Share

Bab 1. Awal dari Dunia Hafiz

Di Minggu pagi yang dipenuhi sinar matahari lembut, ketika udara segar mengajak banyak orang untuk bergerak dan beraktivitas, seharusnya hari ini menjadi waktu yang penuh semangat dan produktivitas. Jalan-jalan dipenuhi dengan orang-orang yang berlari, bersepeda, atau sekadar menikmati angin pagi yang sejuk. Di rumah-rumah, aroma masakan pagi menguar dari dapur, menyebar ke setiap sudut, sementara suara tawa dan obrolan ringan mengisi suasana. Minggu ini adalah hari untuk mereset energi, mengisi ulang semangat setelah satu pekan yang padat.

Namun, di salah satu sudut kota yang tenang, di dalam sebuah rumah yang senyap, semua kehangatan dan kehidupan pagi itu seolah tidak memiliki pengaruh.

Kamar itu terletak di lantai atas, dengan jendela yang setengah tertutup, membiarkan hanya sedikit cahaya masuk dan menari di atas permukaan yang berantakan. Di tengah kekacauan itu, terhampar seorang pemuda di atas sofa yang telah lama menjadi tempat favoritnya. Matanya tertutup rapat, napasnya teratur, seolah-olah dunia luar tidak lebih dari sekadar mimpi yang berlalu.

Baginya, Minggu pagi adalah saat untuk menyerah pada panggilan kasur yang empuk dan sofa yang nyaman. Hari libur ini ia dedikasikan bukan untuk beraktivitas seperti orang lain, tetapi untuk tidur sepuasnya.

Arnav Hafizam Rahandika, atau yang dikenal dengan nama Hafiz, pemuda 17 tahun yang memiliki wajah tampan yang tampak sempurna, hasil perpaduan gen terbaik dari kedua orang tuanya. Kulitnya putih bersih, kontras dengan alis tebal dan bulu mata lentik yang menambah kesan teduh pada matanya. Dan, ketika ia tertawa, lesung pipit di pipi kirinya terlihat jelas, menghiasi senyumnya yang khas dengan gigi gingsul yang mempesona.

Namun, wajah yang memancarkan pesona alami sering tidak sejalan dengan penampilannya yang cenderung acak-acakan. Rambut yang nyaris selalu berantakan dan pakaian yang dipilih tanpa banyak berpikir membuat para gadis di sekitarnya ragu untuk mendekat. Meski begitu, tak sedikit yang rela mengantri, berharap bisa menjadi kekasih pemuda ini.

Nama Hafiz, yang memiliki makna mendalam dan Islami, adalah simbol dari harapan dan impian besar yang diletakkan oleh kedua orang tuanya. Namun, pagi ini, harapan-harapan itu tampak jauh dari jangkauan.

Dalam kesunyian pagi yang cerah, Hafiz memilih untuk bersembunyi dari dunia. Sofa kesayangannya, tempat yang telah menjadi saksi bisu dari banyak pagi penuh lelap, menyambutnya dengan pelukan hangat.

Kamar Hafiz, tempat yang seharusnya menjadi cerminan dirinya, kini menjadi pemandangan yang memprihatinkan. Sepagi ini, ruangan itu sudah dipenuhi dengan barang-barang yang tersebar sembarangan. Di lantai, tergeletak ponsel yang mungkin malam tadi terjatuh tanpa sengaja saat tangannya yang lelah menyenggolnya. Layar laptop yang masih menyala memancarkan cahaya redup, menggambarkan malam panjang yang dihabiskan tanpa akhir. Seragam sekolah yang terakhir kali dipakai pada hari Sabtu tergeletak kusut di sudut, bercampur dengan tas yang masih teronggok di atas kasur, seakan baru saja dilempar dengan asal tanpa berpikir dua kali. Kamar yang seharusnya menjadi tempat istirahat yang nyaman kini terlihat seperti medan perang kecil, tanpa kehadiran orang tuanya yang biasanya langsung mengatasi kekacauan ini.

Hafiz merasa bebas pagi ini, tanpa perlu khawatir akan teguran keras atau perintah tegas dari ibunya yang selalu menuntut kerapian. Orang tuanya yang terkenal dengan sikap disiplin sedang berada di luar kota untuk menghadiri acara pengajian, meninggalkan Hafiz sendirian di rumah. Hari ini, tidak ada yang akan mengganggu tidurnya, tidak ada suara ibunya yang mengomel, memaksanya untuk membereskan kamar yang berantakan. Hafiz tahu, jika ibunya ada di rumah, ia pasti sudah ditarik dari sofa untuk merapikan semuanya.

Meski pada kenyataannya, kamar itu akan kembali berantakan keesokan harinya.

Hafiz menikmati kebebasannya pagi ini, meresapi ketenangan yang hanya bisa dirasakan ketika rumah benar-benar sepi.

Hari Minggu bagi sebagian orang adalah waktu untuk produktivitas, tetapi bagi Hafiz adalah saat untuk merengkuh ketenangan dalam balutan selimut yang nyaman, membiarkan dunia luar berjalan tanpa dirinya.

Jam dinding di kamar menunjukkan pukul delapan pagi, tapi Hafiz masih terlelap di atas sofa empuknya, berselimutkan udara sejuk yang menyelinap melalui jendela yang sedikit terbuka. Suara klakson mobil tiba-tiba memecah ketenangan pagi itu, nyaring dan mendesak. Hafiz terperanjat bangun dengan mata masih setengah terbuka. Dadanya berdebar saat ia melirik keluar jendela, melihat mobil abu-abu milik orang tuanya sudah terparkir di halaman.

"Astaghfirullah! Kenapa Ummah sama Abati udah sampai?" batinnya panik, suara hatinya terdengar jelas dalam benaknya.

Tanpa pikir panjang, Hafiz bangkit dari sofa. Tangannya sibuk merapikan barang-barang yang berserakan di lantai—mulai dari laptop yang terbuka hingga kaus kaki yang tergeletak di sana-sini. Seragam sekolah cokelat miliknya, yang dikenakan pada hari Sabtu kemarin, masih tergeletak di atas karpet. Hafiz bergegas menggulungnya dengan terburu-buru, menjejalkannya ke dalam keranjang pakaian kotor.

Belum sempat menarik napas lega, terdengar ketukan lembut di pintu kamarnya.

"Assalamu’alaikum, anak Ummah di mana ya?" Suara teduh itu terdengar dari balik pintu.

Pintu kamarnya terbuka perlahan, dan di ambang pintu berdiri seorang wanita dengan wajah tenang dan mata penuh kasih sayang. Inara Salma Hafizah, ibunya, memiliki wajah lembut yang serupa dengan Hafiz, hanya saja dalam versi perempuan. Setiap garis halus di wajahnya memancarkan kesabaran, sementara matanya yang jernih memperhatikan sekeliling kamar dengan teliti.

"Hafiz?" panggilnya lembut. Matanya menyisir ruangan, lalu mendarat pada sosok putranya yang baru saja keluar dari kamar mandi, wajahnya masih basah.

"Wa’alaikumussalam, Ummah!" jawab Hafiz dengan suara yang dibuat-buat riang, meskipun dalam hatinya ada ketakutan yang menggelitik.

Ibunya menatapnya dengan mata yang menyipit, memperhatikan putra tunggalnya dengan penuh selidik. Hafiz merasa seluruh tubuhnya menegang di bawah tatapan itu.

"E-eh, Ummah, Hafiz baru mau mandi," ujarnya gugup, sambil menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.

Tanpa banyak bicara, ibunya melangkah maju, lalu dengan gerakan cepat namun lembut, menjewer telinga Hafiz. Hafiz meringis, mencoba melawan rasa sakit sambil tertawa kaku.

"Ummah kan sudah bilang, hari libur jangan dihabiskan buat tidur terus," tegurnya tegas, meskipun suaranya tetap tenang.

"I-iya, Ummah, Hafiz salah... lepasin dong, sakit, Ummah," Hafiz merengek sambil memegangi telinganya yang panas. Setelah beberapa saat, ibunya melepaskan jewerannya. Matanya kembali menyapu kamar yang setengah bersih.

Seragam cokelat Hafiz yang sebelumnya tergeletak di lantai kini mencuri perhatian ibunya. Meski Hafiz sudah berusaha menyembunyikannya, ternyata masih ada bagian yang tersisa. Begitu Hafiz melihat arah pandangan ibunya, ia segera mengambil seragam itu, lalu tersenyum kecut.

"Ini mau Hafiz cuci, Ummah," katanya tergagap, sambil menggenggam seragam di tangannya seperti tersangka yang tertangkap basah.

Ibunya hanya menggelengkan kepala pelan. Sorot matanya tidak marah, tapi ada kekecewaan halus yang terlukis di sana. Hafiz tahu, di balik kelembutan ibunya, ada ketegasan yang membuatnya tak pernah berani benar-benar melawan.

Suara berat dari belakangnya tiba-tiba terdengar. Sosok tinggi dan kekar muncul di pintu kamar, dengan lengan berotot yang terlihat kokoh di balik baju koko berwarna putih. Revan Rahandika, ayah Hafiz, menatap putranya dengan senyum yang tak sepenuhnya menyembunyikan rasa prihatin.

"Ada apa ini? Hafiz masih malas, ya, Sayang?" tanyanya sambil menoleh pada istrinya.

Ibu Hafiz hanya menghela napas panjang, mengangguk kecil.

“Hafiz,” suara ayahnya menjadi lebih serius, tapi tetap lembut, “kamu itu sudah besar, Nak. Sudah tujuh belas tahun. Sampai kapan mau bikin Ummah marah-marah terus sama kamu?”

Hafiz merasa tenggorokannya mengering. Dia menatap ibunya, yang hanya diam, menunggu respons darinya.

"Iya, Abati. Hafiz masih berusaha, kok," jawabnya pelan, meski dirinya pun tahu jawaban itu terdengar hampa.

"Kamu selalu bilang begitu, tapi mana buktinya?" Ayah Hafiz mengangkat alisnya, suaranya sedikit bergetar dengan ketegasan.

Hafiz menunduk, menghindari tatapan ayahnya yang begitu menelusuk. Ia tahu, ini bukan pertama kali ia memberi jawaban yang sama, namun usaha yang dimaksudkan seolah tidak pernah benar-benar diwujudkan.

Ayahnya menghela napas panjang. "Sudahlah. Ayo, kamu cepat mandi, setelah itu ikut Abati."

"Ke mana, Abati?" tanya Hafiz bingung.

"Tidak usah banyak tanya. Cepat mandi!" tegas ayahnya sambil berbalik menuju ruang tamu.

Setelah itu, ibunya mendekati Hafiz, mengelus rambutnya yang masih basah. Sentuhan itu terasa menenangkan.

"Ummah dan Abati mau mengajak kamu ke suatu tempat, Nak. Setelah siap, turun ya. Kita sarapan dulu," ucapnya lembut, lalu meninggalkan kamar.

Hafiz hanya terdiam sesaat, menatap punggung ibunya yang perlahan menghilang di balik pintu. Dia tahu, ini bukan sekadar ajakan biasa. Dengan langkah berat, Hafiz pun masuk kembali ke kamar mandi, membiarkan air dingin mengalir di atas kepalanya, berusaha menyegarkan pikiran yang entah mengapa terasa begitu berat hari ini.

--

Setelah Hafiz selesai mempersiapkan diri, dia melangkah menuruni tangga dengan langkah santai, tetapi langkahnya terhenti saat menyadari tatapan tajam dari ayahnya yang sudah menunggu di bawah. Tatapan itu begitu menusuk, seperti sedang menilai dari ujung rambut hingga kaki, membuat Hafiz merasa sedikit canggung.

"E-eh, Abati, kenapa?" tanya Hafiz dengan gugup, kakinya masih berpijak di anak tangga terakhir, sementara kedua orang tuanya sudah duduk di meja makan. Ia bisa merasakan intensitas dari tatapan ayahnya yang tak biasa.

Ayahnya menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan campuran antara kelelahan dan sedikit frustrasi. "Ganti baju yang lebih rapi, Hafiz, kita bukan mau ke tempat liburan," ucap ayahnya dengan nada yang tegas namun lembut, menandakan bahwa ini bukan pertama kalinya percakapan semacam ini terjadi.

Ibunya, yang tengah sibuk mempersiapkan piring-piring di atas meja, menoleh dan tersenyum tipis saat melihat pakaian anaknya. Mata keibuannya memandang dengan pengertian, seolah tahu betul mengapa Hafiz memilih pakaian itu, namun juga mengerti kenapa suaminya merasa tak puas.

"Pakai baju koko, Nak, yang waktu itu beli sama Ummah," ucap ibunya dengan nada lembut, mencoba menenangkan suasana dan memberikan arahan dengan cara yang lebih halus. Senyum di wajahnya memberikan sentuhan kehangatan di tengah percakapan yang agak serius.

Hafiz terdiam sejenak, matanya melirik ke bawah, menatap kaos hitam dan hoodie hitam yang dikenakannya. Baju favoritnya yang selalu membuatnya merasa nyaman, meski tak pernah bisa membuat kedua orang tuanya benar-benar senang. Bibirnya melengkung tipis, sedikit bingung mengapa penampilannya selalu menjadi sorotan. Namun, tanpa membantah, ia segera berbalik dan naik kembali ke kamarnya, langkahnya lebih berat dari sebelumnya.

"Ada saja tingkah anak itu," gumam ayahnya, sambil kembali menghela napas panjang, seperti sedang memikul beban yang tak terlihat.

"Namanya juga remaja zaman sekarang, Sayang. Biasalah," jawab istrinya, sambil melanjutkan kegiatannya dengan senyum lembut, seolah berusaha menenangkan kekhawatiran suaminya. Ada kebijaksanaan dalam nada bicaranya, menunjukkan bahwa dia telah menerima dan memahami masa-masa sulit membesarkan seorang remaja.

Beberapa menit kemudian, Hafiz kembali turun, kali ini dengan penampilan yang lebih rapi sesuai permintaan orang tuanya. Baju koko lengan panjang berwarna marun yang dipadukan dengan celana panjang hitam membuatnya terlihat lebih dewasa, meski ada sedikit ketidaknyamanan dalam cara dia menatap dirinya sendiri di cermin sebelumnya. Sepasang sepatu abu-abu keputihan menyelesaikan penampilannya, menambah kesan formal namun tetap kasual.

Di meja makan, ibunya sudah menyiapkan sarapan dengan rapi—nasi goreng dengan telur mata sapi yang sempurna. Aroma makanan itu sebenarnya sangat menggoda, tapi Hafiz merasakan ada sesuatu yang lain yang mengganjal di hatinya.

"Silakan duduk, Nak," kata ibunya sambil tersenyum lembut, mencoba mencairkan suasana.

Hafiz menurut, duduk di kursi yang biasa ia tempati. Suasana canggung ini jarang sekali terjadi, membuatnya semakin penasaran apa sebenarnya yang sedang terjadi.

Setelah beberapa saat, ayahnya yang pertama kali memecah keheningan. "Hafiz, Abati dan Ummah sudah banyak berpikir belakangan ini. Kita tahu kamu sudah berusaha, tapi kami ingin kamu lebih serius lagi dengan hidupmu."

Hafiz menelan ludah, menatap ayahnya dengan rasa bersalah yang mendalam. "Maksud Abati apa?"

Ayahnya menghela napas. "Kamu harus lebih disiplin, Hafiz. Ummah dan Abati melihat kamu sering lalai, dan itu bukan hanya tentang kebersihan kamar atau tanggung jawab di rumah. Ini tentang masa depanmu, Nak. Kita khawatir kalau kamu tidak segera berubah, nanti akan sulit untuk mengejar apa yang kamu inginkan."

Hafiz diam, meresapi setiap kata yang diucapkan ayahnya. Ia tahu, ini bukan teguran biasa. Ini adalah sebuah peringatan, sebuah panggilan untuk bangkit.

Ibunya menambahkan dengan suara lembut, "Itu semua demi kebaikan Hafiz. Ummah dan Abati ingin Hafiz bisa mengatur waktu dengan baik, belajar lebih giat, dan mulai berpikir tentang apa yang Hafiz ingin capai di masa depan."

Hafiz merasa matanya mulai memanas. Ia tahu, kedua orang tuanya hanya ingin yang terbaik untuknya, tapi tekanan ini terasa begitu berat. Ia tidak ingin mengecewakan mereka, tapi ia juga merasa belum siap untuk menjalani semua yang diharapkan.

"Abati, Ummah, Hafiz akan coba lebih baik lagi," katanya akhirnya dengan suara serak. "Hafiz tahu, ini bukan sesuatu yang mudah, tapi Hafiz akan berusaha."

Ayahnya menatapnya dalam-dalam, lalu mengangguk pelan. "Itu yang ingin Abati dengar, Nak. Kita tidak meminta kamu untuk sempurna, tapi kita ingin melihat kamu berusaha sungguh-sungguh."

Ibunya tersenyum, lalu menggenggam tangan Hafiz di atas meja. "Kami selalu ada untukmu, Nak. Ingat itu. Apapun yang terjadi, kami akan mendukungmu."

Hafiz merasakan kehangatan menyelimuti hatinya. Dalam diam, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi menganggap enteng nasihat dan perhatian dari kedua orang tuanya. Meskipun perjalanan ini tidak mudah, Hafiz tahu ia harus memulainya dari sekarang.

Keluarga kecil itu akhirnya siap berangkat. Setelah sarapan bersama dalam keheningan yang nyaman, mereka keluar dari rumah dan menuju mobil. Ayah Hafiz mengambil tempat di belakang kemudi, menghidupkan mesin, dan mobil melaju dengan tenang di bawah langit pagi yang cerah.

"Ummah, memangnya kita mau ke mana?" tanya Hafiz dari kursi belakang, suaranya terdengar tenang, namun sedikit mengandung rasa penasaran. Dia bersandar malas di jok mobil, sementara tatapannya melirik ke arah ibunya yang duduk di depan, di samping ayahnya yang sedang mengemudi.

Ibunya menoleh, senyum lembut menghiasi wajahnya yang tenang. "Kita mau ke tempat tinggal teman Ummah, sayang," jawabnya, nadanya penuh kehangatan, namun ada sesuatu yang samar dalam caranya berbicara, seolah ada lebih banyak hal di balik kalimat sederhana itu.

Hafiz hanya mengangguk pelan tanpa banyak bicara lagi. Ia terdiam, mencerna jawaban itu sebentar sebelum akhirnya tangannya bergerak ke tas punggung yang tergeletak di sebelahnya. Dengan gerakan yang sudah begitu terbiasa, dia mengeluarkan laptop hitam —barang yang selalu menemani, selain ponselnya yang juga tak pernah lepas dari genggamannya. Laptop ini bukan sekadar alat, tapi pelarian, dunianya sendiri di tengah rutinitas yang kadang membosankan.

Sesaat kemudian, suara dentingan keyboard mulai memenuhi ruang mobil yang tenang. Cahaya lembut dari layar laptopnya memancar, menciptakan bayangan biru di wajah Hafiz yang kini serius. Matanya yang selalu terlihat malas, kini memancarkan fokus penuh, seolah sedang menelusuri dunia lain di balik layar itu. Game Hacknet kembali menariknya masuk, membawa pikirannya jauh dari dunia nyata. Setiap deretan kode yang muncul di layar seperti teka-teki yang menantang, dan Hafiz tenggelam dalam ritme permainan.

Mobil sesekali berguncang ketika melewati jalanan yang tak rata, tapi Hafiz hampir tak merasakan itu. Fokusnya tak tergoyahkan. Jarinya menari di atas keyboard, mengetik perintah demi perintah dengan kecepatan yang membuat waktu terasa melambat di sekitarnya. Dunia luar memudar; yang ada hanya layar di depannya dan suara samar ketukan keyboard.

Di depan, kedua orang tuanya larut dalam obrolan panjang. Suara ayahnya terdengar bergema, bercampur dengan tawa lembut ibunya, membicarakan hal-hal yang sepertinya biasa—rencana, kenangan, atau mungkin sesuatu yang lebih dalam. Namun, bagi Hafiz, obrolan mereka hanyalah suara latar yang nyaris tak terjamah pikirannya. Dia benar-benar tenggelam dalam dunianya sendiri, dalam misi-misi virtual yang terasa jauh lebih mendesak daripada kenyataan yang ada di sekitarnya.

Tanpa disadarinya, percakapan kedua orang tuanya sedang berputar di sekitar sebuah topik yang perlahan menggantung di udara, membawa pertanda akan adanya perubahan besar dalam hidup Hafiz—sebuah perubahan yang segera akan menyentuh dunianya yang saat ini tampak begitu tenang dan tak tersentuh. Tapi saat itu, Hafiz tetap tak menyadari apapun. Dia masih tenggelam dalam realitas digitalnya, tak tahu bahwa dunianya yang sebenarnya, di kursi depan, perlahan sedang disusun ulang.

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status