***
Sore itu, jalan anggrek dipenuhi puluhan anak SMA, di kubu kanan ada SMA Jaya sedangkan di kubu kiri ada SMA Bina Bakti.
Nadira berdiri di samping Lukas, di belakang mereka lebih dari 15 murid SMA Bina Bakti berjejer. Hal sama juga terjadi di kubu kanan, lebih dari 20 murid SMA Jaya berdiri bersama senjata masing-masing.
Nadira berdiri dengan mata berbinar, seakan baru saja melihat idolanya berdiri di depannya. Ditangannya ada sehelai kain basah, teman-temannya bahkan sampai bingung untuk apa kain tersebut saat seharusnya gadis itu membawa senjata seperti balok, besi, atau sejenis senjata mematikan lainnya?
Tapi dengan enteng dia menjawab: "Kata nda enggak boleh kasar, enggak boleh bikin anak orang masuk kuburan karena nda si penguasa dunia itu lagi enggak nerima tamu."Tentu saja semua teman-temannya kembali dibuat melongo tak habis pikir, dan akhirnya membiarkan gadis itu berlaku seenaknya, sedangkan Lukas membawa dua pemukul bisbol (bat) satu untuknya dan satu untuk Nadira, jaga-jaga jika gadis itu menginginkannya.
Di belakang Lukas ada ketujuh anggota inti dan lebihnya adalah anak bermasalah yang lagi gabut, mereka mengaku pasukan yang kata Erlan mempertahankan harga diri sekolah mereka.
Di depan mereka berdiri sang pemimpin pasukan SMA Jaya. Namanya, Rian, cowok yang kata Nadira; lebih ganteng kuku kaki ayah Arga ke mana-mana.
"Jadi ... kapan nih mau bilang serang?" Nadira angkat suara sebagai pembuka, saat dirasanya dari sepuluh menit yang lalu tidak ada yang mau berbicara.
Teman-teman gadis itu mengangguk mengiyakan.
Rian berdecih, meremehkan pasukan musuh yang menurutnya akan kalah ditangan mereka, selama ini dia hanya mendengar kekalahan musuh lainnya dan kemenangan musuhnya yang ini, dari kabar angin. Karena penasaraan makanya dia mengajak teman-temannya untuk tauran. Dan ketika melihat lima belas orang di depannya, senyum meremehkannya terukir, bukan mereka --musuhnya yang ini-- yang kuat, tapi musuh lainnya lah yang lemah, tapi, tidak dengan pasukannya. Rian yakin pasukannya akan menang.
"Yakin lu semua bakal menang dari kita semua?" tanya Rian disambut tawa teman-temannya.
Nadira mengeryit, bingung, apa yang lucu?
Menoleh ke arah Lukas, dia akhirnya bertanya, "Bang, lu yakin lawan kita ini bukan pasien kabur rumah sakit jiwa?"
Tanya itu mengundang tawa dari pasukan Nadira dan pelototan tidak terima oleh kubu lawan.
"Mungkin, Dir," jawab Lukas disela kekehannya.
Jelas si kubu lawan tidak terima. "Wah kurang aja, lu yang gila, setan!" teriak salah satu cewek dianggota lawan.
Nadira yang mendengar itu langsung bertepuk tangan, mengundang kebingungan semua orang.
"Keren, lu bisa ngomong?" tanyanya penuh binar bahagia. "Gue kira dari tadi selain si Rinto ini yang lain gagu atau bisu, "sambungnya menujuk Rian.
Dipanggil Rinto, jelas Rian tidak terima. "Anjeng, nama gue Rian oyy, enak aja manggil-manggil Rinto. Rinto kakek lu?"
Membawa-bawa nama kakek, Nadira jadi kangen, tiba-tiba saja matanya berkaca-kaca. menatap Rian cukup lama lalu kemudian beralih pada Lukas di sampingnya.
Hal tak terdugapun terjadi.
"Huaaaaaaa bang Uka, Dira kangen sama kakek," rengeknya mengoncang pelan lengan Lukas.
Lukas di buat kaget, cowok itu jadi gelagapan, bingung ketika melihat Nadira berkaca-kaca, seumur dia mengenal Nadira, baru kali ini dia melihat gadis itu mau mewek.
Semua orang juga ikut bingung melihat kejadian itu. Antara bingung dan kesal, Rian di tampatnya berdiri, berteriak. "Woy, jadi tauran, enggak?"
"Alah Serang aja sih, bos, malah nanya dulu," komplen salah satu teman cowoknya.
Rian berdecak lalu menggeleng. "Enggak boleh gitu, Cup. Itu namanya curang, gimana kalau lawan belum siap? Kan sama aja kita menang tanpa ngeluarin tenaga," jawabnya bijak pada Ucup, temannya.
Iya, menurut Rian, dia sudah bijak dengan ngomong seperti itu. Padahal tidak tahu saja cowok itu kalau teman-temannya tengah memaki dirinya dalam hati. Mana ada tauran yang menunggu persetujuan lawannya dulu untuk bertarung, Rian ini terlalu berahlak untuk ukuran preman SMA Jaya.
"Kok gitu, Bos?"
"Enggak bisa gitulah."
"Enggak usah nanya dululah."
"Langsung serang aja."
"Diem lu semua!" bentak Lukas yang tiba-tiba sakit kepala karena bacotan lawan dan Nadira yang merengek kangen pada kakeknya.
Lukas menatap tajam kubu lawannya. Rian yang ditatap seperti itu malah gagap, "I-iya," katanya. Lalu, sedetik kemudian sadar, kenapa dia harus nurut. Wah kampret. "Eh jadi gimana woyy jadi atau gimana ini, taurannya?" teriaknya kesal.
Lukas yang mendengar itu juga terlihat bingung, Nadira sudah merengak dan hampir menjatuhkan air mata. Dalam benaknya dan semua orang di sana sama-sama bertanya bingung; mereka jadi tauran atau gimana?
"Dir, jadi tauran, enggak?" tanya Lukas pelan. Nadira yang mendengar itu, menatap wajah Lukas lalu beralih menatap pasukan lawan, matanya sudah siap menumpahkan air mata, bibirnya manyun. Lalu dengan kesal dan sedih dia berucap, membuat semua orang melongo.
"Enggak jadi, Dira mau pulang aja." dan setelahnya dia berlalu, menarik tangan Nindia dan mengeluarkan kunci motornya, kemudian diberikan kepada Nindia yang masih bingung dan tidak percaya.
"Bawa motor gue, ayok pulang, Nindi," ajaknya menarik tangan Nindia menjauh.
Rian yang tersadar lantas berteriak tidak terima. "Woy tauran dulu baru pulang!"
Lukas yang juga masih bingung tapi, kesal menunjuk Rian tidak suka. "Gara-gara lu nih kambing, ngapain bawa-bawa kakek segala?"
"Lah kok gua? Mana tau gua kalau dia lagi kangen sama kakeknya," jawab Rian tak mau disalahkan.
"Tapi tetap aja, coba lu enggak bawa-bawa kakek enggak gini jadinya."
"Ya maap, gua kan enggak tau, jadi gimana?"
"Ya pulanglah, lain kali aja taurannya."
"Kok gitu sih, bangsat?"
"Terus mau lu gimana?"
"Kalian aja lah."
"Kagak, kita solit, war satu, war semua."
"Jadi, ini beneran kagak bakal jadi tauran?"
"Ya, iyalah setan. Dahlan, sana lu pada pulang."
"Kambing emang."
"Bodo."
Dan begitu saja, tauran sore itu bubar. Pasukan Rian pulang dengan kekesalan luar biasa, sedangkan, Lukas dan teman-temannya mengikuti motor Nadira yang dibawa Nindia, mereka ikut mengantar Nadira yang duduk murung di belakang tubuh Nindia.
***
Ayah Arga baru saja pulang dari kantornya, memarkirkan mobil hitamnya ke garasi rumah, pria itu keluar dari kursi kemudi.
Berniat mengganggu kegiatan sang istri ketika tiba-tiba suara bising motor memasuki gerbang rumah yang di buka pak satpam rumahnya.
Arga melongo, tidak percaya siapa yang membawa sekumpulan anak SMA ke rumahnya.
Hampir saja rahang bawahnya jatuh ketika tiba-tiba Nadira turun dari boncengan murid cewek yang Arga tidak tau anak siapa dan namanya siapa? Dan memeluk dirinya kemudian menangis.
Teman-teman Nadira yang tadinya mengagumi indahnya rumah bertingkat di depan mereka kembali dibuat kaget, entah sudah berapa kali mereka dibuat melongo, kali ini bukan karena ucapan gadis itu. Namun, karena suara isak tangis yang baru pertama kali ini mereka dengar.
Nadira, sigadis bermasalah, pemberani hari ini tengah terisak dipelukan sang ayah.
Wah, luar biasa.
Arga yang tersadar dari acara terkejutnya jadi bingung, tanganya reflek mengusap pelan punggung putri sulungnya. Lalu sedetik kemudian menatap tajam sekumpulan anak-anak di depannya.
Ditatap seperti itu, Lukas dan jejeran para cowok itu panas dingin, tatapan ayah Nadira ternyata berbahaya.
Baru saja Lukas hendak menjelaskan, suara Nadira terdengar dengan terbata-bata.
"Hiks Yah, Di--dira kangen ka--ke--k."
Mencerna baik-baik maksud sang putri, akhirnya Arga mengerti. Dia mengangguk.
De, turunanan kamu, nih-- batinnya. Arga tidak heran dari mana asal muasal cengeng anak-anaknya, jelas saja dari wanitanya.
"Hiks huaaa ayah," isak Nadira.
Arga menggeleng pelan, mencium rambut Nadira lalu berucap lembut."Cup-cup-cup nanti kita ke rumah kakek ya, udah nangisnya, kakak enggak malu sama temen-temen kakak?"
Nadira hanya mengangguk pelan lalu kembali menggeleng. "Dikit," lirihnya.
"Ada apa ini ribut-ribut, enggak tau apa kalau bunda lagi maskeran."
Suara itu menarik semua perhatian orang-orang di sana, kembali dibuat melongo saat melihat seorang wanita berwajah hitam dan rambut dicepol asal, daster bunga-bunga dan jangan lupakan sendal bulu-bulu yang melekat imut dikedua kakinya.
***
Happy reading *** "Ndaaaaaaaa," rengek Nadira ketika melihat bunda berdiri di depan pintu utama. Gadis itu berlari, menubruk tubuh berdaster bunda dan menangis layaknya anak kecil. "Eh, kakak kenapa, kok nangis? Mana yang luka? udah nda bilang jangan tauran, kan kalau kalah pulang nangis," omel bunda, tapi, tetap memeluk balik tubuh Nadira yang terisak, tangannya membelai kepala putri sulungnya. "Hiks bukan karena tauran nda, hiks," kata Nadira memberitahu, gadis itu semakin menenggelamkan wajahnya pada dada sang bunda, "Huaaaa Dira kangen kakek." Kening bunda berkerut, menatap suaminya dengan pandangan bertanya, meminta penjelasan, tapi sayangnya ayah hanya mengangkat bahu acuh. Lalu, pandangannya beralih pada sekumpulan anak remaja, bunda tersenyum ramah. "Ya udah kita masuk dulu ya, kita ngobrol di dalam," ajak bunda melepas pelukan Nadira. Namun, bukannya melepaskan bunda sepenuhnya
Happy reading***Hari senin menjadi hari yang paling dibenci Nadira, bangun pagi dan tentu saja ikut upacara bendera.Sekalipun malas, gadis yang hanya memakai topi tanpa dasi tersebut tetap dengan percaya diri berdiri di barisan kedua paling depan, lolos dari rajiah lengkap berseragam.Upacara tengah berlangsung, setiap sesi sudah di mulai ketika Nadira merasa kakinya terasa lelah, sesekali gadis itu akan menghentak-hentakkan kakinya kesal, menggerutu saat kepala sekolah di depan sana tak kunjung menyelesaikan pidatonya."Sebagai generasi bangsa, sudah selayaknya kalian mempertahankan sikap-sikap teladan, baik sikap di sekolah, di rumah atau di masyarakat. Apa saja salah satu contohnya? misalnya di sekolah, mengikuti peraturan yang sudah ditetapkan.""Nyenyenye," lirih Nadira kesal."Dan masalah prestasi ...."Nadira sudah muak, kesal mendengar hal yang sama."Tuh k
Happy reading***["Kali ini apa lagi alasanmu ikut tauran, Arya?!"] Suara bentakan dari sebrang sana dibalas hening.["Jangan malu-maluin keluarga ya kamu!! Kamu saya sekolahkan bukan untuk jadi seorang pembuat onar, mengerti kamu?!"] Lagi, suara bentakan terdengar.["Arjuna Narayan Bagaskara, kamu dengar atau tidak, hah?!!" ]Dengusan terdengar. "Udah?" tanyanya datar, suara dengusan kasar di sebrang sana membuat kekehan hambar meluncur dari bibirnya. "Kalau udah, saya tutup."["HEH, ANAK KUR---"]klik!"Berisik," dengusnya memasukan ponsel ke dalam saku celana abu-abunya.Seperti yang kalian dengar, namanya Arjuna Narayan Bagaskara. Entah dari mana nama itu di ambil dan apa alasannya, Arya tidak tahu. Setahunya dua nama di depan nama kebesaran ayahnya adalah nama pemain film india. Mungkin ayah atau ibunya adalah penikmat film tersebut, atau entahlah, pikirnya.&nbs
Happy reading***Nadira berdecak, menatap sekeliling dengan seksama, dia sudah berdiri di samping gerbang SMA Bina Bakti dari 30 menit yang lalu.Menanti dan berharap sosok yang sadari pagi dia cari, muncul.My Mafia, where are you?-- batinnya mendramatis keadaan. Dia sudah bosan berdiri layaknya seles di toko-toko."Oyy, ngapain lu?" Rika, si kakak kelas menghampirinya."Nungguin bang Arya," jawab Nadira tanpa menoleh ke arah Rika."Arya saha?""Arjuna Narayan Bagaskara.""Ngapain lu nyari dia?" tanya Rika menatap penasaran Nadira yang masih belum menatapnya, tumben Nadira mau menunggu seperti saat ini. "Jangan bilang, dia itu cowok yang lu bilang keren?"Kepala Nadira mengangguk dua kali. "Dia ke mana sih?" decaknya menatap tidak suka orang-orang yang menatapnya."Eh, Dir, bener tuh cowok orangnya?""Iya. Eh, kak, kelas lu seb
Happy reading**"Kak Dira?"Nadira yang tersenyum-senyum sambil memeluk boneka besarnya menoleh, menatap Nadila dengan senyum yang tak luntur sedikitpun.Tangannya melambai ke arah kembarannya yang berdiri di depan pintu. "Sini, Dek," panggilnya.Nadila masuk. Sudah dia duga, perasaan senang yang meletup-letup di hatinya sudah jelas berasal dari kembarannya ini. Mereka berdua memang sebatin, satu yang merasakan, maka yang lain ikut merasakan."Sini-sini, duduk sini, Dek." Nadira menepuk sampingnya, meminta Nadila untuk ikut bergabung bersamanya."Kakak ngapain senyum-senyum kaya orang gila gitu?" tanya Nadila manatap kakaknya penuh selidik, dia tahu Nadira itu orangnya ceria, berbanding terbalik dengannya yang pendiam dan terkesan cuek. Namun, melihat kembarannya bertingkah seperti ini, jelas Nadila penasaran.Nadira yang dikatakan gila tidak tersinggung sama sekali.
6.50Pak Rio menyemburkan kopi hitam yang baru saja dia minum, bukan karena melihat hantu di pagi hari atau bukan juga karena kopi itu masih panas. Melainkan melihat Nadira baru saja memasuki gerbang SMA Bina Bakti.Ya dia adalah Nadira Anjani Armaleo, gadis yang tiap harinya datang ke sekolah pada siang hari. Dan hari ini, rekor baru telah terjadi di Bina Bakti. Tanpa sadar Pak Rio keluar dari pos jaganya, berdiri di luar guna menyambut kedatangan Nadira."Apakah ini salah satu tanda-tanda kiamat akan segera tiba." Pak Rio berkata tepat saat Nadira dua langkah di depannya, menyindir.Nadira yang mendengarnya menyengir, ikut menatap langit yang cerah seperti apa yang Pak Rio lakukan."Bapak kenapa?" tanyanya ikut menatap langit sana-sini."Neng Dira teh sehat? Atau keabisan obat?" tanya Pak Rio memutari tubuh Nadira.Nadira memutar bola mata, kesal. "Sehat atuh Pak, walafiat malah," balasnya mengerucut kesal. "Udah, ah, Dira mau
Saat di kelas dan pelajarantengah berlangsung, Nadira duduk di bangkunya lesu, menatap tidak bergairah guru yang sedang menjelaskan pelajaran di depan sana, sesekali tangannya menopang dagunya atau sesekali dia akan mengela napas gusar di sela-sela matanya melirik jam di pergelangan tangannya."Lu kenapa dah, Dir?" Nindia menatap Dea kesal, pasalnya dia terganggu akan kegelisahan sahabatnya itu.Dea menoleh, menatap malas lawan bicaranya. "Diem lu," katanya malas.Nindia di sampingnya cemberut. "Lu kanapa, dah?" tanyanya.Nadira mengabaikan Nindia, membuat cewek itu memutar bola mata malas."Heh, ogeb, lu kenapa? Obat lu abis?" Kembali Nindia bertanyaNadira menoleh kesal, hatinya sedang gundah entah karena apa. Tanpa menjawab pertanyaan Nindia, Nadira mengangkat tangannya, membuat Bu Fika-Guru matematika-menghentikan acara menjelaskannya."Ya, Dira. Kamu mau nanya apa?" Tanya Bu Fika.Nadira mengerjab. "Jam i
Happy reading***"Oh, jadi gitu, di sekolah kamu sering gosipin dan jelek-jelekin Nda, Kak?"Byurr! Uhuk, uhuk.Lucas tertawa mesi wajahnya basah karena semburan Nadira. Untung cantik dan mulut Nadira itu wangi, jadi Lucas tak marah.Sedangkan Nadira dengan cepat menoleh, seisi kantin ikut menoleh ke arah pintu masuk kantin. Mereka semua tercengang.Seorang wanita paruh baya bak berbie hidup tengah berjalan ke arah Nadira dan melewati mereka, beberapa cowok yang melihat wanita itu mendadak mimisan.Nadira yang melihat siapa datang melotot. "Nda?" Panggilnya tidak percaya.***Seisi kantin terbelalak, tidak percaya dengan apa yang mereka lihat, mereka kira Nadira hanya membual. Namun, ketika melihat lansung Bunda Alle mereka 100% sependapat seperti Nadira bahwa Bunda Alle layaknya malaikat, tak bisa dideskripsikan dengan kata-kata."Kenapa enggak dilanjutin, Kak?" Tanya Bunda Alle lembut, membuat satu kantin