Share

Bab 5. Menuju Penebusan

Bel pulang berbunyi, menggema lembut di lorong-lorong sekolah. Ujian tengah semester akhirnya usai. Bagi kebanyakan siswa, ini adalah momen yang ditunggu, saat kebebasan merentang di depan mata. Namun, bagi Hafiz, bel itu bukan tanda kebebasan. Dia hanya bisa menarik napas panjang, menyadari bahwa meskipun sekolah pulang lebih awal, dirinya harus tetap menunggu. Jam dinding kelas menunjukkan pukul dua belas siang. Masih ada empat jam lagi sebelum ayahnya bisa menjemputnya pulang.

Hafiz bersandar di kursinya, memejamkan mata sejenak. Kelas yang tadinya ramai kini kosong dan hening. Hanya dirinya yang masih bertahan, dikelilingi meja-meja dan kursi yang terasa dingin dan sepi. Ia mendengus pelan, lalu berdiri, memutuskan untuk mencari ketenangan di musholla. Di sana, setidaknya ia bisa menemukan kedamaian di tengah kesunyian.

Langkah-langkahnya menggema di sepanjang koridor, perlahan tapi pasti menuju musholla. Sesampainya di sana, Hafiz melepas sepatu dengan gerakan malas, merasakan lantai dingin di bawah telapak kakinya. Namun, sesuatu menarik perhatiannya. Di sudut musholla, seorang gadis tengah mengambil wudhu, dan seketika itu juga Hafiz mengenalinya. 

Ayna. Gadis dengan senyum lembut dan mata teduh itu kini mengenakan mukenah, bersiap menunaikan sholat. Tanpa menyadari keberadaan Hafiz, Ayna berjalan melewatinya dengan anggun, seperti angin yang lewat tanpa suara. Wajahnya bercahaya, masih basah oleh sisa air wudhu yang membingkai ketenangan di matanya.

Hafiz terpaku, matanya mengikuti setiap gerakan Ayna yang kini sedang melangkah ke dalam musholla. Di balik gerakan sholatnya yang tenang, ada sesuatu yang membuat Hafiz tak bisa mengalihkan pandangannya. Penasaran yang tak terucapkan, sebuah rasa yang tiba-tiba menghampiri tanpa permisi.

Suara getar ponselnya tiba-tiba memecah lamunan itu. Hafiz terkejut, cepat-cepat mengambil ponselnya. Nama ayahnya tertera di layar.

"Assalamu'alaikum, Fiz. Abati sudah di gerbang sekolah, kamu dimana, nak?" Suara ayahnya terdengar lembut dan penuh cinta, seperti selalu.

"Wa’alaikumussalam, Abati. Hafiz kira Abati pulang jam empat sore. Iya, ini Hafiz segera ke sana." Dengan tergesa, Hafiz kembali memasang sepatu, langkahnya bergegas menuju gerbang sekolah, tak ingin ayahnya menunggu terlalu lama.

Saat Hafiz tiba di depan mobil ayahnya, ia meraih tangan ayahnya dengan takzim, mencium punggung tangannya dengan lembut.

Ayahnya tersenyum tipis, mengusap kepala Hafiz sejenak, sebelum berkata lembut, "Abati gak mungkin ninggalin anak Abati sendirian di sekolah,"

Hafiz tersenyum kecil, namun pertanyaan terlintas di pikirannya. "Lalu kerjaan Abati gimana?"

Ayahnya tetap tenang. "Abati nanti balik ke kantor setelah makan siang. Sekarang, prioritas Abati Hafiz pulang dulu."

Mereka pun masuk ke dalam mobil, suasana hangat menyelimuti di antara deru pelan mesin yang mengalun seirama dengan perasaan tenang Hafiz. Perjalanan menuju rumah terasa seperti perjalanan yang tak hanya membawa mereka ke tempat tujuan, tapi juga mendekatkan hati keduanya.

Di tengah-tengah perjalanan, Hafiz memecah keheningan dengan suara yang nyaris seperti bisikan, "Abati, Hafiz boleh tanya sesuatu?"

Tanpa sedikit pun keraguan, ayahnya menoleh sekilas, penuh perhatian. "Boleh, dong. Apa yang ingin Hafiz tanyakan?"

"Tentang hafalan Qur'an, Abati" jawab Hafiz, suara itu kini terdengar lebih mantap, namun ada rasa ragu yang tersembunyi di baliknya.

Ayahnya tersenyum, senyuman yang selalu Hafiz rindukan. "Tanya soal hafalan Qur'an? Kenapa emangnya,hm?" Ayahnya melirik putranya, lalu menatap jalan lagi

"Abati pernah gak sih kesulitan dalam menghafal qur'an?" tanya Hafiz sambil menatap ayahnya dengan penasaran.

Ayahnya terdiam sejenak, lalu mengangguk perlahan. "Pernah, Hafiz. Dan itu adalah bagian dari perjalanan setiap orang yang berusaha mencintai Qur'an. Menghafal adalah bagian mudahnya, tapi menjaga hafalan... itulah yang sesungguhnya tantangan terbesar."

Hafiz merasa ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya. Setiap kata ayahnya terdengar seperti nasihat dari langit yang turun menyejukkan hatinya.

"Yang paling penting," lanjut ayahnya, "ketika kita sudah diberi kesempatan untuk menghafal kalam Allah, kita harus menjaga hati kita tetap bersih. Qur'an itu cahaya, Nak. Ia hanya tinggal di hati yang jernih. Jika kita berbuat dosa, hati kita menjadi gelap, dan hafalan itu perlahan menghilang."

Hafiz terdiam, hatinya tenggelam dalam renungan. Semua kata ayahnya terpatri dalam-dalam, seakan membuka pintu yang selama ini tertutup rapat. Ia merasa tersentuh, terlebih karena semalam ia merasa dirinya telah gagal menjaga hati itu tetap bersih. Hafalan Qur'an-nya terasa sulit tadi, seolah hilang di saat ia butuh.

Ayahnya menoleh lagi, kali ini tatapannya penuh rasa ingin tahu. "Kenapa tiba-tiba tanya soal ini, hm?"

Hafiz terkejut, tersadar dari lamunannya. Ia tersenyum samar, berusaha menyembunyikan rasa bersalah yang menggelayut di hatinya. "Cuma kepikiran aja, Abati."

Ayahnya tersenyum lembut, lalu bertanya, "Dan sekarang, apa yang Hafiz pahami dari penjelasan Abati barusan?"

Hafiz menunduk, memikirkan jawabannya sejenak. Lalu dengan suara pelan, ia berkata, "Bahwa hafalan Qur'an itu bukan hanya tentang kata-kata, tapi tentang menjaga hati dan amal kita tetap bersih."

Ayahnya tersenyum lebar, bangga pada putranya. "Tepat sekali, nak. Karena hati yang bersih adalah rumah bagi cahaya Qur'an."

---

Hafiz duduk terdiam, merenungi dalam-dalam kata-kata ayahnya yang penuh makna. Hatinya terasa sesak, seolah ada beban yang perlahan-lahan menyeruak dari dalam, menuntut untuk dilepaskan. Matanya menatap kosong pada laptop yang teronggok sunyi di atas meja dekat sofa kesayangannya, tempat ia sering bersantai. Seakan dalam kebisuan itu, ada pertarungan batin yang tak bisa diabaikan.

Tatapannya kemudian beralih ke arah Al-Qur’an yang tersusun rapi di rak, berdiri tegak di atas laci dekat kasurnya. Di sanalah, ayat-ayat yang seharusnya mengisi hatinya menunggu untuk dijaga. Mata Hafiz mulai memanas, air mata perlahan menggenang, seakan seluruh kesalahannya menampar hati nuraninya. Tanpa berpikir panjang, Hafiz beranjak dengan langkah cepat menuju sofa, membuka laptopnya dengan tangan bergetar.

Jari-jarinya menari di atas keyboard, tapi bukan lagi gerakan dengan niat yang sama seperti semalam. Ada rasa bersalah yang menghantam tiap ketukan. Matanya penuh dengan kesedihan yang kini hampir tumpah, saat ia membuka file yang semalam berhasil ia dapatkan dengan cara yang salah, hasil dari teknik peretasannya. File yang seharusnya menjadi jalan pintas bagi Hafiz untuk menghadapi ujian tanpa usaha.

Tanpa keraguan lagi, Hafiz menekan tombol delete. Namun, kali ini perintah itu terasa seperti melepaskan beban berat yang telah lama menyesakkan dadanya. Saat kotak peringatan di layar muncul, ia menekan tombol 'Yes' tanpa ragu. File itu terhapus, dan Hafiz menghela napas panjang. Bukan hanya file yang hilang, tetapi juga rasa bersalah yang selama ini membelenggu dirinya.

Setelah itu, Hafiz segera berjalan menuju kamar mandi. Dia mengambil wudhu', membiarkan air menyentuh kulitnya, seolah membersihkan tak hanya fisiknya, tetapi juga jiwanya yang penuh dengan rasa penyesalan. Setiap percikan air terasa begitu menenangkan, menyejukkan hati yang selama ini terasa gelisah. Dalam hati, Hafiz menyadari betapa besar dosanya jika terus membiarkan kecurangan menjadi bagian dari hidupnya, terlebih jika itu merusak hubungan dengan Al-Qur'an yang ia cintai.

Usai mengambil wudhu', Hafiz menuju sajadahnya. Dengan hati yang lebih ringan, ia menunaikan sholat dhuhur yang sempat tertunda. Dalam sujudnya, Hafiz berjanji pada dirinya sendiri, bahwa ia tidak akan pernah lagi membiarkan dosa menghalangi dirinya dari menghafal dan mencintai Qur'an. Ia tahu, setiap tindakan curang, setiap dosa yang ia lakukan, akan mengotori hati yang seharusnya bersih untuk menjadi tempat hafalan ayat-ayat Allah bersemayam.

Sujud terakhirnya terasa lebih dalam, lebih panjang, seolah dalam keheningan itu ia menemukan ketenangan yang selama ini ia cari. Hafiz tahu, perjalanan ini baru dimulai, dan ia bersyukur telah diberi kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Sebuah janji yang terpatri dalam hatinya, untuk tidak lagi mengecewakan Allah dan kedua orang tuanya yang begitu ia hormati.

---

Keesokan harinya, tepat di hari Selasa, hari kedua ujian di SMA Nusantara. Hafiz menatap kosong lembar soal di tangannya. Semalam dia sudah mencoba belajar dengan susah payah, berusaha memahami materi yang akan diujikan hari ini. Tapi, seperti biasa, hasilnya nihil. Di kelas, Hafiz jarang sekali mendengarkan guru saat menjelaskan materi. Di rumah pun, buku paketnya hampir tak pernah tersentuh. Menurut Hafiz, belajar lewat buku pelajaran itu sangat membosankan, hampir tak ada yang menarik baginya. Namun kali ini berbeda, semalam ia benar-benar berusaha keras untuk mengerti, dan hari ini ia harus lebih keras lagi memaksa otaknya bekerja demi menjawab soal-soal yang ada.

Waktu berlalu, setengah jam sudah, tapi Hafiz baru menyelesaikan lima soal dari dua puluh soal yang harus dijawab. Mata pelajaran yang diujikan hari ini adalah Bahasa Indonesia, pelajaran yang paling tidak disukai Hafiz. Dengan perasaan kesal, ia mendengus pelan. Bagaimana mungkin ia harus menghadapi pelajaran yang tak ia minati sama sekali?

Hafiz menaruh kepalanya di atas meja, tangan yang lelah menggerakkan pensil tanpa arah pada lembar soal yang tampak semakin tak berarti. Pikirannya melayang, bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawabannya. Suasana dalam ruang ujian terasa menyesakkan, seakan waktu bergerak lambat, menambah beban berat di pundaknya.

Tiba-tiba, langkah kaki yang tenang menyentuh telinganya. Hafiz mengangkat kepalanya, matanya menyipit, mencoba meneliti suara yang mengganggu konsentrasinya. Dia melihat Darren Wijaya, temannya yang dikenal dengan peringkat terbawah sejak kelas satu, melangkah dengan penuh keyakinan menuju meja pengawas. Darren, dengan langkah mantap, menyerahkan lembar jawabannya kepada Bu Ina.

"Darren?" Hafiz bergumam, rasa heran menyelinap di hatinya. Bagaimana mungkin Darren, yang biasanya berada di posisi paling bawah, bisa menyelesaikan ujian secepat itu? Soal-soalnya panjang-panjang, bahkan Ayna, yang dikenal sebagai langganan peringkat pertama, masih sibuk dengan ujiannya.

Seluruh kelas seakan terhenyak, mata-mata tertuju pada Darren. Bu Ina, guru pengawas yang duduk di depan, menatap Darren dengan raut wajah yang penuh keraguan. "Darren, kamu sudah selesai? Teman-temanmu belum ada yang mengumpulkan, loh," tanya Bu Ina, suaranya penuh ketidakpercayaan.

Dengan wajah yang tenang dan penuh keyakinan, Darren mengangguk. "Sudah, Bu," jawabnya singkat, lalu kembali ke mejanya, membereskan alat tulisnya, dan melangkah keluar kelas. Suasana kelas tetap hening, penuh tatapan bingung dari teman-teman sekelas, termasuk tatapan Hafiz yang penuh keheranan.

Hafiz merasa ada yang janggal, tapi rasa ingin tahunya terhenti oleh kenyataan bahwa dia masih harus menyelesaikan ujiannya. Ia kembali menunduk, berjuang melawan soal-soal Bahasa Indonesia yang terasa menyiksa. Hari ini, ujian terasa lebih berat dari biasanya, bukan hanya karena materi yang sulit tetapi juga karena tekadnya untuk tidak mencontek seperti sebelumnya.

Ia teringat kembali pada keputusan kemarin untuk menghapus file kunci jawaban dari laptopnya dan memohon ampun kepada Yang Maha Kuasa. Hafiz baru menyadari betapa beratnya ujian hari ini yang merupakan ujian uraian, bukan pilihan ganda seperti biasanya. Setiap soal tampak seperti tantangan besar yang menuntut semua kemampuannya.

Saat Hafiz mendengus kesal, matanya tanpa sadar menangkap sosok Ayna yang mulai berdiri dari tempat duduknya. Dan sepertinya, garis takdir yang tak pernah bersinggungan itu tampaknya akan bertemu lagi.  Dalam sekejap, Ayna menoleh ke belakang, menangkap basah mata Hafiz yang menatapnya tanpa berkedip sejak tadi.

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status