Share

Bab 6. Di Ambang Bahaya

Hari terakhir ujian selalu membawa suasana yang campur aduk. Hafiz duduk di bangkunya, dengan hoodie yang menutupi kepalanya, seolah-olah ingin menjauhkan diri dari hiruk-pikuk sekelilingnya. Udara di kelas terasa sedikit hangat, angin yang masuk dari jendela menggoyangkan tirai tipis, memberikan rasa tenang di tengah pikiran yang masih berkecamuk. Enam hari ini dia lalui dengan perasaan yang berbeda, bukan hanya karena ujian, tetapi karena keputusan sederhana yang mengubah segalanya. Hafiz berhenti menyontek.

Kini, ada perasaan yang sulit dijelaskan ketika dia berhasil menyetorkan hafalan Qur’an kepada ayahnya. Setiap malam, ada kehangatan yang dirasakan Hafiz saat mendengar pujian ayahnya, meski hanya lewat telepon. Namun di sisi lain, tuntutan untuk belajar terasa seperti beban yang tak pernah surut. Materi-materi ujian menumpuk di hadapannya seperti dinding tinggi yang sulit ditembus. Hafiz merasa kesulitan, namun ibu tak tinggal diam. Dengan kasih sayang yang tak pernah ia ungkapkan dengan kata-kata, ibu mendatangkan guru les privat untuknya—seseorang yang sabar, yang mengajarinya dengan pelan, satu demi satu. Hari demi hari, materi yang dulu seperti teka-teki mulai menjadi potongan yang bisa ia susun.

Di kelas, Hafiz tetap bersandar pada meja, membiarkan pikirannya melayang. Rasa lega perlahan-lahan meresap ke dalam dirinya. Ini pertama kalinya dia benar-benar belajar, bukan karena terpaksa, tetapi karena pilihan. Namun, ketika dia hampir menutup matanya, suara dari belakang membuatnya terkejut.

"Matikan CCTV sekolah dulu sebelum lo bertindak."

Hafiz diam, tubuhnya tetap dalam posisi semula, tetapi telinganya siaga. Suara itu milik Darren. Anak yang selama ini dianggapnya sama malasnya dengan dirinya, ternyata punya rencana lain. Hafiz tetap menunduk, berpura-pura tak mendengar apa pun, namun hatinya berdegup kencang.

"Okay, gue tunggu info selanjutnya dari lo. Hati-hati, jangan sampai ketahuan," lanjut Darren, dengan suara rendah namun jelas. Langkah Darren terdengar cepat meninggalkan kelas, meninggalkan Hafiz dalam kebingungan.

Dengan perlahan, Hafiz mengangkat kepalanya, menatap punggung Darren yang menghilang di balik pintu kelas.

'Apa maksudnya?' batin Hafiz.

Suara Darren menggantung di udara, seolah meninggalkan tanda tanya besar di kepala Hafiz. Di tengah pikirannya yang kacau, tiba-tiba telepon di sakunya bergetar.

Abati

Hafiz segera bangkit dari tempat duduknya, menaruh alat tulisnya ke dalam tas dengan tergesa. Panggilan dari Ayahnya selalu berarti satu hal. Waktunya pulang. Hafiz melangkah cepat menuju gerbang sekolah. Saat melihat sosok ayahnya di sana, berdiri menunggu di samping mobil, ada kehangatan yang merasuk dalam dirinya. Senyum ayahnya, meski tipis, selalu memberikan ketenangan.

Di jalan pulang, Hafiz diam, tapi pikirannya terus berputar, mengulang-ulang apa yang baru saja ia dengar. Ada sesuatu yang sedang terjadi, dan ia tahu ini bukan urusannya. Tapi perasaan itu tetap ada, mengendap di benaknya, seperti debu halus yang sulit dihilangkan.

Setelah mobil ayahnya berhenti di depan rumah, Hafiz turun dengan langkah tenang. Siang itu terasa sedikit panas, tapi angin yang bertiup sesekali cukup membantu menyejukkan suasana. Pandangannya tertuju pada ibunya yang tengah sibuk di halaman, mengatur beberapa barang dengan gerakan cepat namun penuh perhatian, seperti biasa. Saat Hafiz dan ayahnya mendekat, ibunya menoleh, senyumnya langsung menyebar, menambah kehangatan yang sudah dirasakannya sejak jauh.

"Assalamualaikum, Ummah," sapanya sambil melempar senyum. Suara Hafiz terdengar santai, tapi ada rasa lega yang sulit disembunyikan.

"Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, anak ummah sudah pulang," jawab ibunya, suaranya penuh kelembutan yang membuat Hafiz merasa benar-benar pulang.

"Gimana ujian terakhirnya, Nak?" tanya ibunya.

Hafiz mengangguk sedikit. "Alhamdulillah, Hafiz bisa ngerjain semua, Ummah." Jawabannya sederhana, tapi di balik itu ada rasa puas yang dalam. Untuk pertama kalinya, dia merasa berhasil melewati ujian tanpa bantuan selain belajar keras.

Ayahnya, yang berdiri di sampingnya, memberikan tepukan lembut di bahunya. "Abati bangga, Hafiz. Kamu sudah berubah banyak akhir-akhir ini. Teruslah seperti ini."

Kata-kata ayahnya, meski singkat, terasa berat di hati Hafiz. Ini bukan sekadar pujian. Ini pengakuan. Hafiz tersenyum kecil, merasa bahwa semua usaha yang dia lakukan tidak sia-sia. Ada sesuatu yang mulai tumbuh dalam dirinya. Kesadaran bahwa dia mampu, bahwa dia bisa lebih dari sekadar apa yang dulu dia pikirkan tentang dirinya.

Ibunya mendekat dan mengelus rambutnya, membuat Hafiz merasa seperti anak kecil lagi. Ada sesuatu tentang sentuhan ibunya yang selalu membuatnya tenang, membuat semua masalah terasa sedikit lebih mudah dihadapi.

Namun, di balik semua itu, pikiran Hafiz masih melayang pada apa yang didengarnya tadi di kelas. Darren, dan pembicaraannya yang aneh di telepon. Hafiz merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Dia melirik ayahnya yang tengah membuka bagasi mobil, mengeluarkan beberapa barang, dan ibunya yang sudah kembali ke pekerjaannya di halaman. Keduanya tampak sibuk, tapi Hafiz tahu dia harus segera mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Di kamarnya, sinar matahari siang masuk melalui jendela, menerangi meja yang tertata rapi. Hafiz duduk, merasakan permukaan dingin dari sofa panjang miliknya. Tanpa berpikir panjang, tangannya bergerak lincah, membuka laptop yang sudah menjadi teman setianya selama bertahun-tahun. Jemarinya mengetik dengan ritme yang sudah hafal betul, membuka sistem yang dulu pernah ia gunakan. Di balik layar itu, sebuah dunia tersembunyi yang Hafiz kenal lebih dari siapa pun, dunia yang memberinya kendali atas sesuatu yang tak terjangkau.

Namun di balik cahaya matahari yang lembut dan angin siang yang menyejukkan, Hafiz merasakan sesuatu yang gelap. Firasat yang menusuk telah membisikkan bahwa apa yang akan ditemukannya tak hanya sekadar informasi. Ada sesuatu yang lebih besar dari itu.

Darren dan rencana misteriusnya.

Hafiz tahu, rasa penasaran ini seperti api yang membara. Jika tak segera dipadamkan, ia akan terbakar habis. Tapi ada satu hal yang dia abaikan. Hafiz dengan segala rasa ingin tahunya itu akan membuat takdir membawanya ke dalam jurang masalah besar. Yang mungkin, bahkan akan menyeret keluarganya juga.

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status