Babal bersidekap dan bahu kirinya menyandar di kusen pintu, memperhatikan orang gila di dalam kamarnya. Meraung-raung sambil menutup wajahnya dengan bantal, kadang nungging, kadang kakinya menendang-nendang seperti anak yang sedang tantrum, kadang tertawa linglung sambil menjambak rambutnya sendiri. Benar-benar tidak habis pikir, mengapa bisa ia mengevakuasi bosnya yang superaneh ini. Apa mungkin Sara makan kecubung sampai bisa begini?
Lagipula apa yang sebenarnya terjadi di ruang meeting?
Tadi Sara meminta Babal untuk menunggunya di ruangan sekretaris, lalu saat mendengar ribut-ribut, ia keluar dan mendapati semua orang yang mengikuti rapat sudah keluar ruangan dengan wajah yang tidak mengenakkan. Terakhir sebelum ia mau masuk ke ruang meeting untuk menjemput Sara, ia berpapasan dengan Banyu, spesies lelaki manis yang ramah kesukannya. Namun, kali ini ia melihat Banyu keluar dengan wajah yang masam dan sama tidak mengenakkannya dengan orang-orang. Wajahnya memarah, kaku seperti menahan amarah.
Selain perkara rumahnya di sita, direksi dan pemegang saham yang marah-marah, sepertinya ada dugaan lain dari Babal di luar masalah itu. Sara termasuk perempuan yang lumayan pemberani, barbar, dan kuat meski tidak sedikit yang bilang Sara clingy dan menye-menye. Urusan menghadapi keributan begini harusnya tidak akan sampai membuatnya sefrustasi ini. Kalau pun masalah rumah dan segala aset yang disita, Babal rasa responnya juga tidak akan selebay ini. Sikap Sara sekarang sangat berbeda dari Sara yang ia kenal biasanya dan itu membuat Babal bingung.
"Bal, tissue lo kenapa habis sih!" umpat Sara sambil melempar bungkus tissue yang kosong dan menyedot masuk ingusnya kembali.
Sementara itu, di lantai dan di ranjang, tissue bekas yang ia gunakan untuk mengelap ingus dan air mata sudah berserakan tidak karuan. Sara pun beranjak dari ranjang dan membuang asal bantal yang ia gunakan untuk menutupi wajahnya tadi. Babal pun mengikuti langkah Sara dari belakang sampai ruang makan.
Apa Sara gila beneran gara-gara miskin mendadak?
"Beb! Ini bukan lo banget ya, sebenarnya ada apa sih? Gak mungkin gara-gara kegaduhan di kantor bokap lo atau rumah yang juga di sita. Lo gak seputus asa itu kan beb? Gue tahu lo udah gak punya apa-apa sekarang, tapi kan hidup ..."
"Harus terus berjalan?" potong Sara, ia menenggak air minumnya lalu melanjutkan lagi. "Gue sedih udah gak punya apa-apa lagi, tapi ini beda Bal! Ini soal... kebodohan gue, pikiran cetek gue yang sialannya bikin gue nyesel sekarang. Gue mau tenggelam aja di dasar bumi paling dalam!"
Kaki Babal menghentak lalu mengikuti Sara untuk duduk di kursi ruang makan. "Gue gak paham, bisa tolong lebih jelas tuan putri?" sarkasnya.
Sara mendengus kencang, matanya lalu memicing sengit pada Babal. "Sampai mau ceritain ulang aja, gue malu Bal! Ah!" kesalnya sambil menendang kaki meja.
"Biasanya juga lo malu-maluin. Ya udah cerita aja, sih. Kecuali gue orang asing lo boleh malu. Gue kerja sama lo bertahun-tahun, hello! Bahkan aib terburuk lo aja gue tahu Ra, masa' sih yang ini lo gak mau cerita."
Hening sejenak. Sara sedang mengumpulkan ingatan yang sebenarnya tidak ingin ia ingat sama sekali. Ini benar-benar kesalahan fatal seumur hidupnya. Bahkan pikiran tentang ayahnya yang masuk jeruji besi saja, tidak mampu menandingi peringkat masalah ini di kepala Sara. Namun, pada akhirnya ia luluh juga. Lagipula pada siapa lagi ia akan bercerita selain kepada Babal? Asisten sekaligus manajernya ini.
Bergulirlah cerita memalukan itu. Tentu saja sepanjang cerita, ekspresi Sara tidak bisa biasa saja. Frustasinya kumat kembali.
Babal hanya mendelik dengan mulut terbuka lebar mendengar cerita dari Sara soal ciuman dengan Banyu. Make sense! Banyu keluar terakhir dari ruang meeting dengan wajah tidak karuan. Benar saja ini pasti ulah tuan putri yang satu ini.
"Gue harusnya minta bantuan, bukan minta nikah! Kan bego! Kalau udah begini, mana mau dia bantuin gue? Misal, minta mempekerjakan gue di kantornya gitu. Tapi harapan itu udah mustahil. Pupus. Yang tersisa cuma malu malu dan malu. Gak punya muka lagi gue dihadapannya."
Babal menggelengkan kepala sambil tepuk tangan pelan dan berjeda seperti menyambut tamu agung di ballroom dengan senyum signature-nya.
"Hebat sekali tuan putri durjana ini." komentar Babal dengan hiperbola.
"Bisa gak sih respon lo biasa aja!"
"Ini sih luar biasa, di luar nurul!"
"Siapa Nurul?"
"Gak penting!" ujar Babal sambil memajukan kursinya dan mendekatkan badannya ke meja makan, yang otomatis bisa melihat Sara dengan jelas. "Gue kenal lo banget ya beb! Gak heran juga sih lo nyosor anak orang sembarangan. Tapi, kok bisa? bahkan harusnya hal yang lo pikirin sekarang adalah bertahan hidup, bukan malah nikah!"
Sara kini juga memajukan badannya hingga mata mereka beradu pandang dengan serius.
"Justru itu Bal! Gue mikirin gimana caranya bertahan hidup di dunia ini. Lo bayangin, gue udah diserang orang-orang, bokap masuk penjara, kerjaan gue hilang semua karena image gue udah jelek, saudara mana ada yang peduli? Gue seputus asa itu Bal. Terus pikiran impulsif gue bekerja lebih cepat, gue cuma mikir kalau gue jadi istrinya, paling gak gue punya tempat tinggal, bisa makan dan gue bisa fokus bantuin mendampingi bokap menghadapi kasusnya."
"Itu sih bukan pikiran impulsif! Itu culas namanya kalau lo cuma mau manfaatin Banyu. Lo gak kepikiran, emang Banyu mau sama lo? Emang dia mau bertanggung jawab atas diri lo yang bentukannya begini? Ya ampun Beb! Lo naif banget sih!"
Memang Sara ini tidak jelek, bahkan kelewat cantik untuk dilewatkan semua pria. Masalahnya, di kacamata Babal, Sara dengan rambut mencuat sana-sini, bekas ingus di hidungnya dan mata bengkak ini, terlihat sangat kacau sekali. Lebih mirip duyung pesek.
"Itu makanya gue kayak orang gila dari tadi Babal!" matanya melotot.
Keduanya lantas terdiam. Sara masih tidak habis pikir dengan isi kepalanya sendiri. Sementara Babal mengetuk prlan kepalanya, mencoba membantu mencari cara supaya Sara hidupnya tidak luntang-lantung.
"Habis ini, lo mau tinggal dimana? Apa lo mau minta bantuan tante lo yang di luar negeri?"
Sara mendongak dan mencerna pertanyaan Babal. Sara memang punya tante yang menetap di luar negeri sejak lama, tapi ia tidak berpikir untuk merepotkannya. Lagipula hubungan mereka tidak sedekat itu. Tante Rani tipikal orang yang piece of life yang sepertinya tidak ingin direcoki dengan huru-hara keluarga. Buktinya waktu mamanya meninggal, tante Rani tidak mau repot-repot pulang ke tanah air. Sekedar mengucapkan bela sungkawa melalui telepon saja juga tidak. Anehnya ia hanya pulang saat perekomoniannya di sana memburuk dan meminta support papanya. Dasar!
"Lagian pakai uang siapa gue ke Switzerland? Gak!"
"Ya gak harus ke sana, telepon kan bisa."
"Buat apa? Dia aja gak menganggap punya keluarga."
"Terus habis ini lo mau tinggal dimana?"
Sara menaikkan bola matanya malas. "Ya di sini lah, dimana lagi?"
"Gak bisa! Gimana kalau orang-orang ngiranya kita kumpul kebo?" protes Babal yang langsung mengubah sikap duduknya menjadi tegap.
"Ya bilang aja gue adik lo atau keponakan dari kampung."
"Mana ada yang percaya lo dari kampung? Mereka udah pada pinter kali. Lo keluar dikit aja, muka lo udah menampakkan sinar konglomerat. CCTV-nya juga banyak di jendela-jendela rumah mereka alias sistem ngintip dikit gosip kemudian."
"Lagian kenapa sih lo ngontrak di tengah pemukiman padat penduduk begini? Gaji lo yang dua digit tiap bulannya kemana? Bukannya sewa apartemen, guest house atau beli rumah sekalian di kompleks elit. Ini malah ngontrak!"
Ada jeda sebelum Babal menjawab omelan Sara, tiba-tiba tatapan lelaki ini beralih menjadi dingin.
"Separuh udah gue kasih ke mamak bapak, seperempat gue kasih ke adik gue yang lagi kuliah, sisanya di gue."
Sara menghela napasnya kasar, agak prihatin juga dengan Babal. Selama ini Babal jarang sekali menceritakan keluarganya. Paling hanya informasi mengenai mereka yang tinggal di kampung, agak pelosok, kedua orangtuanya petani, punya satu adik dan sudah kuliah di luar kota. Namun tidak pernah sedetail bahwa keluarganya butuh uang untuk ini dan itu. Andai Babal jujur pada Sara dan minta di sewakan apartemen, Sara pasti mau mengabulkannya, tapi itu ... dulu. Sebelum semua jungkir balik ini terjadi. Sekarang penyesalan Sara bertambah satu, tidak memperhatikan Babal dengan lebih baik.
"Sorry ..." ucap Sara sedikit lirih sedikit merasa bersalah atas omelannya.
Babal kembali tersenyum sambil memiringkan kepalanya.
"Kalau beli rumah cash, gue gak bisa ngopi syantik dan nongki selama setahun. Gue masih butuh dunia fana. Rumah pribadi itu urusan nanti, toh kalau gue udah tuwir, gue bakal balik ke kampung."
Sialan! Sara menggaji mahal-mahal, niatnya supaya Babal punya kehidupan yang layak, makmur, sejahtera dan sentosa di ibu kota, bisa mengangkat derajat keluarganya di kampung, malah mementingkan nongki-nongki syantik dengan geng 'manjyah' yang isinya cowok-cowok macho tapi belok semua.
"Tahu gini gaji lo langsung gue tranfer ke mamak bapak lo aja. Anak gak tahu di untung kau ya!"
***
Sore harinya, setelah Sara membaik dan mulai waras, mereka pergi ke pegadaian untuk menggadaikan semua perhiasan yang masih tersisa. Meski uangnya sisa projek konten review villa dan beberapa endorsment masih ada, tetap saja itu tidak akan cukup untuk pegangannya seminggu kedepan.
"Lo serius mau gadaiin kalung itu juga?" tanya Babal saat Sara mengamati kalung dengan bandung berlian itu di tangannya.
Kalung peninggalan mamanya yang masih ia simpan. Ia merasa berat hati melepaskan benda ini, apalagi banyak kenangannya. Beberapa menit ia pandangi sebelum ia gadaikan dan jatuh ke pemilik baru nantinya.
"Setelah kami cek, kalung ini punya nilai gadai yang tinggi kak. Apalagi sekarang emas sedang naik-naiknya. Kalau besok-besok mungkin sudah turun dan kakak tidak akan mendapatkan nilai tukar sebesar hari ini. Jadi bagaimana kak, apa mau digadaikan juga?" jelas si pegawai pegadaian yang ramah itu.
Dengan berat hati, Sara pun memberikan kalung itu kepada sang pegawai dengan gerakan slow motion. Babal yang di sebelahnya hanya melihat dengan tatapan sedih dan menyayangkan keputusan bosnya ini.
Setelah dihitung semuanya, pegawai perempuan yang di dada kanannya ada name tag bertuliskan 'Memei' itu, memberikan menghitung sejumlah uang dan diberikan kepada Sara.
"Ini ya kak uangnya. Terima kasih sudah ke pegadaian. Semoga hari kakak penuh dengan kecerahan." ujar Memei sambil menangkupkan tangan ke depan dada.
Sara menerimanya dengan lemas. Tidak ada lagi hari yang cerah setelah semua peristiwa ini terjadi.
Terakhir, Memei si perempuan sipit ini tersenyum penuh kebahagiaan di balik mejanya yang membuat Sara semakin sedih saja harus merelakan kalung itu. Tangan Babal menepuk pelan punggung tangan Sara.
Langkahnya terbata keluar dari kantor pegadaian itu sampai ia tidak sadar, bahwa Babal masih di belakang.
"Lama banget sih! Lo gak lagi merayu Memei kan? Gue bilang dari sekarang ya, mending gak usah. Gak cocok!"
"Siapa juga yang merayu Memei. Tapi dia manis juga sih. Imut gitu."
"Lo lupa kalau lo kaum ...."
"Ssssttt!" telunjuk Babal tiba-tiba sudah menempel di bibir Sara dan membuatnya terdiam. "Mending kita beli kopi aja, ayo!" Babal menarik Sara untuk segera masuk mobilnya.
Sesampainya di parkiran cafe, Babal tidak langsung turun dan membukakan pintu untuk Sara, melainkan menengok Sara dengan senyum lebar lima jari. "Pake uang lo dulu ya, nanti gue ganti."
Klise!
Sara mendengus kasar. "Sialan!"
***
"Bal, serius kan di komplek ini gak ada yang melihara anjing?""Iya, kalau ada paling anjing galak rumahan, gak akan di lepas juga." jawabnya sambil mengikir kukunya."Ya udah, ayo! temenin gue jogging."Babal menguap lebar tanpa menutupnya. Ini masih pukul enam pagi dan Sara sudah ribet sendiri meminjam hoodie, headben, dan minta rute lari yang tidak ada tanjakan atau turunan ekstrim. Mana tahu Babal soal itu? ia tidak pernah lari di sekitaran komplek sini, nanti pulang-pulang sudah babak belur di toel-toel ibu-ibu beli sayur karena terlalu sexy saat berkeringat.Huh!"Ngapain sih jogging di kompleks? kenapa gak ke lapangan bola aja yang proper, gak ada tanjakan dan turunannya.""Kelamaan Bal, ini udah hampir terang, nanti kesiangan kalau harus ke lapangan dulu. Udah ayo!" kilah Sara sambil menarik tangan Babal yang gemulai untuk segera bangkit dari tempat tidurnya dan siap-siap."Ihh! Kalau gak inget lo bos gue dan pernah gaji gue tinggi, males gue," telunjuk Babal mengacung ke arah
"Oke, gue ikut. Gue bakalan nikahin lo."Seperti petir di siang bolong, Sara begitu kaget mendengar penuturan Banyu, sampai-sampai ia hampir saja menumpahkan gelas kopi yang sempat ia raih untuk diminum. Tangannya sudah bergetar, lalu Banyu dengan reflek ikut menangkup gelas kopi sekaligus tangan Sara. Menahan gelas itu supaya tidak benar-benar jatuh dan tumpah. Situasi yang sangat-sangat aneh dan akward. Sara lantas menarik tangannya otomatis dan meninggalkan tangan Banyu yang juga terlepas dari tangkupan itu. Ia menoleh ke sembarang arah dengan tetap berusaha setenang mungkin. Bukan salting, hanya saja Banyu seperti menyentil jantungnya sekarang."Bay, kayaknya lo salah paham.""Salah paham?" Banyu yakin pendengarannya tidak terganggu. Kemarin Sara minta dinikahi kan? "Lo kemarin ...""Gak, gak!" potong Sara sambil memajukan tangannya supaya Banyu stop berbicara dulu dan membi
Pengalaman hidup sampai usianya menginjak 35 tahun, sangat menjadi andil dalam terbentuknya kepribadian Banyu yang sekarang.Selama hidup, Banyu tak pernah sekalipun mengambil keputusan bodoh. Ia selalu memikirkan dengan matang dan penuh pertimbangan. Jangankan persoalan yang penting yang mempengaruhi secara langsung kehidupannya, yang remeh saja tak luput dari segala pertimbangan. Kepalanya seolah sudah di desain menjadi pengambil keputusan yang baik dan bijak. Kecerdasan, common sense serta tangan dingin yang Banyu miliki tentu saja juga jadi modal utama hingga membuat Artblue —perusahaan star up yang bergerak di bidang periklanan— itu menjadi maju di kurun waktu lima tahun. Itu soal karirnya. Sama halnya dengan hal privasi yang terjadi di hidupnya, Banyu tak pernah sekalipun bertindak gegabah.Termasuk momen satu tahun lalu, saat Hira, mantan kekasihnya, datang kembali ke kehidupan Banyu. Perempuan yang sebenarnya mati-matian ingin ia lupakan. Namun so
"Untungnya di mobil gue, gak ada setannya. Jadi lo boleh melamun terus tanpa takut kerasukan." ujar Banyu yang menoleh sekilas pada Sara, lalu kembali fokus menyetir."Bay, harus gak sih kita ke psikolog? kayaknya kita berdua sama-sama gila." tanya Sara begitu lemas.Emosi yang tadi membakarnya habis sekarang mulai mereda karena ia sadar, itu tidak akan menyelesaikan masalah dan malah membuat kepalanya semakin pusing. Papanya yang sejak dulu selalu mempertimbangkan perasaan anaknya, kali ini seperti lepas tangan dan percaya begitu saja pada Banyu. Membuat Sara berakhir terjebak dengan permintaannya sendiri."Boleh, mau ke psikolog sekarang? tapi gue jamin, gue masih waras."Sara menolehkan kepalanya pada Banyu. "Kalau lo masih waras, ngapain lo mau nikahin gue Bay? pakai minta restu ke papa segala dan minta pernikahannya diadakan lusa. Apa namanya kalau gak gila?!""Jangan playing victim jadi si paling menderita. Lo bilang butuh bantuan dan satu-satunya cara cuma dengan jalan menikah.
Sara menyeret kopernya dengan susah payah. Ia mengutuk lelaki yang ada di depannya sekarang, teganya main tinggal begitu saja tanpa mau membantu. Sudah tahu kopernya sangat berat. Lagipula sejak kapan Sara menurut sama orang lain, yang ada biasanya orang lain yang harus menurut apa maunya. Andai waktu itu mulut Sara bisa di kontrol untuk tidak mengucapkan kata-kata bodoh, ia tidak akan mendapatkan pilihan yang sulit dan ada di sini. Di rumah Banyu. Sekarang ia juga sudah menyandang sebagai istri seorang Banyu Sadewa.Tadi pagi, mereka melangsungkan pernikahan sederhana di lapas dengan saksi seadanya, hanya Babal, personal asisten Banyu dan tim pengacara Mario Iswary. Sejak pagi ia sudah mellow dan bilang papanya bahwa ia hanya bercanda meminta Banyu menikahinya. Yang tidak disangka, papanya justru mendukung dan memberi wejangan 'Kalau kamu menikah dengan Banyu, setidaknya selama papa di lapas, papa gak perlu khawatir soal kamu.' Mau tidak mau, akhirnya m
Kutukan apa yang pas ditujukan pada Banyu? Wajah tengilnya sangat membuat Sara kesal bukan main. Bisa-bisanya Banyu mengambil Kikut yang sudah melompat ke bahu Sara dengan santainya, sementara Sara sudah gemetaran dan bergidik ngeri, takut katak itu loncat lagi ke bagian wajahnya atau bagian tubuh yang lain. Banyu juga sepertinya sengaja lama mengambil bajunya untuk mengerjai Sara."Kayaknya Kikut suka sama lo," katanya terkekeh. "mau bicara apa sih?" lanjut Banyu tanpa rasa bersalah."Gak jadi!" putus Sara berbarengan dengan hentakan kakinya di lantai lalu berbalik menuju kamarnya dan menutup pintu dengan keras.Mood-nya berubah drastis. Ia menghempaskan tubuhnya lagi ke atas ranjang. Banyu memang punya uang, tapi untuk saat ini tidak bisa diandalkan. Sara butuh saran yang bagus dan menurutnya Banyu bisa diajak diskusi. Ia punya ide untuk membuka kantor cabang HH yang tidak terdampak langsung kasus papanya. Cabang di sektor pengemasan fresh fruit ini puny
Beberapa saat setelah Banyu selesai mandi dan masuk kamarnya, Sara diam-diam keluar kamar dan gantian masuk ke toilet.Rencananya, selesai mandi, Sara akan keluar setelah mendengar pintu kamar Banyu terbuka dan lelaki itu akan pergi duluan ke kantor. Sara malu luar biasa jika harus menghadapi Banyu setelah tantangan memalukan tadi. Benar-benar Banyu ini manipulatif sekali.Hampir tiga puluh menitan, Sara tidak juga mendengar suara langkah kaki atau mobil Banyu yang meninggalkan garasi. Katanya tadi Banyu harus buru-buru ke kantor karena ada meeting. Kok belum berangkat juga?Lama-lama di kamar Sara bosan juga, lagian ia sudah janji pada om Derry akan sampai Cafe Rambo sekitar pukul sembilan pagi. Ini sudah setengah sembilan dan jalanan pasti macet parah. Mau tidak mau, ia pun keluar dari kamarnya. Dalam hatinya, semoga saja Banyu sudah berangkat.Dan Voila!Apa-apaan ini? Banyu berdiri di depan pintu dengan setelan jas kemeja dan celana kain yang rapi. Rambutnya sudah klimis mengkilat
"Lo gak bestie banget sih sama gue Bal!!" teriak Sara yang sudah berhasil masuk kontrakan Babal dan mendapati lelaki itu masih molor di ranjangnya tanpa memakai baju.Lelaki ini tidak bisa dihubungi sejak tadi, padahal Sara minta jemput di Cafe Rambo setelah bertemu om Derry. Terpaksa ia naik taksi online. Rupanya lelaki ini masih jadi kerbau di kamarnya.Babal pun terusik dengan suara menggelegar Sara. Ia pun bangkit dengan mata masih terpejam."Lo ngapain dah ke sini? Bukannya di rumah suami atau honeymoon kek, biar gue punya keponakan."Tangan Sara reflek mencubit puting Babal dengan kasar hingga mata lelaki itu terbuka selebar-lebarnya karena kaget. Ia menjerit histeris bagai bencong perempatan yang digoda supir truk."Ngimpi lo?!""Heh!" Babal menutup dadanya dengan kedua tangan. "Gak sopan ya!"Sara tertawa lebar. Sebetulnya ia masih kesal, tapi ya sudahlah. Babal juga punya kehidupan sendiri sekarang setelah Sara
"Ish! Salah siapa sih kamu buru-buru, sampai gak lihat jalan?"Sara meniup-niup kening Banyu. Lelaki itu kemarin baru saja mendapatkan lima jahitan akibat menabrak pinggiran pintu dan bocor."Aku panik Hon waktu dengar Bumi nangis kejer. Jadi aku lari gak lihat-lihat. Mana baru bangun tidur di sofa, terus ingetnya masih rumah lama.""Ck! Bumi nangis kan wajar sayang. Kalau gak minta susu ya gak nyaman. Kamu gak perlu sepanik itu." Kini, Sara mengusap pelan perban sekitar perban itu dan menyelipkan rambut ikal Banyu ke belakang.Tangan Banyu melingkar di pinggang Sara yang berdiri di depannya. "Iya, maaf. Lain kali aku hati-hati."Banyu mendongak dan menatap istrinya yang serius sekali meniup luka Banyu tersebut. "Honey, Kiss me a little, please!" katanya dengan nada berbisik."Gak bisa, kita harus segera keluar sekarang. Itu udah rame loh. Gak sopan membuat mereka nunggu." tolak Sara.Banyu memberengut. "Satu k
"Kenapa, Hon?" tanya Banyu saat Sara terlihat menghela napas kasar seraya menyurukkan kepalanya di dada Banyu."Papa pasti kesepian di rumah. Biasanya kita selalu makan malam bersama, terus ngobrol di ruang tengah. Atau aku bantuin Papa mengurus beberapa hal di ruang kerjanya sambil ngerjain endorsment."Tangan Banyu membelai kepala Sara dengan sayang. "Kamu bisa telpon Papa, Hon. Atau mau aku telponin?"Sara menggeleng. "Papa udah tidur jam segini."Ini memang sudah pukul sebelas malam, dan Mario selalu tidur sebelum sepuluh malam. Beliau selalu menerapkan jam tidur sehat supaya bisa bekerja lebih produktif esok harinya. Ya tidak heran, Mario kan pemilik perusahaan kesehatan."Sayang, aku kepikiran sesuatu." Sara mendongak menatap Banyu.Lelaki itu pun menaikkan kedua alisnya, bertanya. "Apa?""Boleh gak Kikut dikasihkan ke Papa, biar gak kesepian banget kalau punya hewan peliharaan."Banyu melotot. "Sara, wala
Papa, Sara, dan Banyu duduk berjejer di dalam satu pesawat. Mereka akan balik ke ibu kota sore ini setelah Sara diperbolehkan pulang oleh dokter.Sementara Babal, Ardi dan Disha, masih mau menikmati liburan mereka. Biarlah tim penggembira itu bersenang-senang, sebelum Babal akan Sara repotkan selama kehamilannya ini. Mungkin Ardi dan Disha juga akan kerepotan karena Banyu tampak akan menjadi suami super posesif dan siaga nantinya. Ya bagaimana tidak? Banyu punya beban untuk meyakinkan Papa Mario atas tanggung jawab dan perhatian penuhnya terhadap Sara.Meski suasananya sudah lebih mencair, Sejak masuk ke dalam pesawat, Mario sama sekali belum berbicara apapun dengan Banyu. Membuat Sara gemas sendiri."Papa tahu gak? Seberapa bahagia Sara hari ini?"Mario menaikkan kedua alisnya saat putrinya membungkus lengannya dengan manja."Sara bahagia banget Pa. Dua lelaki kesayangan Sara kini kembali. Momen-momen yang selalu Sara impikan saat Papa m
Sara tidak bisa diam di kamar. Babal dan Ardi bahkan sudah meminta Sara untuk duduk dan berbaring dengan tenang demi kesehatannya, tapi Sara terus menolak. Ia tidak bisa diam saja melihat Banyu dan papa bicara di luar sana. Ada rasa takut. Bagaimana jika Banyu akan menuruti apa yang papanya mau seperti waktu di rumah Papa itu. Ia baru saja mengurai benang kusut dengan Banyu dan akan memulai semuanya kembali. Mengarungi rumah tangga dengan pengalaman baru mempersiapkan diri jadi orang tua. Kali ini ia tidak mau mengulangi hal buruk kemarin lagi. Berpisah dengan Banyu meski hanya seminggu, rasanya sudah sangat menyiksanya. Terserah jika orang berkata ia budak cinta paling tolol. Nyatanya, Banyu tidak pernah gagal membuatnya mabuk kepayang dan jatuh cinta sedalam-dalamnya. Ia tidak bisa terpisah dengan Banyu.Kemudian ia teringat sesuatu. Sara pun menyuruh Babal mengambilkan ponselnya dan menelepon Mbok Na. Sara harus memastikan sesuatu."Mbak Sara!! Astaga!
Babal menggigit bibirnya dengan gelisah, sementara Ardi mengusap wajahnya kasar, sama paniknya dengan Babal tatkala melihat Mario Iswary sudah berdiri tegak di depan ranjang itu, melihat tajam dua orang yang masih bergelung di atas sana."Gawat!" bisik Babal setelah mereka membuka pintu kamar itu dan hanya bisa mematung juga di belakang Mario.Ardi menggeleng-gelengkan kepalanya sambil komat-kamit mulut mbah dukun baca mantra, dengan segelas air lalu pasien di sembur. Ah! ia frustasi melihat pemandangan ini.Sepasang pasutri kembali kasmaran itu pun mulai terusik. Sara mulai membuka matanya dan pupilnya melebar kaget. Lalu, Banyu juga terusik dan akhirnya terbangun dan otomatis seperti melihat hantu di depannya. Dengan wajah kusut, rambut berantakan dan baju tipis saringan tahu, Banyu melompat dari ranjang itu. "Papa." ujarnya dengan suara serak.Sialan Banyu! Sudah tahu itu papa Mario, bukan hulk, masih menvalidasi pula dengan ekspresi tidak berdosanya.Situasi macam apa ini?Di sela
Sara tidak pernah terbayangkan akan merasakan perasaan hangat ini lagi. Kemarin, ia sungguh bertekad melepaskan Banyu setelah perceraian selesai dan melupakan semua momen kebersamaannya dengan Banyu. Sekalipun ternyata prosesnya sangat sakit. Diam-diam, ia sering menangis sendirian di tengah malam. Ada perasaan hampa menyelimutinya saat sadar fakta mereka tidak akan bersama, melewati hari, bercanda gurau dan saling memadu kasih lagi. Di lubuk hati yang paling dalam, Sara tidak ingin ini terjadi. Sara mencintai Banyu. Masih mencintai lelaki itu bahkan saat Banyu membohonginya soal perjanjian dengan papanya.Namun, memang semuanya terlalu rumit.Sara sangat sayang dengan Papanya. Sejak dulu, ia selalu menurut apa yang papanya bilang. Ia tidak pernah menjadi anak yang pembangkang dan terbukti, berbakti dengan orang tua membuat hidupnya lebih mudah, lebih tenang hatinya dan damai. Ia akan melakukan apapun untuk papanya, terlebih setelah dinyatakan bebas. Sara
Mengetahui mereka akan segera menjadi orang tua adalah sesuatu yang mengejutkan bagi Sara, bahkan Banyu. Apalagi mereka sedang di luar pulau dan di tempat yang asing. Sesuatu perasaan yang sangat aneh. Sara terus menangis karena terharu, bimbang, dan banyak ketakutan serta kekhawatiran yang mendiami pikirannya. Namun, Banyu dengan setia menemani Sara melalui proses penerimaan dengan keadaan baru ini. Hampir satu jam, Sara menangis dan bicara ngalor-ngidul soal kecemasannya akan menjadi ibu. Kini, air matanya telah berhenti. Hidungnya merah dan matanya sembab. Kerinduan Banyu yang telah terakumulasi seminggu lebih ini, justru membuatnya gemas melihat Sara yang begini. Ia sungguh ingin mencium Sara terus menerus dan menghujaninya dengan sayang, melepas kerinduannya kepada istrinya ini. Sekarang tentu saja bukan saatnya kangen-kangenan. Banyu harus tetap menjadi suami siaga untuk Sara, ditengah kelabilan Sara ini. "Sara, kamu udah melewatkan makan siang. Sekarang kamu harus makan malam.
"Jadi ... surat siapa yang dikirim ke rumah?"Keduanya tampak memandang bingung satu sama lain. Terutama Banyu yang sangat tidak paham dengan cerita Sara. Bagaimana mungkin ada surat dari pengadilan yang tiba-tiba ada di rumah Sara, sementara Banyu saja tidak berniat menceraikan Sara. Tidak sedikitpun ia menginjak lantai pengadilan untuk menggugatnya. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk terus memperjuangkan Sara, bagaimanapun sulitnya menghadapi Mario dan kerasnya hati Sara saat ini. Di tengah keheningan dengan pikiran masing-masing itu, suara pintu kamar terdengar. Sontak keduanya memalingkan wajah ke arah pintu. Lalu muncullah seorang dokter laki-laki paruh bawa yang rambutnya sudah putih semua tapi wajahnya tampak seperti umur tiga puluhan. Cukup good looking dan pasti membuat semua perawat dan dokter perempuan di sini ketar-ketir. Andai Sara tidak sedang berstatus terombang-ambing begini, sudah pasti ia mengaku naksir dokter tersebut.Dokter
Sara menepis tangan Banyu saat mau membantunya turun dari kapal. Sebagai gantinya, ia lebih menarik Babal dan menerima bantuan lain dari Disha di sebelah kanannya. Tadi, kaki Sara sempat kram karena ia memang tidak banyak melakukan pemanasan sebelum naik ke Padar. Sungguh kesalahan fatal. Sekarang, ia harus merepotkan banyak orang untuk membantunya begini. Ambulan sudah siap ketika mereka turun di pelabuhan dan Sara diminta untuk tiduran di brankar. Sara pikir hanya Babal dan Disha yang ikut naik ambulan itu, rupanya Ardi dan Banyu juga ikut naik. Bahkan Banyu dengan sigap duduk di sebelah kanan dada Sara mendahului Disha.Bibir Sara sudah hampir protes dan meminta Bantu keluar, tapi pintu ambulan itu sudah ditutup oleh petugas medisnya. Mau tidak mau, Sara harus menerima situasi berdekatan dengan Banyu. Ia menutupi matanya dengan lengan karena pusing itu kembali menderanya. Selain itu juga untuk menghindari melihat Banyu.Dalam kurun waktu dela