Home / Fiksi Remaja / NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi / Bab 2. Sambutan di Gerbang Pesantren

Share

Bab 2. Sambutan di Gerbang Pesantren

Author: litrcse
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Mobil berhenti dengan lembut di depan sebuah masjid besar dan megah, menara-menara tinggi menjulang dengan menara-menara masjid yang berkilauan di bawah sinar matahari pagi. Hafiz, yang sebelumnya tenggelam dalam dunianya dengan layar laptop yang bersinar, tertegun sejenak. Dia menoleh, matanya menyapu pemandangan menakjubkan yang tak biasa.

"Kenapa kita berhenti di sini, Abati?" tanyanya, suaranya perlahan, ketika dia menutup laptopnya dan menaruhnya dengan hati-hati dalam tas di sampingnya. Gerakannya menggambarkan kebiasaan dan rutinitas yang sering dia jalani, namun hari ini tampaknya berbeda.

Ayahnya menoleh ke arah Hafiz dengan senyum yang penuh ketenangan, "Abati mau sholat Dhuha dulu. Kamu sudah sholat?"

Hafiz menggelengkan kepala dengan pelan, "Belum, Abati."

"Kalau begitu, ayo," ajak ayahnya dengan nada yang lembut namun tegas, sambil membuka pintu mobil dan keluar terlebih dahulu. Langkahnya penuh keyakinan, mencerminkan kebiasaan dan kedisiplinan dalam menjalankan ibadah.

Ibunya, yang duduk di depan, menoleh ke Hafiz, tatapannya penuh kasih sayang, "Hafiz, ikutlah dengan Abati. Ummah sudah sholat tadi di rumah."

Hafiz mengangguk, merasakan ketenangan dari ibunya yang lembut, dan perlahan-lahan keluar dari mobil. Dia mengangkat pandangannya ke masjid yang megah, dengan dinding putih bersih dan ornamen emas yang berkilau di bawah cahaya matahari pagi. Aroma harum dari dupa dan wangi kayu cendana memenuhi udara, menyambut kedatangannya.

Dengan langkah yang sedikit lambat namun pasti, Hafiz mengikuti jejak ayahnya, memasuki masjid yang begitu besar dan damai. Suasana tenang di dalam masjid, dengan karpet merah yang lembut di bawah kaki dan lampu gantung yang berkilauan, menciptakan lingkungan yang penuh kedamaian dan refleksi. Hafiz merasakan ketenangan dalam setiap langkahnya menuju tempat sholat, seolah setiap detik di tempat suci ini membawa kedamaian yang mendalam.

Setelah sholat, Hafiz dan ayahnya melangkah turun dari masjid, kaki mereka menginjak tanah dengan tenang. Sepatu mereka tergeletak di rak sepatu masjid, dan Hafiz segera memasang sepatunya dengan cepat, sebelum kembali melemparkan pertanyaan ke arah ayahnya yang sedang berdiri di sampingnya.

"Abati, apa masih jauh tempatnya?" tanya Hafiz, matanya menatap penuh rasa ingin tahu.

Ayahnya menoleh, dan sebuah senyuman lembut menghiasi wajahnya. "Kenapa? Kamu sudah tidak sabar ingin tahu ke mana kita akan pergi?" ujarnya, sambil memeluk bahu Hafiz. Sekilas, tampak jelas bahwa tinggi Hafiz hampir menyamai ayahnya, menandakan pertumbuhan pesatnya.

Hafiz hanya terdiam, tidak memberikan jawaban. Hatinya tidak begitu peduli tentang tujuan perjalanan ini, ia lebih memilih berada di kamar sendiri, terbenam dalam dunia laptop dan ponselnya, daripada berkeliling ke tempat yang tidak ia kenal.

Keluarga kecil itu melanjutkan perjalanan mereka. Setelah sekitar 30 menit berkendara, mereka tiba di sebuah tempat yang dikelilingi oleh pemandangan yang tenang. Di depan, sebuah gapura besar menjulang tinggi, dengan sebuah banner yang menggantung di atasnya. Tulisan di banner itu tampak menyejukkan, dengan kaligrafi yang indah.

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ

Selamat Datang di Pondok Pesantren Nurul Hikmah

Alis Hafiz terangkat saat matanya menangkap tulisan di banner itu. Meskipun ada rasa heran di dalam dirinya, ia tetap diam, tidak menunjukkan banyak ekspresi. Mobil mereka berhenti dengan lembut di area parkir, dan beberapa orang sudah menunggu di sana untuk menyambut kedatangan mereka.

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh," sapa seorang laki-laki dan perempuan yang tampaknya seusia dengan ayah dan ibu Hafiz. Mereka menyapa dengan salam hangat ketika Hafiz dan kedua orang tuanya keluar dari mobil.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab ayah, ibu, dan Hafiz serempak, suara mereka penuh kehangatan.

Ibu Hafiz segera menghampiri perempuan itu. Mereka saling berpelukan erat, seperti sahabat yang telah lama terpisah. Di sisi lain, ayah Hafiz bersalaman dengan laki-laki itu, berbincang dengan santai mengenai kabar terbaru. Sementara itu, Hafiz hanya berdiri di samping mobil, memperhatikan kedua orang tuanya yang tampak begitu akrab dengan dua orang asing, menurut pandangannya.

"Eh, anak ganteng ini siapa?" tanya perempuan itu, suaranya ceria dan penuh kehangatan, membuat semua orang menoleh ke arah Hafiz.

"Ini putraku, Hafiz. Sudah besar, kan?" jawab ibunya, sambil menghampiri Hafiz dan memeluk bahunya dengan penuh kasih sayang.

"Ealah, beneran sudah besar ternyata. Terakhir kali ketemu, dia masih umur 5 tahun," ucap perempuan itu, matanya berbinar penuh kekaguman.

Semua orang tertawa lembut, kecuali Hafiz yang hanya berdiri diam, merasa malu dan bingung harus mengatakan apa.

"Hafiz, ini adalah teman ummah, Bu Nyai Fatima," kata ibu Hafiz, memperkenalkan perempuan itu dengan penuh rasa hormat.

"Tapi di sini, kamu harus memanggilnya Bu Nyai Fatima, karena beliau yang memiliki pondok ini," tambahnya.

Hafiz tersenyum sopan, mengangguk dengan takzim, dan kemudian menyalami Bu Nyai Fatima.

"Dan ini, Pak Yai Hasan, suaminya," lanjut ayah Hafiz.

Hafiz pun tersenyum ke arah laki-laki itu dan menyalami tangannya dengan penuh rasa hormat.

"Pundaknya lebar sekali, seolah menandakan banyak tanggung jawab yang akan dipikulnya di masa depan," kata Pak Yai Hasan tiba-tiba, tangannya memegang pundak Hafiz dengan lembut.

Hafiz terkejut, bingung dengan kalimat tersebut. Pandangannya bertemu dengan tatapan Pak Yai Hasan yang penuh makna.

Istri Pak Yai Hasan melotot ke arah suaminya, sementara Pak Yai Hasan hanya tersenyum lebar. "Bercanda," ujarnya dengan nada ramah, mencoba meredakan suasana.

Hafiz tersenyum tipis, diikuti oleh tawa hangat dari semua orang di sekelilingnya.

Namun, di balik candaan itu, ada sebuah isyarat yang mendalam. Ucapan Pak Yai Hasan bukan sekadar lelucon, ia menyiratkan sebuah kebenaran yang akan terwujud di masa depan. Hafiz, dengan pundaknya yang kokoh dan penuh potensi, akan memikul tanggung jawab yang berat di suatu tempat, dimana dia berdiri saat ini, di Pondok Pesantren Nurul Hikmah.

Dia, Arnav Hafizam Rahandika, akan membawa pengaruh besar yang akan membentuk masa depan pesantren ini.

Setelah percakapan hangat di parkiran, Bu Nyai Fatima dan Pak Yai Hasan mengundang keluarga Hafiz untuk melanjutkan obrolan di dalam pesantren. Mereka melangkah bersama menuju area yang telah ditunjukkan oleh pasangan pemilik pesantren tersebut. Di sepanjang jalan, Hafiz dan keluarganya menyaksikan keindahan pesantren: sebuah pondok megah dengan fasad hijau yang segar, dikelilingi taman yang terawat dengan rapi dan penuh dengan bunga warna-warni.

Orang tua Hafiz terlibat dalam perbincangan akrab, suara mereka penuh kegembiraan saat mereka berjalan. Hafiz, yang merasa lebih nyaman menjelajahi lingkungan baru, memilih untuk tetap di belakang mereka. Tiba-tiba, ia mendekati ibunya dengan raut wajah penuh harap.

"Ummah, bolehkah Hafiz keliling sebentar?" tanyanya lembut, suaranya penuh rasa ingin tahu.

Langkah mereka terhenti sejenak. Ibunya menoleh ke arah ayahnya dengan ekspresi berpikir, namun sebelum keputusan dibuat, Bu Nyai Fatima mendekat dengan senyum hangat yang menyinari wajahnya.

"Tentu saja, Hafiz. Silakan keliling jika kamu mau, atau jika perlu, kami bisa menemanimu," tawar Bu Nyai Fatima dengan nada penuh kehangatan.

Hafiz tersenyum kikuk, rasa malunya jelas terlihat. "Tidak perlu repot-repot, Bu Nyai. Hafiz sendiri aja," jawabnya pelan, matanya menunjukkan rasa terima kasih.

Semua orang tersenyum memahami, dan ibunya mengulurkan tangannya untuk memegang pundak Hafiz dengan lembut.

"Baiklah, jangan terlalu lama, ya? Ummah akan menunggumu di sana," ujar ibunya sambil menunjuk ke sebuah rumah sederhana yang terletak tidak jauh dari masjid besar, rumah itu terlihat nyaman dan bersahaja.

Hafiz mengangguk penuh pengertian. Ia kemudian berpamitan dengan menyalami semua orang, senyumnya mencerminkan rasa syukur dan kegembiraan saat ia berjalan menjauh dengan langkah ringan, menuju arah yang berlawanan. Keindahan pesantren menyambutnya, memberikan kesempatan untuk menjelajahi setiap sudut dengan rasa ingin tahu yang mendalam.

Dengan tangan menyelip di saku celananya, Hafiz melangkah santai, matanya menyusuri keindahan pesantren yang membentang di depannya. Ia kini berada di area bertanda ‘Kawasan Santriwan’, di mana sebuah tanda sederhana terpasang di gerbang yang menunjukkan batas area ini.

Meski Hafiz belum pernah belajar di pondok pesantren sebelumnya, nilai-nilai Islam telah mendarah daging dalam dirinya berkat ajaran kedua orang tuanya. Istilah *Santriwan* tidaklah asing baginya, dan kini ia mengamati kawasan ini dengan rasa penasaran.

Sebuah bangunan bertingkat dengan cat hijau cerah memantulkan sinar matahari, dan di sekelilingnya, aktivitas para santriwan tampak hidup. Meskipun hari Minggu, suasana terasa penuh semangat. Beberapa santriwan sibuk membersihkan kamar mereka, ada yang mencuci pakaian dengan teliti, sementara yang lainnya bermain bersama, penuh keceriaan. Beberapa dari mereka menerima kunjungan dari orang tua mereka, bercanda tawa dan meluapkan kerinduan setelah seminggu terpisah oleh jarak.

Hafiz tersenyum simpul melihat pemandangan ini. Meski lingkungan ini terasa asing baginya, ada ketenangan yang melingkupi hatinya, seolah ia mulai merasa terhubung dengan tempat ini.

Setelah merasa puas menjelajahi kawasan santriwan, Hafiz memutuskan untuk kembali. Ia berhati-hati agar tidak melangkah ke area santriwati yang tidak diperbolehkan. Baru saja ia hendak berbalik, tiba-tiba seorang anak laki-laki menabraknya secara tidak sengaja. Tampak jelas bahwa anak laki-laki tersebut terburu-buru, tidak memperhatikan kehadiran Hafiz.

"Astaghfirullah! A-afwan, s-sorry, gak sengaja," ujar anak laki-laki itu dengan cemas, mengenakan baju koko, sarung, dan peci yang menandakan bahwa ia adalah santri di sini.

"Udah afwan, kok pake sorry segala," celetuk salah satu temannya, terlihat ada dua anak laki-laki lainnya bersama yang menabrak Hafiz.

Hafiz hanya terdiam, tidak membalas apa pun. Ketiga anak laki-laki itu saling bertukar pandang, bingung dengan sikap Hafiz yang tidak merespon.

"E-eh, santri baru ya? Kayaknya belum pernah lihat deh," tanya salah satu temannya lagi, memperhatikan Hafiz dengan rasa ingin tahu.

Hafiz mengangkat salah satu alisnya dan melanjutkan langkahnya menuju dalam, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Ketiga anak laki-laki itu saling menatap dengan rasa tidak puas.

"Songong banget," celetuk salah satu dari mereka dengan nada kesal.

Hafiz tidak menggubrisnya, meskipun sebenarnya, telinganya dengan jelas mendengar kalimat terakhir dari anak itu. Langkahnya terus maju, menuju tujuan yang telah ia tetapkan.

Hafiz, yang saat ini dianggap sombong oleh ketiga anak laki-laki itu, akan menjadi sahabat yang sangat berarti di masa depan—bukan hanya sebagai teman dekat, tetapi juga sebagai rekan dalam perjuangan mulia menegakkan kebenaran di pesantren yang akan menjadi rumah bagi mereka semua. Kelak.

BERSAMBUNG

Related chapters

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 3. Jejak Kecurangan

    Malam itu, langit menyebar seperti tirai hitam yang dihiasi oleh kerlip bintang, seolah tangan tak terlihat sedang menyusun langit dengan penuh keleluasaan. Bulan bersinar lembut, menerobos celah-celah jendela kamar Hafiz dengan cahaya dingin yang tenang. Jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam, dan suasana kamar Hafiz dipenuhi oleh ketenangan malam yang menyelimuti.Setelah pertemuan dengan teman ibunya di pesantren, Hafiz pulang lebih awal dengan alasan ujian tengah semester yang akan dihadapinya keesokan hari. Orang tuanya, percaya bahwa Hafiz ingin belajar, mereka pun pulang sebelum dhuhur. Ujian yang sebenarnya akan dihadapi esok hari memang ada, tetapi alasan utama Hafiz pulang lebih awal adalah keinginannya untuk melarikan diri dari pertemuan yang membosankan itu.Di sofa panjang dekat jendela, Hafiz duduk dengan nyaman, laptop di pangkuannya, layar yang sejak siang tadi terus menyala. Dalam cahaya lembut bulan, Hafiz mengerjakan teknik baru meretas sistem CCTV, sebuah

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 4. Ganjaran

    Hafiz masih terpaku, tatapannya terkunci pada layar laptop. Isi file di dalam flashdisk itu membuat dadanya berdegup lebih cepat, campuran antara keterkejutan dan rasa bersalah menghantam dirinya. Tiba-tiba, suara ketukan pintu yang pelan namun tegas membuyarkan fokusnya."Hafiz, anak Ummah udah tidur belum?" Suara lembut ibunya terdengar dari balik pintu, menembus keheningan kamar.Dengan panik, Hafiz melompat dari tempatnya. Sekilas, matanya melirik buku-buku paket yang jarang ia sentuh berada di meja belajarnya. Ia buru-buru mengambilnya dan menyusun beberapa di sofa, berusaha membuat kamarnya terlihat seperti sarang seorang pelajar yang rajin. Buku-buku itu tergeletak asal, tapi cukup untuk memberi kesan. Napasnya ia tarik dalam-dalam, berusaha menenangkan diri.Hafiz membuka pintu, berusaha tersenyum meski gugup. "Belum, Ummah."Pandangan ibunya menyapu ruangan dengan cepat, dan akhirnya berhenti di sofa penuh buku. Matanya lembut, penuh kasih, seolah menyiratkan bahwa ia tahu se

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 5. Menuju Penebusan

    Bel pulang berbunyi, menggema lembut di lorong-lorong sekolah. Ujian tengah semester akhirnya usai. Bagi kebanyakan siswa, ini adalah momen yang ditunggu, saat kebebasan merentang di depan mata. Namun, bagi Hafiz, bel itu bukan tanda kebebasan. Dia hanya bisa menarik napas panjang, menyadari bahwa meskipun sekolah pulang lebih awal, dirinya harus tetap menunggu. Jam dinding kelas menunjukkan pukul dua belas siang. Masih ada empat jam lagi sebelum ayahnya bisa menjemputnya pulang.Hafiz bersandar di kursinya, memejamkan mata sejenak. Kelas yang tadinya ramai kini kosong dan hening. Hanya dirinya yang masih bertahan, dikelilingi meja-meja dan kursi yang terasa dingin dan sepi. Ia mendengus pelan, lalu berdiri, memutuskan untuk mencari ketenangan di musholla. Di sana, setidaknya ia bisa menemukan kedamaian di tengah kesunyian.Langkah-langkahnya menggema di sepanjang koridor, perlahan tapi pasti menuju musholla. Sesampainya di sana, Hafiz melepas sepatu dengan gerakan malas, merasakan lan

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 6. Di Ambang Bahaya

    Hari terakhir ujian selalu membawa suasana yang campur aduk. Hafiz duduk di bangkunya, dengan hoodie yang menutupi kepalanya, seolah-olah ingin menjauhkan diri dari hiruk-pikuk sekelilingnya. Udara di kelas terasa sedikit hangat, angin yang masuk dari jendela menggoyangkan tirai tipis, memberikan rasa tenang di tengah pikiran yang masih berkecamuk. Enam hari ini dia lalui dengan perasaan yang berbeda, bukan hanya karena ujian, tetapi karena keputusan sederhana yang mengubah segalanya. Hafiz berhenti menyontek.Kini, ada perasaan yang sulit dijelaskan ketika dia berhasil menyetorkan hafalan Qur’an kepada ayahnya. Setiap malam, ada kehangatan yang dirasakan Hafiz saat mendengar pujian ayahnya, meski hanya lewat telepon. Namun di sisi lain, tuntutan untuk belajar terasa seperti beban yang tak pernah surut. Materi-materi ujian menumpuk di hadapannya seperti dinding tinggi yang sulit ditembus. Hafiz merasa kesulitan, namun ibu tak tinggal diam. Dengan kasih sayang yang tak pernah ia ungkap

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 7. Dalam Pencarian, Ada Panggilan

    "Baiklah, mari kita lihat apa yang sebenarnya terjadi." batin Hafiz.Setelah beberapa menit, Hafiz akhirnya berhasil masuk ke dalam sistem CCTV. Di layar, berbagai sudut sekolah mulai muncul. Dia memeriksa satu per satu, mencari tanda-tanda bahwa CCTV masih aktif. Semua kamera terlihat berfungsi dengan baik, menunjukkan suasana kelas yang sudah kosong karena para siswa telah pulang setelah ujian terakhir. Tidak ada yang mencurigakan sejauh ini.Namun, Hafiz tidak berhenti di situ. Dia memutuskan untuk mengakses rekaman beberapa jam yang lalu, tepat setelah Darren berbicara di kelas. Jemarinya kembali menari di atas keyboard, kali ini lebih cepat. Gambar demi gambar melintas di layar. Hafiz mempercepat putaran waktu di rekaman, mencari sosok Darren.Dan di situlah dia. Hafiz melihat Darren, berdiri di depan gerbang sekolah bersama seorang pria yang tidak ia kenal. Darren berbicara dengan serius, sementara pria itu mengangguk. Namun sayangnya, tidak ada suara dari rekaman CCTV itu."Mati

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 8. Misi Darren

    Hafiz melangkah keluar dari rumahnya dengan penuh kehati-hatian, seolah setiap derap langkahnya harus sepelan bisikan. Dari balik pintu, ia mengintip ke arah dapur, melihat ibunya yang sedang sibuk mencuci piring. Rasa gugup berdesir di dadanya, namun Hafiz tetap nekat, berharap langkahnya tak tertangkap oleh suara atau pandangan. Setelah meyakinkan dirinya, Hafiz melangkah perlahan, menutup gerbang dengan hati-hati hingga hanya terdengar suara lembut besi yang saling bertemu. Saat gerbang itu tertutup sempurna, ia menarik napas dalam dan mulai berjalan cepat, menyusuri jalan kecil yang sepi menuju bangunan tua di dekat sekolahnya.Bangunan itu tampak terbengkalai, dikelilingi rerumputan liar yang tumbuh tak terurus, sementara temboknya berwarna kelabu dengan bercak-bercak cat yang memudar, seperti bekas luka yang mulai terlupakan. Pintu kayunya yang besar hampir roboh, miring, seakan hanya digantung oleh sisa-sisa engsel yang berkarat. Gedung ini dulunya adalah sekolah tua, penuh sej

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Prolog

    Di Pondok Pesantren Nurul Hikmah, malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Langit yang cerah berbintang seolah mengamati rencana besar yang tersusun di benak Hafiz dan teman-temannya. Hafiz, dengan raut wajah serius, memimpin teman-temannya dalam sebuah misi rahasia untuk mengungkap siapa pelaku bullying di kelas mereka.Dengan langkah hati-hati, Hafiz, Eri, Indra, dan Erzhan bergerak menuju ruang administrasi yang terletak di ujung koridor. Mereka tahu bahwa sistem CCTV dan catatan harian berada di sana—kunci untuk membongkar misteri yang telah menghantui mereka. Hafiz membawa sebuah laptop dan beberapa alat hacking sederhana yang telah disiapkan dengan teliti.Saat mereka tiba di depan pintu ruang administrasi, Hafiz mengangkat tangan, memberi isyarat agar mereka berhenti. Jantung mereka berdetak lebih cepat, merasakan bahaya yang bisa muncul kapan saja."Eri, jaga pintu. Indra, Erzhan, bantu gue dengan laptop ini," bisik Hafiz dengan nada tegas, matanya menyapu sekeliling untuk

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 1. Awal dari Dunia Hafiz

    Di Minggu pagi yang dipenuhi sinar matahari lembut, ketika udara segar mengajak banyak orang untuk bergerak dan beraktivitas, seharusnya hari ini menjadi waktu yang penuh semangat dan produktivitas. Jalan-jalan dipenuhi dengan orang-orang yang berlari, bersepeda, atau sekadar menikmati angin pagi yang sejuk. Di rumah-rumah, aroma masakan pagi menguar dari dapur, menyebar ke setiap sudut, sementara suara tawa dan obrolan ringan mengisi suasana. Minggu ini adalah hari untuk mereset energi, mengisi ulang semangat setelah satu pekan yang padat.Namun, di salah satu sudut kota yang tenang, di dalam sebuah rumah yang senyap, semua kehangatan dan kehidupan pagi itu seolah tidak memiliki pengaruh.Kamar itu terletak di lantai atas, dengan jendela yang setengah tertutup, membiarkan hanya sedikit cahaya masuk dan menari di atas permukaan yang berantakan. Di tengah kekacauan itu, terhampar seorang pemuda di atas sofa yang telah lama menjadi tempat favoritnya. Matanya tertutup rapat, napasnya tera

Latest chapter

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 8. Misi Darren

    Hafiz melangkah keluar dari rumahnya dengan penuh kehati-hatian, seolah setiap derap langkahnya harus sepelan bisikan. Dari balik pintu, ia mengintip ke arah dapur, melihat ibunya yang sedang sibuk mencuci piring. Rasa gugup berdesir di dadanya, namun Hafiz tetap nekat, berharap langkahnya tak tertangkap oleh suara atau pandangan. Setelah meyakinkan dirinya, Hafiz melangkah perlahan, menutup gerbang dengan hati-hati hingga hanya terdengar suara lembut besi yang saling bertemu. Saat gerbang itu tertutup sempurna, ia menarik napas dalam dan mulai berjalan cepat, menyusuri jalan kecil yang sepi menuju bangunan tua di dekat sekolahnya.Bangunan itu tampak terbengkalai, dikelilingi rerumputan liar yang tumbuh tak terurus, sementara temboknya berwarna kelabu dengan bercak-bercak cat yang memudar, seperti bekas luka yang mulai terlupakan. Pintu kayunya yang besar hampir roboh, miring, seakan hanya digantung oleh sisa-sisa engsel yang berkarat. Gedung ini dulunya adalah sekolah tua, penuh sej

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 7. Dalam Pencarian, Ada Panggilan

    "Baiklah, mari kita lihat apa yang sebenarnya terjadi." batin Hafiz.Setelah beberapa menit, Hafiz akhirnya berhasil masuk ke dalam sistem CCTV. Di layar, berbagai sudut sekolah mulai muncul. Dia memeriksa satu per satu, mencari tanda-tanda bahwa CCTV masih aktif. Semua kamera terlihat berfungsi dengan baik, menunjukkan suasana kelas yang sudah kosong karena para siswa telah pulang setelah ujian terakhir. Tidak ada yang mencurigakan sejauh ini.Namun, Hafiz tidak berhenti di situ. Dia memutuskan untuk mengakses rekaman beberapa jam yang lalu, tepat setelah Darren berbicara di kelas. Jemarinya kembali menari di atas keyboard, kali ini lebih cepat. Gambar demi gambar melintas di layar. Hafiz mempercepat putaran waktu di rekaman, mencari sosok Darren.Dan di situlah dia. Hafiz melihat Darren, berdiri di depan gerbang sekolah bersama seorang pria yang tidak ia kenal. Darren berbicara dengan serius, sementara pria itu mengangguk. Namun sayangnya, tidak ada suara dari rekaman CCTV itu."Mati

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 6. Di Ambang Bahaya

    Hari terakhir ujian selalu membawa suasana yang campur aduk. Hafiz duduk di bangkunya, dengan hoodie yang menutupi kepalanya, seolah-olah ingin menjauhkan diri dari hiruk-pikuk sekelilingnya. Udara di kelas terasa sedikit hangat, angin yang masuk dari jendela menggoyangkan tirai tipis, memberikan rasa tenang di tengah pikiran yang masih berkecamuk. Enam hari ini dia lalui dengan perasaan yang berbeda, bukan hanya karena ujian, tetapi karena keputusan sederhana yang mengubah segalanya. Hafiz berhenti menyontek.Kini, ada perasaan yang sulit dijelaskan ketika dia berhasil menyetorkan hafalan Qur’an kepada ayahnya. Setiap malam, ada kehangatan yang dirasakan Hafiz saat mendengar pujian ayahnya, meski hanya lewat telepon. Namun di sisi lain, tuntutan untuk belajar terasa seperti beban yang tak pernah surut. Materi-materi ujian menumpuk di hadapannya seperti dinding tinggi yang sulit ditembus. Hafiz merasa kesulitan, namun ibu tak tinggal diam. Dengan kasih sayang yang tak pernah ia ungkap

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 5. Menuju Penebusan

    Bel pulang berbunyi, menggema lembut di lorong-lorong sekolah. Ujian tengah semester akhirnya usai. Bagi kebanyakan siswa, ini adalah momen yang ditunggu, saat kebebasan merentang di depan mata. Namun, bagi Hafiz, bel itu bukan tanda kebebasan. Dia hanya bisa menarik napas panjang, menyadari bahwa meskipun sekolah pulang lebih awal, dirinya harus tetap menunggu. Jam dinding kelas menunjukkan pukul dua belas siang. Masih ada empat jam lagi sebelum ayahnya bisa menjemputnya pulang.Hafiz bersandar di kursinya, memejamkan mata sejenak. Kelas yang tadinya ramai kini kosong dan hening. Hanya dirinya yang masih bertahan, dikelilingi meja-meja dan kursi yang terasa dingin dan sepi. Ia mendengus pelan, lalu berdiri, memutuskan untuk mencari ketenangan di musholla. Di sana, setidaknya ia bisa menemukan kedamaian di tengah kesunyian.Langkah-langkahnya menggema di sepanjang koridor, perlahan tapi pasti menuju musholla. Sesampainya di sana, Hafiz melepas sepatu dengan gerakan malas, merasakan lan

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 4. Ganjaran

    Hafiz masih terpaku, tatapannya terkunci pada layar laptop. Isi file di dalam flashdisk itu membuat dadanya berdegup lebih cepat, campuran antara keterkejutan dan rasa bersalah menghantam dirinya. Tiba-tiba, suara ketukan pintu yang pelan namun tegas membuyarkan fokusnya."Hafiz, anak Ummah udah tidur belum?" Suara lembut ibunya terdengar dari balik pintu, menembus keheningan kamar.Dengan panik, Hafiz melompat dari tempatnya. Sekilas, matanya melirik buku-buku paket yang jarang ia sentuh berada di meja belajarnya. Ia buru-buru mengambilnya dan menyusun beberapa di sofa, berusaha membuat kamarnya terlihat seperti sarang seorang pelajar yang rajin. Buku-buku itu tergeletak asal, tapi cukup untuk memberi kesan. Napasnya ia tarik dalam-dalam, berusaha menenangkan diri.Hafiz membuka pintu, berusaha tersenyum meski gugup. "Belum, Ummah."Pandangan ibunya menyapu ruangan dengan cepat, dan akhirnya berhenti di sofa penuh buku. Matanya lembut, penuh kasih, seolah menyiratkan bahwa ia tahu se

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 3. Jejak Kecurangan

    Malam itu, langit menyebar seperti tirai hitam yang dihiasi oleh kerlip bintang, seolah tangan tak terlihat sedang menyusun langit dengan penuh keleluasaan. Bulan bersinar lembut, menerobos celah-celah jendela kamar Hafiz dengan cahaya dingin yang tenang. Jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam, dan suasana kamar Hafiz dipenuhi oleh ketenangan malam yang menyelimuti.Setelah pertemuan dengan teman ibunya di pesantren, Hafiz pulang lebih awal dengan alasan ujian tengah semester yang akan dihadapinya keesokan hari. Orang tuanya, percaya bahwa Hafiz ingin belajar, mereka pun pulang sebelum dhuhur. Ujian yang sebenarnya akan dihadapi esok hari memang ada, tetapi alasan utama Hafiz pulang lebih awal adalah keinginannya untuk melarikan diri dari pertemuan yang membosankan itu.Di sofa panjang dekat jendela, Hafiz duduk dengan nyaman, laptop di pangkuannya, layar yang sejak siang tadi terus menyala. Dalam cahaya lembut bulan, Hafiz mengerjakan teknik baru meretas sistem CCTV, sebuah

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 2. Sambutan di Gerbang Pesantren

    Mobil berhenti dengan lembut di depan sebuah masjid besar dan megah, menara-menara tinggi menjulang dengan menara-menara masjid yang berkilauan di bawah sinar matahari pagi. Hafiz, yang sebelumnya tenggelam dalam dunianya dengan layar laptop yang bersinar, tertegun sejenak. Dia menoleh, matanya menyapu pemandangan menakjubkan yang tak biasa. "Kenapa kita berhenti di sini, Abati?" tanyanya, suaranya perlahan, ketika dia menutup laptopnya dan menaruhnya dengan hati-hati dalam tas di sampingnya. Gerakannya menggambarkan kebiasaan dan rutinitas yang sering dia jalani, namun hari ini tampaknya berbeda. Ayahnya menoleh ke arah Hafiz dengan senyum yang penuh ketenangan, "Abati mau sholat Dhuha dulu. Kamu sudah sholat?" Hafiz menggelengkan kepala dengan pelan, "Belum, Abati." "Kalau begitu, ayo," ajak ayahnya dengan nada yang lembut namun tegas, sambil membuka pintu mobil dan keluar terlebih dahulu. Langkahnya penuh keyakinan, mencerminkan kebiasaan dan kedisiplinan dalam menjalankan ibada

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 1. Awal dari Dunia Hafiz

    Di Minggu pagi yang dipenuhi sinar matahari lembut, ketika udara segar mengajak banyak orang untuk bergerak dan beraktivitas, seharusnya hari ini menjadi waktu yang penuh semangat dan produktivitas. Jalan-jalan dipenuhi dengan orang-orang yang berlari, bersepeda, atau sekadar menikmati angin pagi yang sejuk. Di rumah-rumah, aroma masakan pagi menguar dari dapur, menyebar ke setiap sudut, sementara suara tawa dan obrolan ringan mengisi suasana. Minggu ini adalah hari untuk mereset energi, mengisi ulang semangat setelah satu pekan yang padat.Namun, di salah satu sudut kota yang tenang, di dalam sebuah rumah yang senyap, semua kehangatan dan kehidupan pagi itu seolah tidak memiliki pengaruh.Kamar itu terletak di lantai atas, dengan jendela yang setengah tertutup, membiarkan hanya sedikit cahaya masuk dan menari di atas permukaan yang berantakan. Di tengah kekacauan itu, terhampar seorang pemuda di atas sofa yang telah lama menjadi tempat favoritnya. Matanya tertutup rapat, napasnya tera

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Prolog

    Di Pondok Pesantren Nurul Hikmah, malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Langit yang cerah berbintang seolah mengamati rencana besar yang tersusun di benak Hafiz dan teman-temannya. Hafiz, dengan raut wajah serius, memimpin teman-temannya dalam sebuah misi rahasia untuk mengungkap siapa pelaku bullying di kelas mereka.Dengan langkah hati-hati, Hafiz, Eri, Indra, dan Erzhan bergerak menuju ruang administrasi yang terletak di ujung koridor. Mereka tahu bahwa sistem CCTV dan catatan harian berada di sana—kunci untuk membongkar misteri yang telah menghantui mereka. Hafiz membawa sebuah laptop dan beberapa alat hacking sederhana yang telah disiapkan dengan teliti.Saat mereka tiba di depan pintu ruang administrasi, Hafiz mengangkat tangan, memberi isyarat agar mereka berhenti. Jantung mereka berdetak lebih cepat, merasakan bahaya yang bisa muncul kapan saja."Eri, jaga pintu. Indra, Erzhan, bantu gue dengan laptop ini," bisik Hafiz dengan nada tegas, matanya menyapu sekeliling untuk

DMCA.com Protection Status