Beranda / Pernikahan / Ngebet Nikah Karena Takut Miskin / Bab 3. Kebodohan tuan putri

Share

Bab 3. Kebodohan tuan putri

Babal bersidekap dan bahu kirinya menyandar di kusen pintu, memperhatikan orang gila di dalam kamarnya. Meraung-raung sambil menutup wajahnya dengan bantal, kadang nungging, kadang kakinya menendang-nendang seperti anak yang sedang tantrum, kadang tertawa linglung sambil menjambak rambutnya sendiri. Benar-benar tidak habis pikir, mengapa bisa ia mengevakuasi bosnya yang superaneh ini. Apa mungkin Sara makan kecubung sampai bisa begini?

Lagipula apa yang sebenarnya terjadi di ruang meeting?

Tadi Sara meminta Babal untuk menunggunya di ruangan sekretaris, lalu saat mendengar ribut-ribut, ia keluar dan mendapati semua orang yang mengikuti rapat sudah keluar ruangan dengan wajah yang tidak mengenakkan. Terakhir sebelum ia mau masuk ke ruang meeting untuk menjemput Sara, ia berpapasan dengan Banyu, spesies lelaki manis yang ramah kesukannya. Namun, kali ini ia melihat Banyu keluar dengan wajah yang masam dan sama tidak mengenakkannya dengan orang-orang. Wajahnya memarah, kaku seperti menahan amarah.

Selain perkara rumahnya di sita, direksi dan pemegang saham yang marah-marah, sepertinya ada dugaan lain dari Babal di luar masalah itu. Sara termasuk perempuan yang lumayan pemberani, barbar, dan kuat meski tidak sedikit yang bilang Sara clingy dan menye-menye. Urusan menghadapi keributan begini harusnya tidak akan sampai membuatnya sefrustasi ini. Kalau pun masalah rumah dan segala aset yang disita, Babal rasa responnya juga tidak akan selebay ini. Sikap Sara sekarang sangat berbeda dari Sara yang ia kenal biasanya dan itu membuat Babal bingung.

"Bal, tissue lo kenapa habis sih!" umpat Sara sambil melempar bungkus tissue yang kosong dan menyedot masuk ingusnya kembali.

Sementara itu, di lantai dan di ranjang, tissue bekas yang ia gunakan untuk mengelap ingus dan air mata sudah berserakan tidak karuan. Sara pun beranjak dari ranjang dan membuang asal bantal yang ia gunakan untuk menutupi wajahnya tadi. Babal pun mengikuti langkah Sara dari belakang sampai ruang makan.

Apa Sara gila beneran gara-gara miskin mendadak?

"Beb! Ini bukan lo banget ya, sebenarnya ada apa sih? Gak mungkin gara-gara kegaduhan di kantor bokap lo atau rumah yang juga di sita. Lo gak seputus asa itu kan beb? Gue tahu lo udah gak punya apa-apa sekarang, tapi kan hidup ..."

"Harus terus berjalan?" potong Sara, ia menenggak air minumnya lalu melanjutkan lagi. "Gue sedih udah gak punya apa-apa lagi, tapi ini beda Bal! Ini soal... kebodohan gue, pikiran cetek gue yang sialannya bikin gue nyesel sekarang. Gue mau tenggelam aja di dasar bumi paling dalam!"

Kaki Babal menghentak lalu mengikuti Sara untuk duduk di kursi ruang makan. "Gue gak paham, bisa tolong lebih jelas tuan putri?" sarkasnya.

Sara mendengus kencang, matanya lalu memicing sengit pada Babal. "Sampai mau ceritain ulang aja, gue malu Bal! Ah!" kesalnya sambil menendang kaki meja.

"Biasanya juga lo malu-maluin. Ya udah cerita aja, sih. Kecuali gue orang asing lo boleh malu. Gue kerja sama lo bertahun-tahun, hello! Bahkan aib terburuk lo aja gue tahu Ra, masa' sih yang ini lo gak mau cerita."

Hening sejenak. Sara sedang mengumpulkan ingatan yang sebenarnya tidak ingin ia ingat sama sekali. Ini benar-benar kesalahan fatal seumur hidupnya. Bahkan pikiran tentang ayahnya yang masuk jeruji besi saja, tidak mampu menandingi peringkat masalah ini di kepala Sara. Namun, pada akhirnya ia luluh juga. Lagipula pada siapa lagi ia akan bercerita selain kepada Babal? Asisten sekaligus manajernya ini.

Bergulirlah cerita memalukan itu. Tentu saja sepanjang cerita, ekspresi Sara tidak bisa biasa saja. Frustasinya kumat kembali.

Babal hanya mendelik dengan mulut terbuka lebar mendengar cerita dari Sara soal ciuman dengan Banyu. Make sense!  Banyu keluar terakhir dari ruang meeting dengan wajah tidak karuan. Benar saja ini pasti ulah tuan putri yang satu ini. 

"Gue harusnya minta bantuan, bukan minta nikah! Kan bego! Kalau udah begini, mana mau dia bantuin gue? Misal, minta mempekerjakan gue di kantornya gitu. Tapi harapan itu udah mustahil. Pupus. Yang tersisa cuma malu malu dan malu. Gak punya muka lagi gue dihadapannya."

Babal menggelengkan kepala sambil tepuk tangan pelan dan berjeda seperti menyambut tamu agung di ballroom dengan senyum signature-nya.

"Hebat sekali tuan putri durjana ini." komentar Babal dengan hiperbola.

"Bisa gak sih respon lo biasa aja!"

"Ini sih luar biasa, di luar nurul!"

"Siapa Nurul?"

"Gak penting!" ujar Babal sambil memajukan kursinya dan mendekatkan badannya ke meja makan, yang otomatis bisa melihat Sara dengan jelas. "Gue kenal lo banget ya beb! Gak heran juga sih lo nyosor anak orang sembarangan. Tapi, kok bisa? bahkan harusnya hal yang lo pikirin sekarang adalah bertahan hidup, bukan malah nikah!"

Sara kini juga memajukan badannya hingga mata mereka beradu pandang dengan serius.

"Justru itu Bal! Gue mikirin gimana caranya bertahan hidup di dunia ini. Lo bayangin, gue udah diserang orang-orang, bokap masuk penjara, kerjaan gue hilang semua karena image gue udah jelek, saudara mana ada yang peduli? Gue seputus asa itu Bal. Terus pikiran impulsif gue bekerja lebih cepat, gue cuma mikir kalau gue jadi istrinya, paling gak gue punya tempat tinggal, bisa makan dan gue bisa fokus bantuin mendampingi bokap menghadapi kasusnya."

"Itu sih bukan pikiran impulsif! Itu culas namanya kalau lo cuma mau manfaatin Banyu. Lo gak kepikiran, emang Banyu mau sama lo? Emang dia mau bertanggung jawab atas diri lo yang bentukannya begini? Ya ampun Beb! Lo naif banget sih!"

Memang Sara ini tidak jelek, bahkan kelewat cantik untuk dilewatkan semua pria. Masalahnya, di kacamata Babal, Sara dengan rambut mencuat sana-sini, bekas ingus di hidungnya dan mata bengkak ini, terlihat sangat kacau sekali. Lebih mirip duyung pesek.

"Itu makanya gue kayak orang gila dari tadi Babal!" matanya melotot.

Keduanya lantas terdiam. Sara masih tidak habis pikir dengan isi kepalanya sendiri. Sementara Babal mengetuk prlan kepalanya, mencoba membantu mencari cara supaya Sara hidupnya tidak luntang-lantung. 

"Habis ini, lo mau tinggal dimana? Apa lo mau minta bantuan tante lo yang di luar negeri?"

Sara mendongak dan mencerna pertanyaan Babal. Sara memang punya tante yang menetap di luar negeri sejak lama, tapi ia tidak berpikir untuk merepotkannya. Lagipula hubungan mereka tidak sedekat itu. Tante Rani tipikal orang yang piece of life yang sepertinya tidak ingin direcoki dengan huru-hara keluarga. Buktinya waktu mamanya meninggal, tante Rani tidak mau repot-repot pulang ke tanah air. Sekedar mengucapkan bela sungkawa melalui telepon saja juga tidak. Anehnya ia hanya pulang saat perekomoniannya di sana memburuk dan meminta support papanya. Dasar!

"Lagian pakai uang siapa gue ke Switzerland? Gak!"

"Ya gak harus ke sana, telepon kan bisa."

"Buat apa? Dia aja gak menganggap punya keluarga."

"Terus habis ini lo mau tinggal dimana?"

Sara menaikkan bola matanya malas. "Ya di sini lah, dimana lagi?"

"Gak bisa! Gimana kalau orang-orang ngiranya kita kumpul kebo?" protes Babal yang langsung mengubah sikap duduknya menjadi tegap.

"Ya bilang aja gue adik lo atau keponakan dari kampung."

"Mana ada yang percaya lo dari kampung? Mereka udah pada pinter kali. Lo keluar dikit aja, muka lo udah menampakkan sinar konglomerat. CCTV-nya juga banyak di jendela-jendela rumah mereka alias sistem ngintip dikit gosip kemudian."

"Lagian kenapa sih lo ngontrak di tengah pemukiman padat penduduk begini? Gaji lo yang dua digit tiap bulannya kemana? Bukannya sewa apartemen, guest house atau beli rumah sekalian di kompleks elit. Ini malah ngontrak!"

Ada jeda sebelum Babal menjawab omelan Sara, tiba-tiba tatapan lelaki ini beralih menjadi dingin.

"Separuh udah gue kasih ke mamak bapak, seperempat gue kasih ke adik gue yang lagi kuliah, sisanya di gue."

Sara menghela napasnya kasar, agak prihatin juga dengan Babal. Selama ini Babal jarang sekali menceritakan keluarganya. Paling hanya informasi mengenai mereka yang tinggal di kampung, agak pelosok, kedua orangtuanya petani, punya satu adik dan sudah kuliah di luar kota. Namun tidak pernah sedetail bahwa keluarganya butuh uang untuk ini dan itu. Andai Babal jujur pada Sara dan minta di sewakan apartemen, Sara pasti mau mengabulkannya, tapi itu ... dulu. Sebelum semua jungkir balik ini terjadi. Sekarang penyesalan Sara bertambah satu, tidak memperhatikan Babal dengan lebih baik.

"Sorry ..." ucap Sara sedikit lirih sedikit merasa bersalah atas omelannya.

Babal kembali tersenyum sambil memiringkan kepalanya.

"Kalau beli rumah cash, gue gak bisa ngopi syantik dan nongki selama setahun. Gue masih butuh dunia fana. Rumah pribadi itu urusan nanti, toh kalau gue udah tuwir, gue bakal balik ke kampung."

Sialan! Sara menggaji mahal-mahal, niatnya supaya Babal punya kehidupan yang layak, makmur, sejahtera dan sentosa di ibu kota, bisa mengangkat derajat keluarganya di kampung, malah mementingkan nongki-nongki syantik dengan geng 'manjyah' yang isinya cowok-cowok macho tapi belok semua.

"Tahu gini gaji lo langsung gue tranfer ke mamak bapak lo aja. Anak gak tahu di untung kau ya!"

*** 

Sore harinya, setelah Sara membaik dan mulai waras, mereka pergi ke pegadaian untuk menggadaikan semua perhiasan yang masih tersisa. Meski uangnya sisa projek konten review villa dan beberapa endorsment masih ada, tetap saja itu tidak akan cukup untuk pegangannya seminggu kedepan. 

"Lo serius mau gadaiin kalung itu juga?" tanya Babal saat Sara mengamati kalung dengan bandung berlian itu di tangannya. 

Kalung peninggalan mamanya yang masih ia simpan. Ia merasa berat hati melepaskan benda ini, apalagi banyak kenangannya. Beberapa menit ia pandangi sebelum ia gadaikan dan jatuh ke pemilik baru nantinya.

"Setelah kami cek, kalung ini punya nilai gadai yang tinggi kak. Apalagi sekarang emas sedang naik-naiknya. Kalau besok-besok mungkin sudah turun dan kakak tidak akan mendapatkan nilai tukar sebesar hari ini. Jadi bagaimana kak, apa mau digadaikan juga?" jelas si pegawai pegadaian yang ramah itu.

Dengan berat hati, Sara pun memberikan kalung itu kepada sang pegawai dengan gerakan slow motion. Babal yang di sebelahnya hanya melihat dengan tatapan sedih dan menyayangkan keputusan bosnya ini.

Setelah dihitung semuanya, pegawai perempuan yang di dada kanannya ada name tag bertuliskan 'Memei' itu, memberikan menghitung sejumlah uang dan diberikan kepada Sara.

"Ini ya kak uangnya. Terima kasih sudah ke pegadaian. Semoga hari kakak penuh dengan kecerahan." ujar Memei sambil menangkupkan tangan ke depan dada.

Sara menerimanya dengan lemas. Tidak ada lagi hari yang cerah setelah semua peristiwa ini terjadi.

Terakhir, Memei si perempuan sipit ini tersenyum penuh kebahagiaan di balik mejanya yang membuat Sara semakin sedih saja harus merelakan kalung itu. Tangan Babal menepuk pelan punggung tangan Sara.

Langkahnya terbata keluar dari kantor pegadaian itu sampai ia tidak sadar, bahwa Babal masih di belakang.

"Lama banget sih! Lo gak lagi merayu Memei kan? Gue bilang dari sekarang ya, mending gak usah. Gak cocok!"

"Siapa juga yang merayu Memei. Tapi dia manis juga sih. Imut gitu."

"Lo lupa kalau lo kaum ...."

"Ssssttt!" telunjuk Babal tiba-tiba sudah menempel di bibir Sara dan membuatnya terdiam. "Mending kita beli kopi aja, ayo!" Babal menarik Sara untuk segera masuk mobilnya.

Sesampainya di parkiran cafe, Babal tidak langsung turun dan membukakan pintu untuk Sara, melainkan menengok Sara dengan senyum lebar lima jari. "Pake uang lo dulu ya, nanti gue ganti."

Klise!

Sara mendengus kasar. "Sialan!"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status