Happy reading
***
Hari senin menjadi hari yang paling dibenci Nadira, bangun pagi dan tentu saja ikut upacara bendera.
Sekalipun malas, gadis yang hanya memakai topi tanpa dasi tersebut tetap dengan percaya diri berdiri di barisan kedua paling depan, lolos dari rajiah lengkap berseragam.
Upacara tengah berlangsung, setiap sesi sudah di mulai ketika Nadira merasa kakinya terasa lelah, sesekali gadis itu akan menghentak-hentakkan kakinya kesal, menggerutu saat kepala sekolah di depan sana tak kunjung menyelesaikan pidatonya.
"Sebagai generasi bangsa, sudah selayaknya kalian mempertahankan sikap-sikap teladan, baik sikap di sekolah, di rumah atau di masyarakat. Apa saja salah satu contohnya? misalnya di sekolah, mengikuti peraturan yang sudah ditetapkan."
"Nyenyenye," lirih Nadira kesal.
"Dan masalah prestasi ...."
Nadira sudah muak, kesal mendengar hal yang sama.
"Tuh kepala sekolah engga capek kali ya? Perasaan itu mulu yang dibahas," decaknya tidak suka.
"Diem, Dir!" Nindia menegur di sampingnya, di balas bibir manyun oleh Nadira.
Menunduk, gadis itu membuat pola pada lantai di bawah kakinya, menggunakan ujung sepatu, menggerutu bertubi-tubi hingga ekor matanya melihat siluet seorang guru berjalan ke depan barisan bersama satu orang murid laki-laki.
Nadira mendongak, menyipit untuk memastikan siapa cowok yang terlihat familliar itu.
Matanya berbinar ketika tahu siapa cowok itu.
"My mafia?!" pekiknya tanpa bisa dicegah. Semua mata lantas menoleh ke arahnya tajam. Tengah khusuh mendenger pidato kepala sekolah dengan tidak iklas, gadis itu malah dengan berani mengganggu.
"Suara siapa itu?" suara kepala sekolah terdengar, menatap tajam ribuan anak muridnya.
Di tempatnya, Nadira meronta, Nindia tengah membekap mulutnya dengan mata yang melotot.
"Hmmpptt."
"Diem, Dir. Lu mau digantung?" bisik Nindia, rasanya Nindia ingin membuang Nadira ke dunia lain.
"Hmmmppppttt." Nadira menatap Nindia kesal, dia tidak suka di sentuh, tapi Nindia itu baik, tidak mungkin menyakitinya, tapi dia ingin gadis itu melepaskan dirinya.
"Siapa yang tadi berteriak? Cepat mengaku!" di depan sana kepala sekolah kembali bersuara, pria itu terlihat sekali sangat kesal, bagaimana tidak kesal, dia baru saja melupakan bait terakhir pidatonya.
"Hmmmppp." Nadira menatap tajam, kesal sekali, ingin berbicara malah terdengar tidak jelas.
"Gua lepas, tapi diem!" tawar Nindia yang langsung diangguki cepat oleh Nadira.
Namanya juga Nadira suka melanggar peraturan, sedetik kemudian tanganya terangkat penuh semangat.
"Pak, saya, di sini," teriaknya penuh semangat.
Semua orang berdecak dan tak habis pikir akan jalan pikiran gadis itu, bagaimana mungkin ada manusia jenis Nadira, bukannya memilih diam agar tak dapat pidato tambahan dan hukuman, gadis itu malah menambah masalah untuk dirinya sendiri.
"Coba maju sini, saya mau lihat muka kamu," titah kepala sekolah di depan sana.
Nadira tentu saja dengan ceria dan sepenuh hati melaksanakan perintah kepala sekolah, Nindia di sampingnya menggeleng ketika Nadira berbalik ke arahnya hanya untuk sekedar memberi ciuman jarak jauh.
Si anjir.
Berlari kecil, gadis itu berdiri tepat di samping cowok yang membuatnya berteriak. Matanya berbinar-binar, andai ini dunia komik, maka kalian akan melihat lope-lope dikedua mata Nadira.
"Siapa namamu?" tanya kepala sekolah, menarik atensi Nadira.
"Nadira, Pak."
"Nama lengkap?"
"Nadira Anjani Armaleo."
Kepala sekolah diam untuk waktu yang lama, semua murid dan guru melongo dan menatap Nadira tidak percaya.
Siapa yang tidak mengenal nama Armaleo, nama perusahaan terkenal di seluruh indonesia, perusahaan yang berkerja di berbagai bidang, dunia menyebutnya, siserakah yang menguntungkan.
"Yakin kamu dari keluarga Armaleo?" kepala sekolah bertanya ragu, pasalnya dia tidak tahu, yang mengurus semua data siswa adalah wakilnya dan tata usaha, sayangnya kedua orang itu hari ini sedang tidak hadir.
Nadira yang mendengar itu menyebik, matanya menatap terluka kepala sekolah.
"Bapak meragukan identitas saya?" tanyanya dramatis.
"Bukan begitu ...."
"Huaaa bapak jahat, adek tuh enggak bisa diginiin, adek bakal bilang ke ayah Arga," putusnya sengaja.
Kepala sekolah gelagapan, berita lainnya, sekolah ini sepenuhnya ada di bawah naungan perusahan Armaleo.
Pak Arga memang pernah berkata salah satu penerus keluarganya bersekolah di sini, tapi tidak pernah berkata kalau penerusnya itu adalah seorang gadis dan tidak pernah memberitahukan namanya.
Dan ajaibnya nama murid yang setiap hari dia dengar pembuat masalah, adalah putri keluarga Armaleo? Wah, mati dah saya, pekik kepala sekolah tersebut dalam hati.
"Lupakan soal itu, berdiri di situ dan nanti ikut saya ke ruangan saya, dan kamu, Arjuna Narayan Bagaskara? Kamu tidak capek membuat ulah? Sudah berapa kali kamu melanggar peraturan?"
"Alay."
"Apa katamu, Arya?"
"Ck, alay pak, alay."
Di tempatnya Nadira melongo, antara kagum dan kaget bahwa cowok yang dia yakini mafia itu sangat berani menyahuti kepala sekolah.
Murid lain juga melakukan hal yang sama, melongo di tempat. Pasalnya mereka baru melihat cowok itu hari ini, dan dengan beraninya berkata seperti itu.
Wah, gila!
"Ck dasar kamu ... berdiri di situ." setelahnya kepala sekolah melanjutkan sesi terakhir pidatonya ketika mendengar suara-suara semua murid yang mulai merasa jengah.
***
Di rungan kepala sekolah. Layaknya perangko yang dilem, Nadira dengan semangat dan tidak tahu malunya mengikuti setiap gerak Arya. Gadis itu bahkan tidak memperdulikan bagaimana wajah datar dan tidak sukanya cowok itu ketika menatap dirinya.
"Kalian ini kenapa sih? Kalian berdua anak orang berpengaruh di tanah air, seharusnya kalian menjaga nama baik keluarga kalian, bukan malah begini," pak Ridwan, selaku kepala sekolah tengah memulai sesi pidato tambahannya.
Nadira tentu saja tidak mendengarkan, gadis itu asik berbisik di samping Arya.
"My mafia, jadi nama lu Arya? Coba kasih tau gua, lu dari mafia bagian mana? Siapa aja anak buah lu, kapan-kapan bawa gua ke markas lu, dong," rengeknya berbisik, senyumnya lebar, berbanding terbalik dengan Arya yang yang melirik tajam dirinya di sela mendengar kalimat membosangkan pak Ridwan.
"Nadira!" sentak pak Ridwan tidak suka, tenggorokannya sudah kering tapi gadis itu justru tidak mendengarkan dirinya? Sangat tidak sopan.
"Eh, iya pak, saya di sini," jawab Nadira dengan senyum yang makin lebar. Pak Ridwan bahkan meringis, takut bibir itu akan robek tiba-tiba.
"Kamu dengar apa yang saya katakan?"
"Eumm, emang bapak ada ngomong?" tanya Nadira balik. Tanggannya menggaruk kecil bawa dagunya, matanya menatap polos dan bingung pada pak Ridwan.
"Saya sepertinya harus memanggil ayah kamu," ucap pak Ridwan. Bukannya takut, Nadira justru mengangguk setuju, tanganya dengan cekatan mengambil ponsel di saku rok.
"Nih pak, telpon pake hp saya aja, soalnya sesibuk apapun ayah kalau anak-anaknya yang nelpon bakal langsung diangkat," tuturnya membuat pak Ridwan sakit kepala tiba-tiba. Niat ingin mengancam gadis itu, malah seperti ini.
"Simpen aja hpmu."
"Loh kenapa, Pak?"
"Enggak jadi aja."
"Kok enggak jadi?"
"Lupakan."
Arya hanya duduk tenang, matanya menatap jengah perdebatan tidak bermutu di depannya. Sesekali dia akan menerka-nerka bagaimana tabiat gadis bernama Nadira itu.
My mafia? Ck, apa-apaan nama itu? Sejak kapan dia jadi mafia?-- pikirnya tidak habis pikir.
"Dan kamu, Arya?" tanya pak Ridwan. Arya melongos, berdiri dari duduknya.
"Berisik," katanya lalu keluar bagitu saja, tidak peduli dengan namanya yang dipanggil.
"Kamu mau ke mana?" Nadira yang hendak ikut keluar kembali duduk dan menatap pak Ridwan kesal.
"Mau ngejalanin misi rahasia pak, ada banyak pertanyaan yang harus saya tanyakan pada tuh cowok," jelasnya dengan sumringah.
"Si Arya?"
"Betul, Pak."
"Misi apa?"
"Kepo."
Pak Ridwan tiba-tiba memikirkan perasaan guru lain yang mengeluh dengan sikap Nadira.
Jadi begini rasanya, keluhnya dalam hati.
"Pak, tadi si Arya itu kelas berapa? Murid di sini 'kan?" tanyanya dengan tangan yang dilipat di atas meja, matanya menatap penuh harap pak Ridwan, layaknya anak kucing yang meminta untuk dielus kepalanya.
Pak Ridwan menggeleng lalu menggaguk. "Iya, dia murid di sekolah ini, kelas sebelas ips 3, kenapa?" tanya kepala sekolah tersebut usai menjelaskan.
Mata Nadira berbinar, semangat dalam dirinya berkobar. Lantas dengan tidak sopannya menggebrak meja.
"Uhuuuyyy, makaseh bapak ganteng tapi lebih ganteng ayah Arga, saya keluar dulu, assalamulaikum," katanya pamit, mencium tangan kepala sekolah lalu pergi begitu saja.
Pak Ridwan yang baru sadar setelah lima detik kepergian Nadira mengusap dada sabar, tidak habis pikir dengan pola pikir keturunan Armaleo tersebut.
"Semoga saya tidak mati karena serangan jantung dalam waktu dekat ini, ya tuhan," doanya meneguk air putih di atas mejanya.
***
Happy reading***["Kali ini apa lagi alasanmu ikut tauran, Arya?!"] Suara bentakan dari sebrang sana dibalas hening.["Jangan malu-maluin keluarga ya kamu!! Kamu saya sekolahkan bukan untuk jadi seorang pembuat onar, mengerti kamu?!"] Lagi, suara bentakan terdengar.["Arjuna Narayan Bagaskara, kamu dengar atau tidak, hah?!!" ]Dengusan terdengar. "Udah?" tanyanya datar, suara dengusan kasar di sebrang sana membuat kekehan hambar meluncur dari bibirnya. "Kalau udah, saya tutup."["HEH, ANAK KUR---"]klik!"Berisik," dengusnya memasukan ponsel ke dalam saku celana abu-abunya.Seperti yang kalian dengar, namanya Arjuna Narayan Bagaskara. Entah dari mana nama itu di ambil dan apa alasannya, Arya tidak tahu. Setahunya dua nama di depan nama kebesaran ayahnya adalah nama pemain film india. Mungkin ayah atau ibunya adalah penikmat film tersebut, atau entahlah, pikirnya.&nbs
Happy reading***Nadira berdecak, menatap sekeliling dengan seksama, dia sudah berdiri di samping gerbang SMA Bina Bakti dari 30 menit yang lalu.Menanti dan berharap sosok yang sadari pagi dia cari, muncul.My Mafia, where are you?-- batinnya mendramatis keadaan. Dia sudah bosan berdiri layaknya seles di toko-toko."Oyy, ngapain lu?" Rika, si kakak kelas menghampirinya."Nungguin bang Arya," jawab Nadira tanpa menoleh ke arah Rika."Arya saha?""Arjuna Narayan Bagaskara.""Ngapain lu nyari dia?" tanya Rika menatap penasaran Nadira yang masih belum menatapnya, tumben Nadira mau menunggu seperti saat ini. "Jangan bilang, dia itu cowok yang lu bilang keren?"Kepala Nadira mengangguk dua kali. "Dia ke mana sih?" decaknya menatap tidak suka orang-orang yang menatapnya."Eh, Dir, bener tuh cowok orangnya?""Iya. Eh, kak, kelas lu seb
Happy reading**"Kak Dira?"Nadira yang tersenyum-senyum sambil memeluk boneka besarnya menoleh, menatap Nadila dengan senyum yang tak luntur sedikitpun.Tangannya melambai ke arah kembarannya yang berdiri di depan pintu. "Sini, Dek," panggilnya.Nadila masuk. Sudah dia duga, perasaan senang yang meletup-letup di hatinya sudah jelas berasal dari kembarannya ini. Mereka berdua memang sebatin, satu yang merasakan, maka yang lain ikut merasakan."Sini-sini, duduk sini, Dek." Nadira menepuk sampingnya, meminta Nadila untuk ikut bergabung bersamanya."Kakak ngapain senyum-senyum kaya orang gila gitu?" tanya Nadila manatap kakaknya penuh selidik, dia tahu Nadira itu orangnya ceria, berbanding terbalik dengannya yang pendiam dan terkesan cuek. Namun, melihat kembarannya bertingkah seperti ini, jelas Nadila penasaran.Nadira yang dikatakan gila tidak tersinggung sama sekali.
6.50Pak Rio menyemburkan kopi hitam yang baru saja dia minum, bukan karena melihat hantu di pagi hari atau bukan juga karena kopi itu masih panas. Melainkan melihat Nadira baru saja memasuki gerbang SMA Bina Bakti.Ya dia adalah Nadira Anjani Armaleo, gadis yang tiap harinya datang ke sekolah pada siang hari. Dan hari ini, rekor baru telah terjadi di Bina Bakti. Tanpa sadar Pak Rio keluar dari pos jaganya, berdiri di luar guna menyambut kedatangan Nadira."Apakah ini salah satu tanda-tanda kiamat akan segera tiba." Pak Rio berkata tepat saat Nadira dua langkah di depannya, menyindir.Nadira yang mendengarnya menyengir, ikut menatap langit yang cerah seperti apa yang Pak Rio lakukan."Bapak kenapa?" tanyanya ikut menatap langit sana-sini."Neng Dira teh sehat? Atau keabisan obat?" tanya Pak Rio memutari tubuh Nadira.Nadira memutar bola mata, kesal. "Sehat atuh Pak, walafiat malah," balasnya mengerucut kesal. "Udah, ah, Dira mau
Saat di kelas dan pelajarantengah berlangsung, Nadira duduk di bangkunya lesu, menatap tidak bergairah guru yang sedang menjelaskan pelajaran di depan sana, sesekali tangannya menopang dagunya atau sesekali dia akan mengela napas gusar di sela-sela matanya melirik jam di pergelangan tangannya."Lu kenapa dah, Dir?" Nindia menatap Dea kesal, pasalnya dia terganggu akan kegelisahan sahabatnya itu.Dea menoleh, menatap malas lawan bicaranya. "Diem lu," katanya malas.Nindia di sampingnya cemberut. "Lu kanapa, dah?" tanyanya.Nadira mengabaikan Nindia, membuat cewek itu memutar bola mata malas."Heh, ogeb, lu kenapa? Obat lu abis?" Kembali Nindia bertanyaNadira menoleh kesal, hatinya sedang gundah entah karena apa. Tanpa menjawab pertanyaan Nindia, Nadira mengangkat tangannya, membuat Bu Fika-Guru matematika-menghentikan acara menjelaskannya."Ya, Dira. Kamu mau nanya apa?" Tanya Bu Fika.Nadira mengerjab. "Jam i
Happy reading***"Oh, jadi gitu, di sekolah kamu sering gosipin dan jelek-jelekin Nda, Kak?"Byurr! Uhuk, uhuk.Lucas tertawa mesi wajahnya basah karena semburan Nadira. Untung cantik dan mulut Nadira itu wangi, jadi Lucas tak marah.Sedangkan Nadira dengan cepat menoleh, seisi kantin ikut menoleh ke arah pintu masuk kantin. Mereka semua tercengang.Seorang wanita paruh baya bak berbie hidup tengah berjalan ke arah Nadira dan melewati mereka, beberapa cowok yang melihat wanita itu mendadak mimisan.Nadira yang melihat siapa datang melotot. "Nda?" Panggilnya tidak percaya.***Seisi kantin terbelalak, tidak percaya dengan apa yang mereka lihat, mereka kira Nadira hanya membual. Namun, ketika melihat lansung Bunda Alle mereka 100% sependapat seperti Nadira bahwa Bunda Alle layaknya malaikat, tak bisa dideskripsikan dengan kata-kata."Kenapa enggak dilanjutin, Kak?" Tanya Bunda Alle lembut, membuat satu kantin
Happy reading**"Oh, jadi gitu, di sekolah kamu sering gosipin dan jelek-jelekin Nda, Kak?"Byurr! Uhuk, uhuk.Lucas tertawa mesi wajahnya basah karena semburan Nadira. Untung cantik dan mulut Nadira itu wangi, jadi Lucas tak marah.Sedangkan Nadira dengan cepat menoleh, seisi kantin ikut menoleh ke arah pintu masuk kantin. Mereka semua tercengang.Seorang wanita paruh baya bak berbie hidup tengah berjalan ke arah Nadira dan melewati mereka, beberapa cowok yang melihat wanita itu mendadak mimisan.Nadira yang melihat siapa datang melotot. "Nda?" Panggilnya tidak percaya.***Seisi kantin terbelalak, tidak percaya dengan apa yang mereka lihat, mereka kira Nadira hanya membual. Namun, ketika melihat lansung Bunda Alle mereka 100% sependapat seperti Nadira bahwa Bunda Alle layaknya malaikat, tak bisa dideskripsikan dengan kata-kata."Kenapa enggak dilanjutin, Kak?" Tanya Bunda Alle lembut, membuat satu k
Nadira baru saja sampai di depan gerbang rumahnya saat dia melihat Nadila--kembarannya-- berjalan sendiri. Mereka berbeda, sangat jauh berbeda. Jika Nadira pecicilan di sekolah, maka Nadila adalah murid teladan. Jika Nadira suka melanggar peraturan, maka Nadila adalah murid yang taat akan peraturan. Intinya Nadira adalah anak nakal dan Nadila kebalikannya. Persamaan mereka hanya satu, sama-sama suka hal-hal sederhana. Mereka satu batin, jika satu terluka maka yang satunya akan ikut merasakan sakit, begitu pun sebaliknya."Mikirin apa, Dek?" Nadira bertanya ketika Nadila yang masih menunduk tiga langkah di depannya, tersentak. Cewek itu mengerjab kemudian tersenyum lebar melihat kembarannya."Kakak udah pulang? Kenapa enggak masuk?" Bukannya menjawab, Nadila justru bertanya."Iya, ini udah di depan kamu, mau masuk bereng kamu aja, sini," panggilnya. Meminta Nadila untuk mendekat ke arahnya. Nadila mengangguk dan dengan antusias berjalan ke arah saudarannya.