Share

Bab 8. Misi Darren

Penulis: litrcse
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-02 19:04:52

Hafiz melangkah keluar dari rumahnya dengan penuh kehati-hatian, seolah setiap derap langkahnya harus sepelan bisikan. Dari balik pintu, ia mengintip ke arah dapur, melihat ibunya yang sedang sibuk mencuci piring. Rasa gugup berdesir di dadanya, namun Hafiz tetap nekat, berharap langkahnya tak tertangkap oleh suara atau pandangan. Setelah meyakinkan dirinya, Hafiz melangkah perlahan, menutup gerbang dengan hati-hati hingga hanya terdengar suara lembut besi yang saling bertemu. Saat gerbang itu tertutup sempurna, ia menarik napas dalam dan mulai berjalan cepat, menyusuri jalan kecil yang sepi menuju bangunan tua di dekat sekolahnya.

Bangunan itu tampak terbengkalai, dikelilingi rerumputan liar yang tumbuh tak terurus, sementara temboknya berwarna kelabu dengan bercak-bercak cat yang memudar, seperti bekas luka yang mulai terlupakan. Pintu kayunya yang besar hampir roboh, miring, seakan hanya digantung oleh sisa-sisa engsel yang berkarat. Gedung ini dulunya adalah sekolah tua, penuh sejarah, tapi sekarang hanya menjadi bangunan sepi yang menyimpan cerita-cerita gelap yang beredar di kalangan siswa.

Ketika Hafiz hampir mendekati bangunan itu, matanya menangkap bayangan seseorang, sosok pria yang ia kenali dari rekaman CCTV yang dilihatnya tadi. Hafiz refleks, ia segera bersembunyi di balik pohon dengan napas yang tertahan. Matanya fokus, mengikuti setiap gerak-gerik pria itu tanpa berkedip. Pria tersebut terlihat waspada, pandangannya sesekali berkeliling, seakan memastikan tak ada mata lain yang mengawasi. Saat pria itu perlahan membuka pintu gedung tua, ia masuk dengan gerakan hati-hati, seolah tak ingin menimbulkan suara sedikit pun.

Setelah pria itu menghilang di balik pintu, Hafiz bergerak cepat, langkahnya mendekat ke arah gedung yang terasa semakin dingin dan menakutkan. Setibanya di depan pintu, Hafiz mencoba mendorongnya perlahan, namun pintu itu terkunci dari dalam. Hafiz sedikit kecewa, tetapi ia tak menyerah. Dengan cekatan, dia menggeser badannya ke arah jendela yang setengah tertutup oleh debu, mengintip ke dalam melalui celah kecil di antara kaca yang retak.

Di dalam ruangan itu, pria tadi duduk dengan santai di depan laptop, cahaya layar memantulkan bayangan aneh di wajahnya yang serius. Hafiz menahan napas lagi ketika sosok Darren tiba-tiba muncul dari ruangan lain. Darren, dengan sikap percaya dirinya yang menonjol, berjalan ke arah pria itu dan berbicara, meski kata-katanya tak sampai ke telinga Hafiz. Nafas Hafiz tersendat, tubuhnya bergetar oleh adrenalin dan rasa ingin tahu yang memuncak. 

Meski tak bisa mendengar mereka, Hafiz tak kehabisan akal. Tangannya merogoh saku jaketnya, menarik keluar alat mungil berbentuk earphone dengan kabel yang tipis. Ini bukan perangkat biasa, mikrofon jarak jauh yang bisa menempel dengan baik di permukaan kaca. Hafiz telah mengujinya di rumah untuk menangkap suara dari ruangan sebelah, dan sekarang, alat itu akan menjadi kunci untuk menguak rahasia yang mereka sembunyikan. Dengan perlahan, Hafiz menempelkan mikrofon itu ke jendela, memastikan posisinya pas untuk menangkap suara dari dalam.

Begitu alatnya aktif, suara dari dalam mulai berdesir di earphone, samar namun cukup jelas.

"…lo yakin bakal ngelakuin ini?" suara pria itu mulai terdengar, tajam , tapi penuh keraguan.

"Kalau gue nggak yakin, gue nggak bakal nyuruh lo ngelakuin sampai sejauh ini," balas Darren, suaranya terdengar tenang tapi tegas, seperti orang yang telah membuat keputusan besar.

Dada Hafiz berdegup kencang. Pikirannya kalut, bergolak antara takut dan penasaran. Apakah ini tentang data rahasia? Atau mungkin sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang bisa mengancam orang-orang di sekitar mereka? Hafiz menajamkan pendengarannya, tak ingin kehilangan satu pun kata. Setiap desah suara dan jeda percakapan mereka membuat rasa ingin tahunya terus menyala, bagaikan api kecil yang mulai merambat.

Di dalam sana, Darren memajukan tubuhnya, berbicara dengan nada yang rendah namun penuh keyakinan. "Tugas lo cuma satu," ucapnya sambil mengarahkan pandangan tajam ke pria di hadapannya. "Jalanin misi gue, dan gue akan mastikan tidak ada yang curiga dengan perubahan data nantinya."

Dari luar, Hafiz merasa jantungnya berdegup lebih cepat, rasa penasarannya membuncah seperti gelombang besar. Ia sedikit bergeser, berharap menangkap lebih banyak percakapan mereka. Tapi malangnya, dalam kehati-hatian yang berlebihan, kakinya menekan kayu lapuk yang tergeletak di tanah. Suara berderak pelan terdengar di keheningan, cukup untuk membuat Darren terkejut dan menoleh. Matanya yang tajam mulai menyipit, mengarah langsung ke jendela tempat Hafiz mengintip.

“Siapa di sana?” Suara Darren terdengar dingin, tegang. Hawa di sekelilingnya seolah membeku, dan Hafiz tahu, satu langkah salah saja, ia bisa meruntuhkan semua rencananya. Hafiz menahan napas, otaknya bekerja cepat, mencari cara untuk meloloskan diri tanpa meninggalkan jejak.

Tiba-tiba, ide muncul. Dengan cepat, Hafiz mengeluarkan ponselnya, jarinya cekatan membuka aplikasi pengatur suara yang biasa ia gunakan saat bermain teka-teki. Ia memilih suara kucing mengeong dan menekannya, suara lembut itu bergema di tengah sunyi, memenuhi udara dengan nada alami yang tak mencurigakan.

Darren mendengarkan, lalu tertawa kecil, tampaknya sedikit lega. "Ah, cuma kucing rupanya," gumamnya sambil menggelengkan kepala. Suasana di dalam ruangan kembali tenang.

Di luar, Hafiz mengembuskan napas pelan, senyum kecil terselip di wajahnya. Namun, ia tahu tak bisa berlama-lama di tempat itu. Hafiz menundukkan kepalanya, dan mulai merangkak perlahan ke sisi lain jendela, lalu, ia menurunkan tubuhnya hingga berbaring rendah, sejajar dengan tanah yang dingin dan sedikit berdebu. Kini, dari sudut ini, Hafiz bisa melihat mereka dengan lebih jelas, kedua sosok itu tampak fokus dan serius melalui celah kecil jendela yang sedikit terbuka.

Hafiz kembali menempelkan mikrofon kecil itu ke celah jendela, jari-jarinya gemetar ringan, namun ia terus fokus. Alat itu berfungsi dengan sempurna, membawa suara dari dalam ruangan tepat ke telinganya. Begitu ia mengaktifkan mode amplifikasi, suara rendah pria misterius itu terdengar jelas, seperti berbisik tepat di sampingnya.

"...nanti malam, data itu bakal berubah sesuai dengan kemauan lo," suara pria itu begitu pelan, namun tajam, mengiris heningnya gedung tua itu. "Lo tinggal duduk manis aja, dan saat pengumuman nilai ujian, lo bakal jadi ranking pertama."

Mereka tertawa penuh kesombongan. Hafiz menahan napas, tetapi matanya membelalak. Pikirannya berputar cepat, seakan menolak apa yang baru saja didengarnya.

Jadi, Darren dan pria itu... berniat memanipulasi nilai ujian? Memutarbalikkan prestasi sekolah demi keuntungan pribadi? Darahnya mendidih, amarah merambat cepat ke seluruh tubuhnya. Ia membayangkan semua upaya yang telah ia kerahkan, larut malam mengerjakan soal, berusaha sebaik mungkin untuk meraih nilai agar tidak remidi, semua demi mengejar impiannya. Dan Darren… seenaknya mau memalsukan semua itu?

Hafiz menggertakkan gigi, gemas sekaligus terluka oleh ketidakadilan ini. Tangannya mengepal erat hingga kuku-kuku jarinya memutih. 'Gue nggak bakal ngebiarin ini terjadi,' tekadnya membulat, penuh amarah yang berkobar. 'Enak aja lo, Darren. Lihat saja nanti, gue bakal ngancurin semua rencana lo!'

Dengan hati-hati, Hafiz mundur menjauh dari jendela, menonaktifkan alatnya dan memasukkannya kembali ke dalam saku. Langkahnya pelan, nyaris tanpa suara, melewati dedaunan yang berserakan di lantai gedung tua. Sebelum pergi, ia menoleh sekali lagi ke arah jendela, tatapannya tajam, penuh dendam dan tekad untuk menghentikan rencana Darren.

Hafiz lalu bergegas menyusuri jalan setapak menuju rumahnya, angin siang meniupkan aroma debu dan misteri di sekelilingnya, seakan memberi bisikan bahwa ini belum selesai. Hafiz tahu betul, pertempurannya baru saja dimulai.

BERSAMBUNG

Bab terkait

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Prolog

    Di Pondok Pesantren Nurul Hikmah, malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Langit yang cerah berbintang seolah mengamati rencana besar yang tersusun di benak Hafiz dan teman-temannya. Hafiz, dengan raut wajah serius, memimpin teman-temannya dalam sebuah misi rahasia untuk mengungkap siapa pelaku bullying di kelas mereka.Dengan langkah hati-hati, Hafiz, Eri, Indra, dan Erzhan bergerak menuju ruang administrasi yang terletak di ujung koridor. Mereka tahu bahwa sistem CCTV dan catatan harian berada di sana—kunci untuk membongkar misteri yang telah menghantui mereka. Hafiz membawa sebuah laptop dan beberapa alat hacking sederhana yang telah disiapkan dengan teliti.Saat mereka tiba di depan pintu ruang administrasi, Hafiz mengangkat tangan, memberi isyarat agar mereka berhenti. Jantung mereka berdetak lebih cepat, merasakan bahaya yang bisa muncul kapan saja."Eri, jaga pintu. Indra, Erzhan, bantu gue dengan laptop ini," bisik Hafiz dengan nada tegas, matanya menyapu sekeliling untuk

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-24
  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 1. Awal dari Dunia Hafiz

    Di Minggu pagi yang dipenuhi sinar matahari lembut, ketika udara segar mengajak banyak orang untuk bergerak dan beraktivitas, seharusnya hari ini menjadi waktu yang penuh semangat dan produktivitas. Jalan-jalan dipenuhi dengan orang-orang yang berlari, bersepeda, atau sekadar menikmati angin pagi yang sejuk. Di rumah-rumah, aroma masakan pagi menguar dari dapur, menyebar ke setiap sudut, sementara suara tawa dan obrolan ringan mengisi suasana. Minggu ini adalah hari untuk mereset energi, mengisi ulang semangat setelah satu pekan yang padat.Namun, di salah satu sudut kota yang tenang, di dalam sebuah rumah yang senyap, semua kehangatan dan kehidupan pagi itu seolah tidak memiliki pengaruh.Kamar itu terletak di lantai atas, dengan jendela yang setengah tertutup, membiarkan hanya sedikit cahaya masuk dan menari di atas permukaan yang berantakan. Di tengah kekacauan itu, terhampar seorang pemuda di atas sofa yang telah lama menjadi tempat favoritnya. Matanya tertutup rapat, napasnya tera

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-24
  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 2. Sambutan di Gerbang Pesantren

    Mobil berhenti dengan lembut di depan sebuah masjid besar dan megah, menara-menara tinggi menjulang dengan menara-menara masjid yang berkilauan di bawah sinar matahari pagi. Hafiz, yang sebelumnya tenggelam dalam dunianya dengan layar laptop yang bersinar, tertegun sejenak. Dia menoleh, matanya menyapu pemandangan menakjubkan yang tak biasa. "Kenapa kita berhenti di sini, Abati?" tanyanya, suaranya perlahan, ketika dia menutup laptopnya dan menaruhnya dengan hati-hati dalam tas di sampingnya. Gerakannya menggambarkan kebiasaan dan rutinitas yang sering dia jalani, namun hari ini tampaknya berbeda. Ayahnya menoleh ke arah Hafiz dengan senyum yang penuh ketenangan, "Abati mau sholat Dhuha dulu. Kamu sudah sholat?" Hafiz menggelengkan kepala dengan pelan, "Belum, Abati." "Kalau begitu, ayo," ajak ayahnya dengan nada yang lembut namun tegas, sambil membuka pintu mobil dan keluar terlebih dahulu. Langkahnya penuh keyakinan, mencerminkan kebiasaan dan kedisiplinan dalam menjalankan ibada

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-25
  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 3. Jejak Kecurangan

    Malam itu, langit menyebar seperti tirai hitam yang dihiasi oleh kerlip bintang, seolah tangan tak terlihat sedang menyusun langit dengan penuh keleluasaan. Bulan bersinar lembut, menerobos celah-celah jendela kamar Hafiz dengan cahaya dingin yang tenang. Jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam, dan suasana kamar Hafiz dipenuhi oleh ketenangan malam yang menyelimuti.Setelah pertemuan dengan teman ibunya di pesantren, Hafiz pulang lebih awal dengan alasan ujian tengah semester yang akan dihadapinya keesokan hari. Orang tuanya, percaya bahwa Hafiz ingin belajar, mereka pun pulang sebelum dhuhur. Ujian yang sebenarnya akan dihadapi esok hari memang ada, tetapi alasan utama Hafiz pulang lebih awal adalah keinginannya untuk melarikan diri dari pertemuan yang membosankan itu.Di sofa panjang dekat jendela, Hafiz duduk dengan nyaman, laptop di pangkuannya, layar yang sejak siang tadi terus menyala. Dalam cahaya lembut bulan, Hafiz mengerjakan teknik baru meretas sistem CCTV, sebuah

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-25
  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 4. Ganjaran

    Hafiz masih terpaku, tatapannya terkunci pada layar laptop. Isi file di dalam flashdisk itu membuat dadanya berdegup lebih cepat, campuran antara keterkejutan dan rasa bersalah menghantam dirinya. Tiba-tiba, suara ketukan pintu yang pelan namun tegas membuyarkan fokusnya."Hafiz, anak Ummah udah tidur belum?" Suara lembut ibunya terdengar dari balik pintu, menembus keheningan kamar.Dengan panik, Hafiz melompat dari tempatnya. Sekilas, matanya melirik buku-buku paket yang jarang ia sentuh berada di meja belajarnya. Ia buru-buru mengambilnya dan menyusun beberapa di sofa, berusaha membuat kamarnya terlihat seperti sarang seorang pelajar yang rajin. Buku-buku itu tergeletak asal, tapi cukup untuk memberi kesan. Napasnya ia tarik dalam-dalam, berusaha menenangkan diri.Hafiz membuka pintu, berusaha tersenyum meski gugup. "Belum, Ummah."Pandangan ibunya menyapu ruangan dengan cepat, dan akhirnya berhenti di sofa penuh buku. Matanya lembut, penuh kasih, seolah menyiratkan bahwa ia tahu se

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-15
  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 5. Menuju Penebusan

    Bel pulang berbunyi, menggema lembut di lorong-lorong sekolah. Ujian tengah semester akhirnya usai. Bagi kebanyakan siswa, ini adalah momen yang ditunggu, saat kebebasan merentang di depan mata. Namun, bagi Hafiz, bel itu bukan tanda kebebasan. Dia hanya bisa menarik napas panjang, menyadari bahwa meskipun sekolah pulang lebih awal, dirinya harus tetap menunggu. Jam dinding kelas menunjukkan pukul dua belas siang. Masih ada empat jam lagi sebelum ayahnya bisa menjemputnya pulang.Hafiz bersandar di kursinya, memejamkan mata sejenak. Kelas yang tadinya ramai kini kosong dan hening. Hanya dirinya yang masih bertahan, dikelilingi meja-meja dan kursi yang terasa dingin dan sepi. Ia mendengus pelan, lalu berdiri, memutuskan untuk mencari ketenangan di musholla. Di sana, setidaknya ia bisa menemukan kedamaian di tengah kesunyian.Langkah-langkahnya menggema di sepanjang koridor, perlahan tapi pasti menuju musholla. Sesampainya di sana, Hafiz melepas sepatu dengan gerakan malas, merasakan lan

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-16
  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 6. Di Ambang Bahaya

    Hari terakhir ujian selalu membawa suasana yang campur aduk. Hafiz duduk di bangkunya, dengan hoodie yang menutupi kepalanya, seolah-olah ingin menjauhkan diri dari hiruk-pikuk sekelilingnya. Udara di kelas terasa sedikit hangat, angin yang masuk dari jendela menggoyangkan tirai tipis, memberikan rasa tenang di tengah pikiran yang masih berkecamuk. Enam hari ini dia lalui dengan perasaan yang berbeda, bukan hanya karena ujian, tetapi karena keputusan sederhana yang mengubah segalanya. Hafiz berhenti menyontek.Kini, ada perasaan yang sulit dijelaskan ketika dia berhasil menyetorkan hafalan Qur’an kepada ayahnya. Setiap malam, ada kehangatan yang dirasakan Hafiz saat mendengar pujian ayahnya, meski hanya lewat telepon. Namun di sisi lain, tuntutan untuk belajar terasa seperti beban yang tak pernah surut. Materi-materi ujian menumpuk di hadapannya seperti dinding tinggi yang sulit ditembus. Hafiz merasa kesulitan, namun ibu tak tinggal diam. Dengan kasih sayang yang tak pernah ia ungkap

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-18
  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 7. Dalam Pencarian, Ada Panggilan

    "Baiklah, mari kita lihat apa yang sebenarnya terjadi." batin Hafiz.Setelah beberapa menit, Hafiz akhirnya berhasil masuk ke dalam sistem CCTV. Di layar, berbagai sudut sekolah mulai muncul. Dia memeriksa satu per satu, mencari tanda-tanda bahwa CCTV masih aktif. Semua kamera terlihat berfungsi dengan baik, menunjukkan suasana kelas yang sudah kosong karena para siswa telah pulang setelah ujian terakhir. Tidak ada yang mencurigakan sejauh ini.Namun, Hafiz tidak berhenti di situ. Dia memutuskan untuk mengakses rekaman beberapa jam yang lalu, tepat setelah Darren berbicara di kelas. Jemarinya kembali menari di atas keyboard, kali ini lebih cepat. Gambar demi gambar melintas di layar. Hafiz mempercepat putaran waktu di rekaman, mencari sosok Darren.Dan di situlah dia. Hafiz melihat Darren, berdiri di depan gerbang sekolah bersama seorang pria yang tidak ia kenal. Darren berbicara dengan serius, sementara pria itu mengangguk. Namun sayangnya, tidak ada suara dari rekaman CCTV itu."Mati

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-30

Bab terbaru

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 8. Misi Darren

    Hafiz melangkah keluar dari rumahnya dengan penuh kehati-hatian, seolah setiap derap langkahnya harus sepelan bisikan. Dari balik pintu, ia mengintip ke arah dapur, melihat ibunya yang sedang sibuk mencuci piring. Rasa gugup berdesir di dadanya, namun Hafiz tetap nekat, berharap langkahnya tak tertangkap oleh suara atau pandangan. Setelah meyakinkan dirinya, Hafiz melangkah perlahan, menutup gerbang dengan hati-hati hingga hanya terdengar suara lembut besi yang saling bertemu. Saat gerbang itu tertutup sempurna, ia menarik napas dalam dan mulai berjalan cepat, menyusuri jalan kecil yang sepi menuju bangunan tua di dekat sekolahnya.Bangunan itu tampak terbengkalai, dikelilingi rerumputan liar yang tumbuh tak terurus, sementara temboknya berwarna kelabu dengan bercak-bercak cat yang memudar, seperti bekas luka yang mulai terlupakan. Pintu kayunya yang besar hampir roboh, miring, seakan hanya digantung oleh sisa-sisa engsel yang berkarat. Gedung ini dulunya adalah sekolah tua, penuh sej

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 7. Dalam Pencarian, Ada Panggilan

    "Baiklah, mari kita lihat apa yang sebenarnya terjadi." batin Hafiz.Setelah beberapa menit, Hafiz akhirnya berhasil masuk ke dalam sistem CCTV. Di layar, berbagai sudut sekolah mulai muncul. Dia memeriksa satu per satu, mencari tanda-tanda bahwa CCTV masih aktif. Semua kamera terlihat berfungsi dengan baik, menunjukkan suasana kelas yang sudah kosong karena para siswa telah pulang setelah ujian terakhir. Tidak ada yang mencurigakan sejauh ini.Namun, Hafiz tidak berhenti di situ. Dia memutuskan untuk mengakses rekaman beberapa jam yang lalu, tepat setelah Darren berbicara di kelas. Jemarinya kembali menari di atas keyboard, kali ini lebih cepat. Gambar demi gambar melintas di layar. Hafiz mempercepat putaran waktu di rekaman, mencari sosok Darren.Dan di situlah dia. Hafiz melihat Darren, berdiri di depan gerbang sekolah bersama seorang pria yang tidak ia kenal. Darren berbicara dengan serius, sementara pria itu mengangguk. Namun sayangnya, tidak ada suara dari rekaman CCTV itu."Mati

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 6. Di Ambang Bahaya

    Hari terakhir ujian selalu membawa suasana yang campur aduk. Hafiz duduk di bangkunya, dengan hoodie yang menutupi kepalanya, seolah-olah ingin menjauhkan diri dari hiruk-pikuk sekelilingnya. Udara di kelas terasa sedikit hangat, angin yang masuk dari jendela menggoyangkan tirai tipis, memberikan rasa tenang di tengah pikiran yang masih berkecamuk. Enam hari ini dia lalui dengan perasaan yang berbeda, bukan hanya karena ujian, tetapi karena keputusan sederhana yang mengubah segalanya. Hafiz berhenti menyontek.Kini, ada perasaan yang sulit dijelaskan ketika dia berhasil menyetorkan hafalan Qur’an kepada ayahnya. Setiap malam, ada kehangatan yang dirasakan Hafiz saat mendengar pujian ayahnya, meski hanya lewat telepon. Namun di sisi lain, tuntutan untuk belajar terasa seperti beban yang tak pernah surut. Materi-materi ujian menumpuk di hadapannya seperti dinding tinggi yang sulit ditembus. Hafiz merasa kesulitan, namun ibu tak tinggal diam. Dengan kasih sayang yang tak pernah ia ungkap

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 5. Menuju Penebusan

    Bel pulang berbunyi, menggema lembut di lorong-lorong sekolah. Ujian tengah semester akhirnya usai. Bagi kebanyakan siswa, ini adalah momen yang ditunggu, saat kebebasan merentang di depan mata. Namun, bagi Hafiz, bel itu bukan tanda kebebasan. Dia hanya bisa menarik napas panjang, menyadari bahwa meskipun sekolah pulang lebih awal, dirinya harus tetap menunggu. Jam dinding kelas menunjukkan pukul dua belas siang. Masih ada empat jam lagi sebelum ayahnya bisa menjemputnya pulang.Hafiz bersandar di kursinya, memejamkan mata sejenak. Kelas yang tadinya ramai kini kosong dan hening. Hanya dirinya yang masih bertahan, dikelilingi meja-meja dan kursi yang terasa dingin dan sepi. Ia mendengus pelan, lalu berdiri, memutuskan untuk mencari ketenangan di musholla. Di sana, setidaknya ia bisa menemukan kedamaian di tengah kesunyian.Langkah-langkahnya menggema di sepanjang koridor, perlahan tapi pasti menuju musholla. Sesampainya di sana, Hafiz melepas sepatu dengan gerakan malas, merasakan lan

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 4. Ganjaran

    Hafiz masih terpaku, tatapannya terkunci pada layar laptop. Isi file di dalam flashdisk itu membuat dadanya berdegup lebih cepat, campuran antara keterkejutan dan rasa bersalah menghantam dirinya. Tiba-tiba, suara ketukan pintu yang pelan namun tegas membuyarkan fokusnya."Hafiz, anak Ummah udah tidur belum?" Suara lembut ibunya terdengar dari balik pintu, menembus keheningan kamar.Dengan panik, Hafiz melompat dari tempatnya. Sekilas, matanya melirik buku-buku paket yang jarang ia sentuh berada di meja belajarnya. Ia buru-buru mengambilnya dan menyusun beberapa di sofa, berusaha membuat kamarnya terlihat seperti sarang seorang pelajar yang rajin. Buku-buku itu tergeletak asal, tapi cukup untuk memberi kesan. Napasnya ia tarik dalam-dalam, berusaha menenangkan diri.Hafiz membuka pintu, berusaha tersenyum meski gugup. "Belum, Ummah."Pandangan ibunya menyapu ruangan dengan cepat, dan akhirnya berhenti di sofa penuh buku. Matanya lembut, penuh kasih, seolah menyiratkan bahwa ia tahu se

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 3. Jejak Kecurangan

    Malam itu, langit menyebar seperti tirai hitam yang dihiasi oleh kerlip bintang, seolah tangan tak terlihat sedang menyusun langit dengan penuh keleluasaan. Bulan bersinar lembut, menerobos celah-celah jendela kamar Hafiz dengan cahaya dingin yang tenang. Jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam, dan suasana kamar Hafiz dipenuhi oleh ketenangan malam yang menyelimuti.Setelah pertemuan dengan teman ibunya di pesantren, Hafiz pulang lebih awal dengan alasan ujian tengah semester yang akan dihadapinya keesokan hari. Orang tuanya, percaya bahwa Hafiz ingin belajar, mereka pun pulang sebelum dhuhur. Ujian yang sebenarnya akan dihadapi esok hari memang ada, tetapi alasan utama Hafiz pulang lebih awal adalah keinginannya untuk melarikan diri dari pertemuan yang membosankan itu.Di sofa panjang dekat jendela, Hafiz duduk dengan nyaman, laptop di pangkuannya, layar yang sejak siang tadi terus menyala. Dalam cahaya lembut bulan, Hafiz mengerjakan teknik baru meretas sistem CCTV, sebuah

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 2. Sambutan di Gerbang Pesantren

    Mobil berhenti dengan lembut di depan sebuah masjid besar dan megah, menara-menara tinggi menjulang dengan menara-menara masjid yang berkilauan di bawah sinar matahari pagi. Hafiz, yang sebelumnya tenggelam dalam dunianya dengan layar laptop yang bersinar, tertegun sejenak. Dia menoleh, matanya menyapu pemandangan menakjubkan yang tak biasa. "Kenapa kita berhenti di sini, Abati?" tanyanya, suaranya perlahan, ketika dia menutup laptopnya dan menaruhnya dengan hati-hati dalam tas di sampingnya. Gerakannya menggambarkan kebiasaan dan rutinitas yang sering dia jalani, namun hari ini tampaknya berbeda. Ayahnya menoleh ke arah Hafiz dengan senyum yang penuh ketenangan, "Abati mau sholat Dhuha dulu. Kamu sudah sholat?" Hafiz menggelengkan kepala dengan pelan, "Belum, Abati." "Kalau begitu, ayo," ajak ayahnya dengan nada yang lembut namun tegas, sambil membuka pintu mobil dan keluar terlebih dahulu. Langkahnya penuh keyakinan, mencerminkan kebiasaan dan kedisiplinan dalam menjalankan ibada

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 1. Awal dari Dunia Hafiz

    Di Minggu pagi yang dipenuhi sinar matahari lembut, ketika udara segar mengajak banyak orang untuk bergerak dan beraktivitas, seharusnya hari ini menjadi waktu yang penuh semangat dan produktivitas. Jalan-jalan dipenuhi dengan orang-orang yang berlari, bersepeda, atau sekadar menikmati angin pagi yang sejuk. Di rumah-rumah, aroma masakan pagi menguar dari dapur, menyebar ke setiap sudut, sementara suara tawa dan obrolan ringan mengisi suasana. Minggu ini adalah hari untuk mereset energi, mengisi ulang semangat setelah satu pekan yang padat.Namun, di salah satu sudut kota yang tenang, di dalam sebuah rumah yang senyap, semua kehangatan dan kehidupan pagi itu seolah tidak memiliki pengaruh.Kamar itu terletak di lantai atas, dengan jendela yang setengah tertutup, membiarkan hanya sedikit cahaya masuk dan menari di atas permukaan yang berantakan. Di tengah kekacauan itu, terhampar seorang pemuda di atas sofa yang telah lama menjadi tempat favoritnya. Matanya tertutup rapat, napasnya tera

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Prolog

    Di Pondok Pesantren Nurul Hikmah, malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Langit yang cerah berbintang seolah mengamati rencana besar yang tersusun di benak Hafiz dan teman-temannya. Hafiz, dengan raut wajah serius, memimpin teman-temannya dalam sebuah misi rahasia untuk mengungkap siapa pelaku bullying di kelas mereka.Dengan langkah hati-hati, Hafiz, Eri, Indra, dan Erzhan bergerak menuju ruang administrasi yang terletak di ujung koridor. Mereka tahu bahwa sistem CCTV dan catatan harian berada di sana—kunci untuk membongkar misteri yang telah menghantui mereka. Hafiz membawa sebuah laptop dan beberapa alat hacking sederhana yang telah disiapkan dengan teliti.Saat mereka tiba di depan pintu ruang administrasi, Hafiz mengangkat tangan, memberi isyarat agar mereka berhenti. Jantung mereka berdetak lebih cepat, merasakan bahaya yang bisa muncul kapan saja."Eri, jaga pintu. Indra, Erzhan, bantu gue dengan laptop ini," bisik Hafiz dengan nada tegas, matanya menyapu sekeliling untuk

DMCA.com Protection Status