Happy reading
***
Nadira berdecak, menatap sekeliling dengan seksama, dia sudah berdiri di samping gerbang SMA Bina Bakti dari 30 menit yang lalu.
Menanti dan berharap sosok yang sadari pagi dia cari, muncul.
My Mafia, where are you?-- batinnya mendramatis keadaan. Dia sudah bosan berdiri layaknya seles di toko-toko.
"Oyy, ngapain lu?" Rika, si kakak kelas menghampirinya.
"Nungguin bang Arya," jawab Nadira tanpa menoleh ke arah Rika.
"Arya saha?"
"Arjuna Narayan Bagaskara."
"Ngapain lu nyari dia?" tanya Rika menatap penasaran Nadira yang masih belum menatapnya, tumben Nadira mau menunggu seperti saat ini. "Jangan bilang, dia itu cowok yang lu bilang keren?"
Kepala Nadira mengangguk dua kali. "Dia ke mana sih?" decaknya menatap tidak suka orang-orang yang menatapnya.
"Eh, Dir, bener tuh cowok orangnya?"
"Iya. Eh, kak, kelas lu sebelahan kan sama dia?" Nadira yang baru ingat menoleh cepat ke arah Rika, berbinar.
"Iya, kenapa?" tanya Rika bergidik melihat bagaimana Nadira bertingkah sok imut.
Emang imut, sih.
"Tapi dia jarang masuk," lanjut Rika memberitahu.
Nadira nampak berpikir. Kira-kira kenapa Arya jarang masuk?
🎶Oh ibu dan ayah selamat pagi, ku pergi sekolah sampaikan nanti.🎶
Bunyi di saku bajunya menyadarkan Nadira, gadis itu dengan capet meronggoh ponselnya. Menatap sekilas nama bunda kemudian mengangkat telpon tersebut.
Mengabaikan Rika yang melongo sehabis mendengar lagu yang dijadikan Nadira dering telpon.
Emang gila nih anak, otaknya harus dipertanyakan~ batin Rika.
"Iya, bunda. Eh, assalamulaikum dulu, aku lali hehehe," salamnya dengan cengiran.
Rika di sampingnya masih menatap Nadira, siapapun yang melihat Nadira seperti saat ini akan berpikir kalau Nadira itu lemah, nyatanya Nadira bisa mengalahkan 10 orang sendirian.
"Iya-iya, Dira bakal pulang, iya sekarang, Nda."
Dan setelahnya, gadis itu kembali memasukan ponselnya ke dalam saku. Menatap Rika dengan senyuman polos.
"Kak, gua harus balik, bunda udah nyuruh," pamitnya.
Rika mengangguk, "Ya udah sana."
"Wokkeh, papay akak."
"Bye."
Setelahnya Nadira menjauh, melupakan niat awalnya berdiri hampir sejam di samping gerbang SMA Bina Bakti. Menaiki motor metic-nya, dan berlalu.
***
Siang itu, Nadira dengan santai membawa motornya, bersenandung kecil di cerahnya siang dengan udara yang menenangkan ketika menaiki motor.
Merasa haus, Nadira menyempatkan diri berhenti di supermarket yang terjangkau oleh matanya. Membeli minuman dan beberapa makanan ringan.
Nadira kembali melanjutkan perjalanan, melewati jalan yang biasanya dia tempuh. Mendung menyelimuti langit, membuat Nadira tersenyum. Dia suka hujan.
Namun, kali ini jalannya terhenti. Dua puluh meter dari tempatnya berhenti, tauran besar-besaran terjadi.
Dengan semangat Nadira memperbaiki letak motornya, duduk bersila di atas motor dan membuka makanan ringan yang beberapa waktu lalu dia beli.
Matanya berbinar-binar melihat bagaimana sadisnya perkelahian itu.
"Wih keren banget," decaknya kagum. Sesekali melirik siapa saja orang-orang di sana, kali aja ada yang dia kenal, pikirnya.
Sampai akhirnya matanya melebar, mulutnya menganga, satu kripik yang baru saja masuk ke dalam mulutnya meluncur jatuh.
"My ... Mafiaaa," serunya melompat. Nadira bahkan bertepuk tangan saking senangnya, cowok yang sadari tadi dia cari ternyata tengah bertarung dan dengan lincahnya menghindar atau memberi lawan pukulan sadis.
Namun, sekejap mata juga binar senangnya menghilang, digantikan rasa kesal yang meluap-luap ketika dari arah belakang satu cowok hendak menyerang cowok-- yang dia panggil mafia-- dengan sebuah tongkat besi.
Nadira berdecih," si anjing." Lalu berlari dengan tangan kosong, beberapa orang sempet meliriknya penasaran dan bertanya, tapi tetap tidak mengusik Nadira. Sesekali Nadira menghindar kala tak sengaja balok, besi atau bat (pemukul basbel) hampir mengenai dirinya.
Bugh!! Sreeet!!
Nadira menendang cowok yang entah siapa tepat di bahunya, membuat cowok itu jatuh.
"Ngapain lu di sini?" Nadira menoleh, tersenyum lebar ketika Arya menatapnya nyalang.
Arya yang kaget melihat kedatangan Nadira lantas bertanya, melirik sekilas cowok yang hendak menyerangnya tadi,kini sudah terbaring lemah di aspal.
Tenaga nih cewek lumayan juga~ batinnya.
Nadira yang hendak menjawab kembali melotot ketika melihat satu cowok lain hendak menyerang mafianya, menyebalkan.
Dia dengan gesit melompat, menjadikan bahu Arya sebagai tumpuan tangannya, kemudian menendang si penyerang tepat di dada.
"Enggak usah pedulin gua, fokus aja ke musuh-musuh lu, my mafia." setelah mengatakan itu, Nadira dengan lincah dan sadis mengahajar orang-orang yang marah padanya karena berani ikut campur.
Arya kembali fokus, tapi sesekali matanya melirik was-was Nadira. Dia pikir cewek itu hanya pempuat onar di sekolah, tapi melihat bagamana Nadira bertarung, Arya cukup kagum tubuh mungil cewek itu lumayan lincah.
Wiw! Wiw! Wiw!
"ANJING, SIAPA YANG MANGGIL POLISI?!" Samson berteriak marah, masih menghajar musuh-musuhnya.
Dor!
"KABUR! POLISI!" teriakan itu membubarkan tauran besar-besaran itu.
Bak ikan yang berkerumul kemudian dilempari batu, langsung bubar. Begitu pula tauran siang itu.
Nadira masih bingung, menatap sekeliling yang kalang kabut. Dia menoleh ke arah Arya yang berdecak kesal.
"My mafia ... Ini kenapa?" tanyanya mengerjab.
Arya meliriknya tidak habis pikir, tidak bisakan Nadira dengar suara sirine mobil polisi dan suara tembakan di udara?
"BOS, AYOK KABUR! ADA POLISI!" teriak Deon, wakil ketua Hillbillies.
Bedecak sekali, Arya jelas tidak suka cara pengecut seperti ini, tapi mau bagaimana lagi kasus mereka sudah banyak tercatat di kepolisian, dan jika kali ini mereka tertangkap, ada kemungkinan pihak polisi akan memintanya untuk membubarkarkan Hillbillies yang sudah dia bangun lima tahun terakhir.
Dengan cepat Arya menarik pergelangan tangan Nadira, mengabaikan keterkejutan cewek itu dan perlawanannya.
"Hei my mafia, lepasin gua, dont touch me!" sentak Nadira kesal, tapi tidak berhasil.
Hendak mengahajar Arya yang berani menyentuhnya, tapi urung melihat tatapan dingin cowok itu.
Nadira bergidik, memilih diam.
"Motor lu, di mana?" Arya bertanya, menatap lekat wajah bingung Nadira.
Dasar lemot.
"Hah?"
"Motor lu di mana, buru," desak cowok itu. Nadira mengangguk dan menunjuk motor metic-nya.
Sekali lagi Arya berdecak, kembali menarik Nadira.
"BURU, OY! ARYA ITU POLISI DI BELAKANG LU, SAT!"
"Bacot lu, setan," kesal Arya. Dia sempat menoleh ke belakang dan dengan langkah lebar mempercepat jalannya, benar kata Satria, di belakangnya gerombolan polisi mulai terlihat.
"KALIAN BERHENTI!"
"Bacot! naik buru!" Arya menyalakan motor Nadira dengan terburu-buru. Nadira yang mengerti langsung naik dan tanpa malu memeluk pinggang Arya.
Arya sempet mendeliknya, hendak melarang cewek itu, tapi suara tembakan peringatan membuatnya menancap gas penuh.
"AYOK PAK, KEJAR!" teriak Nadira menoleh ke belakang. Dia tertawa dan sesekali mengeluarkan lidahnya, meledek beberapa polisi yang mengejarnya.
Polisi itu jelas tidak akan bisa mengejar motor kesayangannya, motor yang sudah dirombak ayahnya agar lebih cepat dari motor metic biasanya.
"Yeeyyy mereka enggak bisa nangkap kita, my mafia." Nadira berucap girang, tangannya masih setia memeluk Arya.
Arya yang membawa motor Nadira sempat heran akan kecepatan motor tersebut, tadinya dia mengira mereka akan tertangkap.
Di jalan yang lumayan sepi, Arya memberhentikan motor Nadira.
"Lapasin tangan lu!" titahnya datar.
Nadira yang menyukai suara Arya selalu berbinar.
"Enggak mau," kekehnya mengeratkan pelukannya.
"Lepas!" lagi, Arya memerintah.
Masih di abaikan Nadira. "My mafia, anter gua ke rumah gua," pintanya dengan pupil di imut-imutkan.
Arya melirik lewat spion, bergidik melihat bagaimana menggemaskannya cewek itu.
"Gua bukan mafia lu," tegas Arya dingin.
"Bodo! Mulai dari pertemuan pertama kita, hari ini dan selamanya lu adalah my mafia." Final Nadira tak mau kalah.
Arya menghela, mendengus kasar lalu kembali menyalakan motor Nadira.
"Rumah lu di mana?"
Dia yakin setelah hari ini hidupnya tidak akan tenang.
***
Happy reading**"Kak Dira?"Nadira yang tersenyum-senyum sambil memeluk boneka besarnya menoleh, menatap Nadila dengan senyum yang tak luntur sedikitpun.Tangannya melambai ke arah kembarannya yang berdiri di depan pintu. "Sini, Dek," panggilnya.Nadila masuk. Sudah dia duga, perasaan senang yang meletup-letup di hatinya sudah jelas berasal dari kembarannya ini. Mereka berdua memang sebatin, satu yang merasakan, maka yang lain ikut merasakan."Sini-sini, duduk sini, Dek." Nadira menepuk sampingnya, meminta Nadila untuk ikut bergabung bersamanya."Kakak ngapain senyum-senyum kaya orang gila gitu?" tanya Nadila manatap kakaknya penuh selidik, dia tahu Nadira itu orangnya ceria, berbanding terbalik dengannya yang pendiam dan terkesan cuek. Namun, melihat kembarannya bertingkah seperti ini, jelas Nadila penasaran.Nadira yang dikatakan gila tidak tersinggung sama sekali.
6.50Pak Rio menyemburkan kopi hitam yang baru saja dia minum, bukan karena melihat hantu di pagi hari atau bukan juga karena kopi itu masih panas. Melainkan melihat Nadira baru saja memasuki gerbang SMA Bina Bakti.Ya dia adalah Nadira Anjani Armaleo, gadis yang tiap harinya datang ke sekolah pada siang hari. Dan hari ini, rekor baru telah terjadi di Bina Bakti. Tanpa sadar Pak Rio keluar dari pos jaganya, berdiri di luar guna menyambut kedatangan Nadira."Apakah ini salah satu tanda-tanda kiamat akan segera tiba." Pak Rio berkata tepat saat Nadira dua langkah di depannya, menyindir.Nadira yang mendengarnya menyengir, ikut menatap langit yang cerah seperti apa yang Pak Rio lakukan."Bapak kenapa?" tanyanya ikut menatap langit sana-sini."Neng Dira teh sehat? Atau keabisan obat?" tanya Pak Rio memutari tubuh Nadira.Nadira memutar bola mata, kesal. "Sehat atuh Pak, walafiat malah," balasnya mengerucut kesal. "Udah, ah, Dira mau
Saat di kelas dan pelajarantengah berlangsung, Nadira duduk di bangkunya lesu, menatap tidak bergairah guru yang sedang menjelaskan pelajaran di depan sana, sesekali tangannya menopang dagunya atau sesekali dia akan mengela napas gusar di sela-sela matanya melirik jam di pergelangan tangannya."Lu kenapa dah, Dir?" Nindia menatap Dea kesal, pasalnya dia terganggu akan kegelisahan sahabatnya itu.Dea menoleh, menatap malas lawan bicaranya. "Diem lu," katanya malas.Nindia di sampingnya cemberut. "Lu kanapa, dah?" tanyanya.Nadira mengabaikan Nindia, membuat cewek itu memutar bola mata malas."Heh, ogeb, lu kenapa? Obat lu abis?" Kembali Nindia bertanyaNadira menoleh kesal, hatinya sedang gundah entah karena apa. Tanpa menjawab pertanyaan Nindia, Nadira mengangkat tangannya, membuat Bu Fika-Guru matematika-menghentikan acara menjelaskannya."Ya, Dira. Kamu mau nanya apa?" Tanya Bu Fika.Nadira mengerjab. "Jam i
Happy reading***"Oh, jadi gitu, di sekolah kamu sering gosipin dan jelek-jelekin Nda, Kak?"Byurr! Uhuk, uhuk.Lucas tertawa mesi wajahnya basah karena semburan Nadira. Untung cantik dan mulut Nadira itu wangi, jadi Lucas tak marah.Sedangkan Nadira dengan cepat menoleh, seisi kantin ikut menoleh ke arah pintu masuk kantin. Mereka semua tercengang.Seorang wanita paruh baya bak berbie hidup tengah berjalan ke arah Nadira dan melewati mereka, beberapa cowok yang melihat wanita itu mendadak mimisan.Nadira yang melihat siapa datang melotot. "Nda?" Panggilnya tidak percaya.***Seisi kantin terbelalak, tidak percaya dengan apa yang mereka lihat, mereka kira Nadira hanya membual. Namun, ketika melihat lansung Bunda Alle mereka 100% sependapat seperti Nadira bahwa Bunda Alle layaknya malaikat, tak bisa dideskripsikan dengan kata-kata."Kenapa enggak dilanjutin, Kak?" Tanya Bunda Alle lembut, membuat satu kantin
Happy reading**"Oh, jadi gitu, di sekolah kamu sering gosipin dan jelek-jelekin Nda, Kak?"Byurr! Uhuk, uhuk.Lucas tertawa mesi wajahnya basah karena semburan Nadira. Untung cantik dan mulut Nadira itu wangi, jadi Lucas tak marah.Sedangkan Nadira dengan cepat menoleh, seisi kantin ikut menoleh ke arah pintu masuk kantin. Mereka semua tercengang.Seorang wanita paruh baya bak berbie hidup tengah berjalan ke arah Nadira dan melewati mereka, beberapa cowok yang melihat wanita itu mendadak mimisan.Nadira yang melihat siapa datang melotot. "Nda?" Panggilnya tidak percaya.***Seisi kantin terbelalak, tidak percaya dengan apa yang mereka lihat, mereka kira Nadira hanya membual. Namun, ketika melihat lansung Bunda Alle mereka 100% sependapat seperti Nadira bahwa Bunda Alle layaknya malaikat, tak bisa dideskripsikan dengan kata-kata."Kenapa enggak dilanjutin, Kak?" Tanya Bunda Alle lembut, membuat satu k
Nadira baru saja sampai di depan gerbang rumahnya saat dia melihat Nadila--kembarannya-- berjalan sendiri. Mereka berbeda, sangat jauh berbeda. Jika Nadira pecicilan di sekolah, maka Nadila adalah murid teladan. Jika Nadira suka melanggar peraturan, maka Nadila adalah murid yang taat akan peraturan. Intinya Nadira adalah anak nakal dan Nadila kebalikannya. Persamaan mereka hanya satu, sama-sama suka hal-hal sederhana. Mereka satu batin, jika satu terluka maka yang satunya akan ikut merasakan sakit, begitu pun sebaliknya."Mikirin apa, Dek?" Nadira bertanya ketika Nadila yang masih menunduk tiga langkah di depannya, tersentak. Cewek itu mengerjab kemudian tersenyum lebar melihat kembarannya."Kakak udah pulang? Kenapa enggak masuk?" Bukannya menjawab, Nadila justru bertanya."Iya, ini udah di depan kamu, mau masuk bereng kamu aja, sini," panggilnya. Meminta Nadila untuk mendekat ke arahnya. Nadila mengangguk dan dengan antusias berjalan ke arah saudarannya.
"Ya, nabrak." Arga tertawa, dia mencium kening putrinya. Waktu telah menujukan pukul empat sore dan Pria itu tahu bahwa kedua putrinya itu belum makan. "Ayok, kita makan, Dila dan Dira belum makan, 'ka?"Alle menatap kedua putrinya bergantian, menatap kesal. "Kenapa enggak bilang, hum?" Tanyanya menatap Nadira dan Nadira.Nadira masih pernasaran, tetapi melihat bagaimana bundanya kini menatap dirinya, membuat Nadira cengengesan."Hehehe.""Malah nyengir, ayok kita makan." Alle hendak berdiri ketika Arga bersuara."Nda di sini aja sama bang Ilan, biar Ayah aja yang nemenin Dira dan Dila, makan."Menatap sebentar wajah suaminya, Alle akhirnya mengangguk. Dia menoleh ke arah Nadila. "Sana makan dulu," titahnya.Nadila mengangguk, mengusap pelan rambut adiknya kemudian, beranjak dari tempatnya, dia mengikuti Nadira dan ayahnya yang kini berjalan ke arah pintu.Tepat saat mereka keluar dari pintu Bi Nining menghampiri mereka.
Nadira dengan cepat menoleh ketika berhasil mematahkan hidung salah satu lawannya.Matanya melotot. "My Mafia," ujarnya tak menutupi nada terkejutnya.Arya berdecak, kemudian kembali fokus ke lawan di depannya. "Fokus, bego. Di belakang lu," katanya menarik Nadira dan dengan tangkas menendang cowok yang akan menghunuskan sebilah pisau pada Nadira.Nadira tersadar kemudian mengangguk mantab, dengan semangat yang kian membara dia mengahajar cowok-cowok di depannya.Hanya butuh waktu 15 menit, dua puluh orang tersebut tergeletak di tanah. Nadira tersenyum menang menatap si cowok bertopeng."Sial, serang!" Kali ini 30 orang beserta dirinya maju. Nadira kian bersemangat, mambuat Arya yang tak sengaja meliriknya menggeleng. Kemudian, Justin yang sadari tadi bersembunyi, kini menampakkan diri. Ikut membantu Nadira, nekat sekalipun dia tahu bahwa dia tak sehebat cewek itu dalam bertarung.Hanya butuh 18 menit kawanan cowok bertopeng itu terkal