Nama yang bagus, terlalu bagus untuk disematkan padanya. Nama Nadira seharusnya identik gadis anggun, pemalu dan ceria. Namun, tidak dirinya. Aih, kecuali ceria tentunya. Bahkan semua orang akan mengira dirinya kelebihan dosis kecerian.
Dia tidak anggun. Dia itu; bar-bar, suka ceplos-ceplos, cerewet dan masih banyak sikapnya yang bisa membuat sang bunda menggeleng tak habis pikir.
Kata bunda, namanya diambil dari nama gadis kecil yang datang di mimpi bunda-- Alleira Cahaya Starla-- sesosok gadis cantik dan menggemaskan, mengaku sebagai Nadira dan anak bunda, hanya itu cerita singkat asal muasal namanya.
Sedangkan Anjani, nama ibu dari Hanoman di film Sinta dan Rama. Bunda adalah menggemar garis depan film-film india. Itulah sebabnya nama tengahnya nama itu.
Nadira punya kembaran; namanya, Nadila Sinta Armaleo dan adik laki-laki bernama Gibran Arnov Armaleo.
Dari mana nama-nama itu? Tentu saja dari mimpi bunda
Kata bunda, di dalam mimpinya, seorang gadis kecil berumur lima tahun sedang menjaga sosok bayi mungil, bayi laki-laki.
Lantas, ketika bunda Alle mendekat, gadis kecil itu mendongak lalu berdiri dan berlari kecil ke arahnya. Dengan suara khas anak kecil, dia mengaku dirinya bernama Nadira, memanggilnya, bunda. Dan bercerita dengan semangat tentang bayi laki-laki yang tengah berbaring di atas kasur di kamar tersebut.
Lalu, paginya, ketika bunda bangun, dengan ceria dia menceritakan mimpi tersebut pada sang kekasih--Armaleo Nauvally Arga-- yang kini sudah resmi menjadi suami dan ayah anak-anaknya. Ketika itu bunda Alle meminta Arga memberi nama untuk bayi laki-laki di mimpinya, dan yang pertama kali melintas dipikiran si pacar adalah nama Gibran. Jadilah, nama bayi tersebut adalah Gibran.
Lanjut cerita, beberapa hari kemudian, bunda kembali bermimpi, mimpi tentang gadis kecil bernama Nadira. Namun, kali ini Nadira tidak membawa Gibran tapi justru membawa gadis kecil seumuran dirinya dan memperkenalkan kalau gadis itu bernama Nadila, kembarannya.
Begitulah cerita singkat asal muasal nama-nama ketiga anak bunda Alle.
Dan ajaibnya, setelah menikah dengan si pacar, tuhan justru mengabulkan semua mimpi itu. Wanita ceria bernama Alle itu dikaruniai anak kembar, dan satu tahun kemudian kembali melahirkan anak laki-laki.
Hanya saja sikap mereka bertiga tidak sama dengan apa yang ada di mimpinya.
Nadira, dia memang cerewet seperti dimimpi bunda Alle, tapi ketika semakin berumur sifatnya selalu bisa membuat bunda sakit kepala.
Nadila, dia pendiam, tapi jika dihadapan sang ayah sifat turunan bunda yang cerewet--kata ayah-- akan keluar.
Dan, Gibran? Jangan tanya, anak laki-laki itu adalah copy-an sang ayah, keras kepala, dingin, datar, cuek pada orang lain. Kecuali pada keluarganya, akan bersikap menyebalkan.
Seperti pagi ini, suara halus bunda menggema, memanggil nama putri sulungnya yang masih terlelap di dalam kamarnya.
"Nadira! Dira, bangun!" decaknya mengetuk-ngetuk pintu berwarna maron di depannya.
Lima belas menit dia berdiri di sana, tapi belum ada tanda-tanda si sulung sudah bangun. Karena kesal, dia kembali berteriak.
"Bang Ilan ... dobrakin pintu kamar kakak buat bunda, buru!"
Yang dipanggil dengan cepat muncul, takut namanya dipanggil dua kali dan disusul pot bunga.
Gibran atau biasa dipanggil abang di rumah tersebut menyengir, menatap polos bunda yang memberi intruksi untuk mendobrak kamar Nadira.
Tapi bukannya melaksanakan, Gibran malah mengeryit.
"Mata nda kenapa, kemasukan cintanya ayah, ya?" tanyanya polos.
Bunda tentu saja kembali kesal, lalu, tanpa ba-bi-bu mencubit gemas pipi si bungsu.
"Aw-aw ampun, Nda," ringis Gibran. Tangannya berusaha melepas tangan bunda dari pipinya, bunda tidak main-main kalau sudah mencubit.
"Dobrak!" titah bunda, melepas tangannya dari pipi Gibran.
Tak ingin dicubit lagi, Gibran mengangguk. "Itung nda, satu sampai tiga," katanya meminta intrupsi.
Bunda mengangguk, "satu ... Du--"
"Berisik ih, Dira masih ngantuk."
Bunda mengerjap dengan mulut masih terbuka, Gibran masih dalam posisi hendak mendobrak.
Di depan mereka, di depan pintu yang baru saja terbuka. Nadira berdiri, masih dengan muka bantal, mata setengah tertutup, rambut bak singa, dan iler di sudut bibirnya.
Tersadar dari acara melongonya, bunda berkacak pinggang, menatap sekilas jam di pergelangan tangan.
06.15
Dan Nadira masih ngantuk? Anak ini-- decak bunda dalam hati, kesal.
Tanpa pikir dua kali, tangan bunda terulur, menarik gemas telinga Nadira. "Masih ngantuk? Jam berapa ini, Kak? Mau sekolah atau enggak, hum?" tanya bunda bertubi-tubi.
Nadira yang merasakan panas ditelinga kirinya mengaduh, matanya memelas menatap bunda, lalu sedetik kemudian melotot ke arah Gibran yang menertawakan dirinya.
"Aww nda, sakit, aww iya-iya Dira mau sekolah, lepasin dong nda Dira mau mandi, mau pakaian," rengeknya memelas ke arah bunda.
Gibran yang sadari tadi tertawa diam-diam, mulai mengompori. "Tarik yang kenceng nda, kakak kebiasaaan ngebo, jangan kasih ampun nda, " katanya penuh semangat.
Melepas tangan dari telinga Nadira, bunda menoleh ke arah Gibran, melotot kesal. "Dan abang, ngapain di sini? Sana ke meja makan, gabung sama ayah dan Dila," usirnya mendorong pelan punggung si bungsu.
Gibran memajukan bibirnya, menatap cemberut ke arah bunda yang baru saja mengomelinya. Mengangguk pelan, dia akhirnya berlalu dengan mata sinis menatap sang kakak, Nadira, yang balik menertawakan dirinya.
Selepas kepergian Gibran, bunda menoleh ke arah Nadira kembali. Berkacak pinggang dengan wajah galak, Nadira meringis dengan senyum lebar, merasa ciut kalau bunda sudah mode galak on.
"Ngapain kakak diem aja di situ? Sana pakaian, nda tunggu di bawah, sepuluh menit, harus udah di meja makan. Terserah mau mandi atau enggak." setelah membuat Nadira menganga tak anggun, wanita berumur 36 tersebut berlalu.
"Kok cuma sepuluh menit? Nda? curang, enggak boleh gitu." percuma, karena bunda sudah berlalu menuruni tangga.
Dengan ogah-ogahan Nadira masuk ke kamarnya, sepuluh menit hanya cukup untuk mencuci muka dan sikat gigi. Ah, bodo amat, toh orang cantik bebas, katanya dalam hati.
***
Di meja makan, Nadila dan Gibran sudah duduk manis. Bunda datang dengan bibir komat-kamit, mengomel selama perjalanan menuju ruang makan.
Gibran menyikut tangan Nadila, meminta perhatian sikakak untuk melihat tingkah bunda mereka. Nadila yang disikut melirik adiknya sekilas, lalu menatap berbinar tingkah bundanya. Sikap aneh yang entah diturunkan dari siapa, selalu bahagia saat melihat semua tingkah bunda.
"Ayah, mana?" tanya bunda pada kedua anaknya. Yang ditanya menampilkan jawaban isyarat yang berbeda; Gibran yang mengangkat bahu pertanda tak tahu, dan Nadila yang menggeleng dengan tangan yang dipangku di bawah dagu.
Bunda berdecak, "Jangan bilang ayah belum bangun juga?"
"Hadir, Nda." suara itu menarik atensi mereka. Arga, sang ayah berjalan santai dengan pakaian formalnya, ditangannya ada tas kerja dan satu dasi.
Bunda menggeleng, melangkah ke arah ayah dan meminta dasi yang langsung di berikan.
"Kirain belum bangun, ayah kan sebelas-dua belas sama Nadira, susah di banguninnya, "sindirnya. Tanganya dengan cekatan memasang dasi kekerah kemeja ayah.
Ayah hanya tertawa menanggapi omelan bunda, mencium gemas kening wanita yang menemaninya 16 tahun itu. Dan bunda hanya memanyunkan bibirnya, pertanda tengah ngerajuk.
"Nda, ayah itu seserver sama abang, bangun cepet kalau bukan hari libur, iya 'kan, Yah?" Gibran di tempat duduknya ikut menyahut, reflek bunda meliriknya.
"Nyenyenye," kesalnya dan disambut tawa suami dan anak-anak.
"Anak sama ayah sama aja, bisanya bikin nda darah tinggi, harusnya ya, di umur nda yang baru aja masuk 37 ini masih keliatan lebih muda, bukan udah tua gini," omelnya berjalan menyiapkan sarapan untuk anak-anak dan suaminya.
Ayah menggeleng tak habis pikir, dengan senyum yang selalu lebar kala dihadapkan pada wanita yang berhasil mancuri hatinya itu, debaran di dalam sana masih sama setiap berdekatan dengan wanitanya, rasa hangat setiap mendenger wanita itu mengomel masih sama seperti awal mereka pacaran dulu.
"Nda masih cantik kok, masih kek umur 25 tahun." Nadila yang sadari tadi menyimak penuh binar bersuara, dia tidak berbohong saat bilang begitu, bundanya memang masih sangat cantik, baginya bunda adalah wanita tercantik yang pernah dia temui.
"Duh, jadi malu," ucap bunda mendengar pujian putrinya itu.
"Kakak bener, Nda." Gibran menggeleng dengan senyum lebar, dia sependapat dengan ucapan kakaknya itu.
Sedangkan ayah? Tentu saja akan tetap membuat wanitanya kesal.
"Emang udah tua juga, mau ditutupin kaya gimana juga emang udah tua. Adek dan abang cuma pengen ngehibur nda aja tuh," katanya memanas-manasi.
Gibran dan Nadira sontak melotot ke arah ayah, lalu menggeleng serentak ketika bunda menatap mereka tajam.
"Jahat, ayah mah gitu, enggak bisa liat bunda seneng." bunda memanyunkan bibirnya tanpa malu dihadapan anak-anak. Wanita tiga anak tersebut akan bersikap layaknya remaja baru puber jika dihadapan sang suami, sikap manjanya akan keluar tanpa repot-repot ditutupi.
Gibran memutar bola mata malas, tapi tetap tersenyum melihat bagaimana bundanya merajuk, sedangkan Nadila, dengan mata berbinar menatap penuh kagum ke arah bunda.
Ayah? Lelaki itu tertawa lalu berlalu, duduk di kursinya dan mengabaikan sang istri, masih ingin melihat wajah ngambek wanitanya.
"Yuhuuuuu anak camtek datang." suara gema Nadira di ujung pintu ruang makan terdengar, bunda mendelik ke arah anak itu, kebiasaan yang entah turun dari siapa?
"Enggak usah teriak-teriak juga, ini bukan hutan, ya?" sarkas bunda, dijawab tawa Gibran dan Nadila, serta ayah yang geleng-geleng kepala.
Nadira yang mendengar itu langsung menekuk wajahnya. Lalu menyengir lebar, "Kok ngamuk?" tanyanya sengaja.
Bunda memegang sisi kepalanya dramatis, mengabaikan tanya anak sulungnya itu.
"Heran nda nih, dulu waktu ngehamilin Dira makan apa ya? Kok bisa sikapnya kek gini," katanya menggeleng, lalu beralih menatap suaminya. "Tuh yah, turunan ayah," sambungnya menuding ayah penuh kesal.
Ayah menggeleng. "Mana ada, turunan nda tuh," balasnya tidak terima.
Nadira yang melihat perdebatan ayah dan bundanya hanya menggeleng, merotasikan matanya lalu berjalan ke arah meja makan, duduk di depan Nadila dan menyapa kembaran dan adiknya itu.
"Pokoknya turu--"
"Nda, mau makan atau enggak nih? Kita bakal terlambat kalau nda dan ayah masih debat."
Bunda tak jadi melanjutkan kalimatnya ketika Nadila dengan kalem memotong.berdecak sekali, wanita itu mulai dengan cekatan mengambil sarapan buat anak-anak dan suaminya.
Selalu seperti itu, pagi mereka selalu akan terlihat menyenangkan. Bunda yang sering ngomel-ngomel, Ayah yang selalu mengganggu bunda, Nadira yang susah dibangunin, Nadila yang kalem dan Gibran yang sebelas-dua belas dengan sang ayah.
***
Coba tanya pada setiap sudut di SMA Bina Bakti tentang siapa Nadira Anjani Armaleo?Maka jawaban hampir seluruh murid, guru, satpam, ibu dan bapak kantin, benda mati, tumbuhan, cicak, kecoa, semut serta udara atau angin yang tak sengaja lewat akan dengan lantang menjawab;Suka melanggar peraturan, sering membuat guru naik darah, suka bolos, ikut tauran, intinya dia gadis bermasalah. Silangganan ruang BK, tapi anehnya orang tuanya tidak pernah dipanggil.Jika ada yang bertanya apa sikap yang bisa dijadikan panutan? Maka jawabannya; kesetiaan gadis itu dalam berteman, keceriaan yang tak pernah pudar sekalipun dia dihukum membersihkan toilet, kebaikan hatinya dalam membela anak-anak yang di bully, otak cerdas turunan sang ayah, dan terakhir ramah.Kata bunda, sikap jelek Nadira adalah turunan dari sang ayah sedangkan sikap baik gadis itu sudah jelas adalah turunan darinya, wah keren sekali.Pagi itu Nadira melangkah santai, tidak peduli
Siang itu kantin sesak akan para murid, suara ibu dan bapak kantin saling bersautan dengan murid-murid yang haus dan lapar.Semua meja nampak penuh. Di SMA Bina Bakti, semua angkatan berkumpul di kantin yang sama. Disediakan pintu untuk setiap angkatan dari kelas 10-12.Nadira tentu saja duduk di meja satu gengnya, bukan dalam artian geng motor atau geng yang ada di otak pintar kalian. Hanya gerombolan anak bermasalah.Erlan, si ketua kelas tentu saja termasuk salah satunya, Nadira dan Nindia adalah murid kelas 11 sedangkan yang lima orang lainnya adalah kakak kelas dan dua adik kelas cowok, dalam empat meja yang disatukan mereka bersembilan duduk bersama."Dir, gua denger lu dihukum sama pak Irwan buat hormat ke pak Rio, gimana rasanya?" Asep bukan Septian ya, namanya Aseprudin, kakak kelas Nadira, bertanya.Nadira yang ditanya seperti itu langsung saja manyun, kesal sekali kalau mengingat guru nyebelin yang kalah ganteng dari ayah Arga. Nam
Pulang sekolah, tentu saja menjadi saat-saat yang ditunggu hampir semua murid, tapi ada juga beberapa murid yang tidak ingin pulang.Namun, tidak dengan Nadira, gadis itu dengan riang dan suka cita melangkah ke arah gerbang, rambutnya sudah diikat tinggi, tas maronnya melekat santai di punggungnya.Sesekali bibir mungilnya bersenandung."Stop."Langkah Nadira berhenti kala mendengar seruan dan seseorang berdiri di depannya. Dengan reflek dia bersenandung."Kau mencuri hatiku, eaaaak," kekehnya ketika mendapati, Lukas, si kakak kelaslah yang menghadangnya."Yeeeee, malah nyanyi." Lukas menoyor kepalanya, lantas dengan kesal Nadira mencekal tangan cowok itu dan memilintirnya ke belakang.Sudah dia bilang, dia paling tidak suka tubuhnya disentuh."Dont touch me!" katanya tajam.Lukas meneguk selvinanya, menyengir disela sakit ditangannya. "Iya-iya, enggak gue ulang, Dir," lirihnya menahan sakit, Na
***Sore itu, jalan anggrek dipenuhi puluhan anak SMA, di kubu kanan ada SMA Jaya sedangkan di kubu kiri ada SMA Bina Bakti.Nadira berdiri di samping Lukas, di belakang mereka lebih dari 15 murid SMA Bina Bakti berjejer. Hal sama juga terjadi di kubu kanan, lebih dari 20 murid SMA Jaya berdiri bersama senjata masing-masing.Nadira berdiri dengan mata berbinar, seakan baru saja melihat idolanya berdiri di depannya. Ditangannya ada sehelai kain basah, teman-temannya bahkan sampai bingung untuk apa kain tersebut saat seharusnya gadis itu membawa senjata seperti balok, besi, atau sejenis senjata mematikan lainnya?Tapi dengan enteng dia menjawab: "Kata nda enggak boleh kasar, enggak boleh bikin anak orang masuk kuburan karena nda si penguasa dunia itu lagi enggak nerima tamu."Tentu saja semua teman-temannya kembali dibuat melongo tak habis pikir, dan akhirnya membiarkan gadis itu berlaku seenaknya, sedangkan Lukas membawa dua pemukul bisb
Happy reading *** "Ndaaaaaaaa," rengek Nadira ketika melihat bunda berdiri di depan pintu utama. Gadis itu berlari, menubruk tubuh berdaster bunda dan menangis layaknya anak kecil. "Eh, kakak kenapa, kok nangis? Mana yang luka? udah nda bilang jangan tauran, kan kalau kalah pulang nangis," omel bunda, tapi, tetap memeluk balik tubuh Nadira yang terisak, tangannya membelai kepala putri sulungnya. "Hiks bukan karena tauran nda, hiks," kata Nadira memberitahu, gadis itu semakin menenggelamkan wajahnya pada dada sang bunda, "Huaaaa Dira kangen kakek." Kening bunda berkerut, menatap suaminya dengan pandangan bertanya, meminta penjelasan, tapi sayangnya ayah hanya mengangkat bahu acuh. Lalu, pandangannya beralih pada sekumpulan anak remaja, bunda tersenyum ramah. "Ya udah kita masuk dulu ya, kita ngobrol di dalam," ajak bunda melepas pelukan Nadira. Namun, bukannya melepaskan bunda sepenuhnya
Happy reading***Hari senin menjadi hari yang paling dibenci Nadira, bangun pagi dan tentu saja ikut upacara bendera.Sekalipun malas, gadis yang hanya memakai topi tanpa dasi tersebut tetap dengan percaya diri berdiri di barisan kedua paling depan, lolos dari rajiah lengkap berseragam.Upacara tengah berlangsung, setiap sesi sudah di mulai ketika Nadira merasa kakinya terasa lelah, sesekali gadis itu akan menghentak-hentakkan kakinya kesal, menggerutu saat kepala sekolah di depan sana tak kunjung menyelesaikan pidatonya."Sebagai generasi bangsa, sudah selayaknya kalian mempertahankan sikap-sikap teladan, baik sikap di sekolah, di rumah atau di masyarakat. Apa saja salah satu contohnya? misalnya di sekolah, mengikuti peraturan yang sudah ditetapkan.""Nyenyenye," lirih Nadira kesal."Dan masalah prestasi ...."Nadira sudah muak, kesal mendengar hal yang sama."Tuh k
Happy reading***["Kali ini apa lagi alasanmu ikut tauran, Arya?!"] Suara bentakan dari sebrang sana dibalas hening.["Jangan malu-maluin keluarga ya kamu!! Kamu saya sekolahkan bukan untuk jadi seorang pembuat onar, mengerti kamu?!"] Lagi, suara bentakan terdengar.["Arjuna Narayan Bagaskara, kamu dengar atau tidak, hah?!!" ]Dengusan terdengar. "Udah?" tanyanya datar, suara dengusan kasar di sebrang sana membuat kekehan hambar meluncur dari bibirnya. "Kalau udah, saya tutup."["HEH, ANAK KUR---"]klik!"Berisik," dengusnya memasukan ponsel ke dalam saku celana abu-abunya.Seperti yang kalian dengar, namanya Arjuna Narayan Bagaskara. Entah dari mana nama itu di ambil dan apa alasannya, Arya tidak tahu. Setahunya dua nama di depan nama kebesaran ayahnya adalah nama pemain film india. Mungkin ayah atau ibunya adalah penikmat film tersebut, atau entahlah, pikirnya.&nbs
Happy reading***Nadira berdecak, menatap sekeliling dengan seksama, dia sudah berdiri di samping gerbang SMA Bina Bakti dari 30 menit yang lalu.Menanti dan berharap sosok yang sadari pagi dia cari, muncul.My Mafia, where are you?-- batinnya mendramatis keadaan. Dia sudah bosan berdiri layaknya seles di toko-toko."Oyy, ngapain lu?" Rika, si kakak kelas menghampirinya."Nungguin bang Arya," jawab Nadira tanpa menoleh ke arah Rika."Arya saha?""Arjuna Narayan Bagaskara.""Ngapain lu nyari dia?" tanya Rika menatap penasaran Nadira yang masih belum menatapnya, tumben Nadira mau menunggu seperti saat ini. "Jangan bilang, dia itu cowok yang lu bilang keren?"Kepala Nadira mengangguk dua kali. "Dia ke mana sih?" decaknya menatap tidak suka orang-orang yang menatapnya."Eh, Dir, bener tuh cowok orangnya?""Iya. Eh, kak, kelas lu seb