Pulang sekolah, tentu saja menjadi saat-saat yang ditunggu hampir semua murid, tapi ada juga beberapa murid yang tidak ingin pulang.
Namun, tidak dengan Nadira, gadis itu dengan riang dan suka cita melangkah ke arah gerbang, rambutnya sudah diikat tinggi, tas maronnya melekat santai di punggungnya.
Sesekali bibir mungilnya bersenandung.
"Stop."
Langkah Nadira berhenti kala mendengar seruan dan seseorang berdiri di depannya. Dengan reflek dia bersenandung.
"Kau mencuri hatiku, eaaaak," kekehnya ketika mendapati, Lukas, si kakak kelaslah yang menghadangnya.
"Yeeeee, malah nyanyi." Lukas menoyor kepalanya, lantas dengan kesal Nadira mencekal tangan cowok itu dan memilintirnya ke belakang.
Sudah dia bilang, dia paling tidak suka tubuhnya disentuh.
"Dont touch me!" katanya tajam.
Lukas meneguk selvinanya, menyengir disela sakit ditangannya. "Iya-iya, enggak gue ulang, Dir," lirihnya menahan sakit, Nadira itu berbahaya.
Melepas kakak kelasnya, Nadira manyun. "Ngapain lu nyegat gue, bang?" tanyanya dengan alis terangkat.
Lukas menunjuk gerombolan satu timnya, Nadira melirik Lukas dan orang-orang di sana yang masih juga temannya, bergantian.
"Ke sana dulu, ada yang mau kita bahas, " jawab Lukas ketika sadar Nadira itu cerdas-cerdas-bloon.
"Oooooo, kuylah." hanya itu, setelahnya Nadira berlari kecil dan meninggalkan Lukas yang berdecak, "Untung cantik."
"Yuhuuu anak camtek ayah Arga dan bunda Alle, come back, what wrong, bro?" tanyanya ceria, matanya menatap satu-satu wajah tegang teman-temannya.
"SMA Jaya, Dir. Ngajak war." itu suara Alex, cowok itu bergerak was-was, cemas kalau kali ini Nadira tidak bisa ikut, pasalnya, war kali ini lawan membawa banyak anggota, dan seberapa banyak anggota mereka kalau Nadira tidak ikut sama saja, mereka akan tetap kalah.
Nadira masih mengeryit, dia itu pintar dimata pelajaran, tapi kalau sudah kode-kode seperti ini, otak cerdasnya tidak berfungsi.
"Terus?" tanya Nadira kelewat polos, tapi kata teman-temannya gadis itu kelewat lemot.
"Njir, kita mau lu ikut, Dir." kali ini, Rika ikut menyahut. Nadira mengangguk-anggukan kepalanya tanda dia mengerti.
"Jadi?" tanya Erlan, kembali dibuat gemas akan kelakuan teman sekelasnya itu.
"Jadi apa?" tanya Nadira kembali, dia itu lagi berpikir, tapi malah tidak tahu mau memikirkan apa.
"Ya tuhan ...." Nindia mengusap dadanya penuh duka, ingin rasanya dia menangis dan datang pada bunda Alle, kemudian bertanya tentang makanan apa yang dijadikan makanan ngidam wanita itu.
Asep berdecak, "Nadira Anjani Armaleo, kita mau tauran dan lu harus ikut, mau kan?"
"Okeh, gua ikut." final Nadira, semua teman-temannya bersorak. Lalu, sedetik kemudian diam kala Nadira meletakkan tangan di depan bibir.
"Mau ngapain lu?" tanya Lukas mewakili yang lain.
Nadira mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya, di sela dia mengotak-atis benda pipih itu, dia menjawab, "Minta ijin sama bunda."
"Hah?" serentak mereka semua berucap, Nadira bahkan terkejut mendengarnya. Beberapa murid yang melewati mereka ikut kaget.
"Santai kambeng," maki Nadira masih kaget.
"Ngapain lu minta ijin segala, lu kira kita mau ngebela negara dan butuh doa restu?" tanya Asep menatap horor Nadira, yang lain mengangguk, sungguh, merasa aneh.
"Eh si anjir, woh jelas harus minta ijin, biar tauran kita berkah dan kita menang, doa ibu itu mujarab, langsung dijawab oleh Allah, jadi kudu minta ijin," ocehnya panjang pendek.
Bukannya mengangguk paham, teman-temannya justru kembali melotot horor.
"Diem lu semua, gue mau nelpon bunda dulu."
Lalu tanpa ragu tangannnya menekan tombol memanggil. Dideringan kedua panggilannya diangkat.
"Hallo, Nda," sapanya ceria.
["Assalamualikum dulu, Kak, dih anak siapa sih kamu?"]
Nadira menyengir.
"Waalaikumsalam, Ndaku yang kyud sejagat alam kubur, Dira kan anak nda, lupa ya, 16 tahun lalu kan nda buat Dira, patnernya ayah Arga," balasnya.
Tatapan tidak percaya dari teman-temannya hanya di abaikan.
Mana ada anak modelan Nadira-- batin mereka serempak.
["Dih kebiasaan ya kamu, kenapa nelpon nda, kangen ya? Iya, nda tau nda ini ngangenin."]
Lagi, teman-teman Nadira menganga tidak percaya, mulai paham dan maklum dari mana sikap menyebalkan dan percaya diri Nadira.
"Dih nda geer, ya kali Dira kangen, Dira nelpon Nda mau minta ijin, mau tauran, kan kemarin nda ada bilang kalau mau war harus ijin dulu ke nda." Nadira mulai menyampaikan maksudnya, di ujung sana suara bunda mengomel kembali terdengar
["Bukannya minggu kemarin udah tauran,ya?"]
Nadira hanya cengengesan, senang sekali kalau sudah di omelin. "Iya, tapi nda ini dadakan, musuhnya baru bilang ...," ucapnya menggantung lalu menoleh ke arah Lukas. "Kapan bang mereka bilang?" tanyanya.
Lukas yang di tanya di sela keadaan melongonyonya gelagapan, "Baru, sekitar 30 menit yang lalu."
Nadira mengangguk, "... Sekitar 30 menit yang lalu, Nda," sambungnya berbicara di telpon.
Di ujung sana bunda menghela napas. ["Ya udah, boleh, tapi kalau ada lecet dikit aja, semua fasilitas kamu nda sita, deal?"]
"Deal nda, laksanakan, assalamualikum," setelah mendapat balasan dari ujung sana, Nadira mematikan telponnya.
Lantas menoleh ke arah teman-temannya yang menganga, keningnya berlipat, tanda Nadira tengah bingung.
"Woy, lu semua kenapa? Di sihir nenek lampir asal mana sampe kaku gitu? Itu juga mulut, dijadiin tempat kemping lalat baru tau rasa," decaknya kesal menyadarkan delapan manusia tidak punya ahlak di depannya.
"Njir, jadi gimana?" Lukas, jadi orang pertama yang bisa mengendalikan diri. Seumur-umur kenal Nadira, mereka memang belum pernah ke rumah gadis itu, semua tentang keluarga Nadira hanya mereka dengar dari mulut gadis itu secara langsung. Jadi, ketika mereka mendengar bagaimana Nadira berbicara pada bundanya, mereka jadi bertanya-tanya; bagaimana sikap gadis itu di lingkungan keluarganya?
"Go sapi," cetus Nadira membuat bingung teman-temannya.
"Apaan njir, jadi gimana, diijinin, kagak?" tanya Erlan ngegas.
Nadira menampilkan wajah malu-malu minta ditaboknya, melakukan gerakan menyelip rambut ke belakang telinga, dan mta yang dikedip-kedip manja.
Seketika teman-temannya punya niat membuang Nadira ke selokan terdekat.
"Anjir, bisa stres gua lama-lama," pasrah Rika.
Nadira tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi teman-temannya. "Gua diijinin lah, njir," jawabnya di sela tawanya.
"Bagus, ayok kita siap-siap di rumah gua, masih ada waktu 20 menit sebelum tauran di mulai," ajak Nindia yang diangguki oleh yang lain.
Jadilah sore itu Nadira dan teman-temannya membawa motor masing-masing ke rumah Nindia yang jauh dari sekolah.
Siang itu akan ada pertumpahan darah. Namun Nadira selalu berjanji pada dirinya, tuhan, keluarganya bahwa dia akan baik-baik saja, tanpa luka.
Karena perasaan baik-baiknya akan berpengaruh pada sang kembaran, Nadila.
***
***Sore itu, jalan anggrek dipenuhi puluhan anak SMA, di kubu kanan ada SMA Jaya sedangkan di kubu kiri ada SMA Bina Bakti.Nadira berdiri di samping Lukas, di belakang mereka lebih dari 15 murid SMA Bina Bakti berjejer. Hal sama juga terjadi di kubu kanan, lebih dari 20 murid SMA Jaya berdiri bersama senjata masing-masing.Nadira berdiri dengan mata berbinar, seakan baru saja melihat idolanya berdiri di depannya. Ditangannya ada sehelai kain basah, teman-temannya bahkan sampai bingung untuk apa kain tersebut saat seharusnya gadis itu membawa senjata seperti balok, besi, atau sejenis senjata mematikan lainnya?Tapi dengan enteng dia menjawab: "Kata nda enggak boleh kasar, enggak boleh bikin anak orang masuk kuburan karena nda si penguasa dunia itu lagi enggak nerima tamu."Tentu saja semua teman-temannya kembali dibuat melongo tak habis pikir, dan akhirnya membiarkan gadis itu berlaku seenaknya, sedangkan Lukas membawa dua pemukul bisb
Happy reading *** "Ndaaaaaaaa," rengek Nadira ketika melihat bunda berdiri di depan pintu utama. Gadis itu berlari, menubruk tubuh berdaster bunda dan menangis layaknya anak kecil. "Eh, kakak kenapa, kok nangis? Mana yang luka? udah nda bilang jangan tauran, kan kalau kalah pulang nangis," omel bunda, tapi, tetap memeluk balik tubuh Nadira yang terisak, tangannya membelai kepala putri sulungnya. "Hiks bukan karena tauran nda, hiks," kata Nadira memberitahu, gadis itu semakin menenggelamkan wajahnya pada dada sang bunda, "Huaaaa Dira kangen kakek." Kening bunda berkerut, menatap suaminya dengan pandangan bertanya, meminta penjelasan, tapi sayangnya ayah hanya mengangkat bahu acuh. Lalu, pandangannya beralih pada sekumpulan anak remaja, bunda tersenyum ramah. "Ya udah kita masuk dulu ya, kita ngobrol di dalam," ajak bunda melepas pelukan Nadira. Namun, bukannya melepaskan bunda sepenuhnya
Happy reading***Hari senin menjadi hari yang paling dibenci Nadira, bangun pagi dan tentu saja ikut upacara bendera.Sekalipun malas, gadis yang hanya memakai topi tanpa dasi tersebut tetap dengan percaya diri berdiri di barisan kedua paling depan, lolos dari rajiah lengkap berseragam.Upacara tengah berlangsung, setiap sesi sudah di mulai ketika Nadira merasa kakinya terasa lelah, sesekali gadis itu akan menghentak-hentakkan kakinya kesal, menggerutu saat kepala sekolah di depan sana tak kunjung menyelesaikan pidatonya."Sebagai generasi bangsa, sudah selayaknya kalian mempertahankan sikap-sikap teladan, baik sikap di sekolah, di rumah atau di masyarakat. Apa saja salah satu contohnya? misalnya di sekolah, mengikuti peraturan yang sudah ditetapkan.""Nyenyenye," lirih Nadira kesal."Dan masalah prestasi ...."Nadira sudah muak, kesal mendengar hal yang sama."Tuh k
Happy reading***["Kali ini apa lagi alasanmu ikut tauran, Arya?!"] Suara bentakan dari sebrang sana dibalas hening.["Jangan malu-maluin keluarga ya kamu!! Kamu saya sekolahkan bukan untuk jadi seorang pembuat onar, mengerti kamu?!"] Lagi, suara bentakan terdengar.["Arjuna Narayan Bagaskara, kamu dengar atau tidak, hah?!!" ]Dengusan terdengar. "Udah?" tanyanya datar, suara dengusan kasar di sebrang sana membuat kekehan hambar meluncur dari bibirnya. "Kalau udah, saya tutup."["HEH, ANAK KUR---"]klik!"Berisik," dengusnya memasukan ponsel ke dalam saku celana abu-abunya.Seperti yang kalian dengar, namanya Arjuna Narayan Bagaskara. Entah dari mana nama itu di ambil dan apa alasannya, Arya tidak tahu. Setahunya dua nama di depan nama kebesaran ayahnya adalah nama pemain film india. Mungkin ayah atau ibunya adalah penikmat film tersebut, atau entahlah, pikirnya.&nbs
Happy reading***Nadira berdecak, menatap sekeliling dengan seksama, dia sudah berdiri di samping gerbang SMA Bina Bakti dari 30 menit yang lalu.Menanti dan berharap sosok yang sadari pagi dia cari, muncul.My Mafia, where are you?-- batinnya mendramatis keadaan. Dia sudah bosan berdiri layaknya seles di toko-toko."Oyy, ngapain lu?" Rika, si kakak kelas menghampirinya."Nungguin bang Arya," jawab Nadira tanpa menoleh ke arah Rika."Arya saha?""Arjuna Narayan Bagaskara.""Ngapain lu nyari dia?" tanya Rika menatap penasaran Nadira yang masih belum menatapnya, tumben Nadira mau menunggu seperti saat ini. "Jangan bilang, dia itu cowok yang lu bilang keren?"Kepala Nadira mengangguk dua kali. "Dia ke mana sih?" decaknya menatap tidak suka orang-orang yang menatapnya."Eh, Dir, bener tuh cowok orangnya?""Iya. Eh, kak, kelas lu seb
Happy reading**"Kak Dira?"Nadira yang tersenyum-senyum sambil memeluk boneka besarnya menoleh, menatap Nadila dengan senyum yang tak luntur sedikitpun.Tangannya melambai ke arah kembarannya yang berdiri di depan pintu. "Sini, Dek," panggilnya.Nadila masuk. Sudah dia duga, perasaan senang yang meletup-letup di hatinya sudah jelas berasal dari kembarannya ini. Mereka berdua memang sebatin, satu yang merasakan, maka yang lain ikut merasakan."Sini-sini, duduk sini, Dek." Nadira menepuk sampingnya, meminta Nadila untuk ikut bergabung bersamanya."Kakak ngapain senyum-senyum kaya orang gila gitu?" tanya Nadila manatap kakaknya penuh selidik, dia tahu Nadira itu orangnya ceria, berbanding terbalik dengannya yang pendiam dan terkesan cuek. Namun, melihat kembarannya bertingkah seperti ini, jelas Nadila penasaran.Nadira yang dikatakan gila tidak tersinggung sama sekali.
6.50Pak Rio menyemburkan kopi hitam yang baru saja dia minum, bukan karena melihat hantu di pagi hari atau bukan juga karena kopi itu masih panas. Melainkan melihat Nadira baru saja memasuki gerbang SMA Bina Bakti.Ya dia adalah Nadira Anjani Armaleo, gadis yang tiap harinya datang ke sekolah pada siang hari. Dan hari ini, rekor baru telah terjadi di Bina Bakti. Tanpa sadar Pak Rio keluar dari pos jaganya, berdiri di luar guna menyambut kedatangan Nadira."Apakah ini salah satu tanda-tanda kiamat akan segera tiba." Pak Rio berkata tepat saat Nadira dua langkah di depannya, menyindir.Nadira yang mendengarnya menyengir, ikut menatap langit yang cerah seperti apa yang Pak Rio lakukan."Bapak kenapa?" tanyanya ikut menatap langit sana-sini."Neng Dira teh sehat? Atau keabisan obat?" tanya Pak Rio memutari tubuh Nadira.Nadira memutar bola mata, kesal. "Sehat atuh Pak, walafiat malah," balasnya mengerucut kesal. "Udah, ah, Dira mau
Saat di kelas dan pelajarantengah berlangsung, Nadira duduk di bangkunya lesu, menatap tidak bergairah guru yang sedang menjelaskan pelajaran di depan sana, sesekali tangannya menopang dagunya atau sesekali dia akan mengela napas gusar di sela-sela matanya melirik jam di pergelangan tangannya."Lu kenapa dah, Dir?" Nindia menatap Dea kesal, pasalnya dia terganggu akan kegelisahan sahabatnya itu.Dea menoleh, menatap malas lawan bicaranya. "Diem lu," katanya malas.Nindia di sampingnya cemberut. "Lu kanapa, dah?" tanyanya.Nadira mengabaikan Nindia, membuat cewek itu memutar bola mata malas."Heh, ogeb, lu kenapa? Obat lu abis?" Kembali Nindia bertanyaNadira menoleh kesal, hatinya sedang gundah entah karena apa. Tanpa menjawab pertanyaan Nindia, Nadira mengangkat tangannya, membuat Bu Fika-Guru matematika-menghentikan acara menjelaskannya."Ya, Dira. Kamu mau nanya apa?" Tanya Bu Fika.Nadira mengerjab. "Jam i