Semua meja nampak penuh. Di SMA Bina Bakti, semua angkatan berkumpul di kantin yang sama. Disediakan pintu untuk setiap angkatan dari kelas 10-12.
Nadira tentu saja duduk di meja satu gengnya, bukan dalam artian geng motor atau geng yang ada di otak pintar kalian. Hanya gerombolan anak bermasalah.
Erlan, si ketua kelas tentu saja termasuk salah satunya, Nadira dan Nindia adalah murid kelas 11 sedangkan yang lima orang lainnya adalah kakak kelas dan dua adik kelas cowok, dalam empat meja yang disatukan mereka bersembilan duduk bersama.
"Dir, gua denger lu dihukum sama pak Irwan buat hormat ke pak Rio, gimana rasanya?" Asep bukan Septian ya, namanya Aseprudin, kakak kelas Nadira, bertanya.
Nadira yang ditanya seperti itu langsung saja manyun, kesal sekali kalau mengingat guru nyebelin yang kalah ganteng dari ayah Arga. Namun, dua detik setelahnya dia kembali berbinar mengingat si cowok yang dia duga adalah seorang mafia.
Teman-temannya reflek saling tatap- menatap, bingung.
"Njir, gue ketemu cowok keren," ucapnya penuh nada kekaguman.
"Byuuurrr." Reflek, Erlan yang baru saja memasukan kuah bakso ke dalam mulutnya menyembyur. Naasnya, Ridho si adik kelaslah yang tersembur.
"Anjing lu, bang. Muka ganteng gua, huaaa," rengek Ridho mengelap wajahnya yang terkena semburan Erlan, dia hampir saja menangis ketika mencium bau menjijikan kuah tersebut.
Erlan hanya memberikan dua jarinya kehadapan Ridho sebagai salam perdamaian.
Tak jauh dari Erlan yang menyembur, Nindia yang duduk di samping Nadira melongo dengan tidak etisnya, segumpal mie masih menggantung dimulutnya.
Di samping Nindia, Alex tersedak ketika mendengarnya, yang lainnya masih bisa di kategorikan normal, melotot atau mengerjap takjub akan ucapan Nadira.
Hei, tentu saja mereka akan bereaksi seperti itu. Pasalnya Nadira tidak pernah mengakui jenis jantan keren, ganteng atau semancam lainnya selain sang ayah.
Brak!
"Daebak, uhuyy, catat oyy hari ini tanggal berapa?"Bima dengan semangat mengebrak meja, di sampingnya, Lea mengangguk bodoh dan mengeluarkan buku kecil yang selalu dia bawa ke manapun, dengan berbinar mencatat hari kejadian.
"Kalian kenapa?" Nadira bertanya bingung melihat ekspresi teman-temannya, berkali-kali dia mengerjab dan berpikir, apa yang salah?
"Anjir, lu masih nanya kita-kita kenapa?" tanya Erlan dengan ekspresi tak habis pikir, dia bahkan mengabaikan Ridho yang telah siap menerkamnya saat itu juga.
Nadira hanya mengangguk polos sebagai jawaban.
"Demi apa? Hei, Dir. Lu baru aja bilang ada cowok keren selain ayah Arga loh." Nindia yang baru selesai minum ikut bicara, takjub akan sahabatnya itu.
Yang lain ikut mengangguk setuju, dalam satu tahun mengenal Nadira, baru kali ini mereka mendengar Nadira memuji cowok lain selain sang ayah.
"Emang ada yang salah? Asal lu semua tau ya, tuh cowok keren abis, lu tau, Nin? Suaranya tuh kek suara mafia yang gue tonton semalam. Gila! Gue yakin sih pasti tuh cowok salah satu mafia di indonesia, huaaa Nindi, gue harus tau nama tuh cowok siapa," cerocos Nadira menggoyangkan bahu Nindia di sampinganya kuat.
Semua orang di meja itu kembali melongo, tapi sialnya, Nindia tersiksa karena digocang tanpa perasaan.
"Heh ngke, jangan gue juga yang lu jadiin goncangan, lu kira gue pohon?" sentak Nindia kesal. Nadira hanya menyengir, dan setelahnya tidak mempedulikan teman-temannya yang masih setia menatapnya penuh kagum, Nadira asik membayangkan wajah cowok itu dan suaranya yang masih tergiang.
"Weh bocah, lu keabisan obat apa gimana?" lukas, si kakak kelas bertanya, badannya membungkuk ke depan hanya untuk mengulurkan tangan, memeriksa suhu tubuh Nadira.
"Gila sih!" tiba-tiba saja Nadira berucap agak lantang, menarik perhatian hampir seluruh penghuni kantin. Lukas yang baru akan menarik tanganya terkejut dan terjatuh karena tidak bisa menyeimbangkan diri.
"Sue lu, anjing," makinya.
Tidak memperdulikan cowok itu, Nadira kembali berucap. "Huaaaa ndaaa Dira pengen denger suara tuh co--"
"Heh lu denger enggak sih? Minggat dari tempat duduk lu, gue mau duduk!"
Ucapan Nadira terpotong begitu saja oleh sentakan tak jauh dari tempatnya duduk.
Semua mata juga menoleh ke arah yang sama.
Di sana, tiga gadis tengah berdiri di depan meja yang di isi dua gadis cupu. Nadira yakin dua gadis itu adalah adik kelasnya.
"Ta--tapi ka--"
"Minggat lu cupu!!" bentak gadis yang berdiri, lantas dengan santainya menumpahkan kuah bakso milik temannya ke kepala adik kelas itu. Para dayang-dayang gadis yang Nadira kenal sebagai Amira --kang bully-- itu tertawa bahagia.
Nadira tidak suka, terbukti dengan tangannya yang terkepal. Saat hendak melangkah, tangannya di cekal oleh Farid --kakak kelasnya-- "Mau ke mana, lu?" tanyanya mendongak, menatap Nadira yang berdiri.
Nadira menoleh, wajahnya datar ketika melirik tangannya yang dicekal dan wajah Farid. "Mau ke sana, lepasin, bang," pintanya serius.
Reflek, tangan Farid melepasnya. Membiarkan Nadira yang kini melangkah penuh gembira.
Secepat kedipan mata, wajah datar gadis itu berubah kembali ceria.
"Liat muka dia, udah kek sampah." hina Amira penuh ejekan, si adik kelas sudah menangis, dan temannya tidak bisa berbuat apa-apa karena takut.
"Sekarang, mingg--"
"Bully terossssss."
Semua orang menoleh kesumber suara tersebut.
***
Di meja lain, tiga orang cowok mendongak. Ah, hanya dua karena cowok ketiga lebih tertarik bermain game diponselnya.
"Re, liat pahlawan kita udah dateng," ucap Lingga pada cowok di sampingya yang juga memperhatikan potongan serial ection di depannya.
Namanya Reyhan Wijaya, si kapten basket SMA Bina Bakti. Cowok yang dua tahun terakhir tertarik akan aksi-aksi yang menurutnya keren untuk dilakukan cewek seumuran Nadira.
Kembali ke tempat kejadian.
"Wah liat siapa yang datang," Amira mengejek. Di balas Nadira dengan wajah polos yang tentu saja terlihat ingin di ulek.
Nadira dengan kalem duduk di atas meja samping si adik kelas yang terisak, dia melirik sekilas wajah gadis itu dengan kasihan.
"Kakak enggak capek nge-bully adek kelas yang lemah?" tanyanya menatap penuh tanya kakak kelasnya.
"Masalah buat lu?" tanya Amira, kesal.
Nadira dengan santai menggeleng. "Enggak sih, cuma ... humm, kakak jadi ikut keliatan lemah," ucapnya mengerjab, seakan ragu akan kalimat yang barus saja dia lontarkan.
Amira jelas emosi, hendak menjambak rambut terurai Nadira. Tapi dengan cepat Nadira mencekalnya.
"Mau ngapain, Kak? Jambak rambut gua?" desisnya tidak suka, Nadira paling tidak suka tubuhnya disentuh, dia paling tidak ingin kembarannya juga merasakan apa yang dia rasakan. Selama ini, dia tidak pernah membiarkan siapapun menyentunya, karena jika itu terjadi orang itu tidak akan selamat.
Ditatap setajam itu, Amira sedikit takut, pasalnya ini untuk pertama kalinya dia berhadapan dengan Nadira, selama ini dia hanya mendengar dari cerita kakak tingkatnya atau temen-temannya yang lain.
"don't touch me, if you still want to live," bisiknya penuh ancaman, Nadira tidak main-main akan ucapannya.
Di tempatnya Amira bergetar, suara dan kalimat serta tatapan Nadira membuat persendiannya terasa lemas, ada ketakutan di dalam matanya.
"Dan kakak? Astaga liat deh, kasian banget, masa kakak tega nyiram adek kelas pake kuah sih?" secepat itu aura dingin di tubuh Nadira memudar, matanya berkilat penuh kesedihan, dia sudah melepas cekalan tangannya pada lengan Amira, berganti dia menatap Amira dan adik kelasnya itu.
"Kakak enggak mau ngerasain apa yang dia rasain gitu?" tanya Nadira berbinar, tangannya dengan pasti mengambil kuah milik si adik kelas yang tinggal setengah, menatap ke arah Amira yang membeku, kelu saat Nadira kembali menatapnya tajam.
"Nih kak ... gimana rasanya?" Nadira bertepuk tangan, menatap penuh binar kagum ke arah Amira yang baru saja dia tumpahkan kuah mie tersebut.
"Kak?" panggilnya ketika Amira masih diam saja dengan wajah merah padam.
"Shit! ... lu? Awas lu, tunggu aja pembalasan gua," ucap Amira kemudian berlalu dengan malu.
Nadira masih berdiri, mengerjab bingung dengan ucapan Amira barusan. Mengangkat bahu acuh, dia menatap sekeliling yang masih menatapnya. Tersenyum lebar, dia melangkah riang ke arah temannya, bersikap seakan-akan tidak terjadi apa-apa.
Tanpa dia ketahui bahwa auranya hampir membuat murid-murid di sekitarnya sesak napas.
Tanpa dia tahu bahwa di tempat duduknya dua cowok tengah menatapnya, tertarik.
Re menarik senyum, bersiul kemudian menyantap makananya, Lingga hanya menggeleng takjub.
Tanpa mereka berdua tahu, bahwa cowok yang sadari tadi memainkan ponselnya ikut mendongak ketika merasakan aura yang familliar.
Mata abu-abu miliknya mengikuti langkah riang Nadira.
Cewek itu ... menarik--batinnya.
**
Pulang sekolah, tentu saja menjadi saat-saat yang ditunggu hampir semua murid, tapi ada juga beberapa murid yang tidak ingin pulang.Namun, tidak dengan Nadira, gadis itu dengan riang dan suka cita melangkah ke arah gerbang, rambutnya sudah diikat tinggi, tas maronnya melekat santai di punggungnya.Sesekali bibir mungilnya bersenandung."Stop."Langkah Nadira berhenti kala mendengar seruan dan seseorang berdiri di depannya. Dengan reflek dia bersenandung."Kau mencuri hatiku, eaaaak," kekehnya ketika mendapati, Lukas, si kakak kelaslah yang menghadangnya."Yeeeee, malah nyanyi." Lukas menoyor kepalanya, lantas dengan kesal Nadira mencekal tangan cowok itu dan memilintirnya ke belakang.Sudah dia bilang, dia paling tidak suka tubuhnya disentuh."Dont touch me!" katanya tajam.Lukas meneguk selvinanya, menyengir disela sakit ditangannya. "Iya-iya, enggak gue ulang, Dir," lirihnya menahan sakit, Na
***Sore itu, jalan anggrek dipenuhi puluhan anak SMA, di kubu kanan ada SMA Jaya sedangkan di kubu kiri ada SMA Bina Bakti.Nadira berdiri di samping Lukas, di belakang mereka lebih dari 15 murid SMA Bina Bakti berjejer. Hal sama juga terjadi di kubu kanan, lebih dari 20 murid SMA Jaya berdiri bersama senjata masing-masing.Nadira berdiri dengan mata berbinar, seakan baru saja melihat idolanya berdiri di depannya. Ditangannya ada sehelai kain basah, teman-temannya bahkan sampai bingung untuk apa kain tersebut saat seharusnya gadis itu membawa senjata seperti balok, besi, atau sejenis senjata mematikan lainnya?Tapi dengan enteng dia menjawab: "Kata nda enggak boleh kasar, enggak boleh bikin anak orang masuk kuburan karena nda si penguasa dunia itu lagi enggak nerima tamu."Tentu saja semua teman-temannya kembali dibuat melongo tak habis pikir, dan akhirnya membiarkan gadis itu berlaku seenaknya, sedangkan Lukas membawa dua pemukul bisb
Happy reading *** "Ndaaaaaaaa," rengek Nadira ketika melihat bunda berdiri di depan pintu utama. Gadis itu berlari, menubruk tubuh berdaster bunda dan menangis layaknya anak kecil. "Eh, kakak kenapa, kok nangis? Mana yang luka? udah nda bilang jangan tauran, kan kalau kalah pulang nangis," omel bunda, tapi, tetap memeluk balik tubuh Nadira yang terisak, tangannya membelai kepala putri sulungnya. "Hiks bukan karena tauran nda, hiks," kata Nadira memberitahu, gadis itu semakin menenggelamkan wajahnya pada dada sang bunda, "Huaaaa Dira kangen kakek." Kening bunda berkerut, menatap suaminya dengan pandangan bertanya, meminta penjelasan, tapi sayangnya ayah hanya mengangkat bahu acuh. Lalu, pandangannya beralih pada sekumpulan anak remaja, bunda tersenyum ramah. "Ya udah kita masuk dulu ya, kita ngobrol di dalam," ajak bunda melepas pelukan Nadira. Namun, bukannya melepaskan bunda sepenuhnya
Happy reading***Hari senin menjadi hari yang paling dibenci Nadira, bangun pagi dan tentu saja ikut upacara bendera.Sekalipun malas, gadis yang hanya memakai topi tanpa dasi tersebut tetap dengan percaya diri berdiri di barisan kedua paling depan, lolos dari rajiah lengkap berseragam.Upacara tengah berlangsung, setiap sesi sudah di mulai ketika Nadira merasa kakinya terasa lelah, sesekali gadis itu akan menghentak-hentakkan kakinya kesal, menggerutu saat kepala sekolah di depan sana tak kunjung menyelesaikan pidatonya."Sebagai generasi bangsa, sudah selayaknya kalian mempertahankan sikap-sikap teladan, baik sikap di sekolah, di rumah atau di masyarakat. Apa saja salah satu contohnya? misalnya di sekolah, mengikuti peraturan yang sudah ditetapkan.""Nyenyenye," lirih Nadira kesal."Dan masalah prestasi ...."Nadira sudah muak, kesal mendengar hal yang sama."Tuh k
Happy reading***["Kali ini apa lagi alasanmu ikut tauran, Arya?!"] Suara bentakan dari sebrang sana dibalas hening.["Jangan malu-maluin keluarga ya kamu!! Kamu saya sekolahkan bukan untuk jadi seorang pembuat onar, mengerti kamu?!"] Lagi, suara bentakan terdengar.["Arjuna Narayan Bagaskara, kamu dengar atau tidak, hah?!!" ]Dengusan terdengar. "Udah?" tanyanya datar, suara dengusan kasar di sebrang sana membuat kekehan hambar meluncur dari bibirnya. "Kalau udah, saya tutup."["HEH, ANAK KUR---"]klik!"Berisik," dengusnya memasukan ponsel ke dalam saku celana abu-abunya.Seperti yang kalian dengar, namanya Arjuna Narayan Bagaskara. Entah dari mana nama itu di ambil dan apa alasannya, Arya tidak tahu. Setahunya dua nama di depan nama kebesaran ayahnya adalah nama pemain film india. Mungkin ayah atau ibunya adalah penikmat film tersebut, atau entahlah, pikirnya.&nbs
Happy reading***Nadira berdecak, menatap sekeliling dengan seksama, dia sudah berdiri di samping gerbang SMA Bina Bakti dari 30 menit yang lalu.Menanti dan berharap sosok yang sadari pagi dia cari, muncul.My Mafia, where are you?-- batinnya mendramatis keadaan. Dia sudah bosan berdiri layaknya seles di toko-toko."Oyy, ngapain lu?" Rika, si kakak kelas menghampirinya."Nungguin bang Arya," jawab Nadira tanpa menoleh ke arah Rika."Arya saha?""Arjuna Narayan Bagaskara.""Ngapain lu nyari dia?" tanya Rika menatap penasaran Nadira yang masih belum menatapnya, tumben Nadira mau menunggu seperti saat ini. "Jangan bilang, dia itu cowok yang lu bilang keren?"Kepala Nadira mengangguk dua kali. "Dia ke mana sih?" decaknya menatap tidak suka orang-orang yang menatapnya."Eh, Dir, bener tuh cowok orangnya?""Iya. Eh, kak, kelas lu seb
Happy reading**"Kak Dira?"Nadira yang tersenyum-senyum sambil memeluk boneka besarnya menoleh, menatap Nadila dengan senyum yang tak luntur sedikitpun.Tangannya melambai ke arah kembarannya yang berdiri di depan pintu. "Sini, Dek," panggilnya.Nadila masuk. Sudah dia duga, perasaan senang yang meletup-letup di hatinya sudah jelas berasal dari kembarannya ini. Mereka berdua memang sebatin, satu yang merasakan, maka yang lain ikut merasakan."Sini-sini, duduk sini, Dek." Nadira menepuk sampingnya, meminta Nadila untuk ikut bergabung bersamanya."Kakak ngapain senyum-senyum kaya orang gila gitu?" tanya Nadila manatap kakaknya penuh selidik, dia tahu Nadira itu orangnya ceria, berbanding terbalik dengannya yang pendiam dan terkesan cuek. Namun, melihat kembarannya bertingkah seperti ini, jelas Nadila penasaran.Nadira yang dikatakan gila tidak tersinggung sama sekali.
6.50Pak Rio menyemburkan kopi hitam yang baru saja dia minum, bukan karena melihat hantu di pagi hari atau bukan juga karena kopi itu masih panas. Melainkan melihat Nadira baru saja memasuki gerbang SMA Bina Bakti.Ya dia adalah Nadira Anjani Armaleo, gadis yang tiap harinya datang ke sekolah pada siang hari. Dan hari ini, rekor baru telah terjadi di Bina Bakti. Tanpa sadar Pak Rio keluar dari pos jaganya, berdiri di luar guna menyambut kedatangan Nadira."Apakah ini salah satu tanda-tanda kiamat akan segera tiba." Pak Rio berkata tepat saat Nadira dua langkah di depannya, menyindir.Nadira yang mendengarnya menyengir, ikut menatap langit yang cerah seperti apa yang Pak Rio lakukan."Bapak kenapa?" tanyanya ikut menatap langit sana-sini."Neng Dira teh sehat? Atau keabisan obat?" tanya Pak Rio memutari tubuh Nadira.Nadira memutar bola mata, kesal. "Sehat atuh Pak, walafiat malah," balasnya mengerucut kesal. "Udah, ah, Dira mau