapa gak ke lapangan bola aja yang proper, gak ada tanjakan dan turunannya.""Kelamaan Bal, ini udah hampir terang, nanti kesiangan kalau harus ke lapangan dulu. Udah ayo!" kilah Sara sambil menarik tangan Babal yang gemulai untuk segera bangkit dari tempat tidurnya dan siap-siap."Ihh! Kalau gak inget lo bos gue dan pernah gaji gue tinggi, males gue," telunjuk Babal mengacung ke arah
"Oke, gue ikut. Gue bakalan nikahin lo."Seperti petir di siang bolong, Sara begitu kaget mendengar penuturan Banyu, sampai-sampai ia hampir saja menumpahkan gelas kopi yang sempat ia raih untuk diminum. Tangannya sudah bergetar, lalu Banyu dengan reflek ikut menangkup gelas kopi sekaligus tangan Sara. Menahan gelas itu supaya tidak benar-benar jatuh dan tumpah. Situasi yang sangat-sangat aneh dan akward. Sara lantas menarik tangannya otomatis dan meninggalkan tangan Banyu yang juga terlepas dari tangkupan itu. Ia menoleh ke sembarang arah dengan tetap berusaha setenang mungkin. Bukan salting, hanya saja Banyu seperti menyentil jantungnya sekarang."Bay, kayaknya lo salah paham.""Salah paham?" Banyu yakin pendengarannya tidak terganggu. Kemarin Sara minta dinikahi kan? "Lo kemarin ...""Gak, gak!" potong Sara sambil memajukan tangannya supaya Banyu stop berbicara dulu dan membi
Pengalaman hidup sampai usianya menginjak 35 tahun, sangat menjadi andil dalam terbentuknya kepribadian Banyu yang sekarang.Selama hidup, Banyu tak pernah sekalipun mengambil keputusan bodoh. Ia selalu memikirkan dengan matang dan penuh pertimbangan. Jangankan persoalan yang penting yang mempengaruhi secara langsung kehidupannya, yang remeh saja tak luput dari segala pertimbangan. Kepalanya seolah sudah di desain menjadi pengambil keputusan yang baik dan bijak. Kecerdasan, common sense serta tangan dingin yang Banyu miliki tentu saja juga jadi modal utama hingga membuat Artblue —perusahaan star up yang bergerak di bidang periklanan— itu menjadi maju di kurun waktu lima tahun. Itu soal karirnya. Sama halnya dengan hal privasi yang terjadi di hidupnya, Banyu tak pernah sekalipun bertindak gegabah.Termasuk momen satu tahun lalu, saat Hira, mantan kekasihnya, datang kembali ke kehidupan Banyu. Perempuan yang sebenarnya mati-matian ingin ia lupakan. Namun so
"Untungnya di mobil gue, gak ada setannya. Jadi lo boleh melamun terus tanpa takut kerasukan." ujar Banyu yang menoleh sekilas pada Sara, lalu kembali fokus menyetir."Bay, harus gak sih kita ke psikolog? kayaknya kita berdua sama-sama gila." tanya Sara begitu lemas.Emosi yang tadi membakarnya habis sekarang mulai mereda karena ia sadar, itu tidak akan menyelesaikan masalah dan malah membuat kepalanya semakin pusing. Papanya yang sejak dulu selalu mempertimbangkan perasaan anaknya, kali ini seperti lepas tangan dan percaya begitu saja pada Banyu. Membuat Sara berakhir terjebak dengan permintaannya sendiri."Boleh, mau ke psikolog sekarang? tapi gue jamin, gue masih waras."Sara menolehkan kepalanya pada Banyu. "Kalau lo masih waras, ngapain lo mau nikahin gue Bay? pakai minta restu ke papa segala dan minta pernikahannya diadakan lusa. Apa namanya kalau gak gila?!""Jangan playing victim jadi si paling menderita. Lo bilang butuh bantuan dan satu-satunya cara cuma dengan jalan menikah.
Sara menyeret kopernya dengan susah payah. Ia mengutuk lelaki yang ada di depannya sekarang, teganya main tinggal begitu saja tanpa mau membantu. Sudah tahu kopernya sangat berat. Lagipula sejak kapan Sara menurut sama orang lain, yang ada biasanya orang lain yang harus menurut apa maunya. Andai waktu itu mulut Sara bisa di kontrol untuk tidak mengucapkan kata-kata bodoh, ia tidak akan mendapatkan pilihan yang sulit dan ada di sini. Di rumah Banyu. Sekarang ia juga sudah menyandang sebagai istri seorang Banyu Sadewa.Tadi pagi, mereka melangsungkan pernikahan sederhana di lapas dengan saksi seadanya, hanya Babal, personal asisten Banyu dan tim pengacara Mario Iswary. Sejak pagi ia sudah mellow dan bilang papanya bahwa ia hanya bercanda meminta Banyu menikahinya. Yang tidak disangka, papanya justru mendukung dan memberi wejangan 'Kalau kamu menikah dengan Banyu, setidaknya selama papa di lapas, papa gak perlu khawatir soal kamu.' Mau tidak mau, akhirnya m
Kutukan apa yang pas ditujukan pada Banyu? Wajah tengilnya sangat membuat Sara kesal bukan main. Bisa-bisanya Banyu mengambil Kikut yang sudah melompat ke bahu Sara dengan santainya, sementara Sara sudah gemetaran dan bergidik ngeri, takut katak itu loncat lagi ke bagian wajahnya atau bagian tubuh yang lain. Banyu juga sepertinya sengaja lama mengambil bajunya untuk mengerjai Sara."Kayaknya Kikut suka sama lo," katanya terkekeh. "mau bicara apa sih?" lanjut Banyu tanpa rasa bersalah."Gak jadi!" putus Sara berbarengan dengan hentakan kakinya di lantai lalu berbalik menuju kamarnya dan menutup pintu dengan keras.Mood-nya berubah drastis. Ia menghempaskan tubuhnya lagi ke atas ranjang. Banyu memang punya uang, tapi untuk saat ini tidak bisa diandalkan. Sara butuh saran yang bagus dan menurutnya Banyu bisa diajak diskusi. Ia punya ide untuk membuka kantor cabang HH yang tidak terdampak langsung kasus papanya. Cabang di sektor pengemasan fresh fruit ini puny
"Ish! Salah siapa sih kamu buru-buru, sampai gak lihat jalan?"Sara meniup-niup kening Banyu. Lelaki itu kemarin baru saja mendapatkan lima jahitan akibat menabrak pinggiran pintu dan bocor."Aku panik Hon waktu dengar Bumi nangis kejer. Jadi aku lari gak lihat-lihat. Mana baru bangun tidur di sofa, terus ingetnya masih rumah lama.""Ck! Bumi nangis kan wajar sayang. Kalau gak minta susu ya gak nyaman. Kamu gak perlu sepanik itu." Kini, Sara mengusap pelan perban sekitar perban itu dan menyelipkan rambut ikal Banyu ke belakang.Tangan Banyu melingkar di pinggang Sara yang berdiri di depannya. "Iya, maaf. Lain kali aku hati-hati."Banyu mendongak dan menatap istrinya yang serius sekali meniup luka Banyu tersebut. "Honey, Kiss me a little, please!" katanya dengan nada berbisik."Gak bisa, kita harus segera keluar sekarang. Itu udah rame loh. Gak sopan membuat mereka nunggu." tolak Sara.Banyu memberengut. "Satu k
"Kenapa, Hon?" tanya Banyu saat Sara terlihat menghela napas kasar seraya menyurukkan kepalanya di dada Banyu."Papa pasti kesepian di rumah. Biasanya kita selalu makan malam bersama, terus ngobrol di ruang tengah. Atau aku bantuin Papa mengurus beberapa hal di ruang kerjanya sambil ngerjain endorsment."Tangan Banyu membelai kepala Sara dengan sayang. "Kamu bisa telpon Papa, Hon. Atau mau aku telponin?"Sara menggeleng. "Papa udah tidur jam segini."Ini memang sudah pukul sebelas malam, dan Mario selalu tidur sebelum sepuluh malam. Beliau selalu menerapkan jam tidur sehat supaya bisa bekerja lebih produktif esok harinya. Ya tidak heran, Mario kan pemilik perusahaan kesehatan."Sayang, aku kepikiran sesuatu." Sara mendongak menatap Banyu.Lelaki itu pun menaikkan kedua alisnya, bertanya. "Apa?""Boleh gak Kikut dikasihkan ke Papa, biar gak kesepian banget kalau punya hewan peliharaan."Banyu melotot. "Sara, wala
Papa, Sara, dan Banyu duduk berjejer di dalam satu pesawat. Mereka akan balik ke ibu kota sore ini setelah Sara diperbolehkan pulang oleh dokter.Sementara Babal, Ardi dan Disha, masih mau menikmati liburan mereka. Biarlah tim penggembira itu bersenang-senang, sebelum Babal akan Sara repotkan selama kehamilannya ini. Mungkin Ardi dan Disha juga akan kerepotan karena Banyu tampak akan menjadi suami super posesif dan siaga nantinya. Ya bagaimana tidak? Banyu punya beban untuk meyakinkan Papa Mario atas tanggung jawab dan perhatian penuhnya terhadap Sara.Meski suasananya sudah lebih mencair, Sejak masuk ke dalam pesawat, Mario sama sekali belum berbicara apapun dengan Banyu. Membuat Sara gemas sendiri."Papa tahu gak? Seberapa bahagia Sara hari ini?"Mario menaikkan kedua alisnya saat putrinya membungkus lengannya dengan manja."Sara bahagia banget Pa. Dua lelaki kesayangan Sara kini kembali. Momen-momen yang selalu Sara impikan saat Papa m
Sara tidak bisa diam di kamar. Babal dan Ardi bahkan sudah meminta Sara untuk duduk dan berbaring dengan tenang demi kesehatannya, tapi Sara terus menolak. Ia tidak bisa diam saja melihat Banyu dan papa bicara di luar sana. Ada rasa takut. Bagaimana jika Banyu akan menuruti apa yang papanya mau seperti waktu di rumah Papa itu. Ia baru saja mengurai benang kusut dengan Banyu dan akan memulai semuanya kembali. Mengarungi rumah tangga dengan pengalaman baru mempersiapkan diri jadi orang tua. Kali ini ia tidak mau mengulangi hal buruk kemarin lagi. Berpisah dengan Banyu meski hanya seminggu, rasanya sudah sangat menyiksanya. Terserah jika orang berkata ia budak cinta paling tolol. Nyatanya, Banyu tidak pernah gagal membuatnya mabuk kepayang dan jatuh cinta sedalam-dalamnya. Ia tidak bisa terpisah dengan Banyu.Kemudian ia teringat sesuatu. Sara pun menyuruh Babal mengambilkan ponselnya dan menelepon Mbok Na. Sara harus memastikan sesuatu."Mbak Sara!! Astaga!
Babal menggigit bibirnya dengan gelisah, sementara Ardi mengusap wajahnya kasar, sama paniknya dengan Babal tatkala melihat Mario Iswary sudah berdiri tegak di depan ranjang itu, melihat tajam dua orang yang masih bergelung di atas sana."Gawat!" bisik Babal setelah mereka membuka pintu kamar itu dan hanya bisa mematung juga di belakang Mario.Ardi menggeleng-gelengkan kepalanya sambil komat-kamit mulut mbah dukun baca mantra, dengan segelas air lalu pasien di sembur. Ah! ia frustasi melihat pemandangan ini.Sepasang pasutri kembali kasmaran itu pun mulai terusik. Sara mulai membuka matanya dan pupilnya melebar kaget. Lalu, Banyu juga terusik dan akhirnya terbangun dan otomatis seperti melihat hantu di depannya. Dengan wajah kusut, rambut berantakan dan baju tipis saringan tahu, Banyu melompat dari ranjang itu. "Papa." ujarnya dengan suara serak.Sialan Banyu! Sudah tahu itu papa Mario, bukan hulk, masih menvalidasi pula dengan ekspresi tidak berdosanya.Situasi macam apa ini?Di sela
Sara tidak pernah terbayangkan akan merasakan perasaan hangat ini lagi. Kemarin, ia sungguh bertekad melepaskan Banyu setelah perceraian selesai dan melupakan semua momen kebersamaannya dengan Banyu. Sekalipun ternyata prosesnya sangat sakit. Diam-diam, ia sering menangis sendirian di tengah malam. Ada perasaan hampa menyelimutinya saat sadar fakta mereka tidak akan bersama, melewati hari, bercanda gurau dan saling memadu kasih lagi. Di lubuk hati yang paling dalam, Sara tidak ingin ini terjadi. Sara mencintai Banyu. Masih mencintai lelaki itu bahkan saat Banyu membohonginya soal perjanjian dengan papanya.Namun, memang semuanya terlalu rumit.Sara sangat sayang dengan Papanya. Sejak dulu, ia selalu menurut apa yang papanya bilang. Ia tidak pernah menjadi anak yang pembangkang dan terbukti, berbakti dengan orang tua membuat hidupnya lebih mudah, lebih tenang hatinya dan damai. Ia akan melakukan apapun untuk papanya, terlebih setelah dinyatakan bebas. Sara
Mengetahui mereka akan segera menjadi orang tua adalah sesuatu yang mengejutkan bagi Sara, bahkan Banyu. Apalagi mereka sedang di luar pulau dan di tempat yang asing. Sesuatu perasaan yang sangat aneh. Sara terus menangis karena terharu, bimbang, dan banyak ketakutan serta kekhawatiran yang mendiami pikirannya. Namun, Banyu dengan setia menemani Sara melalui proses penerimaan dengan keadaan baru ini. Hampir satu jam, Sara menangis dan bicara ngalor-ngidul soal kecemasannya akan menjadi ibu. Kini, air matanya telah berhenti. Hidungnya merah dan matanya sembab. Kerinduan Banyu yang telah terakumulasi seminggu lebih ini, justru membuatnya gemas melihat Sara yang begini. Ia sungguh ingin mencium Sara terus menerus dan menghujaninya dengan sayang, melepas kerinduannya kepada istrinya ini. Sekarang tentu saja bukan saatnya kangen-kangenan. Banyu harus tetap menjadi suami siaga untuk Sara, ditengah kelabilan Sara ini. "Sara, kamu udah melewatkan makan siang. Sekarang kamu harus makan malam.
"Jadi ... surat siapa yang dikirim ke rumah?"Keduanya tampak memandang bingung satu sama lain. Terutama Banyu yang sangat tidak paham dengan cerita Sara. Bagaimana mungkin ada surat dari pengadilan yang tiba-tiba ada di rumah Sara, sementara Banyu saja tidak berniat menceraikan Sara. Tidak sedikitpun ia menginjak lantai pengadilan untuk menggugatnya. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk terus memperjuangkan Sara, bagaimanapun sulitnya menghadapi Mario dan kerasnya hati Sara saat ini. Di tengah keheningan dengan pikiran masing-masing itu, suara pintu kamar terdengar. Sontak keduanya memalingkan wajah ke arah pintu. Lalu muncullah seorang dokter laki-laki paruh bawa yang rambutnya sudah putih semua tapi wajahnya tampak seperti umur tiga puluhan. Cukup good looking dan pasti membuat semua perawat dan dokter perempuan di sini ketar-ketir. Andai Sara tidak sedang berstatus terombang-ambing begini, sudah pasti ia mengaku naksir dokter tersebut.Dokter
Sara menepis tangan Banyu saat mau membantunya turun dari kapal. Sebagai gantinya, ia lebih menarik Babal dan menerima bantuan lain dari Disha di sebelah kanannya. Tadi, kaki Sara sempat kram karena ia memang tidak banyak melakukan pemanasan sebelum naik ke Padar. Sungguh kesalahan fatal. Sekarang, ia harus merepotkan banyak orang untuk membantunya begini. Ambulan sudah siap ketika mereka turun di pelabuhan dan Sara diminta untuk tiduran di brankar. Sara pikir hanya Babal dan Disha yang ikut naik ambulan itu, rupanya Ardi dan Banyu juga ikut naik. Bahkan Banyu dengan sigap duduk di sebelah kanan dada Sara mendahului Disha.Bibir Sara sudah hampir protes dan meminta Bantu keluar, tapi pintu ambulan itu sudah ditutup oleh petugas medisnya. Mau tidak mau, Sara harus menerima situasi berdekatan dengan Banyu. Ia menutupi matanya dengan lengan karena pusing itu kembali menderanya. Selain itu juga untuk menghindari melihat Banyu.Dalam kurun waktu dela