Beranda / Pernikahan / Ngebet Nikah Karena Takut Miskin / Bab 8. Kikut si katak Papua

Share

Bab 8. Kikut si katak Papua

Sara menyeret kopernya dengan susah payah. Ia mengutuk lelaki yang ada di depannya sekarang, teganya main tinggal begitu saja tanpa mau membantu. Sudah tahu kopernya sangat berat. Lagipula sejak kapan Sara menurut sama orang lain, yang ada biasanya orang lain yang harus menurut apa maunya. Andai waktu itu mulut Sara bisa di kontrol untuk tidak mengucapkan kata-kata bodoh, ia tidak akan mendapatkan pilihan yang sulit dan ada di sini. Di rumah Banyu. Sekarang ia juga sudah menyandang sebagai istri seorang Banyu Sadewa.

Tadi pagi, mereka melangsungkan pernikahan sederhana di lapas dengan saksi seadanya, hanya Babal, personal asisten Banyu dan tim pengacara Mario Iswary.

Sejak pagi ia sudah mellow dan bilang papanya bahwa ia hanya bercanda meminta Banyu menikahinya. Yang tidak disangka, papanya justru mendukung dan memberi wejangan 'Kalau kamu menikah dengan Banyu, setidaknya selama papa di lapas, papa gak perlu khawatir soal kamu.'

Mau tidak mau, akhirnya mereka menikah dan menyepakati lima point yang mereka utarakan kemarin.

Siangnya, Sara masih ada di rumah kontrakan Babal untuk mengemasi barang-barang dan Banyu sedang meeting di cafe terdekat. Lelaki itu menjemput Sara pada malam harinya.

"Ck! Dasar gak peka!" gerutu Sara sambil melihat punggung Banyu yang terus berjalan di depannya.

Rangkaian nasib ini memang membuatnya miris sendiri. Secara tidak langsung, ia menggadaikan tubuhnya untuk hidup nyaman dan tidak hidup di kolong jembatan. Tapi bagaimana? Biaya pengacara tidak murah, pekerjaannya juga semua diputus kontraknya. Benar kalau ia masih punya tenaga buat berusaha seperti yang Babal katakan, tapi kan tidak semudah itu. Ia butuhnya cepat, supaya kasus papanya ini bisa diusahakan dengan baik. Syukur-syukur bisa bebas karena Sara percaya papanya tidak bersalah.

Huh! Mau menyesal tapi sudah terlanjur. Kalau kata Banyu; nasi sudah jadi bubur.

Bukan Sara namanya jika ia mengeluh berlebihan. Sara bukan tipe orang yang begitu. Sara adalah orang yang mudah sedih, mudah juga untuk bangkit kembali. Ia cukup percaya dengan yang namanya tanda alam. Beberapa hal yang terjadi dalam hidupnya belakangan ini, bisa jadi adalah cara alam untuk menemukan destiny-nya. Bertemu Banyu lagi setelah sekian lama, meminta dinikahi dengan cara yang tidak bisa ia kontrol dan restu dari papanya. Tanda-tanda itu bisa jadi adalah serangkaian alur yang memang harus ia jalani. Anggap saja seperti itu. Mantra Sara kini berubah; go it the flow, Ra! Ya, meski kadang ia mengucapkannya sambil mewek.

"Ini kamar lo." ujar Banyu membuka sebuah pintu kamar dan memasukinya lebih dulu.

Sara mengikuti Banyu masuk dan melihat-lihat dalamnya. Ia menaruh kopernya di dekat ranjang. Matanya berkeliling ruangan itu dengan decak puas. "Thankyou."

"Lo istirahat deh. Di sebelah ini kamar gue, kalau ada apa-apa atau butuh sesuatu, bilang aja. Rumah ini gak ada pembantu tetap. Mbak Yah dan pak Kodir biasanya datang buat bersih-bersih seminggu dua kali aja."

Windy mengangguk. Lelaki itu pun lalu keluar dari kamar dan berjalan menuju kamarnya sendiri.

Rumah Banyu memang tidak terlalu besar, cukup minimalis tapi sangat modern dan elegan. Sara sampai beberapa kali melihat sudut-sudut rumah yang pemilihan interior dan desainnya sangat pas. Warna-warna catnya juga bukan warna yang umum digunakan, tapi cukup menarik dan enak dilihat.

Sara duduk di ranjang ukuran sedang itu. Matanya kembali menyusuri setiap sisi ruang kamar ini. Lalu setelah puas, ia merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk itu. Pandangannya tertuju pada langit-langit putih yang entah mengapa begitu menenangkan alih-alih kamarnya dulu yang sengaja ia cat warna pink. Sudah seperti kamar Barbie saja. Sekali melihat yang minimalis begini, ternyata ia baru sadar jika seleranya sangat norak.

Kira-kira, hal pertama apa yang harus ia lakukan sebagai seorang istri? Meski bukan istri sungguhan karena sesungguhnya pernikahan ini adalah kontrak. Pikirannya mengawang.

Lamunan Sara harus terhenti tatkala ponselnya berbunyi. Sebuah notifikasi pesan dari sosial medianya. Biasanya ia jarang membuka direct massage dari sosmednya karena kesibukan. Sekarang, entah mengapa ada dorongan untuk membuka pesan itu dan ia tidak mengenal usernamenya.

Hallo, bu Saragita.

Saya Nadhira, karyawan HH bagian pengemasan fresh fruit. 

Sebelumnya saya mau mengucapkan ikut prihatin dengan masalah yang terjadi di HH. Saya sebagai karyawan yang sudah bekerja lima tahun, merasa sedih dengan adanya masalah ini. Bagi saya, HH sangat berjasa, saya bisa menafkahi keluarga saya di kampung. Bisa membiayai anak sampai kuliah dan menyejahterakan keluarga kecil saya. HH juga membuat saya bisa menambah skill yang bisa saya terapkan di luar kantor. Sejujurnya, saya dan teman-teman lainnya masih ingin bekerja di HH yang lingkungan kerjanya bagus, gaji yang sesuai dan tunjangan yang memadai. Saya berdoa, semoga ibu Sara dan pak Mario tetap sehat dan semangat sehingga bisa memimpin HH lagi. 

Salam rindu kami, karyawan Healthy Human.

Membaca pesan tersebut, Sara menutup bibirnya terharu. Disaat semua pejabat HH mendesaknya, menghujat papa dan dirinya habis-habisan, ternyata masih ada karyawan yang bahkan jabatannya tidak tinggi, memberikan pesan ini, memberikan dukungan moril dan doa padanya setulus ini. Apa itu artinya Sara harus bangkit dan turun tangan langsung demi karyawan-karyawan yang masih punya optimis untuk bekerja ini?

Ia pun bangkit dari ranjang, berjalan cepat membuka pintu dan mengetuk pintu di sebelah kamarnya. Ia harus mendiskusikan ini dengan Banyu, ia butuh bantuan lelaki itu.

Ketukan pertama, tidak ada respon. Ketukan kedua, juga hening. Barulah di ketukan ketiga, Banyu membukakan pintu. Namun, begitu terkejutnya Sara tatkala Banyu menampakkan diri tanpa baju dan hanya mengenakan boxer. Itu bukan satu-satunya kejutan yang mengagetkan, Banyu memegang sesuatu yang mengkilat seperti berlendir berwarna hijau di tangannya. 

Sara otomatis memundurkan badannya. Ia cukup syok dengan pemandangan ini.

"Bay! Itu apaan!" teriaknya dengan kaget dan kesal.

"Sorry ... sorry ... ini cuma katak Papua, gak beracun kok. Mau pegang?" Banyu memajukan katak itu di hadapan Sara.

"Aaaa!!! No!" kedua tangan Sara terangkat ke atas menghindari segala apapun yang ada di dekatnya, saking gelinya. "Bisa gak lo pakai baju dulu terus taruh tuh hewan? gue mau bicara." perintahnya pada Banyu yang hanya direspon dengan kedua alis yang terangkat.

"Gue gerah, lagian gue lagi main sama Kikut. Mau ngomong apa sih emangnya?"

Sara mendengus kesal mendengar alasan Banyu yang super menyebalkan. Ia lantas memelototkan matanya.

"Oke, gue pakai baju. Tapi titip Kikut bentar." Banyu menyerah dan mengiyakan perintah Sara, tapi lelaki itu justru meraih telapak tangan Sara dengan cepat dan menaruh katak itu di sana, lalu segera masuk lagi ke dalam kamar mengambil baju tanpa mempedulikan teriakan Sara.

Sara menjerit kencang karena takut dan geli merasakan ada sesuatu berlendir di tangannya. Rasanya ia mau melempar hewan ini tapi tangannya mengaku dan tidak bisa bergerak saking syoknya. Rasanya mau nangis.

"Banyu sialan!!"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status