Share

Bab 2. Sambutan di Gerbang Pesantren

Mobil berhenti dengan lembut di depan sebuah masjid besar dan megah, menara-menara tinggi menjulang dengan menara-menara masjid yang berkilauan di bawah sinar matahari pagi. Hafiz, yang sebelumnya tenggelam dalam dunianya dengan layar laptop yang bersinar, tertegun sejenak. Dia menoleh, matanya menyapu pemandangan menakjubkan yang tak biasa.

"Kenapa kita berhenti di sini, Abati?" tanyanya, suaranya perlahan, ketika dia menutup laptopnya dan menaruhnya dengan hati-hati dalam tas di sampingnya. Gerakannya menggambarkan kebiasaan dan rutinitas yang sering dia jalani, namun hari ini tampaknya berbeda.

Ayahnya menoleh ke arah Hafiz dengan senyum yang penuh ketenangan, "Abati mau sholat Dhuha dulu. Kamu sudah sholat?"

Hafiz menggelengkan kepala dengan pelan, "Belum, Abati."

"Kalau begitu, ayo," ajak ayahnya dengan nada yang lembut namun tegas, sambil membuka pintu mobil dan keluar terlebih dahulu. Langkahnya penuh keyakinan, mencerminkan kebiasaan dan kedisiplinan dalam menjalankan ibadah.

Ibunya, yang duduk di depan, menoleh ke Hafiz, tatapannya penuh kasih sayang, "Hafiz, ikutlah dengan Abati. Ummah sudah sholat tadi di rumah."

Hafiz mengangguk, merasakan ketenangan dari ibunya yang lembut, dan perlahan-lahan keluar dari mobil. Dia mengangkat pandangannya ke masjid yang megah, dengan dinding putih bersih dan ornamen emas yang berkilau di bawah cahaya matahari pagi. Aroma harum dari dupa dan wangi kayu cendana memenuhi udara, menyambut kedatangannya.

Dengan langkah yang sedikit lambat namun pasti, Hafiz mengikuti jejak ayahnya, memasuki masjid yang begitu besar dan damai. Suasana tenang di dalam masjid, dengan karpet merah yang lembut di bawah kaki dan lampu gantung yang berkilauan, menciptakan lingkungan yang penuh kedamaian dan refleksi. Hafiz merasakan ketenangan dalam setiap langkahnya menuju tempat sholat, seolah setiap detik di tempat suci ini membawa kedamaian yang mendalam.

Setelah sholat, Hafiz dan ayahnya melangkah turun dari masjid, kaki mereka menginjak tanah dengan tenang. Sepatu mereka tergeletak di rak sepatu masjid, dan Hafiz segera memasang sepatunya dengan cepat, sebelum kembali melemparkan pertanyaan ke arah ayahnya yang sedang berdiri di sampingnya.

"Abati, apa masih jauh tempatnya?" tanya Hafiz, matanya menatap penuh rasa ingin tahu.

Ayahnya menoleh, dan sebuah senyuman lembut menghiasi wajahnya. "Kenapa? Kamu sudah tidak sabar ingin tahu ke mana kita akan pergi?" ujarnya, sambil memeluk bahu Hafiz. Sekilas, tampak jelas bahwa tinggi Hafiz hampir menyamai ayahnya, menandakan pertumbuhan pesatnya.

Hafiz hanya terdiam, tidak memberikan jawaban. Hatinya tidak begitu peduli tentang tujuan perjalanan ini, ia lebih memilih berada di kamar sendiri, terbenam dalam dunia laptop dan ponselnya, daripada berkeliling ke tempat yang tidak ia kenal.

Keluarga kecil itu melanjutkan perjalanan mereka. Setelah sekitar 30 menit berkendara, mereka tiba di sebuah tempat yang dikelilingi oleh pemandangan yang tenang. Di depan, sebuah gapura besar menjulang tinggi, dengan sebuah banner yang menggantung di atasnya. Tulisan di banner itu tampak menyejukkan, dengan kaligrafi yang indah.

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ

Selamat Datang di Pondok Pesantren Nurul Hikmah

Alis Hafiz terangkat saat matanya menangkap tulisan di banner itu. Meskipun ada rasa heran di dalam dirinya, ia tetap diam, tidak menunjukkan banyak ekspresi. Mobil mereka berhenti dengan lembut di area parkir, dan beberapa orang sudah menunggu di sana untuk menyambut kedatangan mereka.

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh," sapa seorang laki-laki dan perempuan yang tampaknya seusia dengan ayah dan ibu Hafiz. Mereka menyapa dengan salam hangat ketika Hafiz dan kedua orang tuanya keluar dari mobil.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab ayah, ibu, dan Hafiz serempak, suara mereka penuh kehangatan.

Ibu Hafiz segera menghampiri perempuan itu. Mereka saling berpelukan erat, seperti sahabat yang telah lama terpisah. Di sisi lain, ayah Hafiz bersalaman dengan laki-laki itu, berbincang dengan santai mengenai kabar terbaru. Sementara itu, Hafiz hanya berdiri di samping mobil, memperhatikan kedua orang tuanya yang tampak begitu akrab dengan dua orang asing, menurut pandangannya.

"Eh, anak ganteng ini siapa?" tanya perempuan itu, suaranya ceria dan penuh kehangatan, membuat semua orang menoleh ke arah Hafiz.

"Ini putraku, Hafiz. Sudah besar, kan?" jawab ibunya, sambil menghampiri Hafiz dan memeluk bahunya dengan penuh kasih sayang.

"Ealah, beneran sudah besar ternyata. Terakhir kali ketemu, dia masih umur 5 tahun," ucap perempuan itu, matanya berbinar penuh kekaguman.

Semua orang tertawa lembut, kecuali Hafiz yang hanya berdiri diam, merasa malu dan bingung harus mengatakan apa.

"Hafiz, ini adalah teman ummah, Bu Nyai Fatima," kata ibu Hafiz, memperkenalkan perempuan itu dengan penuh rasa hormat.

"Tapi di sini, kamu harus memanggilnya Bu Nyai Fatima, karena beliau yang memiliki pondok ini," tambahnya.

Hafiz tersenyum sopan, mengangguk dengan takzim, dan kemudian menyalami Bu Nyai Fatima.

"Dan ini, Pak Yai Hasan, suaminya," lanjut ayah Hafiz.

Hafiz pun tersenyum ke arah laki-laki itu dan menyalami tangannya dengan penuh rasa hormat.

"Pundaknya lebar sekali, seolah menandakan banyak tanggung jawab yang akan dipikulnya di masa depan," kata Pak Yai Hasan tiba-tiba, tangannya memegang pundak Hafiz dengan lembut.

Hafiz terkejut, bingung dengan kalimat tersebut. Pandangannya bertemu dengan tatapan Pak Yai Hasan yang penuh makna.

Istri Pak Yai Hasan melotot ke arah suaminya, sementara Pak Yai Hasan hanya tersenyum lebar. "Bercanda," ujarnya dengan nada ramah, mencoba meredakan suasana.

Hafiz tersenyum tipis, diikuti oleh tawa hangat dari semua orang di sekelilingnya.

Namun, di balik candaan itu, ada sebuah isyarat yang mendalam. Ucapan Pak Yai Hasan bukan sekadar lelucon, ia menyiratkan sebuah kebenaran yang akan terwujud di masa depan. Hafiz, dengan pundaknya yang kokoh dan penuh potensi, akan memikul tanggung jawab yang berat di suatu tempat, dimana dia berdiri saat ini, di Pondok Pesantren Nurul Hikmah.

Dia, Arnav Hafizam Rahandika, akan membawa pengaruh besar yang akan membentuk masa depan pesantren ini.

Setelah percakapan hangat di parkiran, Bu Nyai Fatima dan Pak Yai Hasan mengundang keluarga Hafiz untuk melanjutkan obrolan di dalam pesantren. Mereka melangkah bersama menuju area yang telah ditunjukkan oleh pasangan pemilik pesantren tersebut. Di sepanjang jalan, Hafiz dan keluarganya menyaksikan keindahan pesantren: sebuah pondok megah dengan fasad hijau yang segar, dikelilingi taman yang terawat dengan rapi dan penuh dengan bunga warna-warni.

Orang tua Hafiz terlibat dalam perbincangan akrab, suara mereka penuh kegembiraan saat mereka berjalan. Hafiz, yang merasa lebih nyaman menjelajahi lingkungan baru, memilih untuk tetap di belakang mereka. Tiba-tiba, ia mendekati ibunya dengan raut wajah penuh harap.

"Ummah, bolehkah Hafiz keliling sebentar?" tanyanya lembut, suaranya penuh rasa ingin tahu.

Langkah mereka terhenti sejenak. Ibunya menoleh ke arah ayahnya dengan ekspresi berpikir, namun sebelum keputusan dibuat, Bu Nyai Fatima mendekat dengan senyum hangat yang menyinari wajahnya.

"Tentu saja, Hafiz. Silakan keliling jika kamu mau, atau jika perlu, kami bisa menemanimu," tawar Bu Nyai Fatima dengan nada penuh kehangatan.

Hafiz tersenyum kikuk, rasa malunya jelas terlihat. "Tidak perlu repot-repot, Bu Nyai. Hafiz sendiri aja," jawabnya pelan, matanya menunjukkan rasa terima kasih.

Semua orang tersenyum memahami, dan ibunya mengulurkan tangannya untuk memegang pundak Hafiz dengan lembut.

"Baiklah, jangan terlalu lama, ya? Ummah akan menunggumu di sana," ujar ibunya sambil menunjuk ke sebuah rumah sederhana yang terletak tidak jauh dari masjid besar, rumah itu terlihat nyaman dan bersahaja.

Hafiz mengangguk penuh pengertian. Ia kemudian berpamitan dengan menyalami semua orang, senyumnya mencerminkan rasa syukur dan kegembiraan saat ia berjalan menjauh dengan langkah ringan, menuju arah yang berlawanan. Keindahan pesantren menyambutnya, memberikan kesempatan untuk menjelajahi setiap sudut dengan rasa ingin tahu yang mendalam.

Dengan tangan menyelip di saku celananya, Hafiz melangkah santai, matanya menyusuri keindahan pesantren yang membentang di depannya. Ia kini berada di area bertanda ‘Kawasan Santriwan’, di mana sebuah tanda sederhana terpasang di gerbang yang menunjukkan batas area ini.

Meski Hafiz belum pernah belajar di pondok pesantren sebelumnya, nilai-nilai Islam telah mendarah daging dalam dirinya berkat ajaran kedua orang tuanya. Istilah *Santriwan* tidaklah asing baginya, dan kini ia mengamati kawasan ini dengan rasa penasaran.

Sebuah bangunan bertingkat dengan cat hijau cerah memantulkan sinar matahari, dan di sekelilingnya, aktivitas para santriwan tampak hidup. Meskipun hari Minggu, suasana terasa penuh semangat. Beberapa santriwan sibuk membersihkan kamar mereka, ada yang mencuci pakaian dengan teliti, sementara yang lainnya bermain bersama, penuh keceriaan. Beberapa dari mereka menerima kunjungan dari orang tua mereka, bercanda tawa dan meluapkan kerinduan setelah seminggu terpisah oleh jarak.

Hafiz tersenyum simpul melihat pemandangan ini. Meski lingkungan ini terasa asing baginya, ada ketenangan yang melingkupi hatinya, seolah ia mulai merasa terhubung dengan tempat ini.

Setelah merasa puas menjelajahi kawasan santriwan, Hafiz memutuskan untuk kembali. Ia berhati-hati agar tidak melangkah ke area santriwati yang tidak diperbolehkan. Baru saja ia hendak berbalik, tiba-tiba seorang anak laki-laki menabraknya secara tidak sengaja. Tampak jelas bahwa anak laki-laki tersebut terburu-buru, tidak memperhatikan kehadiran Hafiz.

"Astaghfirullah! A-afwan, s-sorry, gak sengaja," ujar anak laki-laki itu dengan cemas, mengenakan baju koko, sarung, dan peci yang menandakan bahwa ia adalah santri di sini.

"Udah afwan, kok pake sorry segala," celetuk salah satu temannya, terlihat ada dua anak laki-laki lainnya bersama yang menabrak Hafiz.

Hafiz hanya terdiam, tidak membalas apa pun. Ketiga anak laki-laki itu saling bertukar pandang, bingung dengan sikap Hafiz yang tidak merespon.

"E-eh, santri baru ya? Kayaknya belum pernah lihat deh," tanya salah satu temannya lagi, memperhatikan Hafiz dengan rasa ingin tahu.

Hafiz mengangkat salah satu alisnya dan melanjutkan langkahnya menuju dalam, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Ketiga anak laki-laki itu saling menatap dengan rasa tidak puas.

"Songong banget," celetuk salah satu dari mereka dengan nada kesal.

Hafiz tidak menggubrisnya, meskipun sebenarnya, telinganya dengan jelas mendengar kalimat terakhir dari anak itu. Langkahnya terus maju, menuju tujuan yang telah ia tetapkan.

Hafiz, yang saat ini dianggap sombong oleh ketiga anak laki-laki itu, akan menjadi sahabat yang sangat berarti di masa depan—bukan hanya sebagai teman dekat, tetapi juga sebagai rekan dalam perjuangan mulia menegakkan kebenaran di pesantren yang akan menjadi rumah bagi mereka semua. Kelak.

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status