Share

Bab 3. Jejak Kecurangan

Author: litrcse
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Malam itu, langit menyebar seperti tirai hitam yang dihiasi oleh kerlip bintang, seolah tangan tak terlihat sedang menyusun langit dengan penuh keleluasaan. Bulan bersinar lembut, menerobos celah-celah jendela kamar Hafiz dengan cahaya dingin yang tenang. Jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam, dan suasana kamar Hafiz dipenuhi oleh ketenangan malam yang menyelimuti.

Setelah pertemuan dengan teman ibunya di pesantren, Hafiz pulang lebih awal dengan alasan ujian tengah semester yang akan dihadapinya keesokan hari. Orang tuanya, percaya bahwa Hafiz ingin belajar, mereka pun pulang sebelum dhuhur. Ujian yang sebenarnya akan dihadapi esok hari memang ada, tetapi alasan utama Hafiz pulang lebih awal adalah keinginannya untuk melarikan diri dari pertemuan yang membosankan itu.

Di sofa panjang dekat jendela, Hafiz duduk dengan nyaman, laptop di pangkuannya, layar yang sejak siang tadi terus menyala. Dalam cahaya lembut bulan, Hafiz mengerjakan teknik baru meretas sistem CCTV, sebuah permainan yang membangkitkan rasa ingin tahunya. Meskipun ia sudah mahir dalam dunia hacking, rasa penasaran yang tak tertahan mendorongnya untuk selalu mengeksplorasi teknik-teknik baru.

Matanya tertuju pada layar laptop, menganalisis daftar perangkat CCTV yang berhasil didapat dari sumber yang tak terlalu jelas. Ketika ia menemukan sebuah alamat IP yang mengarah pada sistem CCTV sekolahnya, ia terdiam sejenak. 

"Sekolah?" pikirnya, kening berkerut. Ada rasa terkejut namun sekaligus penasaran yang membakar dalam dirinya. Hafiz mengingat bagaimana sistem keamanan sekolah seringkali mengandalkan pengaturan default yang sering kali terlupakan.

Dengan penuh kehati-hatian, Hafiz mengetikkan alamat IP tersebut di browser. Tampilan login yang sederhana muncul di layar, tanpa hiasan yang mencolok. Hafiz memeriksa catatannya untuk password default—kombinasi-kombinasi umum yang sering digunakan pada sistem CCTV. Dengan ketenangan yang khas, ia mencoba beberapa kombinasi yang umum digunakan. Beberapa kali percobaan gagal, namun akhirnya, salah satu kombinasi berhasil.

"Wah," gumamnya, bibir melengkung dalam senyuman puas. Layar berubah, menampilkan antarmuka sistem keamanan sekolah. Semua kamera yang terhubung kini berada di bawah kendalinya, menampilkan rekaman yang jernih dan akses penuh ke pengaturan.

Hafiz melanjutkan penelitiannya dengan penuh perhatian, mengamati setiap rekaman dari kamera yang terpasang di berbagai sudut sekolah. Matanya melintasi rekaman aktivitas siswa di lapangan, di kantin yang ramai dengan suara tawaan, parkiran yang tenang, hingga aktivitas guru di kantor. Kamera juga menangkap kesibukan di laboratorium komputer, laboratorium IPA, ruang bahasa, dan perpustakaan. Semua ini bagai jendela ke dunia sekolah yang tak pernah ia perhatikan sebelumnya.

Namun, saat matanya melintas di salah satu feed, Hafiz tersentak. Di layar, tampak seorang gadis dengan penampilan yang berbeda dari kebanyakan siswi di sekolah. Gadis itu mengenakan kerudung syar’i, dan tampak begitu fokus membaca buku. Hafiz memperbesar tampilan rekaman itu.

"Cantik," gumam Hafiz, suaranya hampir tak terdengar, seolah hanya untuk dirinya sendiri. Pandangannya tak bisa berpaling dari layar. Gadis itu duduk dengan tenang, sesekali tersenyum lembut ketika membaca sesuatu yang membuatnya begitu terpesona. Senyumnya yang tulus dan penuh rasa nyaman membuat Hafiz merasa seperti melayang di luar waktu.

Waktu berlalu, dan Hafiz masih terpaku pada feed tersebut. Sudah lebih dari 30 menit, dan ia merasa enggan untuk berpindah dari tampilan yang menarik perhatiannya ini. Dalam diam, ia mengamati setiap detail gerakan gadis itu, dari gerak lembut jarinya saat membalik halaman, hingga ekspresi wajahnya yang penuh ketenangan.

"Betah banget nih cewek baca buku," gumam Hafiz dengan nada penasaran. Dia merasa heran, mengingat dirinya adalah siswa yang selalu enggan membaca. Jika disuruh berhadapan dengan soal-soal pelajaran seperti bahasa Indonesia atau matematika, Hafiz lebih memilih matematika, meskipun nilai matematikanya pun tak terlalu mengesankan. Baginya, membaca adalah aktivitas yang membosankan dan memakan waktu.

Hafiz terus mengamati gadis yang menarik perhatiannya hingga tiba-tiba gadis itu menerima telepon dari seseorang. Dengan gesit, gadis itu beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan perpustakaan. 

"Yah," keluh Hafiz, dia merasa sedikit kehilangan momen yang menyenangkan, tetapi segera mengalihkan perhatian ke feed kamera lainnya.

Satu per satu, rekaman di layar menampilkan berbagai aktivitas, hingga akhirnya perhatian Hafiz tertuju pada ruang Tata Usaha (TU). Di sana, beberapa guru terlihat sedang sibuk membagikan amplop coklat yang jelas-jelas bertuliskan:

Ujian Tengah Semester

Melihat itu, Hafiz mendengus kesal. "Ujian lagi," gumamnya dengan nada sinis. Di matanya, ujian adalah sebuah ritual yang tidak hanya membosankan tetapi juga tidak berguna. Bagi Hafiz, ujian hanya sebuah formalitas yang harus dilalui untuk memenuhi kewajiban sekolah. Ia merasa terasing dalam sistem pendidikan yang kaku ini, merasa tidak ada manfaat nyata dalam kurikulum dan teori yang diajarkan.

"Ya Allah, kenapa sih harus ada ujian?" pikir Hafiz, sambil melirik dengan malas ke amplop-amplop yang dibagikan para guru itu. Menurutnya, ujian hanya menghambat kreativitas dan semangatnya untuk mengeksplorasi hal-hal yang benar-benar menarik—seperti membongkar kode-kode kompleks dan meretas sistem keamanan.

Bagi Hafiz, dunia sebenarnya terletak di luar dinding-dinding ruang kelas, dalam eksperimen langsung dan penjelajahan yang tak terbatas. Membaca teori yang terasa tidak relevan dengan minatnya hanya membuatnya semakin frustrasi.

Sementara pikirannya berkecamuk, matanya secara tidak sengaja kembali menangkap gerakan dari rekaman CCTV. Seorang guru tampak terburu-buru memberikan benda kecil kepada guru lainnya. Hafiz memperbesar layar rekaman itu, dan tak bisa menahan keingintahuannya. "Flashdisk?" gumamnya, alisnya terangkat dengan penuh rasa ingin tahu.

Hafiz terus mengamati rekaman CCTV dengan cermat. Ia melihat guru yang menerima flashdisk memasukkan benda kecil itu ke dalam komputer, lalu mulai mengetik sesuatu dengan cepat. Tidak hanya itu, Hafiz menangkap gerakan guru itu memberikan kode ke guru yang memberinya flashdisk. Kode tersebut, meskipun tidak jelas, mengundang rasa penasaran yang mendalam dalam diri Hafiz.

"Apa maksudnya?" gumamnya, nada suaranya penuh rasa ingin tahu dan kekaguman. Tergerak oleh rasa penasaran yang semakin meningkat, Hafiz memutuskan untuk menyelidiki lebih lanjut. Ia kembali memperbaiki posisinya di sofa, matanya berkilat dalam cahaya redup dari layar laptop. Malam yang tenang di luar jendela kontras dengan kegiatannya yang intens di dunia maya.

Langkah pertama dalam misinya adalah pemetaan jaringan ulang—sebuah proses yang menyerupai menyusun potongan puzzle yang tampaknya tak pernah lengkap. Dengan alat pemindai jaringan sebagai senjata utamanya, Hafiz mulai memetakan jaringan komputer sekolah. Alat ini mengungkapkan alamat IP, jenis perangkat, dan port yang terbuka, memberi petunjuk tentang keberadaan komputer yang terhubung dengan flashdisk yang misterius.

"Sudah hampir," bisik Hafiz pada dirinya sendiri, berharap menemukan titik terang di tengah kompleksitas jaringan. Namun, ketika ia akhirnya berhasil mengidentifikasi komputer target, rasa frustasi menyelinap ke dalam pikirannya. Sistem keamanan yang melindungi komputer tersebut jauh lebih kuat daripada yang diperkirakan. Lapisan perlindungan yang ada—baik dari sistem operasi maupun perangkat lunak—menyulitkan setiap langkah yang diambilnya.

"Gila, ini lebih rumit dari yang gue kira!" keluh Hafiz, tangan kanannya mengacak-acak rambutnya dengan frustrasi. Alat pemindai kerentanan menunjukkan sistem deteksi aktif yang memantau setiap perubahan dengan ketelitian yang membuat Hafiz merasa seperti sedang berlari di labirin yang penuh jebakan.

Tidak menyerah, Hafiz memutuskan untuk memanfaatkan teknik rekayasa sosial sebagai langkah berikutnya. Ia kembali mengamati rekaman CCTV, mempelajari percakapan dan gerak-gerik guru di area tersebut. Namun, tantangan baru muncul—komputer-komputer di area itu dilindungi dengan dua lapis autentikasi.

"Woy! Kenapa harus ada dua lapis autentikasi di sini?!" keluh Hafiz, matanya menyipit dan napasnya mulai memburu. Lapisan pertama adalah password, sementara lapisan kedua berupa token yang dikirimkan melalui SMS ke perangkat pribadi. Ini membuat rencana awalnya terhambat dan menambah kerumitan yang harus diatasi. Hafiz merasakan keputusasaan, tapi dia paham betul bahwa dirinya tidak akan membiarkan rasa penasaran terus menghantuinya.

Hafiz memutuskan untuk merancang malware baru, tetapi masalah baru muncul, program antivirus yang sangat kuat dan sistem deteksi intrusi yang aktif. Setiap kali malware-nya diuji, sistem deteksi intrusi langsung memicu alarm. 

"Proteksi ekstra?" tanyanya dengan penuh frustrasi, matanya membesar kesal. Ia harus memutar otak untuk menyempurnakan malware-nya agar tidak terdeteksi oleh perangkat lunak keamanan.

Setelah berhasil, rintangan berikutnya muncul ketika ia mencoba mengirimkan malware ke komputer target. File yang tampak tidak berbahaya yang ia pilih sebagai metode penyusupan ditolak oleh sistem keamanan yang memeriksa setiap file dengan seksama. 

"Gimana caranya biar file ini lolos?" Hafiz meremas rambutnya, frustrasi. Ia harus mencari metode rekayasa sosial yang lebih canggih, merancang file dengan format yang lebih meyakinkan, dengan pesan yang tampak sangat penting dan mendesak.

Akhirnya, setelah banyak uji coba dan perbaikan, malware berhasil aktif. Namun, sistem enkripsi yang melindungi data di flashdisk adalah rintangan terakhir. 

"Aarrghhhhhhh!" teriak Hafiz dengan frustrasi, tubuhnya melorot ke sofa seolah kehilangan tenaga. Kepalanya terbenam di punggung sofa yang empuk, napasnya memburu seiring dengan kegundahan yang menyelimutinya.

Matanya melirik ke jam dinding yang menggantung dengan tenang di sudut kamar, menunjukkan hampir pukul sepuluh malam. Waktu yang berlalu terasa seperti beban yang semakin berat di pundaknya. Dengan langkah yang terasa berat dan penuh beban, Hafiz akhirnya bangkit dari sofanya dan melangkah menuju kamar mandi. Di dalam keheningan malam, ia menjalankan kebiasaannya—mengambil wudhu dengan gerakan yang tenang dan penuh makna. Air dingin menyentuh wajahnya, memberikan sensasi kesegaran yang menghapus sebagian besar beban emosionalnya. Setiap tetes air seolah meresap ke dalam jiwa, memberi Hafiz kesempatan untuk meresapi ketenangan dan mencoba menemukan kembali ketajaman pikirannya.

Setelah selesai, Hafiz kembali ke sofanya, menarik napas dalam-dalam dan menyentuh kembali laptopnya. Di ruang yang temaram, hanya cahaya lembut dari layar laptop yang menerangi wajahnya yang penuh tekad. Hafiz merasa seperti berdiri di tepi jurang yang dalam dan gelap, di mana setiap langkah yang diambil adalah taruhan besar.

Ia mulai mempersiapkan semua alat yang diperlukan untuk brute-force dengan penuh perhatian. Program dekripsi yang canggih—dirancang khusus untuk menghadapi lapisan enkripsi yang kompleks—siap di tangan. Dengan penuh kehati-hatian, Hafiz memuat file yang dienkripsi ke dalam program tersebut. 

"Oke, Bismillah," bisiknya lembut pada dirinya sendiri, tatapannya terfokus tajam pada layar yang menampilkan deretan angka dan huruf.

Program meminta beberapa parameter penting—algoritma enkripsi, panjang kunci, dan jenis hash yang digunakan. Hafiz, dengan pengetahuan mendalamnya tentang metode enkripsi, mengisi informasi ini dengan cermat. 

"Semuanya harus sesuai," pikirnya, memastikan setiap parameter diatur dengan ketelitian maksimal. Satu kesalahan kecil bisa membuat seluruh usaha ini sia-sia.

Setelah parameter diatur, Hafiz memulai proses brute-force. Program ini mulai bekerja dengan menguji jutaan kemungkinan kunci secara sistematis, satu per satu. Hafiz menyaksikan dengan cemas saat layar laptopnya menunjukkan deretan angka dan huruf yang terus menerus berubah. 

"Semoga gak memakan waktu lama, sebelum ummah datang, ini harus berhasil," gumamnya, sambil mengatur algoritma agar lebih efisien. Ibunya memang selalu mengecek hafiz setiap malam, memastikan agar putranya tidur tepat waktu, setidaknya jam setengah sebelas sudah tidur. Karena Hafiz adalah anak tunggal mereka, jadi mereka selalu melakukan hal itu, demi kebaikan Hafiz, itulah alasan mereka. 

Waktu terasa seperti melambat saat Hafiz melihat layar. Proses brute-force memerlukan daya komputasi yang sangat besar, dan suara kipas laptop yang berputar keras menambah tekanan. Setiap beberapa menit, Hafiz mengecek kemajuan, melihat seberapa banyak kemungkinan yang sudah diuji. 

Hafiz mendengus kesal, "Ternyata masih banyak lagi yang harus dicoba," keluhnya, merasa lelah namun tetap fokus.

Di tengah proses, Hafiz menghadapi beberapa masalah teknis. Kadang-kadang, program dekripsi mengalami kegagalan sementara, atau laptop menjadi terlalu panas. 

"What? Apa-apaan ini woy!" Hafiz berteriak frustrasi, menekan tombol reset pada program untuk mengatasi masalah ini. Dia menggunakan teknik optimasi untuk mempercepat proses dan memastikan komputer tetap dalam kondisi baik.

Akhirnya, setelah berjam-jam perjuangan, program brute-force menunjukkan kemajuan yang signifikan. "Okay, Fiz, sedikit lagi," ucap Hafiz, berharap proses ini segera membuahkan hasil. Dia terus memantau layar dengan ketegangan tinggi, hingga akhirnya..

"Yes!" Hafiz mengepalkan tangan, rogram mengonfirmasi bahwa kunci enkripsi telah berhasil dipecahkan, dan data dari flashdisk mulai mengalir ke laptopnya.

Dengan data yang berhasil diakses, Hafiz memeriksa file-file yang diekstraksi dengan hati-hati. 

“Akhirnya, Fiz, lo berhasil,” bisik Hafiz pada dirinya sendiri, suaranya penuh dengan campuran kepuasan dan kelelahan. Ia memeriksa data dengan seksama, memastikan semuanya lengkap dan tidak rusak sebelum melanjutkan untuk mengenkripsi file agar tetap aman. Setiap jejak aktivitas hacking yang mungkin mengungkapkan keberadaannya dibersihkan dengan hati-hati. Log sistem dan file sementara dihapus, memastikan bahwa tidak ada bukti yang tersisa dari upayanya yang penuh risiko.

Setelah semua bersih, Hafiz membuka isi flashdisk dengan jari-jari yang gemetar. Saat ia menjelajahi folder, matanya membelalak saat isi file mulai terbuka di layar laptopnya.

Kunci Jawaban UTS.

Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Antara rasa puas dan cemas, Hafiz hanya bisa terpaku menatap layar, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. 

"Ya Allah, hamba-Mu ini tidak ada niatan sama sekali, tadi cuma penasaran aja sama isinya," katanya dengan nada hampir berbisik. Ia tahu betul bahwa ia berada di ambang garis tipis antara benar dan salah. Tangannya masih menggenggam mouse, dan senyuman miring perlahan mengembang di wajahnya.

"Hamba-Mu ini nggak mau nyontek, ya Allah, tapi…" ucapnya pelan, sambil tersenyum licik, "jawaban ini juga nggak bisa diabaikan."

BERSAMBUNG

Related chapters

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 4. Ganjaran

    Hafiz masih terpaku, tatapannya terkunci pada layar laptop. Isi file di dalam flashdisk itu membuat dadanya berdegup lebih cepat, campuran antara keterkejutan dan rasa bersalah menghantam dirinya. Tiba-tiba, suara ketukan pintu yang pelan namun tegas membuyarkan fokusnya."Hafiz, anak Ummah udah tidur belum?" Suara lembut ibunya terdengar dari balik pintu, menembus keheningan kamar.Dengan panik, Hafiz melompat dari tempatnya. Sekilas, matanya melirik buku-buku paket yang jarang ia sentuh berada di meja belajarnya. Ia buru-buru mengambilnya dan menyusun beberapa di sofa, berusaha membuat kamarnya terlihat seperti sarang seorang pelajar yang rajin. Buku-buku itu tergeletak asal, tapi cukup untuk memberi kesan. Napasnya ia tarik dalam-dalam, berusaha menenangkan diri.Hafiz membuka pintu, berusaha tersenyum meski gugup. "Belum, Ummah."Pandangan ibunya menyapu ruangan dengan cepat, dan akhirnya berhenti di sofa penuh buku. Matanya lembut, penuh kasih, seolah menyiratkan bahwa ia tahu se

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 5. Menuju Penebusan

    Bel pulang berbunyi, menggema lembut di lorong-lorong sekolah. Ujian tengah semester akhirnya usai. Bagi kebanyakan siswa, ini adalah momen yang ditunggu, saat kebebasan merentang di depan mata. Namun, bagi Hafiz, bel itu bukan tanda kebebasan. Dia hanya bisa menarik napas panjang, menyadari bahwa meskipun sekolah pulang lebih awal, dirinya harus tetap menunggu. Jam dinding kelas menunjukkan pukul dua belas siang. Masih ada empat jam lagi sebelum ayahnya bisa menjemputnya pulang.Hafiz bersandar di kursinya, memejamkan mata sejenak. Kelas yang tadinya ramai kini kosong dan hening. Hanya dirinya yang masih bertahan, dikelilingi meja-meja dan kursi yang terasa dingin dan sepi. Ia mendengus pelan, lalu berdiri, memutuskan untuk mencari ketenangan di musholla. Di sana, setidaknya ia bisa menemukan kedamaian di tengah kesunyian.Langkah-langkahnya menggema di sepanjang koridor, perlahan tapi pasti menuju musholla. Sesampainya di sana, Hafiz melepas sepatu dengan gerakan malas, merasakan lan

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 6. Di Ambang Bahaya

    Hari terakhir ujian selalu membawa suasana yang campur aduk. Hafiz duduk di bangkunya, dengan hoodie yang menutupi kepalanya, seolah-olah ingin menjauhkan diri dari hiruk-pikuk sekelilingnya. Udara di kelas terasa sedikit hangat, angin yang masuk dari jendela menggoyangkan tirai tipis, memberikan rasa tenang di tengah pikiran yang masih berkecamuk. Enam hari ini dia lalui dengan perasaan yang berbeda, bukan hanya karena ujian, tetapi karena keputusan sederhana yang mengubah segalanya. Hafiz berhenti menyontek.Kini, ada perasaan yang sulit dijelaskan ketika dia berhasil menyetorkan hafalan Qur’an kepada ayahnya. Setiap malam, ada kehangatan yang dirasakan Hafiz saat mendengar pujian ayahnya, meski hanya lewat telepon. Namun di sisi lain, tuntutan untuk belajar terasa seperti beban yang tak pernah surut. Materi-materi ujian menumpuk di hadapannya seperti dinding tinggi yang sulit ditembus. Hafiz merasa kesulitan, namun ibu tak tinggal diam. Dengan kasih sayang yang tak pernah ia ungkap

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 7. Dalam Pencarian, Ada Panggilan

    "Baiklah, mari kita lihat apa yang sebenarnya terjadi." batin Hafiz.Setelah beberapa menit, Hafiz akhirnya berhasil masuk ke dalam sistem CCTV. Di layar, berbagai sudut sekolah mulai muncul. Dia memeriksa satu per satu, mencari tanda-tanda bahwa CCTV masih aktif. Semua kamera terlihat berfungsi dengan baik, menunjukkan suasana kelas yang sudah kosong karena para siswa telah pulang setelah ujian terakhir. Tidak ada yang mencurigakan sejauh ini.Namun, Hafiz tidak berhenti di situ. Dia memutuskan untuk mengakses rekaman beberapa jam yang lalu, tepat setelah Darren berbicara di kelas. Jemarinya kembali menari di atas keyboard, kali ini lebih cepat. Gambar demi gambar melintas di layar. Hafiz mempercepat putaran waktu di rekaman, mencari sosok Darren.Dan di situlah dia. Hafiz melihat Darren, berdiri di depan gerbang sekolah bersama seorang pria yang tidak ia kenal. Darren berbicara dengan serius, sementara pria itu mengangguk. Namun sayangnya, tidak ada suara dari rekaman CCTV itu."Mati

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 8. Misi Darren

    Hafiz melangkah keluar dari rumahnya dengan penuh kehati-hatian, seolah setiap derap langkahnya harus sepelan bisikan. Dari balik pintu, ia mengintip ke arah dapur, melihat ibunya yang sedang sibuk mencuci piring. Rasa gugup berdesir di dadanya, namun Hafiz tetap nekat, berharap langkahnya tak tertangkap oleh suara atau pandangan. Setelah meyakinkan dirinya, Hafiz melangkah perlahan, menutup gerbang dengan hati-hati hingga hanya terdengar suara lembut besi yang saling bertemu. Saat gerbang itu tertutup sempurna, ia menarik napas dalam dan mulai berjalan cepat, menyusuri jalan kecil yang sepi menuju bangunan tua di dekat sekolahnya.Bangunan itu tampak terbengkalai, dikelilingi rerumputan liar yang tumbuh tak terurus, sementara temboknya berwarna kelabu dengan bercak-bercak cat yang memudar, seperti bekas luka yang mulai terlupakan. Pintu kayunya yang besar hampir roboh, miring, seakan hanya digantung oleh sisa-sisa engsel yang berkarat. Gedung ini dulunya adalah sekolah tua, penuh sej

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Prolog

    Di Pondok Pesantren Nurul Hikmah, malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Langit yang cerah berbintang seolah mengamati rencana besar yang tersusun di benak Hafiz dan teman-temannya. Hafiz, dengan raut wajah serius, memimpin teman-temannya dalam sebuah misi rahasia untuk mengungkap siapa pelaku bullying di kelas mereka.Dengan langkah hati-hati, Hafiz, Eri, Indra, dan Erzhan bergerak menuju ruang administrasi yang terletak di ujung koridor. Mereka tahu bahwa sistem CCTV dan catatan harian berada di sana—kunci untuk membongkar misteri yang telah menghantui mereka. Hafiz membawa sebuah laptop dan beberapa alat hacking sederhana yang telah disiapkan dengan teliti.Saat mereka tiba di depan pintu ruang administrasi, Hafiz mengangkat tangan, memberi isyarat agar mereka berhenti. Jantung mereka berdetak lebih cepat, merasakan bahaya yang bisa muncul kapan saja."Eri, jaga pintu. Indra, Erzhan, bantu gue dengan laptop ini," bisik Hafiz dengan nada tegas, matanya menyapu sekeliling untuk

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 1. Awal dari Dunia Hafiz

    Di Minggu pagi yang dipenuhi sinar matahari lembut, ketika udara segar mengajak banyak orang untuk bergerak dan beraktivitas, seharusnya hari ini menjadi waktu yang penuh semangat dan produktivitas. Jalan-jalan dipenuhi dengan orang-orang yang berlari, bersepeda, atau sekadar menikmati angin pagi yang sejuk. Di rumah-rumah, aroma masakan pagi menguar dari dapur, menyebar ke setiap sudut, sementara suara tawa dan obrolan ringan mengisi suasana. Minggu ini adalah hari untuk mereset energi, mengisi ulang semangat setelah satu pekan yang padat.Namun, di salah satu sudut kota yang tenang, di dalam sebuah rumah yang senyap, semua kehangatan dan kehidupan pagi itu seolah tidak memiliki pengaruh.Kamar itu terletak di lantai atas, dengan jendela yang setengah tertutup, membiarkan hanya sedikit cahaya masuk dan menari di atas permukaan yang berantakan. Di tengah kekacauan itu, terhampar seorang pemuda di atas sofa yang telah lama menjadi tempat favoritnya. Matanya tertutup rapat, napasnya tera

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 2. Sambutan di Gerbang Pesantren

    Mobil berhenti dengan lembut di depan sebuah masjid besar dan megah, menara-menara tinggi menjulang dengan menara-menara masjid yang berkilauan di bawah sinar matahari pagi. Hafiz, yang sebelumnya tenggelam dalam dunianya dengan layar laptop yang bersinar, tertegun sejenak. Dia menoleh, matanya menyapu pemandangan menakjubkan yang tak biasa. "Kenapa kita berhenti di sini, Abati?" tanyanya, suaranya perlahan, ketika dia menutup laptopnya dan menaruhnya dengan hati-hati dalam tas di sampingnya. Gerakannya menggambarkan kebiasaan dan rutinitas yang sering dia jalani, namun hari ini tampaknya berbeda. Ayahnya menoleh ke arah Hafiz dengan senyum yang penuh ketenangan, "Abati mau sholat Dhuha dulu. Kamu sudah sholat?" Hafiz menggelengkan kepala dengan pelan, "Belum, Abati." "Kalau begitu, ayo," ajak ayahnya dengan nada yang lembut namun tegas, sambil membuka pintu mobil dan keluar terlebih dahulu. Langkahnya penuh keyakinan, mencerminkan kebiasaan dan kedisiplinan dalam menjalankan ibada

Latest chapter

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 8. Misi Darren

    Hafiz melangkah keluar dari rumahnya dengan penuh kehati-hatian, seolah setiap derap langkahnya harus sepelan bisikan. Dari balik pintu, ia mengintip ke arah dapur, melihat ibunya yang sedang sibuk mencuci piring. Rasa gugup berdesir di dadanya, namun Hafiz tetap nekat, berharap langkahnya tak tertangkap oleh suara atau pandangan. Setelah meyakinkan dirinya, Hafiz melangkah perlahan, menutup gerbang dengan hati-hati hingga hanya terdengar suara lembut besi yang saling bertemu. Saat gerbang itu tertutup sempurna, ia menarik napas dalam dan mulai berjalan cepat, menyusuri jalan kecil yang sepi menuju bangunan tua di dekat sekolahnya.Bangunan itu tampak terbengkalai, dikelilingi rerumputan liar yang tumbuh tak terurus, sementara temboknya berwarna kelabu dengan bercak-bercak cat yang memudar, seperti bekas luka yang mulai terlupakan. Pintu kayunya yang besar hampir roboh, miring, seakan hanya digantung oleh sisa-sisa engsel yang berkarat. Gedung ini dulunya adalah sekolah tua, penuh sej

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 7. Dalam Pencarian, Ada Panggilan

    "Baiklah, mari kita lihat apa yang sebenarnya terjadi." batin Hafiz.Setelah beberapa menit, Hafiz akhirnya berhasil masuk ke dalam sistem CCTV. Di layar, berbagai sudut sekolah mulai muncul. Dia memeriksa satu per satu, mencari tanda-tanda bahwa CCTV masih aktif. Semua kamera terlihat berfungsi dengan baik, menunjukkan suasana kelas yang sudah kosong karena para siswa telah pulang setelah ujian terakhir. Tidak ada yang mencurigakan sejauh ini.Namun, Hafiz tidak berhenti di situ. Dia memutuskan untuk mengakses rekaman beberapa jam yang lalu, tepat setelah Darren berbicara di kelas. Jemarinya kembali menari di atas keyboard, kali ini lebih cepat. Gambar demi gambar melintas di layar. Hafiz mempercepat putaran waktu di rekaman, mencari sosok Darren.Dan di situlah dia. Hafiz melihat Darren, berdiri di depan gerbang sekolah bersama seorang pria yang tidak ia kenal. Darren berbicara dengan serius, sementara pria itu mengangguk. Namun sayangnya, tidak ada suara dari rekaman CCTV itu."Mati

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 6. Di Ambang Bahaya

    Hari terakhir ujian selalu membawa suasana yang campur aduk. Hafiz duduk di bangkunya, dengan hoodie yang menutupi kepalanya, seolah-olah ingin menjauhkan diri dari hiruk-pikuk sekelilingnya. Udara di kelas terasa sedikit hangat, angin yang masuk dari jendela menggoyangkan tirai tipis, memberikan rasa tenang di tengah pikiran yang masih berkecamuk. Enam hari ini dia lalui dengan perasaan yang berbeda, bukan hanya karena ujian, tetapi karena keputusan sederhana yang mengubah segalanya. Hafiz berhenti menyontek.Kini, ada perasaan yang sulit dijelaskan ketika dia berhasil menyetorkan hafalan Qur’an kepada ayahnya. Setiap malam, ada kehangatan yang dirasakan Hafiz saat mendengar pujian ayahnya, meski hanya lewat telepon. Namun di sisi lain, tuntutan untuk belajar terasa seperti beban yang tak pernah surut. Materi-materi ujian menumpuk di hadapannya seperti dinding tinggi yang sulit ditembus. Hafiz merasa kesulitan, namun ibu tak tinggal diam. Dengan kasih sayang yang tak pernah ia ungkap

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 5. Menuju Penebusan

    Bel pulang berbunyi, menggema lembut di lorong-lorong sekolah. Ujian tengah semester akhirnya usai. Bagi kebanyakan siswa, ini adalah momen yang ditunggu, saat kebebasan merentang di depan mata. Namun, bagi Hafiz, bel itu bukan tanda kebebasan. Dia hanya bisa menarik napas panjang, menyadari bahwa meskipun sekolah pulang lebih awal, dirinya harus tetap menunggu. Jam dinding kelas menunjukkan pukul dua belas siang. Masih ada empat jam lagi sebelum ayahnya bisa menjemputnya pulang.Hafiz bersandar di kursinya, memejamkan mata sejenak. Kelas yang tadinya ramai kini kosong dan hening. Hanya dirinya yang masih bertahan, dikelilingi meja-meja dan kursi yang terasa dingin dan sepi. Ia mendengus pelan, lalu berdiri, memutuskan untuk mencari ketenangan di musholla. Di sana, setidaknya ia bisa menemukan kedamaian di tengah kesunyian.Langkah-langkahnya menggema di sepanjang koridor, perlahan tapi pasti menuju musholla. Sesampainya di sana, Hafiz melepas sepatu dengan gerakan malas, merasakan lan

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 4. Ganjaran

    Hafiz masih terpaku, tatapannya terkunci pada layar laptop. Isi file di dalam flashdisk itu membuat dadanya berdegup lebih cepat, campuran antara keterkejutan dan rasa bersalah menghantam dirinya. Tiba-tiba, suara ketukan pintu yang pelan namun tegas membuyarkan fokusnya."Hafiz, anak Ummah udah tidur belum?" Suara lembut ibunya terdengar dari balik pintu, menembus keheningan kamar.Dengan panik, Hafiz melompat dari tempatnya. Sekilas, matanya melirik buku-buku paket yang jarang ia sentuh berada di meja belajarnya. Ia buru-buru mengambilnya dan menyusun beberapa di sofa, berusaha membuat kamarnya terlihat seperti sarang seorang pelajar yang rajin. Buku-buku itu tergeletak asal, tapi cukup untuk memberi kesan. Napasnya ia tarik dalam-dalam, berusaha menenangkan diri.Hafiz membuka pintu, berusaha tersenyum meski gugup. "Belum, Ummah."Pandangan ibunya menyapu ruangan dengan cepat, dan akhirnya berhenti di sofa penuh buku. Matanya lembut, penuh kasih, seolah menyiratkan bahwa ia tahu se

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 3. Jejak Kecurangan

    Malam itu, langit menyebar seperti tirai hitam yang dihiasi oleh kerlip bintang, seolah tangan tak terlihat sedang menyusun langit dengan penuh keleluasaan. Bulan bersinar lembut, menerobos celah-celah jendela kamar Hafiz dengan cahaya dingin yang tenang. Jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam, dan suasana kamar Hafiz dipenuhi oleh ketenangan malam yang menyelimuti.Setelah pertemuan dengan teman ibunya di pesantren, Hafiz pulang lebih awal dengan alasan ujian tengah semester yang akan dihadapinya keesokan hari. Orang tuanya, percaya bahwa Hafiz ingin belajar, mereka pun pulang sebelum dhuhur. Ujian yang sebenarnya akan dihadapi esok hari memang ada, tetapi alasan utama Hafiz pulang lebih awal adalah keinginannya untuk melarikan diri dari pertemuan yang membosankan itu.Di sofa panjang dekat jendela, Hafiz duduk dengan nyaman, laptop di pangkuannya, layar yang sejak siang tadi terus menyala. Dalam cahaya lembut bulan, Hafiz mengerjakan teknik baru meretas sistem CCTV, sebuah

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 2. Sambutan di Gerbang Pesantren

    Mobil berhenti dengan lembut di depan sebuah masjid besar dan megah, menara-menara tinggi menjulang dengan menara-menara masjid yang berkilauan di bawah sinar matahari pagi. Hafiz, yang sebelumnya tenggelam dalam dunianya dengan layar laptop yang bersinar, tertegun sejenak. Dia menoleh, matanya menyapu pemandangan menakjubkan yang tak biasa. "Kenapa kita berhenti di sini, Abati?" tanyanya, suaranya perlahan, ketika dia menutup laptopnya dan menaruhnya dengan hati-hati dalam tas di sampingnya. Gerakannya menggambarkan kebiasaan dan rutinitas yang sering dia jalani, namun hari ini tampaknya berbeda. Ayahnya menoleh ke arah Hafiz dengan senyum yang penuh ketenangan, "Abati mau sholat Dhuha dulu. Kamu sudah sholat?" Hafiz menggelengkan kepala dengan pelan, "Belum, Abati." "Kalau begitu, ayo," ajak ayahnya dengan nada yang lembut namun tegas, sambil membuka pintu mobil dan keluar terlebih dahulu. Langkahnya penuh keyakinan, mencerminkan kebiasaan dan kedisiplinan dalam menjalankan ibada

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Bab 1. Awal dari Dunia Hafiz

    Di Minggu pagi yang dipenuhi sinar matahari lembut, ketika udara segar mengajak banyak orang untuk bergerak dan beraktivitas, seharusnya hari ini menjadi waktu yang penuh semangat dan produktivitas. Jalan-jalan dipenuhi dengan orang-orang yang berlari, bersepeda, atau sekadar menikmati angin pagi yang sejuk. Di rumah-rumah, aroma masakan pagi menguar dari dapur, menyebar ke setiap sudut, sementara suara tawa dan obrolan ringan mengisi suasana. Minggu ini adalah hari untuk mereset energi, mengisi ulang semangat setelah satu pekan yang padat.Namun, di salah satu sudut kota yang tenang, di dalam sebuah rumah yang senyap, semua kehangatan dan kehidupan pagi itu seolah tidak memiliki pengaruh.Kamar itu terletak di lantai atas, dengan jendela yang setengah tertutup, membiarkan hanya sedikit cahaya masuk dan menari di atas permukaan yang berantakan. Di tengah kekacauan itu, terhampar seorang pemuda di atas sofa yang telah lama menjadi tempat favoritnya. Matanya tertutup rapat, napasnya tera

  • NAWAITU: Niat Awal Menuju Ridho Ilahi    Prolog

    Di Pondok Pesantren Nurul Hikmah, malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Langit yang cerah berbintang seolah mengamati rencana besar yang tersusun di benak Hafiz dan teman-temannya. Hafiz, dengan raut wajah serius, memimpin teman-temannya dalam sebuah misi rahasia untuk mengungkap siapa pelaku bullying di kelas mereka.Dengan langkah hati-hati, Hafiz, Eri, Indra, dan Erzhan bergerak menuju ruang administrasi yang terletak di ujung koridor. Mereka tahu bahwa sistem CCTV dan catatan harian berada di sana—kunci untuk membongkar misteri yang telah menghantui mereka. Hafiz membawa sebuah laptop dan beberapa alat hacking sederhana yang telah disiapkan dengan teliti.Saat mereka tiba di depan pintu ruang administrasi, Hafiz mengangkat tangan, memberi isyarat agar mereka berhenti. Jantung mereka berdetak lebih cepat, merasakan bahaya yang bisa muncul kapan saja."Eri, jaga pintu. Indra, Erzhan, bantu gue dengan laptop ini," bisik Hafiz dengan nada tegas, matanya menyapu sekeliling untuk

DMCA.com Protection Status