Coba tanya pada setiap sudut di SMA Bina Bakti tentang siapa Nadira Anjani Armaleo?
Maka jawaban hampir seluruh murid, guru, satpam, ibu dan bapak kantin, benda mati, tumbuhan, cicak, kecoa, semut serta udara atau angin yang tak sengaja lewat akan dengan lantang menjawab;
Suka melanggar peraturan, sering membuat guru naik darah, suka bolos, ikut tauran, intinya dia gadis bermasalah. Silangganan ruang BK, tapi anehnya orang tuanya tidak pernah dipanggil.
Jika ada yang bertanya apa sikap yang bisa dijadikan panutan? Maka jawabannya; kesetiaan gadis itu dalam berteman, keceriaan yang tak pernah pudar sekalipun dia dihukum membersihkan toilet, kebaikan hatinya dalam membela anak-anak yang di bully, otak cerdas turunan sang ayah, dan terakhir ramah.
Kata bunda, sikap jelek Nadira adalah turunan dari sang ayah sedangkan sikap baik gadis itu sudah jelas adalah turunan darinya, wah keren sekali.
Pagi itu Nadira melangkah santai, tidak peduli kalau dia sebenarnya sudah terlambat 15 menit.
Penampilannya? Oh, jangan tanya, kalian akan kembali bertanya, di mana tampilan anak sekolah dari dirinya?
Ujung rambutnya diwarnai merah maron, baju yang lengannya dilipat ke atas, tanpa dasi dan dua kancing atasnya di biarkan terbuka, baju yang tak dimasukan ke dalam rok, serta rok di atas paha, dan jangan lupakan sepatu dan kaos kakinya yang berwarna.
Apa bunda Alle tidak marah? Oh jelas, marah. Bunda Alle bahkan sudah capek dan akhirnya membiarkan gadis itu, karena bunda Alle juga pernah ada di posisi sang anak.
Apa pihak sekolah tidak melarang? Sudah. Tapi, karena memang dasarnya keras kepala Nadira adalah turunan ayah, jadilah dia suka melangggar dan tidak taat.
Bagi Nadira, peraturan ada untuk dilanggar.
Koridor menuju kelasnya sudah sangat sepi, keheningan menemani langkah santainya. Aerphone ditelinga menggema di setiap sudut telinganya, mengundang kepalanya untuk mengangguk tenang mengikuti irama lagu.
Sesampainya di depan kelasnya, Nadira dengan santai memasukan aerphone dan ponselnya ke dalam tas, merapikan pakaiannya lalu mengetuk pintu dengan senyum lebar.
Tok! Tok! Tok!
"Masuk."
Mendengar perintah dari dalam sana, dia langsung membuka pintu. Menjadi sorotan seluruh penghuni kelas dan tentu saja guru dengan kepala botak di depan sana yang kini menatapnya galak.
Bunda lebih galak-- kekehnya pelan, membayangkan wajah bundanya.
Menggeleng pelan, Nadira berucap ceria. "Pagi pak guruku yang tanvan dan selamat pagi temen-temenku semua, muaah," sapanya genit melempar ciuman jauh pada teman-teman sekelasnya berulang kali. Dijawab ekspresi muntah oleh teman-temannya.
"Jam berapa sekarang, Nadira?" tanya pak irwan mengabaikan sapaan Nadira, guru bahasa indonesia itu menatap tajam pada Nadira yang sibuk menatap jam tangannya.
"Emm jam 07.20, Pak," jawabnya polos.
Pak Irwan mendelik, menatap bagaimana wajah tanpa dosa itu menanggapi dirinya.
"Sudah berapa kali kamu telat di jam mengajar saya?" lagi, pak Irwan bertanya.
Nadira dengan serius berpikir, keningnya sampe berkerut, berusaha mengingat dengan baik, tapi sekalipun dia cerdas tetap saja dia adalah turunan bunda Alle,pelupa.
Jadinya dia hanya menjawab tanpa rasa bersalah, "Lupa, Pak."
"Ck anak siapa sih kamu? Enggak habis pikir saya sama kamu," kesal pak Irwan berkacak pinggang. Guru satu ini memang tidak bisa marah-marah pada muridnya, tapi kalau kesal, Nadira sudah sering membuatnya kesal.
"Anak bunda Alle dan ayah Arga, pak."
"Dih, keluar dari kelas saya, hari ini kamu saya hukum hormat depan pak satpam, sampai jam istrahat." final pak Irwan mengusir Nadira.
"Lah, enggak bisa gitu dong, pak. Saya kan mau belajar bukannya mau hormat sama pak Rio," komentar Nadira tidak terima. Pak Rio adalah satpam sekolah yang gesreknya kebangetan.
Mengenai hukuman yang diberikan pak Irwan, memang, selalu tidak masuk akal.
"Lah, mana ada orang mau belajar enggak niat datang pagi-pagi?!" sarkas pak Irwan.
Nadira berdecak, "Bapak enggak liat? Ini saya udah niat, pake baju sekolah, bawa buku nih dalem tas." tunjuknya pada seragam dan menyampingkan tubuhnya, berniat memperlihatkan tas maron miliknya ke pak Irwan.
"Niat, niat dari tailand? Matamu yang niat sekolah, jam berapa ini? Jam sekarang ini udah berlangsungnya belajar, bukan malah baru datang," omel guru tersebut ngegas.
Nadira menghentakkan kakinya dengan bibir manyun. "Auh ah gelap, bapak nyebelin kek Ayah," katanya keluar dari kelas.
Hampir semua murid menggeleng melihat tingkah Nadira.
Pak irwan berucap dramatis, "Apa salah dan dosaku ya tu--"
"Eh, Pak?" Nadira kembali muncul dan memotong ucapan pak Irwan. Refleks guru tersebut menghela penuh kekesalan.
"Apa lagi?" tanyanya mengatur napas.
Nadira tersenyum lebar, matanya berkilat penuh bahagia saat berucap, "Cuma mau bilang, bapak emang nyebelin tapi ayah Dira lebih ganteng dari bapak. Sekian dan jangan lupa napas," ucapnya kemudian berlalu.
Pak irwan terkejut, melongo dengan jeleknya dan mengundang tawa dari semua murid di kelas.
"Ngapain kalian ketawa, ayok lanjut belajar! Lama-lama bisa botak saya kalau muridnya modelan Nadira," dumelnya berjalan ke arah mejanya.
Erlan, si ketua kelas yang marupakan teman dekat Nadira bersua ketika mendengar kalimat pak Irwan. "Pak, apa lagi yang mau dibotakin? Kan emang udah botak."
"Diem kamu!"
Disambut tawa satu kelas, dan guru itu hanya bisa melotot geram.
***
Nadira melangkah gontai ke arah gerbang, mencari pak Rio. Suasana koridor jelas masih sepi karena jam belajar masih berlangsung.
Jarak kelasnya dan gerbang sekolah lumayan jauh, jadilah Nadira terlihat malas.
"Keterlaluan, ih kesel, pak irwan nyebelin, " dumelnya penuh emosi.
Ini gara-gara flim korea, semalam dia maraton nonton karena Nindia sahabatnya bilang ada flim korea paling keren, tentang mafia dan memang flim itu keren. Namun, inilah endingnya, dia jadi terlambat bangun.
Setibanya dia di depan post jaga, pak Rio tidak ada, Nadira kembali kesal, memilih masuk ke dalam post jaga tersebut. Matanya langsung berbinar ketika melihat gorengan dipiring yang Nadira yakini milik pak Rio.
Dengan semangat dia langsung duduk, mengabaikan satu sosok yang menatapnya tajam.
Ketika tangannya terulur hendak mengambil, tangan lain lebih dulu sudah mengambil gorengan itu.
"Ini milik gue."
Nadira menoleh, lantas begitu saja dia melotot.
"Siapa lu?" tanyanya tajam, tangannya dengan lancang menarik kerah baju sekolah cowok di depannya.
"Lepasin tangan lu," titah cowok itu dingin, matanya berkilat tidak suka.
"Enggak, lu harus bilang dulu, lu siapa? Murid dari mana? Mau apa ke sekolah gua? Itu bakwan punya gua, kenapa lu ambil? Jawab!" gertaknya penuh intimidasi.
Si cowok menatap datar cewek di depannya.
"Lepasin dulu tangan lu." lagi, dia berucap datar.
Nadira yang tidak pernah mendengar nada tersebut bukannya takut malah berbinar penuh kagum.
"Lagi," pintanya ketika sadar, nada cowok di depannya ini berbeda dengan nada teman-teman cowoknya, ayah ataupun adiknya.
"Apa?" bingung si cowok.
"Ngomong lagi," ulang Nadira kini dengan lancang duduk di samping cowok itu, dia bahkan lupa akan pertanyaan yang dia ajukan beberapa menit yang lalu.
Si cowok makin bingung, berdecak kesal, dia berdiri, yang langsung diikuti oleh Nadira dengan senang hati.
"Ayok, ngomong lagi," kembali nadira meminta.
"Lu gila ya?"
Bukannya tersinggung, Nadira justru melongo penuh kagum, nada cowok itu berbeda, sangat mirip dengan nada si pemeran utama pada flim korea yang dia tonton semalam.
Malas meladeni cewek yang menurutnya aneh, dengan tak peduli, dia memasukan gorengan ditangannya pada mulut cewek yang melongo di depannya.
"Cewek aneh." lalu berlalu meninggalkan Nadira yang masih terkagum-kagum pada sosoknya.
Sadar ditinggalkan, Nadira kembali manyun, matanya masih berbinar penuh kagum.
"My Mafia ... eh, namanya siapa ya? Dia dari sekolah mana? Ngapain dia ke sini? Dih tuh kan, lupa kan gue nanya-nanya," rengeknya menyetak kakinya.
Tanpa memperdulikan hukumannya, gadis itu pergi begitu saja, sambil menguyah kesal gorengan dimulut. dalam hati dia bertekad, Nadira berucap penuh semangat.
"Gue bakal cari tuh cowok dan nanti gue bakal tanya langsung semuanya, my mafia."
****
Siang itu kantin sesak akan para murid, suara ibu dan bapak kantin saling bersautan dengan murid-murid yang haus dan lapar.Semua meja nampak penuh. Di SMA Bina Bakti, semua angkatan berkumpul di kantin yang sama. Disediakan pintu untuk setiap angkatan dari kelas 10-12.Nadira tentu saja duduk di meja satu gengnya, bukan dalam artian geng motor atau geng yang ada di otak pintar kalian. Hanya gerombolan anak bermasalah.Erlan, si ketua kelas tentu saja termasuk salah satunya, Nadira dan Nindia adalah murid kelas 11 sedangkan yang lima orang lainnya adalah kakak kelas dan dua adik kelas cowok, dalam empat meja yang disatukan mereka bersembilan duduk bersama."Dir, gua denger lu dihukum sama pak Irwan buat hormat ke pak Rio, gimana rasanya?" Asep bukan Septian ya, namanya Aseprudin, kakak kelas Nadira, bertanya.Nadira yang ditanya seperti itu langsung saja manyun, kesal sekali kalau mengingat guru nyebelin yang kalah ganteng dari ayah Arga. Nam
Pulang sekolah, tentu saja menjadi saat-saat yang ditunggu hampir semua murid, tapi ada juga beberapa murid yang tidak ingin pulang.Namun, tidak dengan Nadira, gadis itu dengan riang dan suka cita melangkah ke arah gerbang, rambutnya sudah diikat tinggi, tas maronnya melekat santai di punggungnya.Sesekali bibir mungilnya bersenandung."Stop."Langkah Nadira berhenti kala mendengar seruan dan seseorang berdiri di depannya. Dengan reflek dia bersenandung."Kau mencuri hatiku, eaaaak," kekehnya ketika mendapati, Lukas, si kakak kelaslah yang menghadangnya."Yeeeee, malah nyanyi." Lukas menoyor kepalanya, lantas dengan kesal Nadira mencekal tangan cowok itu dan memilintirnya ke belakang.Sudah dia bilang, dia paling tidak suka tubuhnya disentuh."Dont touch me!" katanya tajam.Lukas meneguk selvinanya, menyengir disela sakit ditangannya. "Iya-iya, enggak gue ulang, Dir," lirihnya menahan sakit, Na
***Sore itu, jalan anggrek dipenuhi puluhan anak SMA, di kubu kanan ada SMA Jaya sedangkan di kubu kiri ada SMA Bina Bakti.Nadira berdiri di samping Lukas, di belakang mereka lebih dari 15 murid SMA Bina Bakti berjejer. Hal sama juga terjadi di kubu kanan, lebih dari 20 murid SMA Jaya berdiri bersama senjata masing-masing.Nadira berdiri dengan mata berbinar, seakan baru saja melihat idolanya berdiri di depannya. Ditangannya ada sehelai kain basah, teman-temannya bahkan sampai bingung untuk apa kain tersebut saat seharusnya gadis itu membawa senjata seperti balok, besi, atau sejenis senjata mematikan lainnya?Tapi dengan enteng dia menjawab: "Kata nda enggak boleh kasar, enggak boleh bikin anak orang masuk kuburan karena nda si penguasa dunia itu lagi enggak nerima tamu."Tentu saja semua teman-temannya kembali dibuat melongo tak habis pikir, dan akhirnya membiarkan gadis itu berlaku seenaknya, sedangkan Lukas membawa dua pemukul bisb
Happy reading *** "Ndaaaaaaaa," rengek Nadira ketika melihat bunda berdiri di depan pintu utama. Gadis itu berlari, menubruk tubuh berdaster bunda dan menangis layaknya anak kecil. "Eh, kakak kenapa, kok nangis? Mana yang luka? udah nda bilang jangan tauran, kan kalau kalah pulang nangis," omel bunda, tapi, tetap memeluk balik tubuh Nadira yang terisak, tangannya membelai kepala putri sulungnya. "Hiks bukan karena tauran nda, hiks," kata Nadira memberitahu, gadis itu semakin menenggelamkan wajahnya pada dada sang bunda, "Huaaaa Dira kangen kakek." Kening bunda berkerut, menatap suaminya dengan pandangan bertanya, meminta penjelasan, tapi sayangnya ayah hanya mengangkat bahu acuh. Lalu, pandangannya beralih pada sekumpulan anak remaja, bunda tersenyum ramah. "Ya udah kita masuk dulu ya, kita ngobrol di dalam," ajak bunda melepas pelukan Nadira. Namun, bukannya melepaskan bunda sepenuhnya
Happy reading***Hari senin menjadi hari yang paling dibenci Nadira, bangun pagi dan tentu saja ikut upacara bendera.Sekalipun malas, gadis yang hanya memakai topi tanpa dasi tersebut tetap dengan percaya diri berdiri di barisan kedua paling depan, lolos dari rajiah lengkap berseragam.Upacara tengah berlangsung, setiap sesi sudah di mulai ketika Nadira merasa kakinya terasa lelah, sesekali gadis itu akan menghentak-hentakkan kakinya kesal, menggerutu saat kepala sekolah di depan sana tak kunjung menyelesaikan pidatonya."Sebagai generasi bangsa, sudah selayaknya kalian mempertahankan sikap-sikap teladan, baik sikap di sekolah, di rumah atau di masyarakat. Apa saja salah satu contohnya? misalnya di sekolah, mengikuti peraturan yang sudah ditetapkan.""Nyenyenye," lirih Nadira kesal."Dan masalah prestasi ...."Nadira sudah muak, kesal mendengar hal yang sama."Tuh k
Happy reading***["Kali ini apa lagi alasanmu ikut tauran, Arya?!"] Suara bentakan dari sebrang sana dibalas hening.["Jangan malu-maluin keluarga ya kamu!! Kamu saya sekolahkan bukan untuk jadi seorang pembuat onar, mengerti kamu?!"] Lagi, suara bentakan terdengar.["Arjuna Narayan Bagaskara, kamu dengar atau tidak, hah?!!" ]Dengusan terdengar. "Udah?" tanyanya datar, suara dengusan kasar di sebrang sana membuat kekehan hambar meluncur dari bibirnya. "Kalau udah, saya tutup."["HEH, ANAK KUR---"]klik!"Berisik," dengusnya memasukan ponsel ke dalam saku celana abu-abunya.Seperti yang kalian dengar, namanya Arjuna Narayan Bagaskara. Entah dari mana nama itu di ambil dan apa alasannya, Arya tidak tahu. Setahunya dua nama di depan nama kebesaran ayahnya adalah nama pemain film india. Mungkin ayah atau ibunya adalah penikmat film tersebut, atau entahlah, pikirnya.&nbs
Happy reading***Nadira berdecak, menatap sekeliling dengan seksama, dia sudah berdiri di samping gerbang SMA Bina Bakti dari 30 menit yang lalu.Menanti dan berharap sosok yang sadari pagi dia cari, muncul.My Mafia, where are you?-- batinnya mendramatis keadaan. Dia sudah bosan berdiri layaknya seles di toko-toko."Oyy, ngapain lu?" Rika, si kakak kelas menghampirinya."Nungguin bang Arya," jawab Nadira tanpa menoleh ke arah Rika."Arya saha?""Arjuna Narayan Bagaskara.""Ngapain lu nyari dia?" tanya Rika menatap penasaran Nadira yang masih belum menatapnya, tumben Nadira mau menunggu seperti saat ini. "Jangan bilang, dia itu cowok yang lu bilang keren?"Kepala Nadira mengangguk dua kali. "Dia ke mana sih?" decaknya menatap tidak suka orang-orang yang menatapnya."Eh, Dir, bener tuh cowok orangnya?""Iya. Eh, kak, kelas lu seb
Happy reading**"Kak Dira?"Nadira yang tersenyum-senyum sambil memeluk boneka besarnya menoleh, menatap Nadila dengan senyum yang tak luntur sedikitpun.Tangannya melambai ke arah kembarannya yang berdiri di depan pintu. "Sini, Dek," panggilnya.Nadila masuk. Sudah dia duga, perasaan senang yang meletup-letup di hatinya sudah jelas berasal dari kembarannya ini. Mereka berdua memang sebatin, satu yang merasakan, maka yang lain ikut merasakan."Sini-sini, duduk sini, Dek." Nadira menepuk sampingnya, meminta Nadila untuk ikut bergabung bersamanya."Kakak ngapain senyum-senyum kaya orang gila gitu?" tanya Nadila manatap kakaknya penuh selidik, dia tahu Nadira itu orangnya ceria, berbanding terbalik dengannya yang pendiam dan terkesan cuek. Namun, melihat kembarannya bertingkah seperti ini, jelas Nadila penasaran.Nadira yang dikatakan gila tidak tersinggung sama sekali.