"Bal, serius kan di komplek ini gak ada yang melihara anjing?"
"Iya, kalau ada paling anjing galak rumahan, gak akan di lepas juga." jawabnya sambil mengikir kukunya.
"Ya udah, ayo! temenin gue jogging."
Babal menguap lebar tanpa menutupnya. Ini masih pukul enam pagi dan Sara sudah ribet sendiri meminjam hoodie, headben, dan minta rute lari yang tidak ada tanjakan atau turunan ekstrim. Mana tahu Babal soal itu? ia tidak pernah lari di sekitaran komplek sini, nanti pulang-pulang sudah babak belur di toel-toel ibu-ibu beli sayur karena terlalu sexy saat berkeringat.
Huh!
"Ngapain sih jogging di kompleks? kenapa gak ke lapangan bola aja yang proper, gak ada tanjakan dan turunannya."
"Kelamaan Bal, ini udah hampir terang, nanti kesiangan kalau harus ke lapangan dulu. Udah ayo!" kilah Sara sambil menarik tangan Babal yang gemulai untuk segera bangkit dari tempat tidurnya dan siap-siap.
"Ihh! Kalau gak inget lo bos gue dan pernah gaji gue tinggi, males gue," telunjuk Babal mengacung ke arah Sara. "Inget ya, lo punya duit, lo punya kuasa. Kalau udah gak punya duit, minimal jangan paksa gue buat nurutin perintah lo."
Sara tidak menimpali apapun, ia hanya berkacak pinggang sambil mengamati setiap gerak-gerik Babal yang sedang memakai kaos dan melotot tajam tatkala mendengar celotehan itu. Begini rupanya jika Sara tidak punya harta apalagi kuasa. Namun, meskipun ia tahu Babal hanya becanda, perkataannya sedikit ada benarnya juga. Sekarang Sara sudah miskin dan tidak punya apa-apa, yang ia punya hanya fisik dan pikiran. Jangan sampai ia juga kehilangan orang kepercayaan seperti Babal hanya karena kebiasaan saat ia kaya terbawa di situasi begini. Bossy.
Ah entahlah!
Yang jelas, di hari ketiga menumpang di kontrakan Babal, tentu saja Sara belum tahu mau melakukan apa. Kerjaan tidak ada, mau membuat sarapan pun ia tidak bisa masak. Niatnya ia mau mengajak Babal jogging, sambil mencari sarapan. Hitung-hitung ucapan terimakasih sudah mau Sara repotkan. Lagipula Sara masih punya uang dari hasil menggadaikan perhiasan dan jam tangan serta tas branded satu-satunya yang ia bawa. Jadi ia masih punya pegangan. Lalu siang nanti, ia akan ke lapas untuk menjenguk papanya dan membawakan makan siang sekaligus diskusi langkah hukum selanjutnya.
"Intinya mau gak? kalau gak mau ya udah, gue jogging sendiri sekalian beli bubur ayam kayaknya enak." ujar Sara menegaskan karena Babal tidak kunjung selesai siap-siapnya, mulutnya masih terus saja mengomel tidak jelas.
"Iya, gue ikut. Gue tahu bubur ayam yang enak!" jawab Babal secepat kilat.
Kalau soal makan aja gercep!
***
Perihal perasaan sayang yang lama mengendap, apakah akan hilang dengan sendirinya jika sumber dari munculnya perasaan itu telah pergi?
Hira, perempuan itu dengan terangnya berpamitan pada Banyu untuk pergi ke luar negeri menemui seseorang di masa lalunya. Selama ini, Banyu salah menduga bahwa Hira akan segera melupakan orang itu dan melihat kehadiran Banyu seutuhnya. Ternyata, Banyu salah atau ia memang bodoh saja. Usaha apapun yang telah Banyu lakukan untuk mendistrak Hira dari orang itu, pasti ujungnya hanya sia-sia. Harapan jika perasaannya bisa berlabuh dan menemui rumahnya di diri Hira, itu semua hanya angan belaka. Kepergiannya ini seolah pertanda bahwa Banyu tak cukup penting, tak cukup berharga dan tak cukup segalanya.
Apa boleh jika Banyu menandai perpisahan lewat chat ini adalah kesempatan terakhirnya untuk Hira?
Kekalutannya tentang masalah ini juga yang membuat Banyu akhirnya memutuskan untuk lari di subuh hari. Hawa yang dingin bersama embun yang tumbuh di dahan-dahan, ia harap bisa membuat otaknya juga ikut lebih segar. Meski tidak bisa dipungkiri, hatinya akan tetap terasa hampa. Ia baru saja diselingkuhi secara terang-terangan. Meski caranya baik-baik dan dengan dalih Banyu terlalu baik.
Halah! Tai!
Dengan pikiran yang berjubal di kepalanya, tidak terasa kakinya telah berlari sangat jauh hingga cahaya fajar muncul perlahan, menyorot dunia dengan hangatnya dari ufuk timur. Hari sudah mulai terang. Keringat sudah mengucur di dahi dan wajahnya. Banyu pun memelankan langkahnya, menghirup oksigen gratis yang Tuhan beri di pagi ini, sebanyak-banyaknya. Membiarkan udara bersih bergantian memenuhi paru-parunya.
Ia menunduk mengamati jam di pergelangan tangannya, saat seseorang menabrak bahu kirinya. Tidak terlalu kencang, tapi cukup membuat Banyu mendongakkan wajahnya.
"Ops, sorry gak sengaja." kata orang itu sambil lalu.
Mata Banyu lantas mendelik saat menyadari sesuatu. Suara itu ia kenal dan saat kepalanya membalik ke belakang, benar saja dugaannya.
"Saragita, kita harus bicara!" ucap Banyu.
Seketika itu, langkah Sara dan Babal terhenti. Sara mematung bagai manekin di toko busana. Padahal dalam hatinya mulai panik dan kelabakan. Bagaimana tidak? Sara tahu betul itu suara Banyu dan ternyata Banyu adalah orang yang tidak sengaja ia tabrak baru saja. Matanya kesana-kemari tidak tenang. Lalu kilasan ingatan dua hari sebelumnya melintas begitu saja, membuat Sara dipenuhi perasaan malu luar biasa. Otomatis, ia mengangkat tudung hoodie ke atas kepalanya, berusaha menutupi wajahnya, meskipun sebenarnya akan sia-sia. Banyu sudah menyadari itu Sara.
Banyu pun berjalan dan berhenti tepat di depan Sara yang menunduk tertutup tudung hoodie milik Babal ini. Napas Banyu yang masih ngos-ngosan, terdengar hingga telinga Sara. Semetara Babal juga sama tak bersuara. Bedanya, Babal bisa dengan mudah mengekspresikan keterkejutannya hingga terlihat menutup mulutnya dengan tangan lentik itu.
Jantung Sara berdetak semakin kencang dan liar. Ini seperti situasi maling yang ketahuan tapi tidak mau mengaku. Jujur, Sara belum siap menjelaskan apapun pada Banyu, apalagi soal permintaan nikah dan ciuman itu.
Ah! Andai ia tidak melakukan hal bodoh kemarin. Mungkin situasinya bertemu Banyu saat jogging, tidak akan serumit ini. Malahan, Sara akan dengan senang hati mengajak Banyu minum kopi di cafe terdekat atau mengajaknya serta beli bubur ayam. Namun kali ini, Sara benar-benar mati kutu.
***
Kopi yang Sara pesan, hampir belum terjamah semenjak diantar oleh waiters, lima belas menit yang lalu. Ia mengutuk hoodie milik Babal yang membuatnya jadi semakin gerah, padahal ini ruangan ber-AC.
Di hadapannya, lelaki berkulit sawo matang dengan rambut ikal yang dikucir itu juga terdiam, mengetukkan jemarinya di atas meja. Insiden menabrak bahu tadi, akhirnya membawa mereka di Cafe Yippie ini.
Mau tidak mau, Sara harus memberanikan diri mengakui kesalahannya. Kalau begini terus, sampai lebaran kutu, pasti tidak akan ada yang bicara duluan. Sara mengambil dan membuang napas samar tiga kali untuk menenangkan dirinya.
"Sorry Bay, buat permintaan ngaco gue kemarin, juga soal insiden yang gue rasa malu-maluin. Gue kemarin kalut, bingung, terus merasa seputus asa itu, jadi bertindak bodoh tanpa mikir. Lo pasti kagat, gue paham. Siapa sih yang gak syok denger omongan ngawur begitu? Gue kalau jadi lo juga pasti kabur kemarin." Sara berusaha bicara setenang mungkin supaya Banyu tidak merasa bahwa hari ini ia sama tidak warasnya dengan kemarin.
"Bokap lo di lapas mana?" tanya Banyu, tanpa sedikitpun menanggapi permintaan dan penjelasan dari Sara.
Sara mengubah mimik wajahnya.
"Lapas Sukawan."
"Bokap lo sehat?" tanya Banyu lagi, semakin membuat kening Sara mengkerut.
"Laporan dari lapas sih, sehat."
"Lo kapan mau jenguk?" apalagi ini?
"Nanti siang. Kenapa?" jawab Sara meski agak bingung mengapa tiba-tiba obrolan menjadi topik lain yang tidak ada sangkut pautnya dari kejadian memalukan itu.
Cukup lama Sara menunggu jawaban Banyu yang ekspresinya tidak bisa ia tebak. Lelaki ini cukup santai dan tenang, berbeda dengan Banyu yang terakhir kali Sara lihat keluar dari ruang meeting.
"Oke, gue ikut. Gue bakalan nikahin lo."
No!!
***
"Oke, gue ikut. Gue bakalan nikahin lo."Seperti petir di siang bolong, Sara begitu kaget mendengar penuturan Banyu, sampai-sampai ia hampir saja menumpahkan gelas kopi yang sempat ia raih untuk diminum. Tangannya sudah bergetar, lalu Banyu dengan reflek ikut menangkup gelas kopi sekaligus tangan Sara. Menahan gelas itu supaya tidak benar-benar jatuh dan tumpah. Situasi yang sangat-sangat aneh dan akward. Sara lantas menarik tangannya otomatis dan meninggalkan tangan Banyu yang juga terlepas dari tangkupan itu. Ia menoleh ke sembarang arah dengan tetap berusaha setenang mungkin. Bukan salting, hanya saja Banyu seperti menyentil jantungnya sekarang."Bay, kayaknya lo salah paham.""Salah paham?" Banyu yakin pendengarannya tidak terganggu. Kemarin Sara minta dinikahi kan? "Lo kemarin ...""Gak, gak!" potong Sara sambil memajukan tangannya supaya Banyu stop berbicara dulu dan membi
Pengalaman hidup sampai usianya menginjak 35 tahun, sangat menjadi andil dalam terbentuknya kepribadian Banyu yang sekarang.Selama hidup, Banyu tak pernah sekalipun mengambil keputusan bodoh. Ia selalu memikirkan dengan matang dan penuh pertimbangan. Jangankan persoalan yang penting yang mempengaruhi secara langsung kehidupannya, yang remeh saja tak luput dari segala pertimbangan. Kepalanya seolah sudah di desain menjadi pengambil keputusan yang baik dan bijak. Kecerdasan, common sense serta tangan dingin yang Banyu miliki tentu saja juga jadi modal utama hingga membuat Artblue —perusahaan star up yang bergerak di bidang periklanan— itu menjadi maju di kurun waktu lima tahun. Itu soal karirnya. Sama halnya dengan hal privasi yang terjadi di hidupnya, Banyu tak pernah sekalipun bertindak gegabah.Termasuk momen satu tahun lalu, saat Hira, mantan kekasihnya, datang kembali ke kehidupan Banyu. Perempuan yang sebenarnya mati-matian ingin ia lupakan. Namun so
"Untungnya di mobil gue, gak ada setannya. Jadi lo boleh melamun terus tanpa takut kerasukan." ujar Banyu yang menoleh sekilas pada Sara, lalu kembali fokus menyetir."Bay, harus gak sih kita ke psikolog? kayaknya kita berdua sama-sama gila." tanya Sara begitu lemas.Emosi yang tadi membakarnya habis sekarang mulai mereda karena ia sadar, itu tidak akan menyelesaikan masalah dan malah membuat kepalanya semakin pusing. Papanya yang sejak dulu selalu mempertimbangkan perasaan anaknya, kali ini seperti lepas tangan dan percaya begitu saja pada Banyu. Membuat Sara berakhir terjebak dengan permintaannya sendiri."Boleh, mau ke psikolog sekarang? tapi gue jamin, gue masih waras."Sara menolehkan kepalanya pada Banyu. "Kalau lo masih waras, ngapain lo mau nikahin gue Bay? pakai minta restu ke papa segala dan minta pernikahannya diadakan lusa. Apa namanya kalau gak gila?!""Jangan playing victim jadi si paling menderita. Lo bilang butuh bantuan dan satu-satunya cara cuma dengan jalan menikah.
Sara menyeret kopernya dengan susah payah. Ia mengutuk lelaki yang ada di depannya sekarang, teganya main tinggal begitu saja tanpa mau membantu. Sudah tahu kopernya sangat berat. Lagipula sejak kapan Sara menurut sama orang lain, yang ada biasanya orang lain yang harus menurut apa maunya. Andai waktu itu mulut Sara bisa di kontrol untuk tidak mengucapkan kata-kata bodoh, ia tidak akan mendapatkan pilihan yang sulit dan ada di sini. Di rumah Banyu. Sekarang ia juga sudah menyandang sebagai istri seorang Banyu Sadewa.Tadi pagi, mereka melangsungkan pernikahan sederhana di lapas dengan saksi seadanya, hanya Babal, personal asisten Banyu dan tim pengacara Mario Iswary. Sejak pagi ia sudah mellow dan bilang papanya bahwa ia hanya bercanda meminta Banyu menikahinya. Yang tidak disangka, papanya justru mendukung dan memberi wejangan 'Kalau kamu menikah dengan Banyu, setidaknya selama papa di lapas, papa gak perlu khawatir soal kamu.' Mau tidak mau, akhirnya m
Kutukan apa yang pas ditujukan pada Banyu? Wajah tengilnya sangat membuat Sara kesal bukan main. Bisa-bisanya Banyu mengambil Kikut yang sudah melompat ke bahu Sara dengan santainya, sementara Sara sudah gemetaran dan bergidik ngeri, takut katak itu loncat lagi ke bagian wajahnya atau bagian tubuh yang lain. Banyu juga sepertinya sengaja lama mengambil bajunya untuk mengerjai Sara."Kayaknya Kikut suka sama lo," katanya terkekeh. "mau bicara apa sih?" lanjut Banyu tanpa rasa bersalah."Gak jadi!" putus Sara berbarengan dengan hentakan kakinya di lantai lalu berbalik menuju kamarnya dan menutup pintu dengan keras.Mood-nya berubah drastis. Ia menghempaskan tubuhnya lagi ke atas ranjang. Banyu memang punya uang, tapi untuk saat ini tidak bisa diandalkan. Sara butuh saran yang bagus dan menurutnya Banyu bisa diajak diskusi. Ia punya ide untuk membuka kantor cabang HH yang tidak terdampak langsung kasus papanya. Cabang di sektor pengemasan fresh fruit ini puny
Beberapa saat setelah Banyu selesai mandi dan masuk kamarnya, Sara diam-diam keluar kamar dan gantian masuk ke toilet.Rencananya, selesai mandi, Sara akan keluar setelah mendengar pintu kamar Banyu terbuka dan lelaki itu akan pergi duluan ke kantor. Sara malu luar biasa jika harus menghadapi Banyu setelah tantangan memalukan tadi. Benar-benar Banyu ini manipulatif sekali.Hampir tiga puluh menitan, Sara tidak juga mendengar suara langkah kaki atau mobil Banyu yang meninggalkan garasi. Katanya tadi Banyu harus buru-buru ke kantor karena ada meeting. Kok belum berangkat juga?Lama-lama di kamar Sara bosan juga, lagian ia sudah janji pada om Derry akan sampai Cafe Rambo sekitar pukul sembilan pagi. Ini sudah setengah sembilan dan jalanan pasti macet parah. Mau tidak mau, ia pun keluar dari kamarnya. Dalam hatinya, semoga saja Banyu sudah berangkat.Dan Voila!Apa-apaan ini? Banyu berdiri di depan pintu dengan setelan jas kemeja dan celana kain yang rapi. Rambutnya sudah klimis mengkilat
"Lo gak bestie banget sih sama gue Bal!!" teriak Sara yang sudah berhasil masuk kontrakan Babal dan mendapati lelaki itu masih molor di ranjangnya tanpa memakai baju.Lelaki ini tidak bisa dihubungi sejak tadi, padahal Sara minta jemput di Cafe Rambo setelah bertemu om Derry. Terpaksa ia naik taksi online. Rupanya lelaki ini masih jadi kerbau di kamarnya.Babal pun terusik dengan suara menggelegar Sara. Ia pun bangkit dengan mata masih terpejam."Lo ngapain dah ke sini? Bukannya di rumah suami atau honeymoon kek, biar gue punya keponakan."Tangan Sara reflek mencubit puting Babal dengan kasar hingga mata lelaki itu terbuka selebar-lebarnya karena kaget. Ia menjerit histeris bagai bencong perempatan yang digoda supir truk."Ngimpi lo?!""Heh!" Babal menutup dadanya dengan kedua tangan. "Gak sopan ya!"Sara tertawa lebar. Sebetulnya ia masih kesal, tapi ya sudahlah. Babal juga punya kehidupan sendiri sekarang setelah Sara
Rumah Banyu - cafe Rambo - Rumah Babal - Lapas - Mall - setelah ini kemana lagi kita? Ya! Kantor Banyu!Kalau ada kata yang tepat untuk menggambarkan hari ini, tentu saja itu cuma kata 'capek!'Sara menyandarkan punggungnya dengan lemas di kursi penumpang taksi online yang akan membawanya ke kantor Banyu. Sampai di sana, yang perlu Sara lakukan adalah mengumpat sekencang-kencangnya di depan wajah lelaki itu. Tidak tahu situasi sekali seenaknya menyuruh Sara membelikan es krim dan mengirimkannya ke kantor. Padahal Sara sudah menawarkan untuk dipesan lewat online dan dikirim pakai kurir, tapi Banyu tidak mau. Lelaki itu bersikeras agar Sara sendiri yang membeli dan mengantarkannya. Sungguh minta ditiup ubun-ubunnya biar sadar. Kakinya sudah lelah, energinya sudah habis dan badannya lemas. Namun setidaknya masih ada sisa mood ketika ia merogoh kaca kecil dari tasnya dan melihat riasan wajahnya masih rapi. Apalagi ombre di bibirnya bagus sekali hari ini, uhh!! Tiba-tiba ia bangga dengan d