"Baiklah, mari kita lihat apa yang sebenarnya terjadi." batin Hafiz.
Setelah beberapa menit, Hafiz akhirnya berhasil masuk ke dalam sistem CCTV. Di layar, berbagai sudut sekolah mulai muncul. Dia memeriksa satu per satu, mencari tanda-tanda bahwa CCTV masih aktif. Semua kamera terlihat berfungsi dengan baik, menunjukkan suasana kelas yang sudah kosong karena para siswa telah pulang setelah ujian terakhir. Tidak ada yang mencurigakan sejauh ini.
Namun, Hafiz tidak berhenti di situ. Dia memutuskan untuk mengakses rekaman beberapa jam yang lalu, tepat setelah Darren berbicara di kelas. Jemarinya kembali menari di atas keyboard, kali ini lebih cepat. Gambar demi gambar melintas di layar. Hafiz mempercepat putaran waktu di rekaman, mencari sosok Darren.
Dan di situlah dia. Hafiz melihat Darren, berdiri di depan gerbang sekolah bersama seorang pria yang tidak ia kenal. Darren berbicara dengan serius, sementara pria itu mengangguk. Namun sayangnya, tidak ada suara dari rekaman CCTV itu.
"Matikan CCTV sekolah dulu sebelum lo bertindak."
Kata-kata itu terngiang lagi di telinga Hafiz. Jika Darren berencana melakukan sesuatu yang besar, dia pasti tidak ingin tertangkap kamera. Hafiz melirik layar, melihat bahwa sistem keamanan masih berfungsi. Tapi, dia tahu Darren cukup cerdik. Ada sesuatu yang belum terlihat jelas.
Hafiz terus menonton rekaman, sampai pada momen ketika Darren dan pria itu berpisah. Darren terlihat berjalan kembali ke sekolah, lebih tepatnya menuju ruang guru, dan di situlah sesuatu yang aneh terjadi. Tiba-tiba layar menunjukkan kesalahan sistem, sebuah pesan muncul: "Error. Connection Lost."
Hafiz terkesiap. "Arrgh! Dia mematikan kamera di area ini," gumamnya.
Dia segera mencoba memulihkan akses, tetapi sistem di bagian tersebut tampaknya benar-benar telah terganggu. Darren pasti telah melakukan sesuatu untuk memutuskan sambungan ke kamera, dan itu bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan sembarangan orang.
"Apa yang dia rencanakan sebenarnya?" Hafiz menatap layar kosong dengan frustrasi.
Perlahan, rasa takut mulai merayap di benaknya. Apa pun yang Darren lakukan, ini bukanlah hal kecil. Hafiz harus segera mencari tahu apa rencana mereka, sebelum terlambat.
Kembali menatap layar, Hafiz memutuskan untuk melakukan tindakan yang lebih berani. Dia mengalihkan perhatiannya ke alat pemantauan jaringan sekolah, mencoba melihat apakah ada perangkat lain yang terhubung ke jaringan sekolah secara mencurigakan. Jika Darren menggunakan perangkat eksternal untuk mengendalikan atau mengelabui sistem keamanan, dia mungkin bisa mendeteksinya di sini.
"Ayo, tunjukkan dirimu..." Hafiz bergumam, matanya tak berkedip.
Tidak lama kemudian, dia menemukan sesuatu. Ada aktivitas jaringan yang tidak biasa. Sebuah perangkat terdeteksi di salah satu tempat yang tak jauh dari sekolahnya. Aktivitas itu tidak seharusnya ada di sana, apalagi pada jam-jam sekolah sudah kosong. Darren mungkin sedang melakukan sesuatu di sana, tapi apa?
Hafiz semakin tenggelam dalam kebingungannya, namun tiba-tiba suasana dalam ruangan yang sebelumnya sepi seketika dipenuhi oleh suara adzan dhuhur yang berkumandang merdu dari masjid terdekat. Suara itu menggema, mengalun lembut namun tegas, seakan menjadi panggilan bagi setiap jiwa yang mendengarnya. Hafiz terperanjat. Waktu sholat tiba, dan kebiasaannya untuk segera berwudhu terasa mendesak.
Dia langsung berdiri dari sofa yang mulai terasa dingin, beranjak menuju kamar mandi. Langkahnya cepat dan teratur, mencerminkan kesadaran akan pentingnya ibadah. Setiap langkah terasa penuh makna, menuntunnya menjauh dari kerumitan pikiran yang selama ini mengganggu. Sewaktu mengisi ember dengan air, dia teringat akan ibunya yang selalu menekankan pentingnya sholat tepat waktu. “Jangan sampai terlambat, Hafiz. Jika tidak, Ummah akan datang mencarimu,” pesan ibunya terngiang jelas dalam pikirannya, membuatnya tersenyum sejenak. Setelah berwudhu, Hafiz menatap dirinya di cermin. Air wudhu yang membasuh wajahnya seakan membersihkan sejenak semua beban yang menggelayuti pikirannya. Dia merapikan mukena di rak, lalu melangkah turun menuju ruang sholat di samping ruang tamu. Saat dia tiba, di sana, ibunya sudah siap mengenakan mukena putihnya, wajahnya bersinar penuh ketenangan. Hafiz merasa lega melihat ibunya, hatinya seolah terisi kembali dengan rasa syukur dan ketentraman. “Ummah, Abati mana?” tanya Hafiz, sambil menyapu pandangan ke sekeliling ruangan. Hanya terlihat ibunya sendirian, dan kerinduan untuk melihat ayahnya yang biasanya menjadi imam menyentuh hatinya. “Abati kembali ke kantor sebelum makan siang, ada rapat dadakan katanya,” jawab ibunya, tetap tersenyum. Hafiz mengangguk, merasakan tanggung jawab yang lebih besar. Hari ini, dia yang akan memimpin sholat berjama'ah. Ketika mereka mulai sholat, ketenangan yang selama ini hilang perlahan kembali menyelimuti hatinya. Setiap gerakan dan bacaan terasa lebih berarti, mengingatkannya akan tujuan hidup yang lebih besar. Setelah selesai sholat dan berdo'a bersama, Hafiz menyalami tangan ibunya. Dia merasakan ketenangan setelah beribadah, tetapi pikirannya masih dipenuhi kekhawatiran tentang Darren. Ibu Hafiz, tersenyum ke putranya, dia menepuk pundaknya. “Nak..” ibunya memulai dengan suara yang hangat dan penuh kasih. Setiap selesai sholat berjama'ah begini, entah ibunya atau ayahnya, tidak pernah absen untuk memberikan nasihat-nasihat terbaik kepada putra tunggal mereka, dan Hafiz sudah biasa mendengarkan itu semua, dia bahkan dengan senang hati mendengar setiap kalimat yang mengandung nasihat itu. “Hidup ini sering kali tidak berjalan seperti yang kita harapkan. Ada kalanya kita menghadapi ujian yang membuat kita merasa berat dan bingung.” Hafiz mengerutkan keningnya, dia terkejut dengan ucapan ibunya, seolah ibunya tau tentang kondisinya saat ini. Kemudian, dia mengangguk, menyimak dengan penuh perhatian. Berharap ibunya tidak curiga dengan ekspresinya. “Ingatlah, ketika Hafiz merasa terjebak dan tidak tahu harus berbuat apa, jangan lupa untuk berdo'a. Allah selalu mendengarkan hamba-Nya yang memohon dan mau meminta,” lanjut ibunya, matanya menatap Hafiz dengan penuh keyakinan. “Mintalah petunjuk dan kekuatan kepada Allah. Karena Allah adalah sumber dari segala jawaban.” Hafiz merasakan ketenangan mengalir dalam dirinya. Dia tahu betapa pentingnya berdo'a dalam setiap langkah hidupnya. “Ketika kita berserah kepada-Nya, kita akan menemukan jalan yang benar, meski kadang tidak terlihat jelas. Allah akan selalu mengarahkan kita ke arah yang terbaik,” ibunya menambahkan, suaranya lembut namun tegas. “Kita sebagai manusia nggak boleh ragu untuk mengungkapkan semua isi hati kita kepada Allah, meskipun Allah sudah tahu apa keinginan kita, tapi Allah ingin kita tetap berdo'a dan meminta kepada-Nya.” “Dengan begitu, kita akan diberikan ketenangan dan kebijaksanaan untuk menghadapi setiap masalah yang datang,” katanya. “Jangan biarkan kegelisahan menghantui langkah kita, Nak. Berserah dan berdo'alah, dan lihatlah bagaimana Allah akan membantu kita dengan cara-cara Nya yang tak terduga.” Hafiz merasa beban di pundaknya terasa lebih ringan. “Terima kasih, Ummah. Hafiz akan selalu ingat nasihat ummah,” jawabnya, hatinya dipenuhi harapan. Ibunya tersenyum, lalu mengangguk lembut. Dengan perasaan yang lebih tenang, Hafiz melangkah keluar dari ruang sholat, bertekad untuk menghadapi masalahnya dengan keyakinan dan keteguhan hati, mengandalkan do'a dan pertolongan Allah SWT.BERSAMBUNGHafiz melangkah keluar dari rumahnya dengan penuh kehati-hatian, seolah setiap derap langkahnya harus sepelan bisikan. Dari balik pintu, ia mengintip ke arah dapur, melihat ibunya yang sedang sibuk mencuci piring. Rasa gugup berdesir di dadanya, namun Hafiz tetap nekat, berharap langkahnya tak tertangkap oleh suara atau pandangan. Setelah meyakinkan dirinya, Hafiz melangkah perlahan, menutup gerbang dengan hati-hati hingga hanya terdengar suara lembut besi yang saling bertemu. Saat gerbang itu tertutup sempurna, ia menarik napas dalam dan mulai berjalan cepat, menyusuri jalan kecil yang sepi menuju bangunan tua di dekat sekolahnya.Bangunan itu tampak terbengkalai, dikelilingi rerumputan liar yang tumbuh tak terurus, sementara temboknya berwarna kelabu dengan bercak-bercak cat yang memudar, seperti bekas luka yang mulai terlupakan. Pintu kayunya yang besar hampir roboh, miring, seakan hanya digantung oleh sisa-sisa engsel yang berkarat. Gedung ini dulunya adalah sekolah tua, penuh sej
Di Pondok Pesantren Nurul Hikmah, malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Langit yang cerah berbintang seolah mengamati rencana besar yang tersusun di benak Hafiz dan teman-temannya. Hafiz, dengan raut wajah serius, memimpin teman-temannya dalam sebuah misi rahasia untuk mengungkap siapa pelaku bullying di kelas mereka.Dengan langkah hati-hati, Hafiz, Eri, Indra, dan Erzhan bergerak menuju ruang administrasi yang terletak di ujung koridor. Mereka tahu bahwa sistem CCTV dan catatan harian berada di sana—kunci untuk membongkar misteri yang telah menghantui mereka. Hafiz membawa sebuah laptop dan beberapa alat hacking sederhana yang telah disiapkan dengan teliti.Saat mereka tiba di depan pintu ruang administrasi, Hafiz mengangkat tangan, memberi isyarat agar mereka berhenti. Jantung mereka berdetak lebih cepat, merasakan bahaya yang bisa muncul kapan saja."Eri, jaga pintu. Indra, Erzhan, bantu gue dengan laptop ini," bisik Hafiz dengan nada tegas, matanya menyapu sekeliling untuk
Di Minggu pagi yang dipenuhi sinar matahari lembut, ketika udara segar mengajak banyak orang untuk bergerak dan beraktivitas, seharusnya hari ini menjadi waktu yang penuh semangat dan produktivitas. Jalan-jalan dipenuhi dengan orang-orang yang berlari, bersepeda, atau sekadar menikmati angin pagi yang sejuk. Di rumah-rumah, aroma masakan pagi menguar dari dapur, menyebar ke setiap sudut, sementara suara tawa dan obrolan ringan mengisi suasana. Minggu ini adalah hari untuk mereset energi, mengisi ulang semangat setelah satu pekan yang padat.Namun, di salah satu sudut kota yang tenang, di dalam sebuah rumah yang senyap, semua kehangatan dan kehidupan pagi itu seolah tidak memiliki pengaruh.Kamar itu terletak di lantai atas, dengan jendela yang setengah tertutup, membiarkan hanya sedikit cahaya masuk dan menari di atas permukaan yang berantakan. Di tengah kekacauan itu, terhampar seorang pemuda di atas sofa yang telah lama menjadi tempat favoritnya. Matanya tertutup rapat, napasnya tera
Mobil berhenti dengan lembut di depan sebuah masjid besar dan megah, menara-menara tinggi menjulang dengan menara-menara masjid yang berkilauan di bawah sinar matahari pagi. Hafiz, yang sebelumnya tenggelam dalam dunianya dengan layar laptop yang bersinar, tertegun sejenak. Dia menoleh, matanya menyapu pemandangan menakjubkan yang tak biasa. "Kenapa kita berhenti di sini, Abati?" tanyanya, suaranya perlahan, ketika dia menutup laptopnya dan menaruhnya dengan hati-hati dalam tas di sampingnya. Gerakannya menggambarkan kebiasaan dan rutinitas yang sering dia jalani, namun hari ini tampaknya berbeda. Ayahnya menoleh ke arah Hafiz dengan senyum yang penuh ketenangan, "Abati mau sholat Dhuha dulu. Kamu sudah sholat?" Hafiz menggelengkan kepala dengan pelan, "Belum, Abati." "Kalau begitu, ayo," ajak ayahnya dengan nada yang lembut namun tegas, sambil membuka pintu mobil dan keluar terlebih dahulu. Langkahnya penuh keyakinan, mencerminkan kebiasaan dan kedisiplinan dalam menjalankan ibada
Malam itu, langit menyebar seperti tirai hitam yang dihiasi oleh kerlip bintang, seolah tangan tak terlihat sedang menyusun langit dengan penuh keleluasaan. Bulan bersinar lembut, menerobos celah-celah jendela kamar Hafiz dengan cahaya dingin yang tenang. Jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam, dan suasana kamar Hafiz dipenuhi oleh ketenangan malam yang menyelimuti.Setelah pertemuan dengan teman ibunya di pesantren, Hafiz pulang lebih awal dengan alasan ujian tengah semester yang akan dihadapinya keesokan hari. Orang tuanya, percaya bahwa Hafiz ingin belajar, mereka pun pulang sebelum dhuhur. Ujian yang sebenarnya akan dihadapi esok hari memang ada, tetapi alasan utama Hafiz pulang lebih awal adalah keinginannya untuk melarikan diri dari pertemuan yang membosankan itu.Di sofa panjang dekat jendela, Hafiz duduk dengan nyaman, laptop di pangkuannya, layar yang sejak siang tadi terus menyala. Dalam cahaya lembut bulan, Hafiz mengerjakan teknik baru meretas sistem CCTV, sebuah
Hafiz masih terpaku, tatapannya terkunci pada layar laptop. Isi file di dalam flashdisk itu membuat dadanya berdegup lebih cepat, campuran antara keterkejutan dan rasa bersalah menghantam dirinya. Tiba-tiba, suara ketukan pintu yang pelan namun tegas membuyarkan fokusnya."Hafiz, anak Ummah udah tidur belum?" Suara lembut ibunya terdengar dari balik pintu, menembus keheningan kamar.Dengan panik, Hafiz melompat dari tempatnya. Sekilas, matanya melirik buku-buku paket yang jarang ia sentuh berada di meja belajarnya. Ia buru-buru mengambilnya dan menyusun beberapa di sofa, berusaha membuat kamarnya terlihat seperti sarang seorang pelajar yang rajin. Buku-buku itu tergeletak asal, tapi cukup untuk memberi kesan. Napasnya ia tarik dalam-dalam, berusaha menenangkan diri.Hafiz membuka pintu, berusaha tersenyum meski gugup. "Belum, Ummah."Pandangan ibunya menyapu ruangan dengan cepat, dan akhirnya berhenti di sofa penuh buku. Matanya lembut, penuh kasih, seolah menyiratkan bahwa ia tahu se
Bel pulang berbunyi, menggema lembut di lorong-lorong sekolah. Ujian tengah semester akhirnya usai. Bagi kebanyakan siswa, ini adalah momen yang ditunggu, saat kebebasan merentang di depan mata. Namun, bagi Hafiz, bel itu bukan tanda kebebasan. Dia hanya bisa menarik napas panjang, menyadari bahwa meskipun sekolah pulang lebih awal, dirinya harus tetap menunggu. Jam dinding kelas menunjukkan pukul dua belas siang. Masih ada empat jam lagi sebelum ayahnya bisa menjemputnya pulang.Hafiz bersandar di kursinya, memejamkan mata sejenak. Kelas yang tadinya ramai kini kosong dan hening. Hanya dirinya yang masih bertahan, dikelilingi meja-meja dan kursi yang terasa dingin dan sepi. Ia mendengus pelan, lalu berdiri, memutuskan untuk mencari ketenangan di musholla. Di sana, setidaknya ia bisa menemukan kedamaian di tengah kesunyian.Langkah-langkahnya menggema di sepanjang koridor, perlahan tapi pasti menuju musholla. Sesampainya di sana, Hafiz melepas sepatu dengan gerakan malas, merasakan lan
Hari terakhir ujian selalu membawa suasana yang campur aduk. Hafiz duduk di bangkunya, dengan hoodie yang menutupi kepalanya, seolah-olah ingin menjauhkan diri dari hiruk-pikuk sekelilingnya. Udara di kelas terasa sedikit hangat, angin yang masuk dari jendela menggoyangkan tirai tipis, memberikan rasa tenang di tengah pikiran yang masih berkecamuk. Enam hari ini dia lalui dengan perasaan yang berbeda, bukan hanya karena ujian, tetapi karena keputusan sederhana yang mengubah segalanya. Hafiz berhenti menyontek.Kini, ada perasaan yang sulit dijelaskan ketika dia berhasil menyetorkan hafalan Qur’an kepada ayahnya. Setiap malam, ada kehangatan yang dirasakan Hafiz saat mendengar pujian ayahnya, meski hanya lewat telepon. Namun di sisi lain, tuntutan untuk belajar terasa seperti beban yang tak pernah surut. Materi-materi ujian menumpuk di hadapannya seperti dinding tinggi yang sulit ditembus. Hafiz merasa kesulitan, namun ibu tak tinggal diam. Dengan kasih sayang yang tak pernah ia ungkap
Hafiz melangkah keluar dari rumahnya dengan penuh kehati-hatian, seolah setiap derap langkahnya harus sepelan bisikan. Dari balik pintu, ia mengintip ke arah dapur, melihat ibunya yang sedang sibuk mencuci piring. Rasa gugup berdesir di dadanya, namun Hafiz tetap nekat, berharap langkahnya tak tertangkap oleh suara atau pandangan. Setelah meyakinkan dirinya, Hafiz melangkah perlahan, menutup gerbang dengan hati-hati hingga hanya terdengar suara lembut besi yang saling bertemu. Saat gerbang itu tertutup sempurna, ia menarik napas dalam dan mulai berjalan cepat, menyusuri jalan kecil yang sepi menuju bangunan tua di dekat sekolahnya.Bangunan itu tampak terbengkalai, dikelilingi rerumputan liar yang tumbuh tak terurus, sementara temboknya berwarna kelabu dengan bercak-bercak cat yang memudar, seperti bekas luka yang mulai terlupakan. Pintu kayunya yang besar hampir roboh, miring, seakan hanya digantung oleh sisa-sisa engsel yang berkarat. Gedung ini dulunya adalah sekolah tua, penuh sej
"Baiklah, mari kita lihat apa yang sebenarnya terjadi." batin Hafiz.Setelah beberapa menit, Hafiz akhirnya berhasil masuk ke dalam sistem CCTV. Di layar, berbagai sudut sekolah mulai muncul. Dia memeriksa satu per satu, mencari tanda-tanda bahwa CCTV masih aktif. Semua kamera terlihat berfungsi dengan baik, menunjukkan suasana kelas yang sudah kosong karena para siswa telah pulang setelah ujian terakhir. Tidak ada yang mencurigakan sejauh ini.Namun, Hafiz tidak berhenti di situ. Dia memutuskan untuk mengakses rekaman beberapa jam yang lalu, tepat setelah Darren berbicara di kelas. Jemarinya kembali menari di atas keyboard, kali ini lebih cepat. Gambar demi gambar melintas di layar. Hafiz mempercepat putaran waktu di rekaman, mencari sosok Darren.Dan di situlah dia. Hafiz melihat Darren, berdiri di depan gerbang sekolah bersama seorang pria yang tidak ia kenal. Darren berbicara dengan serius, sementara pria itu mengangguk. Namun sayangnya, tidak ada suara dari rekaman CCTV itu."Mati
Hari terakhir ujian selalu membawa suasana yang campur aduk. Hafiz duduk di bangkunya, dengan hoodie yang menutupi kepalanya, seolah-olah ingin menjauhkan diri dari hiruk-pikuk sekelilingnya. Udara di kelas terasa sedikit hangat, angin yang masuk dari jendela menggoyangkan tirai tipis, memberikan rasa tenang di tengah pikiran yang masih berkecamuk. Enam hari ini dia lalui dengan perasaan yang berbeda, bukan hanya karena ujian, tetapi karena keputusan sederhana yang mengubah segalanya. Hafiz berhenti menyontek.Kini, ada perasaan yang sulit dijelaskan ketika dia berhasil menyetorkan hafalan Qur’an kepada ayahnya. Setiap malam, ada kehangatan yang dirasakan Hafiz saat mendengar pujian ayahnya, meski hanya lewat telepon. Namun di sisi lain, tuntutan untuk belajar terasa seperti beban yang tak pernah surut. Materi-materi ujian menumpuk di hadapannya seperti dinding tinggi yang sulit ditembus. Hafiz merasa kesulitan, namun ibu tak tinggal diam. Dengan kasih sayang yang tak pernah ia ungkap
Bel pulang berbunyi, menggema lembut di lorong-lorong sekolah. Ujian tengah semester akhirnya usai. Bagi kebanyakan siswa, ini adalah momen yang ditunggu, saat kebebasan merentang di depan mata. Namun, bagi Hafiz, bel itu bukan tanda kebebasan. Dia hanya bisa menarik napas panjang, menyadari bahwa meskipun sekolah pulang lebih awal, dirinya harus tetap menunggu. Jam dinding kelas menunjukkan pukul dua belas siang. Masih ada empat jam lagi sebelum ayahnya bisa menjemputnya pulang.Hafiz bersandar di kursinya, memejamkan mata sejenak. Kelas yang tadinya ramai kini kosong dan hening. Hanya dirinya yang masih bertahan, dikelilingi meja-meja dan kursi yang terasa dingin dan sepi. Ia mendengus pelan, lalu berdiri, memutuskan untuk mencari ketenangan di musholla. Di sana, setidaknya ia bisa menemukan kedamaian di tengah kesunyian.Langkah-langkahnya menggema di sepanjang koridor, perlahan tapi pasti menuju musholla. Sesampainya di sana, Hafiz melepas sepatu dengan gerakan malas, merasakan lan
Hafiz masih terpaku, tatapannya terkunci pada layar laptop. Isi file di dalam flashdisk itu membuat dadanya berdegup lebih cepat, campuran antara keterkejutan dan rasa bersalah menghantam dirinya. Tiba-tiba, suara ketukan pintu yang pelan namun tegas membuyarkan fokusnya."Hafiz, anak Ummah udah tidur belum?" Suara lembut ibunya terdengar dari balik pintu, menembus keheningan kamar.Dengan panik, Hafiz melompat dari tempatnya. Sekilas, matanya melirik buku-buku paket yang jarang ia sentuh berada di meja belajarnya. Ia buru-buru mengambilnya dan menyusun beberapa di sofa, berusaha membuat kamarnya terlihat seperti sarang seorang pelajar yang rajin. Buku-buku itu tergeletak asal, tapi cukup untuk memberi kesan. Napasnya ia tarik dalam-dalam, berusaha menenangkan diri.Hafiz membuka pintu, berusaha tersenyum meski gugup. "Belum, Ummah."Pandangan ibunya menyapu ruangan dengan cepat, dan akhirnya berhenti di sofa penuh buku. Matanya lembut, penuh kasih, seolah menyiratkan bahwa ia tahu se
Malam itu, langit menyebar seperti tirai hitam yang dihiasi oleh kerlip bintang, seolah tangan tak terlihat sedang menyusun langit dengan penuh keleluasaan. Bulan bersinar lembut, menerobos celah-celah jendela kamar Hafiz dengan cahaya dingin yang tenang. Jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam, dan suasana kamar Hafiz dipenuhi oleh ketenangan malam yang menyelimuti.Setelah pertemuan dengan teman ibunya di pesantren, Hafiz pulang lebih awal dengan alasan ujian tengah semester yang akan dihadapinya keesokan hari. Orang tuanya, percaya bahwa Hafiz ingin belajar, mereka pun pulang sebelum dhuhur. Ujian yang sebenarnya akan dihadapi esok hari memang ada, tetapi alasan utama Hafiz pulang lebih awal adalah keinginannya untuk melarikan diri dari pertemuan yang membosankan itu.Di sofa panjang dekat jendela, Hafiz duduk dengan nyaman, laptop di pangkuannya, layar yang sejak siang tadi terus menyala. Dalam cahaya lembut bulan, Hafiz mengerjakan teknik baru meretas sistem CCTV, sebuah
Mobil berhenti dengan lembut di depan sebuah masjid besar dan megah, menara-menara tinggi menjulang dengan menara-menara masjid yang berkilauan di bawah sinar matahari pagi. Hafiz, yang sebelumnya tenggelam dalam dunianya dengan layar laptop yang bersinar, tertegun sejenak. Dia menoleh, matanya menyapu pemandangan menakjubkan yang tak biasa. "Kenapa kita berhenti di sini, Abati?" tanyanya, suaranya perlahan, ketika dia menutup laptopnya dan menaruhnya dengan hati-hati dalam tas di sampingnya. Gerakannya menggambarkan kebiasaan dan rutinitas yang sering dia jalani, namun hari ini tampaknya berbeda. Ayahnya menoleh ke arah Hafiz dengan senyum yang penuh ketenangan, "Abati mau sholat Dhuha dulu. Kamu sudah sholat?" Hafiz menggelengkan kepala dengan pelan, "Belum, Abati." "Kalau begitu, ayo," ajak ayahnya dengan nada yang lembut namun tegas, sambil membuka pintu mobil dan keluar terlebih dahulu. Langkahnya penuh keyakinan, mencerminkan kebiasaan dan kedisiplinan dalam menjalankan ibada
Di Minggu pagi yang dipenuhi sinar matahari lembut, ketika udara segar mengajak banyak orang untuk bergerak dan beraktivitas, seharusnya hari ini menjadi waktu yang penuh semangat dan produktivitas. Jalan-jalan dipenuhi dengan orang-orang yang berlari, bersepeda, atau sekadar menikmati angin pagi yang sejuk. Di rumah-rumah, aroma masakan pagi menguar dari dapur, menyebar ke setiap sudut, sementara suara tawa dan obrolan ringan mengisi suasana. Minggu ini adalah hari untuk mereset energi, mengisi ulang semangat setelah satu pekan yang padat.Namun, di salah satu sudut kota yang tenang, di dalam sebuah rumah yang senyap, semua kehangatan dan kehidupan pagi itu seolah tidak memiliki pengaruh.Kamar itu terletak di lantai atas, dengan jendela yang setengah tertutup, membiarkan hanya sedikit cahaya masuk dan menari di atas permukaan yang berantakan. Di tengah kekacauan itu, terhampar seorang pemuda di atas sofa yang telah lama menjadi tempat favoritnya. Matanya tertutup rapat, napasnya tera
Di Pondok Pesantren Nurul Hikmah, malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Langit yang cerah berbintang seolah mengamati rencana besar yang tersusun di benak Hafiz dan teman-temannya. Hafiz, dengan raut wajah serius, memimpin teman-temannya dalam sebuah misi rahasia untuk mengungkap siapa pelaku bullying di kelas mereka.Dengan langkah hati-hati, Hafiz, Eri, Indra, dan Erzhan bergerak menuju ruang administrasi yang terletak di ujung koridor. Mereka tahu bahwa sistem CCTV dan catatan harian berada di sana—kunci untuk membongkar misteri yang telah menghantui mereka. Hafiz membawa sebuah laptop dan beberapa alat hacking sederhana yang telah disiapkan dengan teliti.Saat mereka tiba di depan pintu ruang administrasi, Hafiz mengangkat tangan, memberi isyarat agar mereka berhenti. Jantung mereka berdetak lebih cepat, merasakan bahaya yang bisa muncul kapan saja."Eri, jaga pintu. Indra, Erzhan, bantu gue dengan laptop ini," bisik Hafiz dengan nada tegas, matanya menyapu sekeliling untuk