Share

Bab 1. Awal dari Dunia Hafiz

Author: litrcse
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Di Minggu pagi yang dipenuhi sinar matahari lembut, ketika udara segar mengajak banyak orang untuk bergerak dan beraktivitas, seharusnya hari ini menjadi waktu yang penuh semangat dan produktivitas. Jalan-jalan dipenuhi dengan orang-orang yang berlari, bersepeda, atau sekadar menikmati angin pagi yang sejuk. Di rumah-rumah, aroma masakan pagi menguar dari dapur, menyebar ke setiap sudut, sementara suara tawa dan obrolan ringan mengisi suasana. Minggu ini adalah hari untuk mereset energi, mengisi ulang semangat setelah satu pekan yang padat.

Namun, di salah satu sudut kota yang tenang, di dalam sebuah rumah yang senyap, semua kehangatan dan kehidupan pagi itu seolah tidak memiliki pengaruh.

Kamar itu terletak di lantai atas, dengan jendela yang setengah tertutup, membiarkan hanya sedikit cahaya masuk dan menari di atas permukaan yang berantakan. Di tengah kekacauan itu, terhampar seorang pemuda di atas sofa yang telah lama menjadi tempat favoritnya. Matanya tertutup rapat, napasnya teratur, seolah-olah dunia luar tidak lebih dari sekadar mimpi yang berlalu.

Baginya, Minggu pagi adalah saat untuk menyerah pada panggilan kasur yang empuk dan sofa yang nyaman. Hari libur ini ia dedikasikan bukan untuk beraktivitas seperti orang lain, tetapi untuk tidur sepuasnya.

Arnav Hafizam Rahandika, atau yang dikenal dengan nama Hafiz, pemuda 17 tahun yang memiliki wajah tampan yang tampak sempurna, hasil perpaduan gen terbaik dari kedua orang tuanya. Kulitnya putih bersih, kontras dengan alis tebal dan bulu mata lentik yang menambah kesan teduh pada matanya. Dan, ketika ia tertawa, lesung pipit di pipi kirinya terlihat jelas, menghiasi senyumnya yang khas dengan gigi gingsul yang mempesona.

Namun, wajah yang memancarkan pesona alami sering tidak sejalan dengan penampilannya yang cenderung acak-acakan. Rambut yang nyaris selalu berantakan dan pakaian yang dipilih tanpa banyak berpikir membuat para gadis di sekitarnya ragu untuk mendekat. Meski begitu, tak sedikit yang rela mengantri, berharap bisa menjadi kekasih pemuda ini.

Nama Hafiz, yang memiliki makna mendalam dan Islami, adalah simbol dari harapan dan impian besar yang diletakkan oleh kedua orang tuanya. Namun, pagi ini, harapan-harapan itu tampak jauh dari jangkauan.

Dalam kesunyian pagi yang cerah, Hafiz memilih untuk bersembunyi dari dunia. Sofa kesayangannya, tempat yang telah menjadi saksi bisu dari banyak pagi penuh lelap, menyambutnya dengan pelukan hangat.

Kamar Hafiz, tempat yang seharusnya menjadi cerminan dirinya, kini menjadi pemandangan yang memprihatinkan. Sepagi ini, ruangan itu sudah dipenuhi dengan barang-barang yang tersebar sembarangan. Di lantai, tergeletak ponsel yang mungkin malam tadi terjatuh tanpa sengaja saat tangannya yang lelah menyenggolnya. Layar laptop yang masih menyala memancarkan cahaya redup, menggambarkan malam panjang yang dihabiskan tanpa akhir. Seragam sekolah yang terakhir kali dipakai pada hari Sabtu tergeletak kusut di sudut, bercampur dengan tas yang masih teronggok di atas kasur, seakan baru saja dilempar dengan asal tanpa berpikir dua kali. Kamar yang seharusnya menjadi tempat istirahat yang nyaman kini terlihat seperti medan perang kecil, tanpa kehadiran orang tuanya yang biasanya langsung mengatasi kekacauan ini.

Hafiz merasa bebas pagi ini, tanpa perlu khawatir akan teguran keras atau perintah tegas dari ibunya yang selalu menuntut kerapian. Orang tuanya yang terkenal dengan sikap disiplin sedang berada di luar kota untuk menghadiri acara pengajian, meninggalkan Hafiz sendirian di rumah. Hari ini, tidak ada yang akan mengganggu tidurnya, tidak ada suara ibunya yang mengomel, memaksanya untuk membereskan kamar yang berantakan. Hafiz tahu, jika ibunya ada di rumah, ia pasti sudah ditarik dari sofa untuk merapikan semuanya.

Meski pada kenyataannya, kamar itu akan kembali berantakan keesokan harinya.

Hafiz menikmati kebebasannya pagi ini, meresapi ketenangan yang hanya bisa dirasakan ketika rumah benar-benar sepi.

Hari Minggu bagi sebagian orang adalah waktu untuk produktivitas, tetapi bagi Hafiz adalah saat untuk merengkuh ketenangan dalam balutan selimut yang nyaman, membiarkan dunia luar berjalan tanpa dirinya.

Jam dinding di kamar menunjukkan pukul delapan pagi, tapi Hafiz masih terlelap di atas sofa empuknya, berselimutkan udara sejuk yang menyelinap melalui jendela yang sedikit terbuka. Suara klakson mobil tiba-tiba memecah ketenangan pagi itu, nyaring dan mendesak. Hafiz terperanjat bangun dengan mata masih setengah terbuka. Dadanya berdebar saat ia melirik keluar jendela, melihat mobil abu-abu milik orang tuanya sudah terparkir di halaman.

"Astaghfirullah! Kenapa Ummah sama Abati udah sampai?" batinnya panik, suara hatinya terdengar jelas dalam benaknya.

Tanpa pikir panjang, Hafiz bangkit dari sofa. Tangannya sibuk merapikan barang-barang yang berserakan di lantai—mulai dari laptop yang terbuka hingga kaus kaki yang tergeletak di sana-sini. Seragam sekolah cokelat miliknya, yang dikenakan pada hari Sabtu kemarin, masih tergeletak di atas karpet. Hafiz bergegas menggulungnya dengan terburu-buru, menjejalkannya ke dalam keranjang pakaian kotor.

Belum sempat menarik napas lega, terdengar ketukan lembut di pintu kamarnya.

"Assalamu’alaikum, anak Ummah di mana ya?" Suara teduh itu terdengar dari balik pintu.

Pintu kamarnya terbuka perlahan, dan di ambang pintu berdiri seorang wanita dengan wajah tenang dan mata penuh kasih sayang. Inara Salma Hafizah, ibunya, memiliki wajah lembut yang serupa dengan Hafiz, hanya saja dalam versi perempuan. Setiap garis halus di wajahnya memancarkan kesabaran, sementara matanya yang jernih memperhatikan sekeliling kamar dengan teliti.

"Hafiz?" panggilnya lembut. Matanya menyisir ruangan, lalu mendarat pada sosok putranya yang baru saja keluar dari kamar mandi, wajahnya masih basah.

"Wa’alaikumussalam, Ummah!" jawab Hafiz dengan suara yang dibuat-buat riang, meskipun dalam hatinya ada ketakutan yang menggelitik.

Ibunya menatapnya dengan mata yang menyipit, memperhatikan putra tunggalnya dengan penuh selidik. Hafiz merasa seluruh tubuhnya menegang di bawah tatapan itu.

"E-eh, Ummah, Hafiz baru mau mandi," ujarnya gugup, sambil menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.

Tanpa banyak bicara, ibunya melangkah maju, lalu dengan gerakan cepat namun lembut, menjewer telinga Hafiz. Hafiz meringis, mencoba melawan rasa sakit sambil tertawa kaku.

"Ummah kan sudah bilang, hari libur jangan dihabiskan buat tidur terus," tegurnya tegas, meskipun suaranya tetap tenang.

"I-iya, Ummah, Hafiz salah... lepasin dong, sakit, Ummah," Hafiz merengek sambil memegangi telinganya yang panas. Setelah beberapa saat, ibunya melepaskan jewerannya. Matanya kembali menyapu kamar yang setengah bersih.

Seragam cokelat Hafiz yang sebelumnya tergeletak di lantai kini mencuri perhatian ibunya. Meski Hafiz sudah berusaha menyembunyikannya, ternyata masih ada bagian yang tersisa. Begitu Hafiz melihat arah pandangan ibunya, ia segera mengambil seragam itu, lalu tersenyum kecut.

"Ini mau Hafiz cuci, Ummah," katanya tergagap, sambil menggenggam seragam di tangannya seperti tersangka yang tertangkap basah.

Ibunya hanya menggelengkan kepala pelan. Sorot matanya tidak marah, tapi ada kekecewaan halus yang terlukis di sana. Hafiz tahu, di balik kelembutan ibunya, ada ketegasan yang membuatnya tak pernah berani benar-benar melawan.

Suara berat dari belakangnya tiba-tiba terdengar. Sosok tinggi dan kekar muncul di pintu kamar, dengan lengan berotot yang terlihat kokoh di balik baju koko berwarna putih. Revan Rahandika, ayah Hafiz, menatap putranya dengan senyum yang tak sepenuhnya menyembunyikan rasa prihatin.

"Ada apa ini? Hafiz masih malas, ya, Sayang?" tanyanya sambil menoleh pada istrinya.

Ibu Hafiz hanya menghela napas panjang, mengangguk kecil.

“Hafiz,” suara ayahnya menjadi lebih serius, tapi tetap lembut, “kamu itu sudah besar, Nak. Sudah tujuh belas tahun. Sampai kapan mau bikin Ummah marah-marah terus sama kamu?”

Hafiz merasa tenggorokannya mengering. Dia menatap ibunya, yang hanya diam, menunggu respons darinya.

"Iya, Abati. Hafiz masih berusaha, kok," jawabnya pelan, meski dirinya pun tahu jawaban itu terdengar hampa.

"Kamu selalu bilang begitu, tapi mana buktinya?" Ayah Hafiz mengangkat alisnya, suaranya sedikit bergetar dengan ketegasan.

Hafiz menunduk, menghindari tatapan ayahnya yang begitu menelusuk. Ia tahu, ini bukan pertama kali ia memberi jawaban yang sama, namun usaha yang dimaksudkan seolah tidak pernah benar-benar diwujudkan.

Ayahnya menghela napas panjang. "Sudahlah. Ayo, kamu cepat mandi, setelah itu ikut Abati."

"Ke mana, Abati?" tanya Hafiz bingung.

"Tidak usah banyak tanya. Cepat mandi!" tegas ayahnya sambil berbalik menuju ruang tamu.

Setelah itu, ibunya mendekati Hafiz, mengelus rambutnya yang masih basah. Sentuhan itu terasa menenangkan.

"Ummah dan Abati mau mengajak kamu ke suatu tempat, Nak. Setelah siap, turun ya. Kita sarapan dulu," ucapnya lembut, lalu meninggalkan kamar.

Hafiz hanya terdiam sesaat, menatap punggung ibunya yang perlahan menghilang di balik pintu. Dia tahu, ini bukan sekadar ajakan biasa. Dengan langkah berat, Hafiz pun masuk kembali ke kamar mandi, membiarkan air dingin mengalir di atas kepalanya, berusaha menyegarkan pikiran yang entah mengapa terasa begitu berat hari ini.

--

Setelah Hafiz selesai mempersiapkan diri, dia melangkah menuruni tangga dengan langkah santai, tetapi langkahnya terhenti saat menyadari tatapan tajam dari ayahnya yang sudah menunggu di bawah. Tatapan itu begitu menusuk, seperti sedang menilai dari ujung rambut hingga kaki, membuat Hafiz merasa sedikit canggung.

"E-eh, Abati, kenapa?" tanya Hafiz dengan gugup, kakinya masih berpijak di anak tangga terakhir, sementara kedua orang tuanya sudah duduk di meja makan. Ia bisa merasakan intensitas dari tatapan ayahnya yang tak biasa.

Ayahnya menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan campuran antara kelelahan dan sedikit frustrasi. "Ganti baju yang lebih rapi, Hafiz, kita bukan mau ke tempat liburan," ucap ayahnya dengan nada yang tegas namun lembut, menandakan bahwa ini bukan pertama kalinya percakapan semacam ini terjadi.

Ibunya, yang tengah sibuk mempersiapkan piring-piring di atas meja, menoleh dan tersenyum tipis saat melihat pakaian anaknya. Mata keibuannya memandang dengan pengertian, seolah tahu betul mengapa Hafiz memilih pakaian itu, namun juga mengerti kenapa suaminya merasa tak puas.

"Pakai baju koko, Nak, yang waktu itu beli sama Ummah," ucap ibunya dengan nada lembut, mencoba menenangkan suasana dan memberikan arahan dengan cara yang lebih halus. Senyum di wajahnya memberikan sentuhan kehangatan di tengah percakapan yang agak serius.

Hafiz terdiam sejenak, matanya melirik ke bawah, menatap kaos hitam dan hoodie hitam yang dikenakannya. Baju favoritnya yang selalu membuatnya merasa nyaman, meski tak pernah bisa membuat kedua orang tuanya benar-benar senang. Bibirnya melengkung tipis, sedikit bingung mengapa penampilannya selalu menjadi sorotan. Namun, tanpa membantah, ia segera berbalik dan naik kembali ke kamarnya, langkahnya lebih berat dari sebelumnya.

"Ada saja tingkah anak itu," gumam ayahnya, sambil kembali menghela napas panjang, seperti sedang memikul beban yang tak terlihat.

"Namanya juga remaja zaman sekarang, Sayang. Biasalah," jawab istrinya, sambil melanjutkan kegiatannya dengan senyum lembut, seolah berusaha menenangkan kekhawatiran suaminya. Ada kebijaksanaan dalam nada bicaranya, menunjukkan bahwa dia telah menerima dan memahami masa-masa sulit membesarkan seorang remaja.

Beberapa menit kemudian, Hafiz kembali turun, kali ini dengan penampilan yang lebih rapi sesuai permintaan orang tuanya. Baju koko lengan panjang berwarna marun yang dipadukan dengan celana panjang hitam membuatnya terlihat lebih dewasa, meski ada sedikit ketidaknyamanan dalam cara dia menatap dirinya sendiri di cermin sebelumnya. Sepasang sepatu abu-abu keputihan menyelesaikan penampilannya, menambah kesan formal namun tetap kasual.

Di meja makan, ibunya sudah menyiapkan sarapan dengan rapi—nasi goreng dengan telur mata sapi yang sempurna. Aroma makanan itu sebenarnya sangat menggoda, tapi Hafiz merasakan ada sesuatu yang lain yang mengganjal di hatinya.

"Silakan duduk, Nak," kata ibunya sambil tersenyum lembut, mencoba mencairkan suasana.

Hafiz menurut, duduk di kursi yang biasa ia tempati. Suasana canggung ini jarang sekali terjadi, membuatnya semakin penasaran apa sebenarnya yang sedang terjadi.

Setelah beberapa saat, ayahnya yang pertama kali memecah keheningan. "Hafiz, Abati dan Ummah sudah banyak berpikir belakangan ini. Kita tahu kamu sudah berusaha, tapi kami ingin kamu lebih serius lagi dengan hidupmu."

Hafiz menelan ludah, menatap ayahnya dengan rasa bersalah yang mendalam. "Maksud Abati apa?"

Ayahnya menghela napas. "Kamu harus lebih disiplin, Hafiz. Ummah dan Abati melihat kamu sering lalai, dan itu bukan hanya tentang kebersihan kamar atau tanggung jawab di rumah. Ini tentang masa depanmu, Nak. Kita khawatir kalau kamu tidak segera berubah, nanti akan sulit untuk mengejar apa yang kamu inginkan."

Hafiz diam, meresapi setiap kata yang diucapkan ayahnya. Ia tahu, ini bukan teguran biasa. Ini adalah sebuah peringatan, sebuah panggilan untuk bangkit.

Ibunya menambahkan dengan suara lembut, "Itu semua demi kebaikan Hafiz. Ummah dan Abati ingin Hafiz bisa mengatur waktu dengan baik, belajar lebih giat, dan mulai berpikir tentang apa yang Hafiz ingin capai di masa depan."

Hafiz merasa matanya mulai memanas. Ia tahu, kedua orang tuanya hanya ingin yang terbaik untuknya, tapi tekanan ini terasa begitu berat. Ia tidak ingin mengecewakan mereka, tapi ia juga merasa belum siap untuk menjalani semua yang diharapkan.

"Abati, Ummah, Hafiz akan coba lebih baik lagi," katanya akhirnya dengan suara serak. "Hafiz tahu, ini bukan sesuatu yang mudah, tapi Hafiz akan berusaha."

Ayahnya menatapnya dalam-dalam, lalu mengangguk pelan. "Itu yang ingin Abati dengar, Nak. Kita tidak meminta kamu untuk sempurna, tapi kita ingin melihat kamu berusaha sungguh-sungguh."

Ibunya tersenyum, lalu menggenggam tangan Hafiz di atas meja. "Kami selalu ada untukmu, Nak. Ingat itu. Apapun yang terjadi, kami akan mendukungmu."

Hafiz merasakan kehangatan menyelimuti hatinya. Dalam diam, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi menganggap enteng nasihat dan perhatian dari kedua orang tuanya. Meskipun perjalanan ini tidak mudah, Hafiz tahu ia harus memulainya dari sekarang.

Keluarga kecil itu akhirnya siap berangkat. Setelah sarapan bersama dalam keheningan yang nyaman, mereka keluar dari rumah dan menuju mobil. Ayah Hafiz mengambil tempat di belakang kemudi, menghidupkan mesin, dan mobil melaju dengan tenang di bawah langit pagi yang cerah.

"Ummah, memangnya kita mau ke mana?" tanya Hafiz dari kursi belakang, suaranya terdengar tenang, namun sedikit mengandung rasa penasaran. Dia bersandar malas di jok mobil, sementara tatapannya melirik ke arah ibunya yang duduk di depan, di samping ayahnya yang sedang mengemudi.

Ibunya menoleh, senyum lembut menghiasi wajahnya yang tenang. "Kita mau ke tempat tinggal teman Ummah, sayang," jawabnya, nadanya penuh kehangatan, namun ada sesuatu yang samar dalam caranya berbicara, seolah ada lebih banyak hal di balik kalimat sederhana itu.

Hafiz hanya mengangguk pelan tanpa banyak bicara lagi. Ia terdiam, mencerna jawaban itu sebentar sebelum akhirnya tangannya bergerak ke tas punggung yang tergeletak di sebelahnya. Dengan gerakan yang sudah begitu terbiasa, dia mengeluarkan laptop hitam —barang yang selalu menemani, selain ponselnya yang juga tak pernah lepas dari genggamannya. Laptop ini bukan sekadar alat, tapi pelarian, dunianya sendiri di tengah rutinitas yang kadang membosankan.

Sesaat kemudian, suara dentingan keyboard mulai memenuhi ruang mobil yang tenang. Cahaya lembut dari layar laptopnya memancar, menciptakan bayangan biru di wajah Hafiz yang kini serius. Matanya yang selalu terlihat malas, kini memancarkan fokus penuh, seolah sedang menelusuri dunia lain di balik layar itu. Game Hacknet kembali menariknya masuk, membawa pikirannya jauh dari dunia nyata. Setiap deretan kode yang muncul di layar seperti teka-teki yang menantang, dan Hafiz tenggelam dalam ritme permainan.

Mobil sesekali berguncang ketika melewati jalanan yang tak rata, tapi Hafiz hampir tak merasakan itu. Fokusnya tak tergoyahkan. Jarinya menari di atas keyboard, mengetik perintah demi perintah dengan kecepatan yang membuat waktu terasa melambat di sekitarnya. Dunia luar memudar; yang ada hanya layar di depannya dan suara samar ketukan keyboard.

Di depan, kedua orang tuanya larut dalam obrolan panjang. Suara ayahnya terdengar bergema, bercampur dengan tawa lembut ibunya, membicarakan hal-hal yang sepertinya biasa—rencana, kenangan, atau mungkin sesuatu yang lebih dalam. Namun, bagi Hafiz, obrolan mereka hanyalah suara latar yang nyaris tak terjamah pikirannya. Dia benar-benar tenggelam dalam dunianya sendiri, dalam misi-misi virtual yang terasa jauh lebih mendesak daripada kenyataan yang ada di sekitarnya.

Tanpa disadarinya, percakapan kedua orang tuanya sedang berputar di sekitar sebuah topik yang perlahan menggantung di udara, membawa pertanda akan adanya perubahan besar dalam hidup Hafiz—sebuah perubahan yang segera akan menyentuh dunianya yang saat ini tampak begitu tenang dan tak tersentuh. Tapi saat itu, Hafiz tetap tak menyadari apapun. Dia masih tenggelam dalam realitas digitalnya, tak tahu bahwa dunianya yang sebenarnya, di kursi depan, perlahan sedang disusun ulang.

BERSAMBUNG

Related chapters

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 2. Sambutan di Gerbang Pesantren

    Mobil berhenti dengan lembut di depan sebuah masjid besar dan megah, menara-menara tinggi menjulang dengan menara-menara masjid yang berkilauan di bawah sinar matahari pagi. Hafiz, yang sebelumnya tenggelam dalam dunianya dengan layar laptop yang bersinar, tertegun sejenak. Dia menoleh, matanya menyapu pemandangan menakjubkan yang tak biasa. "Kenapa kita berhenti di sini, Abati?" tanyanya, suaranya perlahan, ketika dia menutup laptopnya dan menaruhnya dengan hati-hati dalam tas di sampingnya. Gerakannya menggambarkan kebiasaan dan rutinitas yang sering dia jalani, namun hari ini tampaknya berbeda. Ayahnya menoleh ke arah Hafiz dengan senyum yang penuh ketenangan, "Abati mau sholat Dhuha dulu. Kamu sudah sholat?" Hafiz menggelengkan kepala dengan pelan, "Belum, Abati." "Kalau begitu, ayo," ajak ayahnya dengan nada yang lembut namun tegas, sambil membuka pintu mobil dan keluar terlebih dahulu. Langkahnya penuh keyakinan, mencerminkan kebiasaan dan kedisiplinan dalam menjalankan ibada

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 3. Jejak Kecurangan

    Malam itu, langit menyebar seperti tirai hitam yang dihiasi oleh kerlip bintang, seolah tangan tak terlihat sedang menyusun langit dengan penuh keleluasaan. Bulan bersinar lembut, menerobos celah-celah jendela kamar Hafiz dengan cahaya dingin yang tenang. Jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam, dan suasana kamar Hafiz dipenuhi oleh ketenangan malam yang menyelimuti.Setelah pertemuan dengan teman ibunya di pesantren, Hafiz pulang lebih awal dengan alasan ujian tengah semester yang akan dihadapinya keesokan hari. Orang tuanya, percaya bahwa Hafiz ingin belajar, mereka pun pulang sebelum dhuhur. Ujian yang sebenarnya akan dihadapi esok hari memang ada, tetapi alasan utama Hafiz pulang lebih awal adalah keinginannya untuk melarikan diri dari pertemuan yang membosankan itu.Di sofa panjang dekat jendela, Hafiz duduk dengan nyaman, laptop di pangkuannya, layar yang sejak siang tadi terus menyala. Dalam cahaya lembut bulan, Hafiz mengerjakan teknik baru meretas sistem CCTV, sebuah

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 4. Ganjaran

    Hafiz masih terpaku, tatapannya terkunci pada layar laptop. Isi file di dalam flashdisk itu membuat dadanya berdegup lebih cepat, campuran antara keterkejutan dan rasa bersalah menghantam dirinya. Tiba-tiba, suara ketukan pintu yang pelan namun tegas membuyarkan fokusnya."Hafiz, anak Ummah udah tidur belum?" Suara lembut ibunya terdengar dari balik pintu, menembus keheningan kamar.Dengan panik, Hafiz melompat dari tempatnya. Sekilas, matanya melirik buku-buku paket yang jarang ia sentuh berada di meja belajarnya. Ia buru-buru mengambilnya dan menyusun beberapa di sofa, berusaha membuat kamarnya terlihat seperti sarang seorang pelajar yang rajin. Buku-buku itu tergeletak asal, tapi cukup untuk memberi kesan. Napasnya ia tarik dalam-dalam, berusaha menenangkan diri.Hafiz membuka pintu, berusaha tersenyum meski gugup. "Belum, Ummah."Pandangan ibunya menyapu ruangan dengan cepat, dan akhirnya berhenti di sofa penuh buku. Matanya lembut, penuh kasih, seolah menyiratkan bahwa ia tahu se

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 5. Menuju Penebusan

    Bel pulang berbunyi, menggema lembut di lorong-lorong sekolah. Ujian tengah semester akhirnya usai. Bagi kebanyakan siswa, ini adalah momen yang ditunggu, saat kebebasan merentang di depan mata. Namun, bagi Hafiz, bel itu bukan tanda kebebasan. Dia hanya bisa menarik napas panjang, menyadari bahwa meskipun sekolah pulang lebih awal, dirinya harus tetap menunggu. Jam dinding kelas menunjukkan pukul dua belas siang. Masih ada empat jam lagi sebelum ayahnya bisa menjemputnya pulang.Hafiz bersandar di kursinya, memejamkan mata sejenak. Kelas yang tadinya ramai kini kosong dan hening. Hanya dirinya yang masih bertahan, dikelilingi meja-meja dan kursi yang terasa dingin dan sepi. Ia mendengus pelan, lalu berdiri, memutuskan untuk mencari ketenangan di musholla. Di sana, setidaknya ia bisa menemukan kedamaian di tengah kesunyian.Langkah-langkahnya menggema di sepanjang koridor, perlahan tapi pasti menuju musholla. Sesampainya di sana, Hafiz melepas sepatu dengan gerakan malas, merasakan lan

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 6. Di Ambang Bahaya

    Hari terakhir ujian selalu membawa suasana yang campur aduk. Hafiz duduk di bangkunya, dengan hoodie yang menutupi kepalanya, seolah-olah ingin menjauhkan diri dari hiruk-pikuk sekelilingnya. Udara di kelas terasa sedikit hangat, angin yang masuk dari jendela menggoyangkan tirai tipis, memberikan rasa tenang di tengah pikiran yang masih berkecamuk. Enam hari ini dia lalui dengan perasaan yang berbeda, bukan hanya karena ujian, tetapi karena keputusan sederhana yang mengubah segalanya. Hafiz berhenti menyontek.Kini, ada perasaan yang sulit dijelaskan ketika dia berhasil menyetorkan hafalan Qur’an kepada ayahnya. Setiap malam, ada kehangatan yang dirasakan Hafiz saat mendengar pujian ayahnya, meski hanya lewat telepon. Namun di sisi lain, tuntutan untuk belajar terasa seperti beban yang tak pernah surut. Materi-materi ujian menumpuk di hadapannya seperti dinding tinggi yang sulit ditembus. Hafiz merasa kesulitan, namun ibu tak tinggal diam. Dengan kasih sayang yang tak pernah ia ungkap

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 7. Dalam Pencarian, Ada Panggilan

    "Baiklah, mari kita lihat apa yang sebenarnya terjadi." batin Hafiz.Setelah beberapa menit, Hafiz akhirnya berhasil masuk ke dalam sistem CCTV. Di layar, berbagai sudut sekolah mulai muncul. Dia memeriksa satu per satu, mencari tanda-tanda bahwa CCTV masih aktif. Semua kamera terlihat berfungsi dengan baik, menunjukkan suasana kelas yang sudah kosong karena para siswa telah pulang setelah ujian terakhir. Tidak ada yang mencurigakan sejauh ini.Namun, Hafiz tidak berhenti di situ. Dia memutuskan untuk mengakses rekaman beberapa jam yang lalu, tepat setelah Darren berbicara di kelas. Jemarinya kembali menari di atas keyboard, kali ini lebih cepat. Gambar demi gambar melintas di layar. Hafiz mempercepat putaran waktu di rekaman, mencari sosok Darren.Dan di situlah dia. Hafiz melihat Darren, berdiri di depan gerbang sekolah bersama seorang pria yang tidak ia kenal. Darren berbicara dengan serius, sementara pria itu mengangguk. Namun sayangnya, tidak ada suara dari rekaman CCTV itu."Mati

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 8. Misi Darren

    Hafiz melangkah keluar dari rumahnya dengan penuh kehati-hatian, seolah setiap derap langkahnya harus sepelan bisikan. Dari balik pintu, ia mengintip ke arah dapur, melihat ibunya yang sedang sibuk mencuci piring. Rasa gugup berdesir di dadanya, namun Hafiz tetap nekat, berharap langkahnya tak tertangkap oleh suara atau pandangan. Setelah meyakinkan dirinya, Hafiz melangkah perlahan, menutup gerbang dengan hati-hati hingga hanya terdengar suara lembut besi yang saling bertemu. Saat gerbang itu tertutup sempurna, ia menarik napas dalam dan mulai berjalan cepat, menyusuri jalan kecil yang sepi menuju bangunan tua di dekat sekolahnya.Bangunan itu tampak terbengkalai, dikelilingi rerumputan liar yang tumbuh tak terurus, sementara temboknya berwarna kelabu dengan bercak-bercak cat yang memudar, seperti bekas luka yang mulai terlupakan. Pintu kayunya yang besar hampir roboh, miring, seakan hanya digantung oleh sisa-sisa engsel yang berkarat. Gedung ini dulunya adalah sekolah tua, penuh sej

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Prolog

    Di Pondok Pesantren Nurul Hikmah, malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Langit yang cerah berbintang seolah mengamati rencana besar yang tersusun di benak Hafiz dan teman-temannya. Hafiz, dengan raut wajah serius, memimpin teman-temannya dalam sebuah misi rahasia untuk mengungkap siapa pelaku bullying di kelas mereka.Dengan langkah hati-hati, Hafiz, Eri, Indra, dan Erzhan bergerak menuju ruang administrasi yang terletak di ujung koridor. Mereka tahu bahwa sistem CCTV dan catatan harian berada di sana—kunci untuk membongkar misteri yang telah menghantui mereka. Hafiz membawa sebuah laptop dan beberapa alat hacking sederhana yang telah disiapkan dengan teliti.Saat mereka tiba di depan pintu ruang administrasi, Hafiz mengangkat tangan, memberi isyarat agar mereka berhenti. Jantung mereka berdetak lebih cepat, merasakan bahaya yang bisa muncul kapan saja."Eri, jaga pintu. Indra, Erzhan, bantu gue dengan laptop ini," bisik Hafiz dengan nada tegas, matanya menyapu sekeliling untuk

Latest chapter

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 8. Misi Darren

    Hafiz melangkah keluar dari rumahnya dengan penuh kehati-hatian, seolah setiap derap langkahnya harus sepelan bisikan. Dari balik pintu, ia mengintip ke arah dapur, melihat ibunya yang sedang sibuk mencuci piring. Rasa gugup berdesir di dadanya, namun Hafiz tetap nekat, berharap langkahnya tak tertangkap oleh suara atau pandangan. Setelah meyakinkan dirinya, Hafiz melangkah perlahan, menutup gerbang dengan hati-hati hingga hanya terdengar suara lembut besi yang saling bertemu. Saat gerbang itu tertutup sempurna, ia menarik napas dalam dan mulai berjalan cepat, menyusuri jalan kecil yang sepi menuju bangunan tua di dekat sekolahnya.Bangunan itu tampak terbengkalai, dikelilingi rerumputan liar yang tumbuh tak terurus, sementara temboknya berwarna kelabu dengan bercak-bercak cat yang memudar, seperti bekas luka yang mulai terlupakan. Pintu kayunya yang besar hampir roboh, miring, seakan hanya digantung oleh sisa-sisa engsel yang berkarat. Gedung ini dulunya adalah sekolah tua, penuh sej

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 7. Dalam Pencarian, Ada Panggilan

    "Baiklah, mari kita lihat apa yang sebenarnya terjadi." batin Hafiz.Setelah beberapa menit, Hafiz akhirnya berhasil masuk ke dalam sistem CCTV. Di layar, berbagai sudut sekolah mulai muncul. Dia memeriksa satu per satu, mencari tanda-tanda bahwa CCTV masih aktif. Semua kamera terlihat berfungsi dengan baik, menunjukkan suasana kelas yang sudah kosong karena para siswa telah pulang setelah ujian terakhir. Tidak ada yang mencurigakan sejauh ini.Namun, Hafiz tidak berhenti di situ. Dia memutuskan untuk mengakses rekaman beberapa jam yang lalu, tepat setelah Darren berbicara di kelas. Jemarinya kembali menari di atas keyboard, kali ini lebih cepat. Gambar demi gambar melintas di layar. Hafiz mempercepat putaran waktu di rekaman, mencari sosok Darren.Dan di situlah dia. Hafiz melihat Darren, berdiri di depan gerbang sekolah bersama seorang pria yang tidak ia kenal. Darren berbicara dengan serius, sementara pria itu mengangguk. Namun sayangnya, tidak ada suara dari rekaman CCTV itu."Mati

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 6. Di Ambang Bahaya

    Hari terakhir ujian selalu membawa suasana yang campur aduk. Hafiz duduk di bangkunya, dengan hoodie yang menutupi kepalanya, seolah-olah ingin menjauhkan diri dari hiruk-pikuk sekelilingnya. Udara di kelas terasa sedikit hangat, angin yang masuk dari jendela menggoyangkan tirai tipis, memberikan rasa tenang di tengah pikiran yang masih berkecamuk. Enam hari ini dia lalui dengan perasaan yang berbeda, bukan hanya karena ujian, tetapi karena keputusan sederhana yang mengubah segalanya. Hafiz berhenti menyontek.Kini, ada perasaan yang sulit dijelaskan ketika dia berhasil menyetorkan hafalan Qur’an kepada ayahnya. Setiap malam, ada kehangatan yang dirasakan Hafiz saat mendengar pujian ayahnya, meski hanya lewat telepon. Namun di sisi lain, tuntutan untuk belajar terasa seperti beban yang tak pernah surut. Materi-materi ujian menumpuk di hadapannya seperti dinding tinggi yang sulit ditembus. Hafiz merasa kesulitan, namun ibu tak tinggal diam. Dengan kasih sayang yang tak pernah ia ungkap

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 5. Menuju Penebusan

    Bel pulang berbunyi, menggema lembut di lorong-lorong sekolah. Ujian tengah semester akhirnya usai. Bagi kebanyakan siswa, ini adalah momen yang ditunggu, saat kebebasan merentang di depan mata. Namun, bagi Hafiz, bel itu bukan tanda kebebasan. Dia hanya bisa menarik napas panjang, menyadari bahwa meskipun sekolah pulang lebih awal, dirinya harus tetap menunggu. Jam dinding kelas menunjukkan pukul dua belas siang. Masih ada empat jam lagi sebelum ayahnya bisa menjemputnya pulang.Hafiz bersandar di kursinya, memejamkan mata sejenak. Kelas yang tadinya ramai kini kosong dan hening. Hanya dirinya yang masih bertahan, dikelilingi meja-meja dan kursi yang terasa dingin dan sepi. Ia mendengus pelan, lalu berdiri, memutuskan untuk mencari ketenangan di musholla. Di sana, setidaknya ia bisa menemukan kedamaian di tengah kesunyian.Langkah-langkahnya menggema di sepanjang koridor, perlahan tapi pasti menuju musholla. Sesampainya di sana, Hafiz melepas sepatu dengan gerakan malas, merasakan lan

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 4. Ganjaran

    Hafiz masih terpaku, tatapannya terkunci pada layar laptop. Isi file di dalam flashdisk itu membuat dadanya berdegup lebih cepat, campuran antara keterkejutan dan rasa bersalah menghantam dirinya. Tiba-tiba, suara ketukan pintu yang pelan namun tegas membuyarkan fokusnya."Hafiz, anak Ummah udah tidur belum?" Suara lembut ibunya terdengar dari balik pintu, menembus keheningan kamar.Dengan panik, Hafiz melompat dari tempatnya. Sekilas, matanya melirik buku-buku paket yang jarang ia sentuh berada di meja belajarnya. Ia buru-buru mengambilnya dan menyusun beberapa di sofa, berusaha membuat kamarnya terlihat seperti sarang seorang pelajar yang rajin. Buku-buku itu tergeletak asal, tapi cukup untuk memberi kesan. Napasnya ia tarik dalam-dalam, berusaha menenangkan diri.Hafiz membuka pintu, berusaha tersenyum meski gugup. "Belum, Ummah."Pandangan ibunya menyapu ruangan dengan cepat, dan akhirnya berhenti di sofa penuh buku. Matanya lembut, penuh kasih, seolah menyiratkan bahwa ia tahu se

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 3. Jejak Kecurangan

    Malam itu, langit menyebar seperti tirai hitam yang dihiasi oleh kerlip bintang, seolah tangan tak terlihat sedang menyusun langit dengan penuh keleluasaan. Bulan bersinar lembut, menerobos celah-celah jendela kamar Hafiz dengan cahaya dingin yang tenang. Jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam, dan suasana kamar Hafiz dipenuhi oleh ketenangan malam yang menyelimuti.Setelah pertemuan dengan teman ibunya di pesantren, Hafiz pulang lebih awal dengan alasan ujian tengah semester yang akan dihadapinya keesokan hari. Orang tuanya, percaya bahwa Hafiz ingin belajar, mereka pun pulang sebelum dhuhur. Ujian yang sebenarnya akan dihadapi esok hari memang ada, tetapi alasan utama Hafiz pulang lebih awal adalah keinginannya untuk melarikan diri dari pertemuan yang membosankan itu.Di sofa panjang dekat jendela, Hafiz duduk dengan nyaman, laptop di pangkuannya, layar yang sejak siang tadi terus menyala. Dalam cahaya lembut bulan, Hafiz mengerjakan teknik baru meretas sistem CCTV, sebuah

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 2. Sambutan di Gerbang Pesantren

    Mobil berhenti dengan lembut di depan sebuah masjid besar dan megah, menara-menara tinggi menjulang dengan menara-menara masjid yang berkilauan di bawah sinar matahari pagi. Hafiz, yang sebelumnya tenggelam dalam dunianya dengan layar laptop yang bersinar, tertegun sejenak. Dia menoleh, matanya menyapu pemandangan menakjubkan yang tak biasa. "Kenapa kita berhenti di sini, Abati?" tanyanya, suaranya perlahan, ketika dia menutup laptopnya dan menaruhnya dengan hati-hati dalam tas di sampingnya. Gerakannya menggambarkan kebiasaan dan rutinitas yang sering dia jalani, namun hari ini tampaknya berbeda. Ayahnya menoleh ke arah Hafiz dengan senyum yang penuh ketenangan, "Abati mau sholat Dhuha dulu. Kamu sudah sholat?" Hafiz menggelengkan kepala dengan pelan, "Belum, Abati." "Kalau begitu, ayo," ajak ayahnya dengan nada yang lembut namun tegas, sambil membuka pintu mobil dan keluar terlebih dahulu. Langkahnya penuh keyakinan, mencerminkan kebiasaan dan kedisiplinan dalam menjalankan ibada

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 1. Awal dari Dunia Hafiz

    Di Minggu pagi yang dipenuhi sinar matahari lembut, ketika udara segar mengajak banyak orang untuk bergerak dan beraktivitas, seharusnya hari ini menjadi waktu yang penuh semangat dan produktivitas. Jalan-jalan dipenuhi dengan orang-orang yang berlari, bersepeda, atau sekadar menikmati angin pagi yang sejuk. Di rumah-rumah, aroma masakan pagi menguar dari dapur, menyebar ke setiap sudut, sementara suara tawa dan obrolan ringan mengisi suasana. Minggu ini adalah hari untuk mereset energi, mengisi ulang semangat setelah satu pekan yang padat.Namun, di salah satu sudut kota yang tenang, di dalam sebuah rumah yang senyap, semua kehangatan dan kehidupan pagi itu seolah tidak memiliki pengaruh.Kamar itu terletak di lantai atas, dengan jendela yang setengah tertutup, membiarkan hanya sedikit cahaya masuk dan menari di atas permukaan yang berantakan. Di tengah kekacauan itu, terhampar seorang pemuda di atas sofa yang telah lama menjadi tempat favoritnya. Matanya tertutup rapat, napasnya tera

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Prolog

    Di Pondok Pesantren Nurul Hikmah, malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Langit yang cerah berbintang seolah mengamati rencana besar yang tersusun di benak Hafiz dan teman-temannya. Hafiz, dengan raut wajah serius, memimpin teman-temannya dalam sebuah misi rahasia untuk mengungkap siapa pelaku bullying di kelas mereka.Dengan langkah hati-hati, Hafiz, Eri, Indra, dan Erzhan bergerak menuju ruang administrasi yang terletak di ujung koridor. Mereka tahu bahwa sistem CCTV dan catatan harian berada di sana—kunci untuk membongkar misteri yang telah menghantui mereka. Hafiz membawa sebuah laptop dan beberapa alat hacking sederhana yang telah disiapkan dengan teliti.Saat mereka tiba di depan pintu ruang administrasi, Hafiz mengangkat tangan, memberi isyarat agar mereka berhenti. Jantung mereka berdetak lebih cepat, merasakan bahaya yang bisa muncul kapan saja."Eri, jaga pintu. Indra, Erzhan, bantu gue dengan laptop ini," bisik Hafiz dengan nada tegas, matanya menyapu sekeliling untuk

DMCA.com Protection Status