Bel pulang berbunyi, menggema lembut di lorong-lorong sekolah. Ujian tengah semester akhirnya usai. Bagi kebanyakan siswa, ini adalah momen yang ditunggu, saat kebebasan merentang di depan mata. Namun, bagi Hafiz, bel itu bukan tanda kebebasan. Dia hanya bisa menarik napas panjang, menyadari bahwa meskipun sekolah pulang lebih awal, dirinya harus tetap menunggu. Jam dinding kelas menunjukkan pukul dua belas siang. Masih ada empat jam lagi sebelum ayahnya bisa menjemputnya pulang.
Hafiz bersandar di kursinya, memejamkan mata sejenak. Kelas yang tadinya ramai kini kosong dan hening. Hanya dirinya yang masih bertahan, dikelilingi meja-meja dan kursi yang terasa dingin dan sepi. Ia mendengus pelan, lalu berdiri, memutuskan untuk mencari ketenangan di musholla. Di sana, setidaknya ia bisa menemukan kedamaian di tengah kesunyian.
Langkah-langkahnya menggema di sepanjang koridor, perlahan tapi pasti menuju musholla. Sesampainya di sana, Hafiz melepas sepatu dengan gerakan malas, merasakan lantai dingin di bawah telapak kakinya. Namun, sesuatu menarik perhatiannya. Di sudut musholla, seorang gadis tengah mengambil wudhu, dan seketika itu juga Hafiz mengenalinya.
Ayna. Gadis dengan senyum lembut dan mata teduh itu kini mengenakan mukenah, bersiap menunaikan sholat. Tanpa menyadari keberadaan Hafiz, Ayna berjalan melewatinya dengan anggun, seperti angin yang lewat tanpa suara. Wajahnya bercahaya, masih basah oleh sisa air wudhu yang membingkai ketenangan di matanya.
Hafiz terpaku, matanya mengikuti setiap gerakan Ayna yang kini sedang melangkah ke dalam musholla. Di balik gerakan sholatnya yang tenang, ada sesuatu yang membuat Hafiz tak bisa mengalihkan pandangannya. Penasaran yang tak terucapkan, sebuah rasa yang tiba-tiba menghampiri tanpa permisi.
Suara getar ponselnya tiba-tiba memecah lamunan itu. Hafiz terkejut, cepat-cepat mengambil ponselnya. Nama ayahnya tertera di layar.
"Assalamu'alaikum, Fiz. Abati sudah di gerbang sekolah, kamu dimana, nak?" Suara ayahnya terdengar lembut dan penuh cinta, seperti selalu.
"Wa’alaikumussalam, Abati. Hafiz kira Abati pulang jam empat sore. Iya, ini Hafiz segera ke sana." Dengan tergesa, Hafiz kembali memasang sepatu, langkahnya bergegas menuju gerbang sekolah, tak ingin ayahnya menunggu terlalu lama.
Saat Hafiz tiba di depan mobil ayahnya, ia meraih tangan ayahnya dengan takzim, mencium punggung tangannya dengan lembut.
Ayahnya tersenyum tipis, mengusap kepala Hafiz sejenak, sebelum berkata lembut, "Abati gak mungkin ninggalin anak Abati sendirian di sekolah,"
Hafiz tersenyum kecil, namun pertanyaan terlintas di pikirannya. "Lalu kerjaan Abati gimana?"
Ayahnya tetap tenang. "Abati nanti balik ke kantor setelah makan siang. Sekarang, prioritas Abati Hafiz pulang dulu."
Mereka pun masuk ke dalam mobil, suasana hangat menyelimuti di antara deru pelan mesin yang mengalun seirama dengan perasaan tenang Hafiz. Perjalanan menuju rumah terasa seperti perjalanan yang tak hanya membawa mereka ke tempat tujuan, tapi juga mendekatkan hati keduanya.
Di tengah-tengah perjalanan, Hafiz memecah keheningan dengan suara yang nyaris seperti bisikan, "Abati, Hafiz boleh tanya sesuatu?"
Tanpa sedikit pun keraguan, ayahnya menoleh sekilas, penuh perhatian. "Boleh, dong. Apa yang ingin Hafiz tanyakan?"
"Tentang hafalan Qur'an, Abati" jawab Hafiz, suara itu kini terdengar lebih mantap, namun ada rasa ragu yang tersembunyi di baliknya.
Ayahnya tersenyum, senyuman yang selalu Hafiz rindukan. "Tanya soal hafalan Qur'an? Kenapa emangnya,hm?" Ayahnya melirik putranya, lalu menatap jalan lagi
"Abati pernah gak sih kesulitan dalam menghafal qur'an?" tanya Hafiz sambil menatap ayahnya dengan penasaran.
Ayahnya terdiam sejenak, lalu mengangguk perlahan. "Pernah, Hafiz. Dan itu adalah bagian dari perjalanan setiap orang yang berusaha mencintai Qur'an. Menghafal adalah bagian mudahnya, tapi menjaga hafalan... itulah yang sesungguhnya tantangan terbesar."
Hafiz merasa ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya. Setiap kata ayahnya terdengar seperti nasihat dari langit yang turun menyejukkan hatinya.
"Yang paling penting," lanjut ayahnya, "ketika kita sudah diberi kesempatan untuk menghafal kalam Allah, kita harus menjaga hati kita tetap bersih. Qur'an itu cahaya, Nak. Ia hanya tinggal di hati yang jernih. Jika kita berbuat dosa, hati kita menjadi gelap, dan hafalan itu perlahan menghilang."
Hafiz terdiam, hatinya tenggelam dalam renungan. Semua kata ayahnya terpatri dalam-dalam, seakan membuka pintu yang selama ini tertutup rapat. Ia merasa tersentuh, terlebih karena semalam ia merasa dirinya telah gagal menjaga hati itu tetap bersih. Hafalan Qur'an-nya terasa sulit tadi, seolah hilang di saat ia butuh.
Ayahnya menoleh lagi, kali ini tatapannya penuh rasa ingin tahu. "Kenapa tiba-tiba tanya soal ini, hm?"
Hafiz terkejut, tersadar dari lamunannya. Ia tersenyum samar, berusaha menyembunyikan rasa bersalah yang menggelayut di hatinya. "Cuma kepikiran aja, Abati."
Ayahnya tersenyum lembut, lalu bertanya, "Dan sekarang, apa yang Hafiz pahami dari penjelasan Abati barusan?"
Hafiz menunduk, memikirkan jawabannya sejenak. Lalu dengan suara pelan, ia berkata, "Bahwa hafalan Qur'an itu bukan hanya tentang kata-kata, tapi tentang menjaga hati dan amal kita tetap bersih."
Ayahnya tersenyum lebar, bangga pada putranya. "Tepat sekali, nak. Karena hati yang bersih adalah rumah bagi cahaya Qur'an."
---
Hafiz duduk terdiam, merenungi dalam-dalam kata-kata ayahnya yang penuh makna. Hatinya terasa sesak, seolah ada beban yang perlahan-lahan menyeruak dari dalam, menuntut untuk dilepaskan. Matanya menatap kosong pada laptop yang teronggok sunyi di atas meja dekat sofa kesayangannya, tempat ia sering bersantai. Seakan dalam kebisuan itu, ada pertarungan batin yang tak bisa diabaikan.
Tatapannya kemudian beralih ke arah Al-Qur’an yang tersusun rapi di rak, berdiri tegak di atas laci dekat kasurnya. Di sanalah, ayat-ayat yang seharusnya mengisi hatinya menunggu untuk dijaga. Mata Hafiz mulai memanas, air mata perlahan menggenang, seakan seluruh kesalahannya menampar hati nuraninya. Tanpa berpikir panjang, Hafiz beranjak dengan langkah cepat menuju sofa, membuka laptopnya dengan tangan bergetar.
Jari-jarinya menari di atas keyboard, tapi bukan lagi gerakan dengan niat yang sama seperti semalam. Ada rasa bersalah yang menghantam tiap ketukan. Matanya penuh dengan kesedihan yang kini hampir tumpah, saat ia membuka file yang semalam berhasil ia dapatkan dengan cara yang salah, hasil dari teknik peretasannya. File yang seharusnya menjadi jalan pintas bagi Hafiz untuk menghadapi ujian tanpa usaha.
Tanpa keraguan lagi, Hafiz menekan tombol delete. Namun, kali ini perintah itu terasa seperti melepaskan beban berat yang telah lama menyesakkan dadanya. Saat kotak peringatan di layar muncul, ia menekan tombol 'Yes' tanpa ragu. File itu terhapus, dan Hafiz menghela napas panjang. Bukan hanya file yang hilang, tetapi juga rasa bersalah yang selama ini membelenggu dirinya.
Setelah itu, Hafiz segera berjalan menuju kamar mandi. Dia mengambil wudhu', membiarkan air menyentuh kulitnya, seolah membersihkan tak hanya fisiknya, tetapi juga jiwanya yang penuh dengan rasa penyesalan. Setiap percikan air terasa begitu menenangkan, menyejukkan hati yang selama ini terasa gelisah. Dalam hati, Hafiz menyadari betapa besar dosanya jika terus membiarkan kecurangan menjadi bagian dari hidupnya, terlebih jika itu merusak hubungan dengan Al-Qur'an yang ia cintai.
Usai mengambil wudhu', Hafiz menuju sajadahnya. Dengan hati yang lebih ringan, ia menunaikan sholat dhuhur yang sempat tertunda. Dalam sujudnya, Hafiz berjanji pada dirinya sendiri, bahwa ia tidak akan pernah lagi membiarkan dosa menghalangi dirinya dari menghafal dan mencintai Qur'an. Ia tahu, setiap tindakan curang, setiap dosa yang ia lakukan, akan mengotori hati yang seharusnya bersih untuk menjadi tempat hafalan ayat-ayat Allah bersemayam.
Sujud terakhirnya terasa lebih dalam, lebih panjang, seolah dalam keheningan itu ia menemukan ketenangan yang selama ini ia cari. Hafiz tahu, perjalanan ini baru dimulai, dan ia bersyukur telah diberi kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Sebuah janji yang terpatri dalam hatinya, untuk tidak lagi mengecewakan Allah dan kedua orang tuanya yang begitu ia hormati.
---
Keesokan harinya, tepat di hari Selasa, hari kedua ujian di SMA Nusantara. Hafiz menatap kosong lembar soal di tangannya. Semalam dia sudah mencoba belajar dengan susah payah, berusaha memahami materi yang akan diujikan hari ini. Tapi, seperti biasa, hasilnya nihil. Di kelas, Hafiz jarang sekali mendengarkan guru saat menjelaskan materi. Di rumah pun, buku paketnya hampir tak pernah tersentuh. Menurut Hafiz, belajar lewat buku pelajaran itu sangat membosankan, hampir tak ada yang menarik baginya. Namun kali ini berbeda, semalam ia benar-benar berusaha keras untuk mengerti, dan hari ini ia harus lebih keras lagi memaksa otaknya bekerja demi menjawab soal-soal yang ada.
Waktu berlalu, setengah jam sudah, tapi Hafiz baru menyelesaikan lima soal dari dua puluh soal yang harus dijawab. Mata pelajaran yang diujikan hari ini adalah Bahasa Indonesia, pelajaran yang paling tidak disukai Hafiz. Dengan perasaan kesal, ia mendengus pelan. Bagaimana mungkin ia harus menghadapi pelajaran yang tak ia minati sama sekali?
Hafiz menaruh kepalanya di atas meja, tangan yang lelah menggerakkan pensil tanpa arah pada lembar soal yang tampak semakin tak berarti. Pikirannya melayang, bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawabannya. Suasana dalam ruang ujian terasa menyesakkan, seakan waktu bergerak lambat, menambah beban berat di pundaknya.
Tiba-tiba, langkah kaki yang tenang menyentuh telinganya. Hafiz mengangkat kepalanya, matanya menyipit, mencoba meneliti suara yang mengganggu konsentrasinya. Dia melihat Darren Wijaya, temannya yang dikenal dengan peringkat terbawah sejak kelas satu, melangkah dengan penuh keyakinan menuju meja pengawas. Darren, dengan langkah mantap, menyerahkan lembar jawabannya kepada Bu Ina.
"Darren?" Hafiz bergumam, rasa heran menyelinap di hatinya. Bagaimana mungkin Darren, yang biasanya berada di posisi paling bawah, bisa menyelesaikan ujian secepat itu? Soal-soalnya panjang-panjang, bahkan Ayna, yang dikenal sebagai langganan peringkat pertama, masih sibuk dengan ujiannya.
Seluruh kelas seakan terhenyak, mata-mata tertuju pada Darren. Bu Ina, guru pengawas yang duduk di depan, menatap Darren dengan raut wajah yang penuh keraguan. "Darren, kamu sudah selesai? Teman-temanmu belum ada yang mengumpulkan, loh," tanya Bu Ina, suaranya penuh ketidakpercayaan.
Dengan wajah yang tenang dan penuh keyakinan, Darren mengangguk. "Sudah, Bu," jawabnya singkat, lalu kembali ke mejanya, membereskan alat tulisnya, dan melangkah keluar kelas. Suasana kelas tetap hening, penuh tatapan bingung dari teman-teman sekelas, termasuk tatapan Hafiz yang penuh keheranan.
Hafiz merasa ada yang janggal, tapi rasa ingin tahunya terhenti oleh kenyataan bahwa dia masih harus menyelesaikan ujiannya. Ia kembali menunduk, berjuang melawan soal-soal Bahasa Indonesia yang terasa menyiksa. Hari ini, ujian terasa lebih berat dari biasanya, bukan hanya karena materi yang sulit tetapi juga karena tekadnya untuk tidak mencontek seperti sebelumnya.
Ia teringat kembali pada keputusan kemarin untuk menghapus file kunci jawaban dari laptopnya dan memohon ampun kepada Yang Maha Kuasa. Hafiz baru menyadari betapa beratnya ujian hari ini yang merupakan ujian uraian, bukan pilihan ganda seperti biasanya. Setiap soal tampak seperti tantangan besar yang menuntut semua kemampuannya.
Saat Hafiz mendengus kesal, matanya tanpa sadar menangkap sosok Ayna yang mulai berdiri dari tempat duduknya. Dan sepertinya, garis takdir yang tak pernah bersinggungan itu tampaknya akan bertemu lagi. Dalam sekejap, Ayna menoleh ke belakang, menangkap basah mata Hafiz yang menatapnya tanpa berkedip sejak tadi.
BERSAMBUNG
Hari terakhir ujian selalu membawa suasana yang campur aduk. Hafiz duduk di bangkunya, dengan hoodie yang menutupi kepalanya, seolah-olah ingin menjauhkan diri dari hiruk-pikuk sekelilingnya. Udara di kelas terasa sedikit hangat, angin yang masuk dari jendela menggoyangkan tirai tipis, memberikan rasa tenang di tengah pikiran yang masih berkecamuk. Enam hari ini dia lalui dengan perasaan yang berbeda, bukan hanya karena ujian, tetapi karena keputusan sederhana yang mengubah segalanya. Hafiz berhenti menyontek.Kini, ada perasaan yang sulit dijelaskan ketika dia berhasil menyetorkan hafalan Qur’an kepada ayahnya. Setiap malam, ada kehangatan yang dirasakan Hafiz saat mendengar pujian ayahnya, meski hanya lewat telepon. Namun di sisi lain, tuntutan untuk belajar terasa seperti beban yang tak pernah surut. Materi-materi ujian menumpuk di hadapannya seperti dinding tinggi yang sulit ditembus. Hafiz merasa kesulitan, namun ibu tak tinggal diam. Dengan kasih sayang yang tak pernah ia ungkap
"Baiklah, mari kita lihat apa yang sebenarnya terjadi." batin Hafiz.Setelah beberapa menit, Hafiz akhirnya berhasil masuk ke dalam sistem CCTV. Di layar, berbagai sudut sekolah mulai muncul. Dia memeriksa satu per satu, mencari tanda-tanda bahwa CCTV masih aktif. Semua kamera terlihat berfungsi dengan baik, menunjukkan suasana kelas yang sudah kosong karena para siswa telah pulang setelah ujian terakhir. Tidak ada yang mencurigakan sejauh ini.Namun, Hafiz tidak berhenti di situ. Dia memutuskan untuk mengakses rekaman beberapa jam yang lalu, tepat setelah Darren berbicara di kelas. Jemarinya kembali menari di atas keyboard, kali ini lebih cepat. Gambar demi gambar melintas di layar. Hafiz mempercepat putaran waktu di rekaman, mencari sosok Darren.Dan di situlah dia. Hafiz melihat Darren, berdiri di depan gerbang sekolah bersama seorang pria yang tidak ia kenal. Darren berbicara dengan serius, sementara pria itu mengangguk. Namun sayangnya, tidak ada suara dari rekaman CCTV itu."Mati
Hafiz melangkah keluar dari rumahnya dengan penuh kehati-hatian, seolah setiap derap langkahnya harus sepelan bisikan. Dari balik pintu, ia mengintip ke arah dapur, melihat ibunya yang sedang sibuk mencuci piring. Rasa gugup berdesir di dadanya, namun Hafiz tetap nekat, berharap langkahnya tak tertangkap oleh suara atau pandangan. Setelah meyakinkan dirinya, Hafiz melangkah perlahan, menutup gerbang dengan hati-hati hingga hanya terdengar suara lembut besi yang saling bertemu. Saat gerbang itu tertutup sempurna, ia menarik napas dalam dan mulai berjalan cepat, menyusuri jalan kecil yang sepi menuju bangunan tua di dekat sekolahnya.Bangunan itu tampak terbengkalai, dikelilingi rerumputan liar yang tumbuh tak terurus, sementara temboknya berwarna kelabu dengan bercak-bercak cat yang memudar, seperti bekas luka yang mulai terlupakan. Pintu kayunya yang besar hampir roboh, miring, seakan hanya digantung oleh sisa-sisa engsel yang berkarat. Gedung ini dulunya adalah sekolah tua, penuh sej
Di Pondok Pesantren Nurul Hikmah, malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Langit yang cerah berbintang seolah mengamati rencana besar yang tersusun di benak Hafiz dan teman-temannya. Hafiz, dengan raut wajah serius, memimpin teman-temannya dalam sebuah misi rahasia untuk mengungkap siapa pelaku bullying di kelas mereka.Dengan langkah hati-hati, Hafiz, Eri, Indra, dan Erzhan bergerak menuju ruang administrasi yang terletak di ujung koridor. Mereka tahu bahwa sistem CCTV dan catatan harian berada di sana—kunci untuk membongkar misteri yang telah menghantui mereka. Hafiz membawa sebuah laptop dan beberapa alat hacking sederhana yang telah disiapkan dengan teliti.Saat mereka tiba di depan pintu ruang administrasi, Hafiz mengangkat tangan, memberi isyarat agar mereka berhenti. Jantung mereka berdetak lebih cepat, merasakan bahaya yang bisa muncul kapan saja."Eri, jaga pintu. Indra, Erzhan, bantu gue dengan laptop ini," bisik Hafiz dengan nada tegas, matanya menyapu sekeliling untuk
Di Minggu pagi yang dipenuhi sinar matahari lembut, ketika udara segar mengajak banyak orang untuk bergerak dan beraktivitas, seharusnya hari ini menjadi waktu yang penuh semangat dan produktivitas. Jalan-jalan dipenuhi dengan orang-orang yang berlari, bersepeda, atau sekadar menikmati angin pagi yang sejuk. Di rumah-rumah, aroma masakan pagi menguar dari dapur, menyebar ke setiap sudut, sementara suara tawa dan obrolan ringan mengisi suasana. Minggu ini adalah hari untuk mereset energi, mengisi ulang semangat setelah satu pekan yang padat.Namun, di salah satu sudut kota yang tenang, di dalam sebuah rumah yang senyap, semua kehangatan dan kehidupan pagi itu seolah tidak memiliki pengaruh.Kamar itu terletak di lantai atas, dengan jendela yang setengah tertutup, membiarkan hanya sedikit cahaya masuk dan menari di atas permukaan yang berantakan. Di tengah kekacauan itu, terhampar seorang pemuda di atas sofa yang telah lama menjadi tempat favoritnya. Matanya tertutup rapat, napasnya tera
Mobil berhenti dengan lembut di depan sebuah masjid besar dan megah, menara-menara tinggi menjulang dengan menara-menara masjid yang berkilauan di bawah sinar matahari pagi. Hafiz, yang sebelumnya tenggelam dalam dunianya dengan layar laptop yang bersinar, tertegun sejenak. Dia menoleh, matanya menyapu pemandangan menakjubkan yang tak biasa. "Kenapa kita berhenti di sini, Abati?" tanyanya, suaranya perlahan, ketika dia menutup laptopnya dan menaruhnya dengan hati-hati dalam tas di sampingnya. Gerakannya menggambarkan kebiasaan dan rutinitas yang sering dia jalani, namun hari ini tampaknya berbeda. Ayahnya menoleh ke arah Hafiz dengan senyum yang penuh ketenangan, "Abati mau sholat Dhuha dulu. Kamu sudah sholat?" Hafiz menggelengkan kepala dengan pelan, "Belum, Abati." "Kalau begitu, ayo," ajak ayahnya dengan nada yang lembut namun tegas, sambil membuka pintu mobil dan keluar terlebih dahulu. Langkahnya penuh keyakinan, mencerminkan kebiasaan dan kedisiplinan dalam menjalankan ibada
Malam itu, langit menyebar seperti tirai hitam yang dihiasi oleh kerlip bintang, seolah tangan tak terlihat sedang menyusun langit dengan penuh keleluasaan. Bulan bersinar lembut, menerobos celah-celah jendela kamar Hafiz dengan cahaya dingin yang tenang. Jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam, dan suasana kamar Hafiz dipenuhi oleh ketenangan malam yang menyelimuti.Setelah pertemuan dengan teman ibunya di pesantren, Hafiz pulang lebih awal dengan alasan ujian tengah semester yang akan dihadapinya keesokan hari. Orang tuanya, percaya bahwa Hafiz ingin belajar, mereka pun pulang sebelum dhuhur. Ujian yang sebenarnya akan dihadapi esok hari memang ada, tetapi alasan utama Hafiz pulang lebih awal adalah keinginannya untuk melarikan diri dari pertemuan yang membosankan itu.Di sofa panjang dekat jendela, Hafiz duduk dengan nyaman, laptop di pangkuannya, layar yang sejak siang tadi terus menyala. Dalam cahaya lembut bulan, Hafiz mengerjakan teknik baru meretas sistem CCTV, sebuah
Hafiz masih terpaku, tatapannya terkunci pada layar laptop. Isi file di dalam flashdisk itu membuat dadanya berdegup lebih cepat, campuran antara keterkejutan dan rasa bersalah menghantam dirinya. Tiba-tiba, suara ketukan pintu yang pelan namun tegas membuyarkan fokusnya."Hafiz, anak Ummah udah tidur belum?" Suara lembut ibunya terdengar dari balik pintu, menembus keheningan kamar.Dengan panik, Hafiz melompat dari tempatnya. Sekilas, matanya melirik buku-buku paket yang jarang ia sentuh berada di meja belajarnya. Ia buru-buru mengambilnya dan menyusun beberapa di sofa, berusaha membuat kamarnya terlihat seperti sarang seorang pelajar yang rajin. Buku-buku itu tergeletak asal, tapi cukup untuk memberi kesan. Napasnya ia tarik dalam-dalam, berusaha menenangkan diri.Hafiz membuka pintu, berusaha tersenyum meski gugup. "Belum, Ummah."Pandangan ibunya menyapu ruangan dengan cepat, dan akhirnya berhenti di sofa penuh buku. Matanya lembut, penuh kasih, seolah menyiratkan bahwa ia tahu se
Hafiz melangkah keluar dari rumahnya dengan penuh kehati-hatian, seolah setiap derap langkahnya harus sepelan bisikan. Dari balik pintu, ia mengintip ke arah dapur, melihat ibunya yang sedang sibuk mencuci piring. Rasa gugup berdesir di dadanya, namun Hafiz tetap nekat, berharap langkahnya tak tertangkap oleh suara atau pandangan. Setelah meyakinkan dirinya, Hafiz melangkah perlahan, menutup gerbang dengan hati-hati hingga hanya terdengar suara lembut besi yang saling bertemu. Saat gerbang itu tertutup sempurna, ia menarik napas dalam dan mulai berjalan cepat, menyusuri jalan kecil yang sepi menuju bangunan tua di dekat sekolahnya.Bangunan itu tampak terbengkalai, dikelilingi rerumputan liar yang tumbuh tak terurus, sementara temboknya berwarna kelabu dengan bercak-bercak cat yang memudar, seperti bekas luka yang mulai terlupakan. Pintu kayunya yang besar hampir roboh, miring, seakan hanya digantung oleh sisa-sisa engsel yang berkarat. Gedung ini dulunya adalah sekolah tua, penuh sej
"Baiklah, mari kita lihat apa yang sebenarnya terjadi." batin Hafiz.Setelah beberapa menit, Hafiz akhirnya berhasil masuk ke dalam sistem CCTV. Di layar, berbagai sudut sekolah mulai muncul. Dia memeriksa satu per satu, mencari tanda-tanda bahwa CCTV masih aktif. Semua kamera terlihat berfungsi dengan baik, menunjukkan suasana kelas yang sudah kosong karena para siswa telah pulang setelah ujian terakhir. Tidak ada yang mencurigakan sejauh ini.Namun, Hafiz tidak berhenti di situ. Dia memutuskan untuk mengakses rekaman beberapa jam yang lalu, tepat setelah Darren berbicara di kelas. Jemarinya kembali menari di atas keyboard, kali ini lebih cepat. Gambar demi gambar melintas di layar. Hafiz mempercepat putaran waktu di rekaman, mencari sosok Darren.Dan di situlah dia. Hafiz melihat Darren, berdiri di depan gerbang sekolah bersama seorang pria yang tidak ia kenal. Darren berbicara dengan serius, sementara pria itu mengangguk. Namun sayangnya, tidak ada suara dari rekaman CCTV itu."Mati
Hari terakhir ujian selalu membawa suasana yang campur aduk. Hafiz duduk di bangkunya, dengan hoodie yang menutupi kepalanya, seolah-olah ingin menjauhkan diri dari hiruk-pikuk sekelilingnya. Udara di kelas terasa sedikit hangat, angin yang masuk dari jendela menggoyangkan tirai tipis, memberikan rasa tenang di tengah pikiran yang masih berkecamuk. Enam hari ini dia lalui dengan perasaan yang berbeda, bukan hanya karena ujian, tetapi karena keputusan sederhana yang mengubah segalanya. Hafiz berhenti menyontek.Kini, ada perasaan yang sulit dijelaskan ketika dia berhasil menyetorkan hafalan Qur’an kepada ayahnya. Setiap malam, ada kehangatan yang dirasakan Hafiz saat mendengar pujian ayahnya, meski hanya lewat telepon. Namun di sisi lain, tuntutan untuk belajar terasa seperti beban yang tak pernah surut. Materi-materi ujian menumpuk di hadapannya seperti dinding tinggi yang sulit ditembus. Hafiz merasa kesulitan, namun ibu tak tinggal diam. Dengan kasih sayang yang tak pernah ia ungkap
Bel pulang berbunyi, menggema lembut di lorong-lorong sekolah. Ujian tengah semester akhirnya usai. Bagi kebanyakan siswa, ini adalah momen yang ditunggu, saat kebebasan merentang di depan mata. Namun, bagi Hafiz, bel itu bukan tanda kebebasan. Dia hanya bisa menarik napas panjang, menyadari bahwa meskipun sekolah pulang lebih awal, dirinya harus tetap menunggu. Jam dinding kelas menunjukkan pukul dua belas siang. Masih ada empat jam lagi sebelum ayahnya bisa menjemputnya pulang.Hafiz bersandar di kursinya, memejamkan mata sejenak. Kelas yang tadinya ramai kini kosong dan hening. Hanya dirinya yang masih bertahan, dikelilingi meja-meja dan kursi yang terasa dingin dan sepi. Ia mendengus pelan, lalu berdiri, memutuskan untuk mencari ketenangan di musholla. Di sana, setidaknya ia bisa menemukan kedamaian di tengah kesunyian.Langkah-langkahnya menggema di sepanjang koridor, perlahan tapi pasti menuju musholla. Sesampainya di sana, Hafiz melepas sepatu dengan gerakan malas, merasakan lan
Hafiz masih terpaku, tatapannya terkunci pada layar laptop. Isi file di dalam flashdisk itu membuat dadanya berdegup lebih cepat, campuran antara keterkejutan dan rasa bersalah menghantam dirinya. Tiba-tiba, suara ketukan pintu yang pelan namun tegas membuyarkan fokusnya."Hafiz, anak Ummah udah tidur belum?" Suara lembut ibunya terdengar dari balik pintu, menembus keheningan kamar.Dengan panik, Hafiz melompat dari tempatnya. Sekilas, matanya melirik buku-buku paket yang jarang ia sentuh berada di meja belajarnya. Ia buru-buru mengambilnya dan menyusun beberapa di sofa, berusaha membuat kamarnya terlihat seperti sarang seorang pelajar yang rajin. Buku-buku itu tergeletak asal, tapi cukup untuk memberi kesan. Napasnya ia tarik dalam-dalam, berusaha menenangkan diri.Hafiz membuka pintu, berusaha tersenyum meski gugup. "Belum, Ummah."Pandangan ibunya menyapu ruangan dengan cepat, dan akhirnya berhenti di sofa penuh buku. Matanya lembut, penuh kasih, seolah menyiratkan bahwa ia tahu se
Malam itu, langit menyebar seperti tirai hitam yang dihiasi oleh kerlip bintang, seolah tangan tak terlihat sedang menyusun langit dengan penuh keleluasaan. Bulan bersinar lembut, menerobos celah-celah jendela kamar Hafiz dengan cahaya dingin yang tenang. Jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam, dan suasana kamar Hafiz dipenuhi oleh ketenangan malam yang menyelimuti.Setelah pertemuan dengan teman ibunya di pesantren, Hafiz pulang lebih awal dengan alasan ujian tengah semester yang akan dihadapinya keesokan hari. Orang tuanya, percaya bahwa Hafiz ingin belajar, mereka pun pulang sebelum dhuhur. Ujian yang sebenarnya akan dihadapi esok hari memang ada, tetapi alasan utama Hafiz pulang lebih awal adalah keinginannya untuk melarikan diri dari pertemuan yang membosankan itu.Di sofa panjang dekat jendela, Hafiz duduk dengan nyaman, laptop di pangkuannya, layar yang sejak siang tadi terus menyala. Dalam cahaya lembut bulan, Hafiz mengerjakan teknik baru meretas sistem CCTV, sebuah
Mobil berhenti dengan lembut di depan sebuah masjid besar dan megah, menara-menara tinggi menjulang dengan menara-menara masjid yang berkilauan di bawah sinar matahari pagi. Hafiz, yang sebelumnya tenggelam dalam dunianya dengan layar laptop yang bersinar, tertegun sejenak. Dia menoleh, matanya menyapu pemandangan menakjubkan yang tak biasa. "Kenapa kita berhenti di sini, Abati?" tanyanya, suaranya perlahan, ketika dia menutup laptopnya dan menaruhnya dengan hati-hati dalam tas di sampingnya. Gerakannya menggambarkan kebiasaan dan rutinitas yang sering dia jalani, namun hari ini tampaknya berbeda. Ayahnya menoleh ke arah Hafiz dengan senyum yang penuh ketenangan, "Abati mau sholat Dhuha dulu. Kamu sudah sholat?" Hafiz menggelengkan kepala dengan pelan, "Belum, Abati." "Kalau begitu, ayo," ajak ayahnya dengan nada yang lembut namun tegas, sambil membuka pintu mobil dan keluar terlebih dahulu. Langkahnya penuh keyakinan, mencerminkan kebiasaan dan kedisiplinan dalam menjalankan ibada
Di Minggu pagi yang dipenuhi sinar matahari lembut, ketika udara segar mengajak banyak orang untuk bergerak dan beraktivitas, seharusnya hari ini menjadi waktu yang penuh semangat dan produktivitas. Jalan-jalan dipenuhi dengan orang-orang yang berlari, bersepeda, atau sekadar menikmati angin pagi yang sejuk. Di rumah-rumah, aroma masakan pagi menguar dari dapur, menyebar ke setiap sudut, sementara suara tawa dan obrolan ringan mengisi suasana. Minggu ini adalah hari untuk mereset energi, mengisi ulang semangat setelah satu pekan yang padat.Namun, di salah satu sudut kota yang tenang, di dalam sebuah rumah yang senyap, semua kehangatan dan kehidupan pagi itu seolah tidak memiliki pengaruh.Kamar itu terletak di lantai atas, dengan jendela yang setengah tertutup, membiarkan hanya sedikit cahaya masuk dan menari di atas permukaan yang berantakan. Di tengah kekacauan itu, terhampar seorang pemuda di atas sofa yang telah lama menjadi tempat favoritnya. Matanya tertutup rapat, napasnya tera
Di Pondok Pesantren Nurul Hikmah, malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Langit yang cerah berbintang seolah mengamati rencana besar yang tersusun di benak Hafiz dan teman-temannya. Hafiz, dengan raut wajah serius, memimpin teman-temannya dalam sebuah misi rahasia untuk mengungkap siapa pelaku bullying di kelas mereka.Dengan langkah hati-hati, Hafiz, Eri, Indra, dan Erzhan bergerak menuju ruang administrasi yang terletak di ujung koridor. Mereka tahu bahwa sistem CCTV dan catatan harian berada di sana—kunci untuk membongkar misteri yang telah menghantui mereka. Hafiz membawa sebuah laptop dan beberapa alat hacking sederhana yang telah disiapkan dengan teliti.Saat mereka tiba di depan pintu ruang administrasi, Hafiz mengangkat tangan, memberi isyarat agar mereka berhenti. Jantung mereka berdetak lebih cepat, merasakan bahaya yang bisa muncul kapan saja."Eri, jaga pintu. Indra, Erzhan, bantu gue dengan laptop ini," bisik Hafiz dengan nada tegas, matanya menyapu sekeliling untuk