Happy reading
***
"Ndaaaaaaaa," rengek Nadira ketika melihat bunda berdiri di depan pintu utama.
Gadis itu berlari, menubruk tubuh berdaster bunda dan menangis layaknya anak kecil.
"Eh, kakak kenapa, kok nangis? Mana yang luka? udah nda bilang jangan tauran, kan kalau kalah pulang nangis," omel bunda, tapi, tetap memeluk balik tubuh Nadira yang terisak, tangannya membelai kepala putri sulungnya.
"Hiks bukan karena tauran nda, hiks," kata Nadira memberitahu, gadis itu semakin menenggelamkan wajahnya pada dada sang bunda, "Huaaaa Dira kangen kakek."
Kening bunda berkerut, menatap suaminya dengan pandangan bertanya, meminta penjelasan, tapi sayangnya ayah hanya mengangkat bahu acuh. Lalu, pandangannya beralih pada sekumpulan anak remaja, bunda tersenyum ramah.
"Ya udah kita masuk dulu ya, kita ngobrol di dalam," ajak bunda melepas pelukan Nadira. Namun, bukannya melepaskan bunda sepenuhnya, gadis itu justru memeluk bunda dari samping, bibirnya manyun.
Setelah memastikan Nadira dan istrinya masuk, ayah berbalik, menatap sekumpulan anak muda di depannya.
"Dan kalian, ngapain masih di situ, ayok masuk, anggap aja rumah sendiri atau kalau mau anggap aja kebun binatang," ajaknya.
"Boleh nih, Om?" tanya Lukas tak enak hati, sedikit terkejut mendengar kalimat terakhir ayah Nadira.
Ayah menangguk. "Bolehlah, ayok masuk, panggil ayah aja, temen-temen Nadira 'kan?"
"Iya, om eh ayah, maksudnya." Lukas mengangguk di ikuti yang lain.
"Ya udah tunggu apa lagi? Ayok masuk," ajak ayah lagi, setelahnya masuk dan di ikuti anak-anak remaja itu.
Meski masih bingung dan tidak percaya pada apa yang mereka lihat, mereka tetap masuk.
Gibran yang baru saja selesai mandi dan mendengar keributan di lantai satu segera keluar dari kamarnya, menuruni tangga dan mengeryit melihat banyak sekali orang.
"Wih ada apa ini kumpul-kumpul, ada yang mau bagi-bagi jodoh ya?"
Semua orang menoleh, Nadira yang sudah berhenti menangis kini duduk manis di samping Nindia, duduk bersila dengan satu toples biskuit kesukaannya, biskuit bayi.
Teman-teman nadira jelas saja bingung, mereka tidak pernah melihat cowok yang berdiri tak jauh dari tangga.
Oh atau mungkin dia adiknya Nadira?-- batin mereka. Pasalnya, Nadira pernah membahas tentang keluarganya, termasuk saudara-saudarinya.
"Jodoh pantat abang tuh tepos," telak bunda mendelik ke arah anak bungsunya itu. Membuat teman-teman Nadira kembali melongo.
"Terus ada apa, Nda?"
"Tanya aja sama kakakmu ini, nda mau kebelakang dulu, mau minta bi Lala buat bikin minum." setelah mengatakan itu, bunda berlalu, dia sudah kenalan dengan teman-teman anaknya itu dan sudah tahu juga alasan si sulung keluarga Armaleo menangis.
Ayah? Pria itu sudah berlalu, untuk mandi dan berganti pakaian.
Selepas kepergian bunda, Gibran menyapa teman-teman kakaknya.
"Hallo abang-abang dan akak-akak yang cantik-cantik," sapanya ramah.
Lukas menyebik. "Enak aja, masa gua cowok asli gini di katain cantik? Wah, Dir, adek lu enggak bener."
"He-he-he, maapkeun bang, kenalin gua Gibran, adek kak Dira sekaligus anak bontot dan paling ganteng di kelurga ini," katanya memperkenalkan diri.
"Gua Lukas, kakak kelas Dira."
"Alex, kakak kelas Dira juga."
"Kevin, kakak kelasnya Dira."
"Bima, adek kelasnya kak Dira."
"Erlan, bro. Temen sekelasnya Dira."
"Aing Rika, kakelnya Dira."
"Nindia, temen sekelas Dira."
"Rhido, adek kelas kak Dira."
"Kenan ini kembaran gua, kunang."
"Asep, tapi bukan Septian, gua Aseprudin."
"Rio."
Gibran hanya mengangguk-ngangguk saja, lalu setelahnya duduk di lengan sofa di samping Nadira. "Abis nangis, kak?" tanyanya, ketika melihat mata Nadira sembab.
Yang ditanya dengan manja malah memeluk pinggangnya. "Bang, kakak kangen kakek," adunya mendongak.
Gibran meringis, kakaknya ini ternyata lagi mode manja on. Dengan lembut dia membelai rambut sang kakak, mengabaikan tatapan iri dari Nindia dan Rika.
Njir, gua juga mau di gituin.-- begitulah kira-kira isi hati mereka berdua.
"Bang, nih akak gua kenapa?" tanya Gibran di sela-sela mengusap rambut sang kakak, dia bertanya entah pada siapa.
Lukas yang lumayan dekat dengan Nadira karna duduk di samping Nindia menjawab. "Jadi Dira itu...," dan mengalirlah alur singkat yang lumayan membingungkan, sesekali Gibran mengeryit lalu mengangguk, "... Jadi gitu ceritanya," kata Lukas menyelesaikan ceritanya.
Gibran menunduk ke arah kakaknya, ingin tertawa jika membayangkan Nadira merengek di depan banyak orang, tapi, jika dia tertawa endingnya akan berbahaya bagi dirinya, satu dunia bisa kelimpungan menenangkan gadis itu.
"Gila sih kalau gitu mah, jadi ceritanya kalian enggak jadi tauran dong?"
"Iyalah, mau gimana lagi."
"Hooh, tanpa Dira kita bakal kalah, tau."
"Bener."
Alex, Asep dan Rika ikut menjawab pertanyaan Gibran. Mereka akhirnya membahas hal lain, dengan santai.
Tak lama kemudian bi Lala datang dengan cemilan dan minuman.
"Bang, Dila mana?" tanya Nadira saat tidak melihat atensi kembarannya.
Gibran menoleh sekilas. "Ada les tambahan kata kak Dila," jawabnya setelah meneguk sekali minuman ditangannya.
Nadira hanya mengangguk dan kembalin menatap sedih cemilan-cemilan di atas meja, hatinya tengah gundah, antara rindu pada sang kakek, malu pada teman-temannya dan khawatir karena Nadila belum juga pulang.
***
Malam harinya Nadira sedang berbaring di kamarnya, matanya menatap liar langit-langit kamarnya yang di hias bintang-bintang.
Pikirannya tengah berada jauh entah ke mana. Teman-temannya sudah pulang sejak sore tadi, Nadila juga sudah pulang.
"Gabut ih," decaknya guling-guling. Menatap sekeliling kamarnya yang penuh akan warna merah maron, wanra kesukaannya.
"Enaknya ngapain ya?" katanya lagi, "Gangguin Bang Ilan, ah."
Lalu dia berdiri, berjalan keluar kamar. Kamar Gibran ada ujung lorong. Saat Bunda bertanya kenapa maunya jauh-jauh? Gibran dengan enteng menjawab; Biar kak Dira enggak ganggu Abang, kan Kak Dira enggak suka jalan jauh.
Mengingat itu Nadira jadi kesal, dengan berlari kecil, dia sampai juga.
"Jauh banget," kesalnya menatap pintu coklat di depannya. "Adek enggak ada ahlak."
Pasalnya dipintu kamar adiknya itu ada kalimat; Dilarang masuk, terutama kak Dira, ini kawasan orang-orang kalem, orang enggak waras di larang masuk.
Dor! Dor! Dor!
"Bang ilan, keluar lu, wah sini lu kita tubir," katanya mengendor-ngendor pintu di depannya.
"Keluar lu, bang ilan, oyy, keluar!" teriaknya kesal.
"Berisik!" Gibran berdecak saat melihat siapa yang mengganggu waktu tenangnya.
"Heh, ini maksudnya apa?" tanya Nadira menunjuk-nunjuk kertas yang ditempel di depan pintu.
Gibran yang melihat itu langsung menyengir, "Khilaf kak, maap."
"Khilaf lu bilang?" tanya Nadira dengan wajah yang siap menyantap Gibran saat itu juga.
Gibran gelagapan. "Eh maaf kak, sumpah gua gak sengaja, nih, nih gua robek," ringisnya mencopot kertas itu, menyobek-nyobek dan membuangnya ke tampat sampah di depan kamarnya.
Nadira berdecak. "Enggak ada ampun, malam ini abis lu, bang," putusnya hendak menghajar Gibran.
Namun, sayangnya dia kalah cepat. Gibran dengan cepat menutup pintu. "Maaf kak, " teriak Gibran dari dalam.
Nadira murka. "Buka Gibran. Anjir lu, gua bunuh lu malam ini, buka oyy, buka, enggak!"
***
Happy reading***Hari senin menjadi hari yang paling dibenci Nadira, bangun pagi dan tentu saja ikut upacara bendera.Sekalipun malas, gadis yang hanya memakai topi tanpa dasi tersebut tetap dengan percaya diri berdiri di barisan kedua paling depan, lolos dari rajiah lengkap berseragam.Upacara tengah berlangsung, setiap sesi sudah di mulai ketika Nadira merasa kakinya terasa lelah, sesekali gadis itu akan menghentak-hentakkan kakinya kesal, menggerutu saat kepala sekolah di depan sana tak kunjung menyelesaikan pidatonya."Sebagai generasi bangsa, sudah selayaknya kalian mempertahankan sikap-sikap teladan, baik sikap di sekolah, di rumah atau di masyarakat. Apa saja salah satu contohnya? misalnya di sekolah, mengikuti peraturan yang sudah ditetapkan.""Nyenyenye," lirih Nadira kesal."Dan masalah prestasi ...."Nadira sudah muak, kesal mendengar hal yang sama."Tuh k
Happy reading***["Kali ini apa lagi alasanmu ikut tauran, Arya?!"] Suara bentakan dari sebrang sana dibalas hening.["Jangan malu-maluin keluarga ya kamu!! Kamu saya sekolahkan bukan untuk jadi seorang pembuat onar, mengerti kamu?!"] Lagi, suara bentakan terdengar.["Arjuna Narayan Bagaskara, kamu dengar atau tidak, hah?!!" ]Dengusan terdengar. "Udah?" tanyanya datar, suara dengusan kasar di sebrang sana membuat kekehan hambar meluncur dari bibirnya. "Kalau udah, saya tutup."["HEH, ANAK KUR---"]klik!"Berisik," dengusnya memasukan ponsel ke dalam saku celana abu-abunya.Seperti yang kalian dengar, namanya Arjuna Narayan Bagaskara. Entah dari mana nama itu di ambil dan apa alasannya, Arya tidak tahu. Setahunya dua nama di depan nama kebesaran ayahnya adalah nama pemain film india. Mungkin ayah atau ibunya adalah penikmat film tersebut, atau entahlah, pikirnya.&nbs
Happy reading***Nadira berdecak, menatap sekeliling dengan seksama, dia sudah berdiri di samping gerbang SMA Bina Bakti dari 30 menit yang lalu.Menanti dan berharap sosok yang sadari pagi dia cari, muncul.My Mafia, where are you?-- batinnya mendramatis keadaan. Dia sudah bosan berdiri layaknya seles di toko-toko."Oyy, ngapain lu?" Rika, si kakak kelas menghampirinya."Nungguin bang Arya," jawab Nadira tanpa menoleh ke arah Rika."Arya saha?""Arjuna Narayan Bagaskara.""Ngapain lu nyari dia?" tanya Rika menatap penasaran Nadira yang masih belum menatapnya, tumben Nadira mau menunggu seperti saat ini. "Jangan bilang, dia itu cowok yang lu bilang keren?"Kepala Nadira mengangguk dua kali. "Dia ke mana sih?" decaknya menatap tidak suka orang-orang yang menatapnya."Eh, Dir, bener tuh cowok orangnya?""Iya. Eh, kak, kelas lu seb
Happy reading**"Kak Dira?"Nadira yang tersenyum-senyum sambil memeluk boneka besarnya menoleh, menatap Nadila dengan senyum yang tak luntur sedikitpun.Tangannya melambai ke arah kembarannya yang berdiri di depan pintu. "Sini, Dek," panggilnya.Nadila masuk. Sudah dia duga, perasaan senang yang meletup-letup di hatinya sudah jelas berasal dari kembarannya ini. Mereka berdua memang sebatin, satu yang merasakan, maka yang lain ikut merasakan."Sini-sini, duduk sini, Dek." Nadira menepuk sampingnya, meminta Nadila untuk ikut bergabung bersamanya."Kakak ngapain senyum-senyum kaya orang gila gitu?" tanya Nadila manatap kakaknya penuh selidik, dia tahu Nadira itu orangnya ceria, berbanding terbalik dengannya yang pendiam dan terkesan cuek. Namun, melihat kembarannya bertingkah seperti ini, jelas Nadila penasaran.Nadira yang dikatakan gila tidak tersinggung sama sekali.
6.50Pak Rio menyemburkan kopi hitam yang baru saja dia minum, bukan karena melihat hantu di pagi hari atau bukan juga karena kopi itu masih panas. Melainkan melihat Nadira baru saja memasuki gerbang SMA Bina Bakti.Ya dia adalah Nadira Anjani Armaleo, gadis yang tiap harinya datang ke sekolah pada siang hari. Dan hari ini, rekor baru telah terjadi di Bina Bakti. Tanpa sadar Pak Rio keluar dari pos jaganya, berdiri di luar guna menyambut kedatangan Nadira."Apakah ini salah satu tanda-tanda kiamat akan segera tiba." Pak Rio berkata tepat saat Nadira dua langkah di depannya, menyindir.Nadira yang mendengarnya menyengir, ikut menatap langit yang cerah seperti apa yang Pak Rio lakukan."Bapak kenapa?" tanyanya ikut menatap langit sana-sini."Neng Dira teh sehat? Atau keabisan obat?" tanya Pak Rio memutari tubuh Nadira.Nadira memutar bola mata, kesal. "Sehat atuh Pak, walafiat malah," balasnya mengerucut kesal. "Udah, ah, Dira mau
Saat di kelas dan pelajarantengah berlangsung, Nadira duduk di bangkunya lesu, menatap tidak bergairah guru yang sedang menjelaskan pelajaran di depan sana, sesekali tangannya menopang dagunya atau sesekali dia akan mengela napas gusar di sela-sela matanya melirik jam di pergelangan tangannya."Lu kenapa dah, Dir?" Nindia menatap Dea kesal, pasalnya dia terganggu akan kegelisahan sahabatnya itu.Dea menoleh, menatap malas lawan bicaranya. "Diem lu," katanya malas.Nindia di sampingnya cemberut. "Lu kanapa, dah?" tanyanya.Nadira mengabaikan Nindia, membuat cewek itu memutar bola mata malas."Heh, ogeb, lu kenapa? Obat lu abis?" Kembali Nindia bertanyaNadira menoleh kesal, hatinya sedang gundah entah karena apa. Tanpa menjawab pertanyaan Nindia, Nadira mengangkat tangannya, membuat Bu Fika-Guru matematika-menghentikan acara menjelaskannya."Ya, Dira. Kamu mau nanya apa?" Tanya Bu Fika.Nadira mengerjab. "Jam i
Happy reading***"Oh, jadi gitu, di sekolah kamu sering gosipin dan jelek-jelekin Nda, Kak?"Byurr! Uhuk, uhuk.Lucas tertawa mesi wajahnya basah karena semburan Nadira. Untung cantik dan mulut Nadira itu wangi, jadi Lucas tak marah.Sedangkan Nadira dengan cepat menoleh, seisi kantin ikut menoleh ke arah pintu masuk kantin. Mereka semua tercengang.Seorang wanita paruh baya bak berbie hidup tengah berjalan ke arah Nadira dan melewati mereka, beberapa cowok yang melihat wanita itu mendadak mimisan.Nadira yang melihat siapa datang melotot. "Nda?" Panggilnya tidak percaya.***Seisi kantin terbelalak, tidak percaya dengan apa yang mereka lihat, mereka kira Nadira hanya membual. Namun, ketika melihat lansung Bunda Alle mereka 100% sependapat seperti Nadira bahwa Bunda Alle layaknya malaikat, tak bisa dideskripsikan dengan kata-kata."Kenapa enggak dilanjutin, Kak?" Tanya Bunda Alle lembut, membuat satu kantin
Happy reading**"Oh, jadi gitu, di sekolah kamu sering gosipin dan jelek-jelekin Nda, Kak?"Byurr! Uhuk, uhuk.Lucas tertawa mesi wajahnya basah karena semburan Nadira. Untung cantik dan mulut Nadira itu wangi, jadi Lucas tak marah.Sedangkan Nadira dengan cepat menoleh, seisi kantin ikut menoleh ke arah pintu masuk kantin. Mereka semua tercengang.Seorang wanita paruh baya bak berbie hidup tengah berjalan ke arah Nadira dan melewati mereka, beberapa cowok yang melihat wanita itu mendadak mimisan.Nadira yang melihat siapa datang melotot. "Nda?" Panggilnya tidak percaya.***Seisi kantin terbelalak, tidak percaya dengan apa yang mereka lihat, mereka kira Nadira hanya membual. Namun, ketika melihat lansung Bunda Alle mereka 100% sependapat seperti Nadira bahwa Bunda Alle layaknya malaikat, tak bisa dideskripsikan dengan kata-kata."Kenapa enggak dilanjutin, Kak?" Tanya Bunda Alle lembut, membuat satu k