Share

Bab 4. Ganjaran

Hafiz masih terpaku, tatapannya terkunci pada layar laptop. Isi file di dalam flashdisk itu membuat dadanya berdegup lebih cepat, campuran antara keterkejutan dan rasa bersalah menghantam dirinya. Tiba-tiba, suara ketukan pintu yang pelan namun tegas membuyarkan fokusnya.

"Hafiz, anak Ummah udah tidur belum?" Suara lembut ibunya terdengar dari balik pintu, menembus keheningan kamar.

Dengan panik, Hafiz melompat dari tempatnya. Sekilas, matanya melirik buku-buku paket yang jarang ia sentuh berada di meja belajarnya. Ia buru-buru mengambilnya dan menyusun beberapa di sofa, berusaha membuat kamarnya terlihat seperti sarang seorang pelajar yang rajin. Buku-buku itu tergeletak asal, tapi cukup untuk memberi kesan. Napasnya ia tarik dalam-dalam, berusaha menenangkan diri.

Hafiz membuka pintu, berusaha tersenyum meski gugup. "Belum, Ummah."

Pandangan ibunya menyapu ruangan dengan cepat, dan akhirnya berhenti di sofa penuh buku. Matanya lembut, penuh kasih, seolah menyiratkan bahwa ia tahu segalanya tanpa harus bertanya.

"Hm... anak Ummah lagi belajar, ya? Belum selesai?" Senyumnya tulus, mengingatkan Hafiz pada masa-masa kecilnya, ketika sentuhan ibunya menenangkan setiap kegelisahan.

"Sedikit lagi, Ummah. Setelah ini Hafiz bakal tidur," jawab Hafiz cepat, senyumnya dipaksakan agar terlihat meyakinkan. Ia berharap ibunya tidak melihat ada sesuatu yang lain di balik wajah tegangnya.

"Bagus. Tapi nanti, sebelum tidur, jangan lupa ambil wudhu dan shalat dua rakaat dulu, ya?" ucap ibunya dengan suara lembut yang menenangkan.

Hafiz mengangguk, tersenyum tipis.

Setelah ibunya pergi dan pintunya tertutup kembali, Hafiz segera menarik napas panjang, menghembuskannya dengan berat. Kepanikan kembali menghampirinya, seperti gelombang yang tak terhindarkan. Dengan cepat, dia kembali berlari ke sofa, pandangannya langsung jatuh pada layar laptop yang masih menyala. 

File berisi kunci jawaban itu menunggu, menantang moralitasnya.

---

Pagi itu cerah, langit biru bersih seolah memberikan energi positif bagi siapa saja yang siap menjalani hari. Hari Senin, awal pekan yang sering kali menjadi momok bagi sebagian orang, namun bagi Hafiz, pagi ini terasa ringan, seperti ada yang menyenangkan menunggunya.

"Ummah, Hafiz berangkat dulu ya," ucapnya sambil mencium tangan ibunya, seperti rutinitas yang tak pernah dilewatkannya.

Ibunya tersenyum, mengusap lembut rambut putra tunggalnya. "Anak sholeh, semoga ujiannya lancar, ya. Ummah doain yang terbaik buat kamu."

Hafiz tersenyum. Senyum yang tenang namun penuh harap. "Aamiin, terima kasih doanya, Ummah."

Tak lama, suara klakson mobil memecah keheningan pagi itu. BIM! BIM! Ayahnya sudah menunggu di dalam mobil, bersiap mengantar Hafiz ke sekolah seperti biasa. Hafiz menoleh, mengangguk pelan sebelum melangkah ke arah mobil.

"Assalamu'alaikum, Ummah," katanya, dengan tatapan penuh rasa syukur.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, Nak," jawab ibunya sambil melambaikan tangan, melihat Hafiz masuk ke dalam mobil.

Mobil melaju perlahan, menyusuri jalan yang masih lengang di pagi hari. Meski Hafiz sudah duduk di bangku SMA, ayahnya tetap bersikeras mengantar dan menjemputnya setiap hari. Hafiz pernah memohon untuk dibelikan motor agar bisa berangkat sendiri, tapi ayahnya menolak. Baginya, menjaga Hafiz di bawah pengawasannya lebih penting. Lagipula, perjalanan Hafiz dan ayahnya selalu bersamaan, sekalian dengan ayahnya yang berangkat kerja.

Ayah Hafiz menoleh sejenak dari belakang kemudi, melirik putranya yang duduk di sebelahnya. "Ini hari pertama ujian, sudah siap?"

Hafiz mengangguk pelan, menatap jalan di depan dengan pandangan mantap. "InsyaAllah siap, Abati."

Ayahnya tersenyum, senyum yang tenang namun penuh doa. "Bagus. Semoga semuanya lancar ya, Nak."

"Aamiin," jawab Hafiz, perlahan hatinya merasa lebih ringan. Mobil terus melaju, membawa mereka menuju hari yang penuh harapan, sementara doa-doa terus mengiringi langkah Hafiz sepanjang perjalanan.

Beberapa menit kemudian, mobil itu berhenti perlahan di depan gerbang sekolah. Hafiz menarik napas dalam, seolah menyiapkan dirinya untuk babak berikutnya. Dia membuka pintu mobil, lalu menunduk mencium tangan ayahnya dengan penuh hormat.

"Assalamualaikum, Abati," ucap Hafiz sambil tersenyum tipis.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi," balas ayahnya, senyum kebanggaan mengiringi.

Hafiz keluar dari mobil, berdiri sejenak di tepi jalan. Matanya mengikuti punggung mobil ayahnya yang perlahan menjauh, sampai benar-benar hilang dari pandangan. Setelah yakin bahwa mobil ayahnya tak lagi terlihat, Hafiz bergerak cepat, berbelok dengan langkah mantap, namun bukan menuju gerbang sekolah.

Ia melangkah menuju tempat yang sudah menjadi bagian dari rutinitasnya—kamar mandi umum di sudut jalan. Sesampainya di sana, Hafiz segera mengeluarkan jaket hitam favoritnya dari dalam tas. Jaket lusuh dengan cap baseball yang sudah dikenakannya sejak lama. Dengan gerakan cekatan, dia mengenakannya, lalu mengacak-acak rambutnya yang sebelumnya tertata rapi, membuatnya berantakan, seolah baru bangun tidur.

Penampilannya sekarang jauh berbeda dari sosok rapi dan bersih yang meninggalkan rumah pagi tadi. Hafiz menatap cermin usang di kamar mandi itu sebentar, memastikan dirinya tampak seperti 'dirinya' yang sebenarnya di sekolah. Satu hal yang pasti, penampilan ini tak akan pernah diizinkan oleh kedua orang tuanya. Dari rumah, Hafiz selalu tampil rapi—jaket di tangan, rambut disisir klimis, seakan-akan siap menghadapi dunia. Tapi di sekolah, dia punya dunianya sendiri, di mana penampilan acak-acakan menjadi gaya yang dipilihnya untuk menyembunyikan diri dari sorotan.

Hafiz menghela napas pendek, lalu melangkah keluar dari kamar mandi dengan santai, menuju gerbang sekolah. Begitulah kebiasaan yang dilakukannya sejak kelas satu. Teman-temannya hanya mengenal sosok Hafiz yang santai dan tidak rapi. Berbeda jauh dari citra anak sholeh yang selalu diharapkan oleh kedua orang tuanya.

Setiap hari, saat matahari terbenam, Hafiz kembali ke kamar mandi itu. Dengan hati-hati, ia merapikan kembali rambutnya, melepas jaket hitamnya, dan mengenakan kembali kemeja rapi yang dilipatnya dengan hati-hati. Semua itu dilakukan agar saat ia pulang dan masuk ke dalam mobil ayahnya, tak ada sedikit pun kecurigaan yang timbul.

Dua sisi kehidupan, satu yang dilihat orang tua, dan satu lagi yang hanya diketahui Hafiz dan teman sekolahnya.

Saat Hafiz melangkah masuk ke kelas, senyumnya muncul samar di sudut bibirnya. Beberapa teman-temannya terlihat sibuk mengerjakan soal-soal latihan, mengulang pelajaran dengan ekspresi tegang di wajah mereka. Sementara Hafiz? Dia sudah siap. Malam tadi, dia telah menghafal semua jawaban yang diperoleh dari keterampilan hacking-nya—sebuah keterampilan yang tidak seharusnya dia banggakan, namun tak bisa diabaikan begitu saja. Hafiz duduk dengan santai di bangkunya, memandangi nomor ujian yang tertera di mejanya. Semuanya sudah sesuai rencana.

Ketika waktu ujian akhirnya dimulai, Hafiz menatap lembar soal di hadapannya dengan percaya diri. Soal uraian yang selama ini ia khawatirkan, kini tersaji tepat seperti yang telah dihafalkan semalam. Meski tak berniat untuk mencontek, Hafiz tahu dirinya lebih lemah dalam soal uraian daripada soal pilihan ganda. Ia bisa mengandalkan logikanya untuk pilihan ganda—baginya, cukup berpikir rasional, tanpa perlu membaca buku. Namun soal uraian? Itu cerita lain. Ujian kali ini terasa lebih menantang, dan Hafiz tidak mau mengambil risiko. Gagal ujian berarti remidi, dan remidi di keluarganya adalah hal yang sangat serius.

Kedua orang tua Hafiz memang disiplin, tidak memaksa Hafiz menjadi rangking satu, tapi jika nilai ujiannya buruk? Hukuman tanpa ampun sudah pasti menantinya. Hafiz menghela napas dalam-dalam, berdoa dalam hatinya. *"Ya Allah, nggak minta banyak, hamba cuma nggak mau remidi. Yang penting, Abati dan Ummah nggak marah."*

Tangannya mulai bergerak cepat, menuliskan jawaban yang telah dihafalkan dengan sempurna. Menit demi menit berlalu, dan tanpa terasa, sepuluh menit kemudian Hafiz sudah menyelesaikan seluruh soal. Ia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangannya—bel masih lama. Tidak mungkin dia langsung keluar, itu hanya akan menimbulkan kecurigaan. Jadi, Hafiz memutuskan untuk menunggu, menghabiskan waktu dengan memandangi sekeliling kelas.

Namun tiba-tiba, pandangannya terpaku pada seseorang. Gadis itu. Hafiz sudah memperhatikannya semalam. Sosok yang duduk tenang, jaraknya hanya beberapa bangku dari Hafiz. Tangannya dengan lincah menuliskan jawaban di atas kertas ujiannya. Dan sebelum Hafiz sempat merenung lebih lama, gadis itu tiba-tiba berdiri.

Gerakan itu membuat Hafiz tersentak. Gadis itu menyerahkan lembar jawaban dan soal pada guru yang duduk di depan kelas, kemudian berjalan keluar dengan langkah tenang. Hafiz menoleh ke jam tangannya lagi—baru tiga menit berlalu sejak dia sendiri selesai, dan gadis itu sudah menyerahkan ujiannya. Hafiz tersenyum tipis. "Beneran pinter ternyata," batinnya, tak bisa menahan rasa kagum.

Mata Hafiz mengikuti punggung gadis itu hingga dia benar-benar keluar dari kelas. Sosoknya menghilang di luar, menuju entah ke mana. Hafiz menghela napas panjang. Tidak mungkin dia keluar sekarang—itu hanya akan membuat dirinya mencolok di mata guru dan teman-temannya. Lagi pula, gadis itu adalah langganan rangking satu di kelas mereka. Tak ada yang akan mempertanyakan kecepatan gadis itu dalam menyelesaikan ujian. Dia cerdas, terbukti dari berbagai penghargaan yang kerap dia raih, dari tingkat daerah hingga nasional.

Zayna Amira Fatima—Ayna, begitu teman-teman menyapanya—adalah sosok yang mengalir tenang di antara hiruk pikuk sekolah. Jarang terlihat di luar kelas, apalagi di tempat-tempat ramai. Dia lebih sering berlindung di balik buku-buku tebal di perpustakaan, menemukan kedamaian dalam halaman-halaman yang berbicara dalam bahasa yang hanya dia pahami. Di sana, di sudut terpencil, ia seperti bunga yang tumbuh sendirian—cantik, namun tak pernah benar-benar terjamah. Di kelas, Ayna hadir bagai bayangan; tak mencolok, nyaris tak terdengar. Dia hanya ada saat dibutuhkan, saat jam pelajaran memanggilnya untuk berinteraksi dengan dunia nyata.

Hafiz, di sisi lain, punya keheningan yang berbeda. Jika Ayna berlindung di balik buku, Hafiz bersembunyi di balik layar ponselnya, matanya jarang terlepas dari dunia maya yang ia ciptakan sendiri. Dia tidak membawa laptop ke sekolah—sebuah keputusan yang penuh perhitungan. Dunia hacking yang diam-diam ia tekuni lebih aman bila disembunyikan di balik jemarinya yang lincah mengetik di ponsel. Hafiz seperti angin yang berembus pelan di kelas—ada, namun tak pernah menjadi pusat perhatian. Ia lebih suka berada di sana, duduk sendirian, sementara yang lain sibuk berkumpul di kantin atau bercanda di luar kelas.

Namun, meskipun begitu, ada sesuatu yang serupa di antara mereka. Sama-sama memilih jalan sepi, meski dengan cara yang berbeda. Ayna dengan dunia buku yang ia jaga erat, Hafiz dengan layar kecil yang menjadi temannya. Ada jarak yang tak terlihat, tapi juga tak terhindarkan. Mereka mungkin berada di tempat yang sama, tapi tak pernah benar-benar saling mendekat. Dunia mereka seperti dua garis paralel yang berjalan sejajar, tak pernah bersinggungan.

Bel sekolah menggema, suaranya bergetar di udara, mengumumkan berakhirnya ujian dan dimulainya waktu istirahat. Suasana kelas yang tadi sunyi berubah seketika, penuh hiruk-pikuk para siswa yang bergegas mengisi jawaban terakhir atau menyerahkan lembaran mereka dengan tenang. Di tengah keramaian itu, Hafiz bergerak perlahan, seolah langkahnya terukur dengan rasa yang berbeda dari biasanya. Ia mengangkat lembar jawabannya, menyerahkannya kepada pengawas, lalu keluar tanpa berkata apa-apa. Hari ini, Hafiz terasa lain. Ada bayang-bayang yang membayangi langkahnya.

Ia memutuskan untuk tidak kembali ke kelas seperti biasanya. Ada sebuah dorongan dalam dirinya untuk menuju musholla—tempat yang selalu memberinya kedamaian. Di setiap langkahnya, Hafiz merasakan beban yang ia bawa sendiri, perasaan bersalah yang diam-diam merayapi hati. Malam sebelumnya, Hafiz terjerumus dalam kecurangan; kunci jawaban yang didapatkan dari hasil peretasannya masih terngiang di benaknya.

Saat ia melangkah ke luar kelas, pemandangan di sekitarnya terasa asing. Suara tawa siswa, langkah kaki yang tergesa, obrolan riuh yang mengisi udara—semua itu terasa jauh dari dunianya. Hafiz yang biasa terdiam di sudut kelas, kini memandang pemandangan tersebut seolah-olah ia seorang pengamat yang baru saja mengenal hiruk-pikuk ini. Sesaat, ia berhenti, menatap sekeliling dengan rasa heran yang menyelinap, sebelum akhirnya melanjutkan langkah menuju musholla.

Sesampainya di sana, Hafiz merasakan ketenangan yang lama ia rindukan. Angin semilir menyapu wajahnya saat ia mengambil wudhu, air yang dingin menetes dari ujung jarinya, seolah mencuci perasaan gelisah yang selama ini tersimpan. Hafiz duduk di pojok musholla, mengambil Al-Qur’an, dan membuka halaman yang sudah akrab dengannya. Tadi pagi di rumah, ia telah menunaikan sholat dhuha, sebuah kebiasaan yang diajarkan orang tuanya sejak kecil. Kali ini, dia berniat untuk melanjutkan hafalannya.

Hafiz telah mencapai 20 juz. Sepuluh lagi, dia akan menyelesaikan hafalannya, sesuatu yang telah ia mulai sejak kecil, tapi kini terasa tertahan. Di sekolah barunya, SMA Nusantara, tidak ada program tahfiz yang biasa menjadi rutinitasnya. Orang tuanya menyayangkan, tapi mereka percaya prestasi sekolah ini cukup untuk menyeimbangkan semuanya. Hafiz tetap menyetor hafalan pada ayahnya di rumah, namun tidak seperti dulu, saat masa-masa MI dan MTs. Sekarang, segalanya terasa berbeda, lebih jauh dari hafalan yang ia cintai.

Bibirnya mulai melantunkan ayat-ayat itu. Namun kali ini, ayat-ayat yang biasanya mudah melekat di ingatannya, terasa berat dan asing. Dia mencoba lagi, lima menit berlalu, dan masih, ayat-ayat itu tersendat. Biasanya, sepuluh ayat bisa ia kuasai dalam hitungan menit, tapi hari ini, hatinya terasa tertutup oleh sesuatu yang tak kasatmata.

"Kenapa, ya Allah?" gumamnya, jantungnya berdetak lebih cepat, ada kegelisahan yang menyusup. Dia berusaha lagi, tapi tetap saja nihil. Hafiz menghela napas, mengusap wajahnya dengan perlahan. "Astaghfirullah..." bisiknya, mencoba menenangkan diri.

Bel sekolah kembali berbunyi, mengisyaratkan dimulainya pelajaran berikutnya. Hafiz menutup Al-Qur'an dengan hati yang masih terombang-ambing oleh rasa bersalah dan kegagalan. Ia meletakkannya di atas lemari, lalu melangkah keluar musholla dengan langkah yang lamban. Sesuatu yang berat masih menyelimuti dadanya—kekecewaan pada dirinya sendiri, pada perbuatannya, pada kesulitan yang ia hadapi untuk pertama kalinya.

Di sisi lain, Ayna sudah duduk rapi di kelas, tangannya sibuk mengeluarkan alat tulis. Pikirannya sedikit cemas menghadapi soal-soal ujian yang menunggu di depan. Semua terasa tenang sampai tiba-tiba..

"Ya Allah!" Pensil yang ia pegang tersenggol dan jatuh ke lantai, menggelinding dengan bunyi pelan namun cukup membuatnya terkejut.

"Yah, patah deh," gumamnya, suaranya nyaris tenggelam oleh suara lain di kelas. Tanpa banyak pikir, dia mengambil rautan dari tasnya dan berdiri, berjalan ke depan kelas menuju tong sampah untuk meraut pensil yang patah tadi.

Langkahnya tenang, namun tanpa disadari, saat masih sibuk dengan pensil di tangannya, ia hampir menabrak seseorang di pintu. Hafiz. Keduanya sama-sama terkejut. Rautan dan pensil Ayna terjatuh ke lantai, berbunyi kecil saat mengenai ubin. Sekejap, mata mereka bertemu.

Hafiz tampak terdiam, sementara Ayna merasa seluruh tubuhnya mematung.

"Sorry," suara Hafiz terdengar pelan namun jelas, memecah keheningan sesaat di antara mereka.

Ayna tersadar dan segera berjongkok, berusaha mengambil pensil dan rautannya yang tercecer. Di bibirnya, tanpa sadar, ia melafalkan sebuah do'a yang jarang terdengar.

"A'udhu bir-rahmani minka in kunta taqiyyan."

Hafiz, yang mendengar do'a itu, mengerutkan kening. Ada keanehan yang menghampiri hatinya. Dia ikut menunduk, menatap Ayna dengan sedikit bingung, lalu dengan setengah senyum bertanya, "Wajah gue serem banget ya?"

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status