Happy reading
***
["Kali ini apa lagi alasanmu ikut tauran, Arya?!"] Suara bentakan dari sebrang sana dibalas hening.
["Jangan malu-maluin keluarga ya kamu!! Kamu saya sekolahkan bukan untuk jadi seorang pembuat onar, mengerti kamu?!"] Lagi, suara bentakan terdengar.
["Arjuna Narayan Bagaskara, kamu dengar atau tidak, hah?!!" ]
Dengusan terdengar. "Udah?" tanyanya datar, suara dengusan kasar di sebrang sana membuat kekehan hambar meluncur dari bibirnya. "Kalau udah, saya tutup."
["HEH, ANAK KUR---"]
klik!
"Berisik," dengusnya memasukan ponsel ke dalam saku celana abu-abunya.
Seperti yang kalian dengar, namanya Arjuna Narayan Bagaskara. Entah dari mana nama itu di ambil dan apa alasannya, Arya tidak tahu. Setahunya dua nama di depan nama kebesaran ayahnya adalah nama pemain film india. Mungkin ayah atau ibunya adalah penikmat film tersebut, atau entahlah, pikirnya.
Berbicara tentang ibu. Arya jelas menolak ide tersebut. Hal terakhir yang ingin dia bahas adalah perihal wanita yang melahirkannya. Entah bagaimana rasanya belaian tangan seorang ibu.
Senyum miris Arya tercipta.
Dia punya segalanya; uang, kekuasaan yang dia peroleh dengan kerja kerasnya sendiri. Namun, siapa yang menyangka bahwa ketidak-adaannya hanya satu, tidak memiliki keluarga lengkap dan kasih sayang yang berlimpah.
Arya adalah anak yang tidak diinginkan semenjak--- lupakan saja, Arya tidak ingin membahasnya.
"Di sini ternyata."
Arya menoleh, hanya satu detik, setelahnya kembali menatap lebatnya dedaunan di atasnya. Dia tengah berbaring dengan posisi telentang ketika sosok yang menemukannya mulai duduk di sampingnya dengan satu plastik berisi makanan.
"Ke mana aja lu satu minggu ini enggak masuk? Gue denger lu ikut tauran, bener?"
Dengusan kembali terdengar, Arya melirik jengah sosok cowok yang sialnya adalah sahabatnya itu, Lingga.
"Berisik lu,"cetusnya memejamkan mata.
Lingga merotasikan matanya. "Makan lu njir, si Kenzo udah kek cewek tau enggak nyuruh-nyuruh gua buat beliin lu makanan. Curiga gua kalau lu berdua ada main di belakang."
Arya bangun dari berbaringnya, meraih plastik yang dibawa Lingga lalu mulai menyantap makanannya.
Kenzo adalah salah satu sahabatnya juga, mungkin juga lebih.
"Tuh kan, bener. Lu ada hubungan ya sama Kenzo?" tuduh Lingga bertanya, menatap penuh selidik cowok di depannya.
Arya hanya mengabaikan Lingga, membuat Lingga berdecak dan ngomel-ngomel.
"Minumnya?" tanya Arya menatap datar Lingga yang datang tanpa membawa minuman.
Lingga yang sadar bahwa dirinya tak membawa air, menyengir. "Lupa," katanya.
"Sana beliin!" titah Arya. Melempar dompet hitamnya pada Lingga.
"Wihh anak sultan mah beda, ya," ujar Lingga reflek ketika melihat tebalnya dompet ditangannya.
"Sana," usir Arya. Tidak tahukah Lingga bahwa makan tanpa minum itu meresahkan.
"Siap bos," jawab Lingga dan berdiri kemudian melangkah untuk menjauh.
Setelah kepergian Lingga, Arya kembali memakan nasi goreng di depannya. Keheningan menemani cowok itu, sudah biasa.
Drrttt!
Getaran di saku celana menghentikan acara makannya, Arya berdecak namun tak urung meronggoh benda pipih tersebut dan membuka satu pesan dari teman satu gengnya, Deon.
Selesai membalas pesan singkat itu, Arya kembali mamasukan ponselnya. Kembali melanjutkan makannya.
Tak lama, Lingga datang membawa air mineral dan satu plasik hitam berisi makanan ringan untuk dirinya sendiri dan tentu saja di bayar menggunakan uang Arya.
"Nih," kata Lingga menyodorkan air mineral yang dia beli.
Arya menerima air tersebut, meneguknya.
"Ar, si Nadira nyari lu noh, " ucapnya setelah duduk di samping Arya. Dia baru saja dari kantin dan hendak ke kelas untuk mengambil buku komiknya ketika dia melihat Nadira bertanya dan mencari Arya.
Nadira? Oh, gadis yang memanggilnya mafia itu ya?-- pikir Arya.
"Hmm," balasnya tak tertarik.
Lingga menatap sekilas Arya di sampingnya sebelum akhirnya mengangkat bahu acuh. Terserahlah, bukan urusan gue, pikirnya masa bodoh.
**
Siang itu Arya kembali tak masuk kelas, kembali membuat guru yang mengajar di kelasnya, berdecak. Mengeluh pada kepala sekolah atas ketidak hadiran Arya.
Sedangkan Arya tengah berdiri memimpin sekumpulan remaja yang saling berhadapan dengan sekelompok geng motor lain, salah satu geng motor yang dikenal berbahaya di ibu kota.
Wajah datar serta tatapan dinginnya terarah pada satu cowok tinggi yang memegang tongkat besi di depan sana. Arya bukan tipe orang yang akan menerima alasan tidak berguna untuk sekedar mengeluarkan tenaganya.
"Ada apa?" tanya Arya membuka suara, keheningan yang sadari tadi tercipta buyar kala suara dingin darinya meluncur di udara.
"Lu semua pasti udah tau alasannya." Samson, ketua geng Alderman menatap bengis pada salah satu anggota geng di depannya.
Geng Hillbillies, dia jelas tahu geng tersebut, geng berkuasa di jalanan, jangankan untuk mengetahui cara mereka membunuh yang kejam, hanya melihat tatapan tajam dari ketua geng tersebut sudah membuat persendian melemah.
Namun, Samson tidak takut, begitupun para anggotanya. Aldarmen bukan geng abal-abalan yang dia buat dua tahun lalu, bukan juga geng biasa, orang-orangnya juga bukan orang-orang biasa, dan Samsom yakin mereka akan imbang.
Namun, bukan karena pertumpahan darah yang dia inginkan, Samson menginginkan kepuasan untuk balas dendam.
Di tempatnya, Arya melirik tajam wakilnya, Deon. Meminta penjelasan, kerena dia benar-benar tidak tahu apa-apa selain pesan singkat yang di kirim Deon tadi pagi.
Deon
[Geng Aldarmen ngajak tauran besar-besaran.]
"Gue juga baru tau sekarang, Ar. Kalau beberapa anggota kita ngeroyok salah satu anggota Aldarmen sampe koma." Deon berucap ragu, mundur selangkah saat tangan dan udara di sekitarnya berubah.
Menoleh dengan tatapan tak terbaca, Arya mendesis.
Sialan.
Selama ini Arya tak pernah menyuruh anggotanya untuk mencari alasan tanpa sebab, tapi beberapa hari ini dia bahkan tidak tahu apa yang terjadi? Sial.
"Terus mau lu apa?" tanya itu mengalun dalam, memberi efek pada udara di sekitarnya.
Sekarang Arya harus mengurus lawan di depannya, persetan. Untuk anggotanya yang membuat masalah, nanti akan dia urus, mereka harus mendapat ganjaran yang setimpal dengan apa yang mereka lakukan.
"Nyawa harus dibayar dengan nyawa," ucapan Samsom terdengar menggelegar. Jelas terdengar emosi, siapa yang tidak akan marah jika satu anggotamu di kroyok tanpa alasan yang kalian tahu?
"Ya, nyawa harus dibayar nyawa."
"Dendam harus terbalaskan."
"Tak ada ampun."
Arya menelisik gerombolan musuh di depannya, kata Aldarmen yang artinya anjing gila memang pantas di sematkan pada mereka. Emosi yang Arya lihat di depannya menunjukan dengan jelas apa yang mereka rasakan. Senyum miringnya tertarik, adrenalinnya memacu lebih laju, memberi efek yang luar biasa. Arya tiba-tiba menginginkan darah.
"Sesuai perintah." seusai ucapan Arya, udara memadat, langit seakan mendukung suasana yang mencekam dengan mendung yang menyelimuti.
Samsom mangangguk dengan seringai di wajahnya, hari ini balas dendamnya akan terbalaskan.
"SERANG!!"
Dua kubu itu akhirnya saling menerjang, perkelahian luar biasa sengit terjadi di bawah gelapnya warna langit. Hari itu adalah hari yang akan di ingat oleh masing-masing anggota, hari di mana dua geng paling berbahaya bersiteru.
***
Happy reading***Nadira berdecak, menatap sekeliling dengan seksama, dia sudah berdiri di samping gerbang SMA Bina Bakti dari 30 menit yang lalu.Menanti dan berharap sosok yang sadari pagi dia cari, muncul.My Mafia, where are you?-- batinnya mendramatis keadaan. Dia sudah bosan berdiri layaknya seles di toko-toko."Oyy, ngapain lu?" Rika, si kakak kelas menghampirinya."Nungguin bang Arya," jawab Nadira tanpa menoleh ke arah Rika."Arya saha?""Arjuna Narayan Bagaskara.""Ngapain lu nyari dia?" tanya Rika menatap penasaran Nadira yang masih belum menatapnya, tumben Nadira mau menunggu seperti saat ini. "Jangan bilang, dia itu cowok yang lu bilang keren?"Kepala Nadira mengangguk dua kali. "Dia ke mana sih?" decaknya menatap tidak suka orang-orang yang menatapnya."Eh, Dir, bener tuh cowok orangnya?""Iya. Eh, kak, kelas lu seb
Happy reading**"Kak Dira?"Nadira yang tersenyum-senyum sambil memeluk boneka besarnya menoleh, menatap Nadila dengan senyum yang tak luntur sedikitpun.Tangannya melambai ke arah kembarannya yang berdiri di depan pintu. "Sini, Dek," panggilnya.Nadila masuk. Sudah dia duga, perasaan senang yang meletup-letup di hatinya sudah jelas berasal dari kembarannya ini. Mereka berdua memang sebatin, satu yang merasakan, maka yang lain ikut merasakan."Sini-sini, duduk sini, Dek." Nadira menepuk sampingnya, meminta Nadila untuk ikut bergabung bersamanya."Kakak ngapain senyum-senyum kaya orang gila gitu?" tanya Nadila manatap kakaknya penuh selidik, dia tahu Nadira itu orangnya ceria, berbanding terbalik dengannya yang pendiam dan terkesan cuek. Namun, melihat kembarannya bertingkah seperti ini, jelas Nadila penasaran.Nadira yang dikatakan gila tidak tersinggung sama sekali.
6.50Pak Rio menyemburkan kopi hitam yang baru saja dia minum, bukan karena melihat hantu di pagi hari atau bukan juga karena kopi itu masih panas. Melainkan melihat Nadira baru saja memasuki gerbang SMA Bina Bakti.Ya dia adalah Nadira Anjani Armaleo, gadis yang tiap harinya datang ke sekolah pada siang hari. Dan hari ini, rekor baru telah terjadi di Bina Bakti. Tanpa sadar Pak Rio keluar dari pos jaganya, berdiri di luar guna menyambut kedatangan Nadira."Apakah ini salah satu tanda-tanda kiamat akan segera tiba." Pak Rio berkata tepat saat Nadira dua langkah di depannya, menyindir.Nadira yang mendengarnya menyengir, ikut menatap langit yang cerah seperti apa yang Pak Rio lakukan."Bapak kenapa?" tanyanya ikut menatap langit sana-sini."Neng Dira teh sehat? Atau keabisan obat?" tanya Pak Rio memutari tubuh Nadira.Nadira memutar bola mata, kesal. "Sehat atuh Pak, walafiat malah," balasnya mengerucut kesal. "Udah, ah, Dira mau
Saat di kelas dan pelajarantengah berlangsung, Nadira duduk di bangkunya lesu, menatap tidak bergairah guru yang sedang menjelaskan pelajaran di depan sana, sesekali tangannya menopang dagunya atau sesekali dia akan mengela napas gusar di sela-sela matanya melirik jam di pergelangan tangannya."Lu kenapa dah, Dir?" Nindia menatap Dea kesal, pasalnya dia terganggu akan kegelisahan sahabatnya itu.Dea menoleh, menatap malas lawan bicaranya. "Diem lu," katanya malas.Nindia di sampingnya cemberut. "Lu kanapa, dah?" tanyanya.Nadira mengabaikan Nindia, membuat cewek itu memutar bola mata malas."Heh, ogeb, lu kenapa? Obat lu abis?" Kembali Nindia bertanyaNadira menoleh kesal, hatinya sedang gundah entah karena apa. Tanpa menjawab pertanyaan Nindia, Nadira mengangkat tangannya, membuat Bu Fika-Guru matematika-menghentikan acara menjelaskannya."Ya, Dira. Kamu mau nanya apa?" Tanya Bu Fika.Nadira mengerjab. "Jam i
Happy reading***"Oh, jadi gitu, di sekolah kamu sering gosipin dan jelek-jelekin Nda, Kak?"Byurr! Uhuk, uhuk.Lucas tertawa mesi wajahnya basah karena semburan Nadira. Untung cantik dan mulut Nadira itu wangi, jadi Lucas tak marah.Sedangkan Nadira dengan cepat menoleh, seisi kantin ikut menoleh ke arah pintu masuk kantin. Mereka semua tercengang.Seorang wanita paruh baya bak berbie hidup tengah berjalan ke arah Nadira dan melewati mereka, beberapa cowok yang melihat wanita itu mendadak mimisan.Nadira yang melihat siapa datang melotot. "Nda?" Panggilnya tidak percaya.***Seisi kantin terbelalak, tidak percaya dengan apa yang mereka lihat, mereka kira Nadira hanya membual. Namun, ketika melihat lansung Bunda Alle mereka 100% sependapat seperti Nadira bahwa Bunda Alle layaknya malaikat, tak bisa dideskripsikan dengan kata-kata."Kenapa enggak dilanjutin, Kak?" Tanya Bunda Alle lembut, membuat satu kantin
Happy reading**"Oh, jadi gitu, di sekolah kamu sering gosipin dan jelek-jelekin Nda, Kak?"Byurr! Uhuk, uhuk.Lucas tertawa mesi wajahnya basah karena semburan Nadira. Untung cantik dan mulut Nadira itu wangi, jadi Lucas tak marah.Sedangkan Nadira dengan cepat menoleh, seisi kantin ikut menoleh ke arah pintu masuk kantin. Mereka semua tercengang.Seorang wanita paruh baya bak berbie hidup tengah berjalan ke arah Nadira dan melewati mereka, beberapa cowok yang melihat wanita itu mendadak mimisan.Nadira yang melihat siapa datang melotot. "Nda?" Panggilnya tidak percaya.***Seisi kantin terbelalak, tidak percaya dengan apa yang mereka lihat, mereka kira Nadira hanya membual. Namun, ketika melihat lansung Bunda Alle mereka 100% sependapat seperti Nadira bahwa Bunda Alle layaknya malaikat, tak bisa dideskripsikan dengan kata-kata."Kenapa enggak dilanjutin, Kak?" Tanya Bunda Alle lembut, membuat satu k
Nadira baru saja sampai di depan gerbang rumahnya saat dia melihat Nadila--kembarannya-- berjalan sendiri. Mereka berbeda, sangat jauh berbeda. Jika Nadira pecicilan di sekolah, maka Nadila adalah murid teladan. Jika Nadira suka melanggar peraturan, maka Nadila adalah murid yang taat akan peraturan. Intinya Nadira adalah anak nakal dan Nadila kebalikannya. Persamaan mereka hanya satu, sama-sama suka hal-hal sederhana. Mereka satu batin, jika satu terluka maka yang satunya akan ikut merasakan sakit, begitu pun sebaliknya."Mikirin apa, Dek?" Nadira bertanya ketika Nadila yang masih menunduk tiga langkah di depannya, tersentak. Cewek itu mengerjab kemudian tersenyum lebar melihat kembarannya."Kakak udah pulang? Kenapa enggak masuk?" Bukannya menjawab, Nadila justru bertanya."Iya, ini udah di depan kamu, mau masuk bereng kamu aja, sini," panggilnya. Meminta Nadila untuk mendekat ke arahnya. Nadila mengangguk dan dengan antusias berjalan ke arah saudarannya.
"Ya, nabrak." Arga tertawa, dia mencium kening putrinya. Waktu telah menujukan pukul empat sore dan Pria itu tahu bahwa kedua putrinya itu belum makan. "Ayok, kita makan, Dila dan Dira belum makan, 'ka?"Alle menatap kedua putrinya bergantian, menatap kesal. "Kenapa enggak bilang, hum?" Tanyanya menatap Nadira dan Nadira.Nadira masih pernasaran, tetapi melihat bagaimana bundanya kini menatap dirinya, membuat Nadira cengengesan."Hehehe.""Malah nyengir, ayok kita makan." Alle hendak berdiri ketika Arga bersuara."Nda di sini aja sama bang Ilan, biar Ayah aja yang nemenin Dira dan Dila, makan."Menatap sebentar wajah suaminya, Alle akhirnya mengangguk. Dia menoleh ke arah Nadila. "Sana makan dulu," titahnya.Nadila mengangguk, mengusap pelan rambut adiknya kemudian, beranjak dari tempatnya, dia mengikuti Nadira dan ayahnya yang kini berjalan ke arah pintu.Tepat saat mereka keluar dari pintu Bi Nining menghampiri mereka.