Beranda / Pernikahan / Ngebet Nikah Karena Takut Miskin / Bab 4. Lo punya duit lo punya kuasa

Share

Bab 4. Lo punya duit lo punya kuasa

"Bal, serius kan di komplek ini gak ada yang melihara anjing?"

"Iya, kalau ada paling anjing galak rumahan, gak akan di lepas juga." jawabnya sambil mengikir kukunya.

"Ya udah, ayo! temenin gue jogging."

Babal menguap lebar tanpa menutupnya. Ini masih pukul enam pagi dan Sara sudah ribet sendiri meminjam hoodie, headben, dan minta rute lari yang tidak ada tanjakan atau turunan ekstrim. Mana tahu Babal soal itu? ia tidak pernah lari di sekitaran komplek sini, nanti pulang-pulang sudah babak belur di toel-toel ibu-ibu beli sayur karena terlalu sexy saat berkeringat.

Huh!

"Ngapain sih jogging di kompleks? kenapa gak ke lapangan bola aja yang proper, gak ada tanjakan dan turunannya."

"Kelamaan Bal, ini udah hampir terang, nanti kesiangan kalau harus ke lapangan dulu. Udah ayo!" kilah Sara sambil menarik tangan Babal yang gemulai untuk segera bangkit dari tempat tidurnya dan siap-siap.

"Ihh! Kalau gak inget lo bos gue dan pernah gaji gue tinggi, males gue," telunjuk Babal mengacung ke arah Sara. "Inget ya, lo punya duit, lo punya kuasa. Kalau udah gak punya duit, minimal jangan paksa gue buat nurutin perintah lo."

Sara tidak menimpali apapun, ia hanya berkacak pinggang sambil mengamati setiap gerak-gerik Babal yang sedang memakai kaos dan melotot tajam tatkala mendengar celotehan itu. Begini rupanya jika Sara tidak punya harta apalagi kuasa. Namun, meskipun ia tahu Babal hanya becanda, perkataannya sedikit ada benarnya juga. Sekarang Sara sudah miskin dan tidak punya apa-apa, yang ia punya hanya fisik dan pikiran. Jangan sampai ia juga kehilangan orang kepercayaan seperti Babal hanya karena kebiasaan saat ia kaya terbawa di situasi begini. Bossy.

Ah entahlah!

Yang jelas, di hari ketiga menumpang di kontrakan Babal, tentu saja Sara belum tahu mau melakukan apa. Kerjaan tidak ada, mau membuat sarapan pun ia tidak bisa masak. Niatnya ia mau mengajak Babal jogging, sambil mencari sarapan. Hitung-hitung ucapan terimakasih sudah mau Sara repotkan. Lagipula Sara masih punya uang dari hasil menggadaikan perhiasan dan jam tangan serta tas branded satu-satunya yang ia bawa. Jadi ia masih punya pegangan. Lalu siang nanti, ia akan ke lapas untuk menjenguk papanya dan membawakan makan siang sekaligus diskusi langkah hukum selanjutnya.

"Intinya mau gak? kalau gak mau ya udah, gue jogging sendiri sekalian beli bubur ayam kayaknya enak." ujar Sara menegaskan karena Babal tidak kunjung selesai siap-siapnya, mulutnya masih terus saja mengomel tidak jelas.

"Iya, gue ikut. Gue tahu bubur ayam yang enak!" jawab Babal secepat kilat. 

Kalau soal makan aja gercep!

***

Perihal perasaan sayang yang lama mengendap, apakah akan hilang dengan sendirinya jika sumber dari munculnya perasaan itu telah pergi?

Hira, perempuan itu dengan terangnya berpamitan pada Banyu untuk pergi ke luar negeri menemui seseorang di masa lalunya. Selama ini, Banyu salah menduga bahwa Hira akan segera melupakan orang itu dan melihat kehadiran Banyu seutuhnya. Ternyata, Banyu salah atau ia memang bodoh saja. Usaha apapun yang telah Banyu lakukan untuk mendistrak Hira dari orang itu, pasti ujungnya hanya sia-sia. Harapan jika perasaannya bisa berlabuh dan menemui rumahnya di diri Hira, itu semua hanya angan belaka. Kepergiannya ini seolah pertanda bahwa Banyu tak cukup penting, tak cukup berharga dan tak cukup segalanya. 

Apa boleh jika Banyu menandai perpisahan lewat chat ini adalah kesempatan terakhirnya untuk Hira? 

Kekalutannya tentang masalah ini juga yang membuat Banyu akhirnya memutuskan untuk lari di subuh hari. Hawa yang dingin bersama embun yang tumbuh di dahan-dahan, ia harap bisa membuat otaknya juga ikut lebih segar. Meski tidak bisa dipungkiri, hatinya akan tetap terasa hampa. Ia baru saja diselingkuhi secara terang-terangan. Meski caranya baik-baik dan dengan dalih Banyu terlalu baik. 

Halah! Tai!

Dengan pikiran yang berjubal di kepalanya, tidak terasa kakinya telah berlari sangat jauh hingga cahaya fajar muncul perlahan, menyorot dunia dengan hangatnya dari ufuk timur. Hari sudah mulai terang. Keringat sudah mengucur di dahi dan wajahnya. Banyu pun memelankan langkahnya, menghirup oksigen gratis yang Tuhan beri di pagi ini, sebanyak-banyaknya. Membiarkan udara bersih bergantian memenuhi paru-parunya.

Ia menunduk mengamati jam di pergelangan tangannya, saat seseorang menabrak bahu kirinya. Tidak terlalu kencang, tapi cukup membuat Banyu mendongakkan wajahnya.

"Ops, sorry gak sengaja." kata orang itu sambil lalu.

Mata Banyu lantas mendelik saat menyadari sesuatu. Suara itu ia kenal dan saat kepalanya membalik ke belakang, benar saja dugaannya.

"Saragita, kita harus bicara!" ucap Banyu.

Seketika itu, langkah Sara dan Babal terhenti. Sara mematung bagai manekin di toko busana. Padahal dalam hatinya mulai panik dan kelabakan. Bagaimana tidak? Sara tahu betul itu suara Banyu dan ternyata Banyu adalah orang yang tidak sengaja ia tabrak baru saja. Matanya kesana-kemari tidak tenang. Lalu kilasan ingatan dua hari sebelumnya melintas begitu saja, membuat Sara dipenuhi perasaan malu luar biasa. Otomatis, ia mengangkat tudung hoodie ke atas kepalanya, berusaha menutupi wajahnya, meskipun sebenarnya akan sia-sia. Banyu sudah menyadari itu Sara.

Banyu pun berjalan dan berhenti tepat di depan Sara yang menunduk tertutup tudung hoodie milik Babal ini. Napas Banyu yang masih ngos-ngosan, terdengar hingga telinga Sara. Semetara Babal juga sama tak bersuara. Bedanya, Babal bisa dengan mudah mengekspresikan keterkejutannya hingga terlihat menutup mulutnya dengan tangan lentik itu.

Jantung Sara berdetak semakin kencang dan liar. Ini seperti situasi maling yang ketahuan tapi tidak mau mengaku. Jujur, Sara belum siap menjelaskan apapun pada Banyu, apalagi soal permintaan nikah dan ciuman itu.

Ah! Andai ia tidak melakukan hal bodoh kemarin. Mungkin situasinya bertemu Banyu saat jogging, tidak akan serumit ini. Malahan, Sara akan dengan senang hati mengajak Banyu minum kopi di cafe terdekat atau mengajaknya serta beli bubur ayam. Namun kali ini, Sara benar-benar mati kutu.

***

Kopi yang Sara pesan, hampir belum terjamah semenjak diantar oleh waiters, lima belas menit yang lalu. Ia mengutuk hoodie milik Babal yang membuatnya jadi semakin gerah, padahal ini ruangan ber-AC.

Di hadapannya, lelaki berkulit sawo matang dengan rambut ikal yang dikucir itu juga terdiam, mengetukkan jemarinya di atas meja. Insiden menabrak bahu tadi, akhirnya membawa mereka di Cafe Yippie ini.

Mau tidak mau, Sara harus memberanikan diri mengakui kesalahannya. Kalau begini terus, sampai lebaran kutu, pasti tidak akan ada yang bicara duluan. Sara mengambil dan membuang napas samar tiga kali untuk menenangkan dirinya.

"Sorry Bay, buat permintaan ngaco gue kemarin, juga soal insiden yang gue rasa malu-maluin. Gue kemarin kalut, bingung, terus merasa seputus asa itu, jadi bertindak bodoh tanpa mikir. Lo pasti kagat, gue paham. Siapa sih yang gak syok denger omongan ngawur begitu? Gue kalau jadi lo juga pasti kabur kemarin." Sara berusaha bicara setenang mungkin supaya Banyu tidak merasa bahwa hari ini ia sama tidak warasnya dengan kemarin.

"Bokap lo di lapas mana?" tanya Banyu, tanpa sedikitpun menanggapi permintaan dan penjelasan dari Sara.

Sara mengubah mimik wajahnya.

"Lapas Sukawan."

"Bokap lo sehat?" tanya Banyu lagi, semakin membuat kening Sara mengkerut.

"Laporan dari lapas sih, sehat."

"Lo kapan mau jenguk?" apalagi ini?

"Nanti siang. Kenapa?" jawab Sara meski agak bingung mengapa tiba-tiba obrolan menjadi topik lain yang tidak ada sangkut pautnya dari kejadian memalukan itu.

Cukup lama Sara menunggu jawaban Banyu yang ekspresinya tidak bisa ia tebak. Lelaki ini cukup santai dan tenang, berbeda dengan Banyu yang terakhir kali Sara lihat keluar dari ruang meeting.

"Oke, gue ikut. Gue bakalan nikahin lo."

No!!

*** 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status