Hujan mengguyur kota sejak pukul dua pagi. Melissa yang sejak semalam merasakan pusing, tidak bisa memejamkan mata hingga pagi menyapa. Maka tak heran, pagi ini ia merasa sangat mengantuk. Apalagi ketika alarm di ponselnya berbunyi, ia segera mematikannya dan kembali bergelung di dalam selimut, mengubur seluruh tubuhnya.
Sukma yang baru saja selesai membereskan sarapan di meja makan, mengerutkan dahi. Merasa aneh, karena Melissa belum juga bangun. Ia pun segera mencuci kedua tangannya dan bergegas menuju kamar Melissa untuk mengecek keadaan putrinya.
Tok ... tok ... tok ...
“Lissa ,,,” panggil Sukma dari balik pintu. Karena tak mendapat jawaban dari dalam, Sukma memutuskan masuk tanpa memanggil Lissa kembali.
Sukma menyibak selimut yang di pakai Melissa. Dengan sigap Sukma mengecek keadaan putri bungsunya. Saat mendapati bahwa tubuh Melissa menggigil, ia segera membuka laci di nakas, mengambil thermometer untuk mengecek suhu tubuh Melissa.
Tiga puluh sembilan derajat. Angka yang terlihat pada layar thermometer, cukup membuatnya panik.
Tak membuang waktu, Sukma keluar dari kamar, menuju dapur, mengambil baskom kecil, beberapa potong balok es kecil, air dan handuk kecil. Ia pun terburu-buru kembali ke kamar Lissa. Mulai mengompres dengan handuk kecil, untuk menurunkan suhu badannya.
Merasakan pergerakan Bundanya, Melissa membuka mata perlahan. Mengerjap beberapa kali, hingga ia melihat dengan jelas kekhawatiran sang Bunda.
“Pusing Bunda,” katanya lemah.
“Sejak kapan kamu merasa gak enak badan?” tanya Sukma lembut.
Melissa membuka matanya kembali. “Tadi malam Bun. Lissa nggak tahu tepatnya jam berapa.”
“Kenapa nggak bangunin Bunda?” tanya Sukma lagi.
“Kan, Bunda sudah tidur. Lissa juga semalam nggak punya tenaga buat jalan. Jadi Lissa tidur aja.”
“Kamu yakin semalam bisa tidur?”
Melissa meringis. “Lissa cuma tidur sebentar, Bun. Dan sekarang kepala Lissa pusing.” Suara Melissa semakin melirih.
“Ya sudah. Kamu istirahat saja. Bunda buatkan bubur kesukaan kamu ya. Nanti Bunda kesini lagi.”
Melissa mengangguk samar. Matanya terasa berat dan kepalanya terasa pusing.
*
“Selamat pagi, Bunda,” sapa Rendy dengan sopan. Ia meraih tangan Sukma untuk mencium punggung tangannya.
“Eh ,,, ada Nak Rendy. Selamat pagi juga. Mau jenguk Lissa ya? Ayo masuk,” ajak Sukma.
Rendy bingung dengan ucapan Sukma.
"Lissa sakit, Bun?" tanya Rendy.
"Iya. Semalam dia nggak bisa tidur. Sekarang badannya panas. Tadi habis Bunda kompres," jawab Sukma. "Ini Bunda mau ke kamar anterin bubur, Nak Rendy mau ikut masuk?" tanya Sukma.
Rendy ragu, tapi ia mengangguk setelah berpikir selama beberapa detik.
Rendy mengikuti langkah Sukma menuju kamar Melissa.
“Lissa ,,,, Ayo bangun, Sayang! Makan bubur dulu, ya?” bujuk Sukma lembut.
Melissa menggeliat pelan. Lalu menyibak selimut yang membungkus tubuhnya. Ia terkesiap, saat melihat satu siluet laki-laki berada di kamarnya.
“L-Lissa bisa makan sendiri, Mas,” ucap Melissa dengan nada lirih.
Sudah ketiga kalinya Melissa mengucapkan hal yang sama dan Rendy pun tetap keukeuh untuk menyuapi Melissa, sampai semangkuk bubur pun tandas.
Rendy meletakkan mangkuk ke nakas. Mengambil satu butir obat penurun demam, dan segelas air putih. Lagi-lagi ia menyuapkan ke arah Melissa.
“Duduk dulu bentar. Habis itu istirahat ya. Biar cepet sembuh,”
Melissa mengangguk. “Iya Mas.”
"Kalau begitu Mas sekalian pamit, ya? Nanti Mas bilangin ke Mama, kalau kamu nggak bisa datang ke rumah,”
Melissa mengangguk dan menundukkan wajahnya, membuat Rendy mengulum senyum, melihat tingkah malu-malu yang ditunjukkan Melissa.
'Ternyata dia bisa semanis itu,' pikir Rendy dalam hati.
Rendy mengenyahkan pikiran liar yang menganggu otaknya. Ia beranjak menuju pintu setelah mendapat persetujuan dari Melissa.
*
Hari beranjak malam. Keadaan Melissa sudah lebih baik dari tadi pagi. Ia mengambil ponsel di atas nakas. Menyentuh satu aplikasi di sana. Membaca kembali pesan yang membuatnya tak bisa tidur.
Matanya mulai berkaca-kaca.
Tok ... tok ... tok ...
“Lissa ,,,?” Riko mengetuk pintu kamarnya.
Melissa menghela napas dalam-dalam untuk meredakan gejolak hatinya. Lalu ia menyahut panggilan sang Kakak. “Iya Kak?”
“Boleh Kakak masuk?”
“Boleh. Masuk aja Kak.”
Melissa segera mengusap kedua matanya. Ia meletakkan ponselnya di nakas.
Ceklek ...
Riko melayangkan tatapan menyelidik yang membuat gadis itu gugup.
“Kamu mau cerita sama Kakak?” tanya Riko tanpa basa-basi.
Melissa menegang. Matanya berkaca-kaca saat Riko menatapnya dalam. Dengan cepat, Riko memeluknya. Memberikan waktu untuknya menenangkan diri.
Dan benar saja, Melissa menumpahkan air mata setelah Riko memeluknya. Mengeluarkan ketakutan yang membelenggu dirinya. Dan Riko dengan sabar menepuk-nepuk lembut punggung Melissa agar lebih tenang.
“Belum mau cerita?” tanya Riko lembut. Ia mengurai pelukannya, mengusap kedua pipi adiknya yang basah.
Gadis itu menggeleng pelan.
“Ya sudah, kamu istirahat saja. Besok, kamu gak usah masuk kuliah dulu. Nanti biar Kakak yang bilang ke Ayah dan Bunda.”
Saat Riko beranjak, Melissa menahan tangannya.
“Kenapa?” Riko kembali duduk.
“Dia ... dia kembali Kak.”
Riko terdiam. Tak mendapat respon, gadis itu mendongak. Kedua bola matanya memerah.
“Bagaimana perasaanmu saat ini?” tanya Riko lembut.
Melissa menggeleng. “Lissa gak tahu Kak.”
Riko meremas kedua tangan adiknya. “Kamu masih mencintainya?”
Gadis itu tertegun. Tenggorokannya terasa kering. Tak mampu mengucapkan kata apa pun dan mendadak bimbang dengan hatinya.
“Jawab pertanyaan Kakak! Kamu masih mencintainya?” desak Riko.
“L-Lissa bingung Kak.” Gadis itu menundukkan wajahnya. Saat ini ia terlalu kalut. Ya, siapapun pasti pernah merasakan bagaimana cinta pertama mempunyai tempat tersendiri di dalam hati.
“Kamu mau membatalkan perjodohan yang Ayah dan Bunda rencanakan?” tanya Riko lagi.
Gadis itu menggeleng pelan.
“Lalu, apa yang membuatmu bingung?”
Melissa mengambil ponselnya yang berada di nakas. Membuka satu aplikasi, memperlihatkan satu pesan semalam. Riko hanya menatap datar pesan itu.
“Lihat mata Kakak.” Riko menjeda sesaat. Gadis itu dengan patuh menatap ke arah Kakaknya.
“Mau dengar saran Kakak?” Riko menunggu reaksi Melissa sebelum melanjutkan perkataannya. Gadis itu mengangguk pelan.
“Blokir nomernya!?” titah Riko, cepat.
Gadis itu menegang. Hatinya sedang bergejolak. Memberanikan diri mengangkat wajahnya, menatap sang Kakak dengan sendu.
“Kakak tahu, dia masih ada di hati kamu. Tapi, saat ini ada perasaan banyak orang yang harus kamu jaga. Apa jadinya kalo Ayah dan Bunda tahu kamu seperti ini?” Riko menjeda ucapannya.
Dan sekilas bayangan kekecewaan di wajah kedua orang tuanya dulu melintas di benaknya.
“Dan apa jadinya kalau calon suami dan calon mertua kamu tahu, jika kamu terpaksa menjalani perjodohan ini? Padahal, kamu bisa merasakan sendiri perlakuan kedua orang tua Rendy ke kamu dan keluarga kita. Dan kalau kamu lupa, Kakak ingatkan sesuatu ...”
“Cukup Kak.” Gadis itu buru-buru memotong perkataan Riko. “M-Maafin L-Lissa, Kak?” Melissa kembali terisak.
Riko menarik Melissa ke dalam pelukannya. Menenangkan gejolak hati gadis itu. Mengusap punggungnya perlahan, berharap itu bisa meredakan kesedihannya.
“Sudah lebih baik?” Riko lembut.
Melissa mengangguk pelan. “Terima kasih ya Kak. Kakak, selalu ada buat Lissa.” Melissa mengeratkan pelukannya.
Riko terkekeh pelan. “Kan memang kamu princessnya Kakak. Jadi Kakak punya kewajiban untuk memastikan kamu agar selalu bahagia. Nanti kalau calon suami kamu macam-macam, biar Kakak yang hajar dia.”
Melissa pun tertawa pelan. “Kakak ih!”
“Pokoknya, Adik Kakak yang paling cantik ini harus bahagia. Ngerti!?” Riko dengan nada jenaka.
Gadis itu mengangguk berkali-kali dan tertawa. Meyakinkan pilihan hatinya kali ini. Ia berjanji, tak akan mengecewakan semua orang. Terutama kedua orang tuanya. Sudah cukup dirinya egois di masa lalu.
Tring ...
Sebuah notifikasi pesan masuk. Melissa mengambil ponselnya, membaca satu pesan di sana.
>>Mas Rendy
Kamu kangen aku?
Deg ...
Jantung Melissa berdetak kencang. Ia menoleh ke arah Riko yang menyeringai ke arahnya.
“Kakak!?” pekik Melissa dengan nyaring.
Riko yang masih tertawa segera keluar untuk menghindari amukan Melissa. Sampai di luar pun ia masih terbahak-bahak.
Wajah sembab Melissa merona. Satu pesan itu membuat perasaannya membaik. Jemarinya bergerak mengetikkan pesan singkat sebagai balasan.
//Me
Enggak!!!
Melissa melempar ponselnya karena merasa malu. Bagaimana bisa Kakaknya memberitahu pria itu kalau ia rindu?
Di dalam kamar, Rendy tak bisa menahan tawanya setelah mengirimkan pesan kepada Melissa. Niat utamanya tentu saja hanya untuk menggoda. Tawanya semakin meledak, saat pesan itu mendapat balasan.
'Untuk ukuran cewek yang kaku, kamu itu bisa selucu itu'
Senyum geli tersungging di bibirnya, Rendy memilih tak mengirimkan pesan lagi. Memberikan Melissa waktu istirahat. Ia memilih membuka laptopnya. Mengerjakan tugas kuliah yang menumpuk.
Ningrum yang semula ingin masuk ke kamar putra semata wayangnya itu tertegun dan berpikir apa yang bisa membuat Rendy tertawa selepas itu.
Saat telinganya mendengar nama yang diucapkan Rendy, mata Ningrum berkaca-kaca. Ia pun mengurungkan niatnya untuk masuk ke kamar putranya.
*
Setelah dua hari istirahat total di rumah, pagi ini Melissa sudah kembali sehat. Dengan balutan kemeja soft pink dan di padukan dengan celana jeans pas body, ia terlihat begitu cantik.
Rambut di ikat kucir kuda membuat leher jenjangnya terekspos. Ia memoleskan sedikit bedak dan yang terakhir memoles lip tint berwarna pink. Setelah memastikan penampilannya untuk beberapa menit, ia meraih sling bag serta buku materi yang diperlukan hari ini.
Saat membuka pintu, ia dikejutkan Riko yang telah berada di depan pintu kamarnya.
“Ah ,,, Kakak?!” Melissa yang kesal mencubit tangan Riko.
“Hahaha ,,,” Riko tertawa terbahak-bahak karena berhasil mengagetkan adiknya. “Ehm ,,, buruan turun. Udah ada yang nungguin di meja makan.”
“Bunda?” Riko menggeleng. Saat otaknya menemukan nama lain, Melissa membelalakkan mata terkejut.
“R-Rendy?” lirihnya.
Riko mengangguk dengan tangan bersedekah di dada. “Iya. Buruan turun! Dia udah dari tadi soalnya,” imbuh Riko.
Mata Melissa semakin membola dan Riko semakin terbahak-bahak. Keduanya menuju meja makan. Dan benar saja, Rendy sudah duduk di meja makan dengan sepiring sandwich dan secangkir kopi.
“Pagi Bunda ,” Melissa memeluk Bundanya sebelum ia duduk di kursi sebelah Rendy.
“Pagi Mas Rendy,” sapa Melissa.
“Pagi juga.”
Melissa pun duduk di dekat Rendy. Menghabiskan sarapan tanpa ada suara.
Setelah selesai sarapan dan berpamitan dengan Sukma dan Riko, Rendy mengajak Melissa segera berangkat ke kampus. Karena hari ini Rendy ada kelas pagi.
“Aku turun di dekat toko sebelah kampus aja Mas. Nanti biar aku jalan sendiri ke kampus.” pinta Melissa
“Kenapa?” tanya Rendy.
“M-maksudnya Mas?” tanya Melissa kembali. Karena pertanyaan Rendy terdengar ambigu di telinganya.
“Maksud aku, kenapa gak turun di depan kampus atau di parkiran aja?” Kali ini Rendy melirik Melissa dari sudut mata.
“A-aku hanya nggak ingin jadi pusat perhatian aja. Turun dari mobil kamu saja sudah beresiko. Apalagi kalau sampai di depan kampus atau di parkiran. Apa yang mereka katakan?” jawab Melissa panjang lebar.
Rendy mengulum senyum. Dan itu membuat Melissa semakin kesal. Bukannya apa, Rendy memang sengaja membuatnya kesal. Karena menurutnya wajah kesal Melissa itu lucu dan menggemaskan.
Rendy tak menghiraukan saat Melissa memintanya menepikan mobilnya. Ia pun masuk ke gerbang kampus, dan langsung menuju parkiran seperti biasanya.
Setelah memarkirkan mobilnya, Rendy dengan sengaja tak membuka lock door mobilnya.
“Buka Mas. Nanti aku telat masuk loh!” Melissa terlihat kesal. Pasalnya Rendy hanya berdiam diri tanpa mau membuka lock door mobilnya.
Rendy menghela nafas dalam-dalam. Laki-laki itu melepas seatbelt miliknya. Tanpa Melissa duga, Rendy mencondongkan tubuh ke arahnya. Karena tak memasang antisipasi, kini dirinya hanya bisa terdiam. Karena sedikit saja ia bergerak, maka bibir mereka akan saling menyentuh.
Dengan posisi sedekat ini, kedua manusia berbeda kelamin itu sama-sama merasakan debaran riuh di dada. Membuat Melissa gugup seketika.
Rendy memiringkan kepalanya dan kedua bibir itu saling menyentuh dalam waktu tiga detik. Singkat, tapi cukup membuat keduanya menegang.
Melissa mendorong pelan dada Rendy agar menjauh. Ia tidak ingin pria itu mendengar debaran dadanya yang menggila. Bahkan ia bisa mendengarnya sendiri.
“Aku nggak suka kamu mengikat rambut seperti pagi ini,” bisik Rendy.
Melissa mengangguk patuh dengan wajah merona.
“Ingat! Jangan pernah melakukannya lagi!” cetus Rendy.
“I-Iya Mas. Lissa akan ingat pesan Mas Rendy,” jawab Melissa gugup.
“Bagus! Nanti kamu pulang jam berapa?”
“Ehm ,,, aku pulang jam dua belas, Mas.”
“Ok ,,, aku tunggu kamu di sini. Aku nggak menerima penolakan!” titah Rendy.
Melissa pun tak membantah. Saat ia bersiap turun dari mobil tiba-tiba satu kecupan mendarat di pipinya yang membuat ia membeku.
Rendy mengelus rambut Melissa tanpa sadar. “Ayo turun! Atau ,,,,”
“Aku turun,” sahut Melissa cepat dan segera turun dari mobil Rendy. "Berada di sekitar Rendy ternyata bukan hal yang baik," gumam Melissa seraya melanjutkan langkahnya tanpa menunggu Rendy.
Rendy mengulum senyum geli. Melihat wajah Melissa yang merona membuat sesuatu di tubuhnya bereaksi. Ia menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir bayangan nakal yang singgah di otaknya.
Dering ponsel mengalihkan perhatian Rendy. Laki-laki itu menghentikan langkah santainya. Ia mengeluarkan ponsel dan tersenyum melihat ID caller yang terpampang di sana.
“Hallo Ma. Ada apa?”
>> “Nanti ajak Lissa ke sini ya, Ren?”
“Baik Ma. Nanti aku ngomong ke Lissa, kalau dia udah selesai belajar.”
>> “Ok ,,, Mama tunggu loh ya. Awas aja kamu gak bawa mantu Mama ke sini.”
“Iya Ma, Rendy janji. Udah ya, Rendy mau kuliah dulu.”
>> “Ya sudah. Belajar baik-baik ya.”
Rendy menarik kedua sudut bibirnya dan berbelok ke arah kelasnya. Di lorong tak jauh dari kelasnya berada ia mendapati beberapa mahasiswi yang sedang berbagi gosip di pagi hari.
Biasanya Rendy tak memedulikan hal-hal seperti itu. Tapi saat telinganya mendengar nama Melissa disebut, ia langsung berlari menuju tempat yang disebutkan mahasiswi tadi.
Rendy berlari secepat mungkin menuju lorong, di mana kelas Melissa berada. Di sana ia mendapati Melissa sedang tersudut di lantai di depan pembully yang tak lain mahasiswi senior, seangkatan dengannya. Bahkan sering berada di kelas yang sama.
Secepat mungkin Rendy meraih Melissa yang kini basah kuyup dan beberapa luka di kedua tangan dan pipinya.
“Pakai ini ya?” Rendy melepaskan jaket dan menyampirkan di kedua bahu Melissa. Rahangnya mengeras melihat ada darah di pipi Melissa. Ia membalikkan badan dan memaki siapa saja yang ada di sana.
Para mahasiswi terkejut, melihat perlakuan Rendy ke Melissa. Termasuk Vera, gadis yang terobsesi menjadi kekasih pria itu.
Rendy tak memedulikan sekitar. Ia memilih pergi menggendong Melissa ke mobilnya untuk membawanya pulang. Tak mungkin ia membiarkan gadisnya pulang sendirian.
Sepasang mata tajam yang menatap Rendy yang menggendong Melissa dengan kedua tangan terkepal.
"Laki-laki itu lagi!"
Bersambung ...
“Awwssh ,,, perih Mas.” “Tahan ya, dikit lagi kok.” “Awwssh ,,, sa-sakit” lirih Melissa dengan mata berkaca-kaca. “Dikit lagi ... aku pelan-pelan, kok. Sabar, ya?” dengan telaten Rendy mengobati luka-luka di wajah Melissa. Begitu juga dengan luka di tangan. Melissa menahan sekuat tenaga untuk tidak menangis. Rasa perih yang menjalar di kedua pipi sangat sulit untuk di tahan. Meskipun pria itu melakukannya dengan hati-hati. "Tahan, ya? Dikit lagi selesai," hibur Rendy seraya mengobati luka di tangan Melissa. "Terima kasih, Mas Rendy," ucap Melissa tulus. "Sama-sama, Sayang," jawab Rendy tanpa sadar. Melissa seketika membulatkan matanya mendengar kata 'sayang' meluncur tanpa beban dari mulut Rendy. "Selesai," gumam Rendy. "Pasti nanti Ayah dan Bunda heboh melihat keadaan Lissa seperti ini," gumam Melissa yang masih bisa didengar oleh Rendy. "Nanti biar Mas aja yang bil
Pagi ini Melissa tampak tak bersemangat. Wajahnya terlihat murung. Goresan luka di kedua pipinya begitu kentara membuatnya tak percaya diri. Dengan langkah gontai, ia meraih handuk dan ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelahnya Melissa tampak lebih segar, dengan balutan kemeja lengan panjang berwarna soft blue dan celana jeans panjang. Ia memutuskan memakai masker untuk menutup menutupi luka di kedua pipinya. Beberapa kali menghela nafas dalam-dalam untuk meyakinkan dirinya, bahwa semua akan baik-baik saja. Tok ... tok ... tok ... Melissa yang telah selesai bersiap, membuka pintu. Ia mendapati Riko tersenyum lebar dan mengusap kedua pipinya pelan. Tiba-tiba saja Melissa menjadi cengeng mendapati perlakuan manis dari Kakaknya. Air mata yang sempat ia tahan, jatuh tanpa permisi, membasahi kedua pipinya. Riko yang paham akan perasaan adiknya, segera menarik Melissa dalam pelukannya. Ia mengusap punggung Melissa lembut, berh
Mas Rendy Besok pagi, Mas jemput ya? Melissa masih betah memandangi pesan dari Rendy, satu jam yang lalu. Wajahnya merah merona. Ingatannya tertarik pada insiden tadi sore. Flasback “Ayo Mas antar pulang!” Melissa merengut. Padahal ia belum ingin pulang. Menyadari perubahan raut wajah gadis itu, Rendy mengulum senyum. Ia meraih dagu Melissa, mengecup bibir gadis itu sesaat. Membuat si empunya merona. Rendy pun terkekeh pelan. “Mas Rendy godain Lissa mulu ih?!” rajuk Melissa tanpa sadar. “Kenapa cemberut, hm?” tanya Rendy lembut. “Siapa yang cemberut?” Melissa balik bertanya dengan nada ketus. “Terus, ekspresi kamu yang seperti ini apa namanya dong?” goda Rendy. Merasa tak suka, Melissa beranjak dengan cepat. Tak me
Semenjak kembali dari kantin kampus, Melissa lebih sering melamun. Mata perkuliahan hari ini pun tak ada yang masuk di otaknya. Mita yang tak sengaja menyinggung tentang masa itu semakin merasa bersalah. “Kamu sakit?” Tanya Rendy. Tak kunjung mendapat jawaban, Rendy menoleh ke arah Melissa. Dahinya mengernyit, pasalnya gadis itu bukan hanya tak mendengar apa yang ia ucapkan. Tapi, tanpa sadar ia menggigit jari-jarinya. Perasaan Rendy menjadi tak enak. Ia menepikan mobil di jalan yang sekiranya agak sepi. Ia mencoba menunggu, hingga Melissa tersadar. Namun, nihil. Gadis itu tak bergeming. Rendy menatapnya cemas. Ia berinisiatif meraih jari Melissa yang saat ini sudah terluka. Menepuk pipinya pelan, agar ia sadar dari lamunannya. Melissa menoleh. Kedua matanya memerah, mengisyaratkan kerapuhan yang dalam. Tanpa berkata, Rendy melepas seatbelt Melissa. Dan meraih gadis itu dalam pelukannya. Seperti mendapat sandaran hati, Melissa menumpah
Rendy membelokkan mobilnya masuk ke tempat parkir. Ia bergegas turun dan masuk ke rumah. Tujuannya mencari keberadaan kedua orang tuanya. Ia menuju ke ruang menonton. Dan tepat sekali, kedua orang tuanya sedang bercengkerama di sana. “Pa, Ma. Ada yang mau Rendy bicarakan.” Ucap Rendy dengan nada serius. Kedua orang tuanya pun bertatapan sekilas. Lalu Ningrum lah yang pertama kali mengeluarkan suara. “Ada apa?” Tanya Ningrum lembut. “Aku mau pernikahan ini dipercepat.” Jawab Rendy singkat. Ningrum membelalakkan matanya. Terkejut? Tentu saja. Ia tak pernah mendapati putranya yang seperti ini. “K-Kamu serius, Nak? K-kamu nggak lagi bercanda kan?” Tanya Ningrum terbata. “Rendy serius Ma, Pa.” Joni tersenyum penuh arti dan Ningrum masih terdiam. “Rendy sudah berdiskusi dengan Ayah. Dan beliau meminta Rendy bilang ke Papa dan Mama dulu.” Tambahnya. “J-jadi beneran?” Kedua mata Ningrum berkaca-kaca. Ia meraih s
“Bagaimana? Suka nggak dengan gaunnya?” Tanya Rendy lembut. Gadis itu tersenyum malu-malu. “Suka Mas.” Merasa gemas dengan tingkah malu-malu Melissa, Rendy memeluk erat gadis itu dari belakang. Sejak lamaran mendadak semalam, perasaannya ke gadis itu semakin menggila. Seakan tak mau berpisah walau hanya sebentar. “Malu Mas.” Melissa menggeliat. Mencoba meregangkan pelukan erat calon suaminya itu. Tapi sia-sia. Pelukan itu semakin erat. Rendy terkekeh. Ia tak menghiraukan rengekan Melissa. “Yakin mau yang itu aja?” Tanya Rendy ke sekian kali. “Yakin Mas. Udah ah, kita ditungguin Mama loh.” “Ya udah. Ayok.” Rendy menautkan jemari tangannya ke jemari Melissa. Mereka saling bergandengan dan melempar senyum sebelum keluar dari Butik tersebut. Tak jauh dari posisi mereka, sepasang mata tajam tak mengalihkan pandangan sejak ia melihat interaksi keduanya. * “Gimana? Suka sama makanannya?” Ningrum tak sabaran. Me
Mas Rendy Selamat pagi calon tunangan Kamu nggak boleh nakal ya, Harus istirahat yang cukup Jangan lupa sarapan Melissa merasakan wajahnya memanas. Ia masih setia memandangi ponselnya sejak bangun tidur. Pesan itu memang bukan yang pertama. Tapi mampu menyita perhatian gadis itu untuk waktu yang tidak sebentar. Tok ... tok ... tok “Lissa ... Buruan keluar. Ada Mita di depan.” Seru Riko dengan lantang. “Iya Kak.” Jawabnya. Gadis itu segera beranjak dari tempat tidurnya. Mengikat rambut seadanya, dan menuju kamar mandi untuk gosok gigi dan cuci muka. “Astaga Mel! Lo baru bangun?” Seru Mita. Melissa meringis, “Sebenarnya udah dari tadi. Tapi males aja mau gerak.” Mita geleng-geleng kepala dengan tingkah sahabatnya. “By Th
“Kamu ini benar-benar keterlaluan, Ren!?” Ucap wanita paruh baya itu menggebu. “Udah dong Ma. Maafin Rendy.” Ucap laki-laki itu memelas. “Kamu ini ,,, benar-benar gak tahu waktu dan tempat. Gimana kalau ketahuan calon mertua kamu coba.” Tambah wanita itu. Rendy terdiam. Ia tak berpikir sampai kesana. “Awas aja kamu!?” Wanita paruh baya itu menatap Rendy penuh peringatan “Kalau sampai Melissa nggak jadi mantu Mama, kamu yang akan tanggung akibatnya.” Ningrum meninggalkan Rendy yang termangu di kamarnya. Ya, wanita paruh baya itu memergoki dua sejoli yang sedang berciuman di ruang rias setelah acara tukar cincin semalam. Ia tak menyangka putranya bisa tidak mengerti tempat dan waktu. Pasalnya ini bukan pertama kalinya Ningrum memergoki keduanya dalam keadaan seperti itu. Namun, kali ini ia benar-benar merasa syok dengan kelakuan putra tampannya. Seumur hidup Rendy tak pernah bisa membantah ucapan Mamanya. Seperti malam tadi, saat Ningrum