Pramudya mengerjap pelan saat merasakan cahaya yang masuk lebih daripada satu jam lalu. Sekarang sudah lebih terang, tirai kamarnya terbuka lebar, pasti salah satu dari dayang-dayang Dinara yang melakukannya. Dia tidak suka. Tapi apa boleh buat, ini bukan rumahnya, dia harus ikut peraturan yang ada di sana.
“Lho, ada kamu toh?” Sapaan pertama dia dengar dari Pradnya ketika membuka pintu kamar.
“Kamu ngapain? Bukannya jalan sama pacarmu?”
“Besok aku ke Solo,” jawab Pradnya acuh tak acuh. “Kamu kok tumben nginep? Bukannya Sabtu jadwal sama Mas Gum?”
Dya menyeringai, dia bahkan lupa kalau urutan kencannya di hari keenam adalah Gumelar, tapi Anya punya ingatan yang lebih bagus, dia sering tak sengaja mengingatkan itu.
“Aku habis dari Puncak, tapi Danish ngadu ke Mas Arya dan aku disuruh pulang malam-malam. Baru sampai sini jam 2 pagi.”
Anya terkikik, wajah saudarinya saat mengisahkan itu tampak jengkel setengah mati, dia pasti dikerjai lagi oleh Danish. Yang tidak diketahuinya adalah Arya murka sebab Dya pergi ke Puncak dengan teman-teman Danish tanpa pemuda itu di dalamnya, jelas Arya khawatir, Dya bahkan belum akrab dengan mereka, sudah sembarang pergi saja.
“Jadi apa jadwal Presiden kita hari ini?” tanya Anya. Mereka berkerumun di tablet yang tersedia, melihat rincian jadwal sang keponakan—anak sultan, yang meski masih bayi tapi sudah punya schedule tertata.
“Dia free jam 10, kita bisa ajakin main sampai jam 11.”
Sebab sekarang jadwal bayi itu adalah spa, berenang, sarapan, dan melakukan banyak tetek bengek dengan tiga pengasuh cerewet super protektif yang tidak ada habisnya.
Dua gadis kembar itu turun ke lantai tiga, tempat kakak dan ipar mereka tinggal, siap merecoki apa saja yang ada di sana, termasuk mengacaukan jadwal harian keponakannya. Namun begitu keluar dari lift yang berada di ruang tamu, keduanya dikejutkan oleh kehadiran Danish dan Sayna. Anya langsung menaikkan sebelah bibir begitu melihat mereka, diam-diam menjuluki Danish dan Sayna sebagai couple haram.
“Lo balik jam berapa?”
“Dya, kalau ada yang nyebelin ajak gelud aja.”
Suara Anya menyahuti Danish dan memberi semangat pada saudarinya sambil menepuk-nepuk pundak gadis itu. Dia sangat tidak suka pada Sayna dan terang-terangan menunjukkannya, Anya tidak tahan berada di sana, dia segera pergi dari hadapan mereka semua.
“Jam dua,” jawab Pramudya sambil melirik sekilas pada Sayna meski dia sedang menjawab pertanyaan Danish.
Danish menaikkan alis, tidak terlalu peduli sebenarnya, hanya dia merasa perlu bertanya saja. “Udah, pergi sana,” usirnya pada Pramudya.
Bukan Pramudya namanya jika dia tidak bersikap menyebalkan. Gadis itu terang-terangan membantah dengan duduk di seberang Danish dan Sayna sambil menaikkan sebelah kakinya. Seolah sedang melancarkan aksi balas dendam atas kelakuan Danish semalam.
“Apa lihat-lihat?” Sayna baru mengeluarkan suara. Sebenarnya yang paling aman adalah tidak bicara sama sekali saat berada di tempat yang sama dengan si kembar, tapi jika salah satunya menyodorkan diri untuk diajak baku hantam, apa boleh buat, kan?
“Hari ini jadwal gue dan Anya ngasuh Irya.”
Sayna memutar bola mata. “Bisa ngalah nggak sih? Gue jarang-jarang ketemu Irya, sebulan sekali juga enggak.”
“Ya, memangnya lo siapa?” Dya membuang muka. Sikap tidak tahu diri Sayna karena punya kedudukan sebagai pacar Danish patut diacungi jempol memang. Dia bahkan merasa memiliki Irya hanya karena Dinara bersikap baik padanya. Merasa dirinya penting untuk Irya.
“Dya...” Danish menegurnya. “Kita punya satu jam, masing-masing ngajak main 30 menit aja.”
Tidak ada jawaban, Pramudya lebih suka menatap Sayna lekat-lekat.
“Tunggu...” Sayna menginterupsi keduanya. “Itu gelang yang ada di mobil Danish, kan? Gelang buat hadiahnya Mbak Dinar?”
Sontak saja Danish dan Dya melirik ke arah yang Sayna tuju, pergelangan tangan gadis itu. Ada benda tipis melingkar dengan bandul huruf D sebagai pemanisnya. Gelang yang sengaja Danish beli untuk Dya sebagai ucapan terima kasih, dan disalahpahami oleh Sayna. Tapi mengingat track record mereka yang tidak terlalu baik, Danish tentu saja panik.
“Kenapa memang?” Dya memutuskan untuk mengulur jawaban. Dia paham reaksi dan ekspresi nyaris ingin mati di wajah Danish.
“Gue yang harusnya nanya, kenapa lo pake gelangnya Mbak Dinar?”
“Suka-suka gue dong, dia kakak ipar gue,” jawabnya cuek. Walaupun jengkel dan tidak suka pada Sayna, tapi Dya tetap tidak mau pasangan itu bertengkar karena dirinya. Dia paham keadaan ini, tahu cara menutupinya. Meski begitu, matanya mendelik pada Danish, kenapa bisa-bisanya pemuda itu membuat kebohongan soal gelang Dinara yang diberikan pada Dya?
“Orang kaya bisa nggak tahu malu juga, ya?” sindir Sayna.
“Apa sih? Gelang jelek aja!”
Pradnya muncul dari arah dapur dengan mug putih besar di tangan, sementara satu tangan yang lain dia pakai untuk menarik gelang Pramudya hingga putus lalu melemparnya jauh ke belakang. “Lo ributin gelang? Ghue bisa beli sama pabrik-pabriknya, nggak usah heboh mulut lo!” cecar gadis itu pada Sayna.
Itu gelang Dinara, kan? Sayna hanya bertanya, dan kenapa dua gadis kembar sombong itu justru merusak dan membuangnya?
Anya duduk di sebelah Dya, tepat di seberang Danish dan Sayna, menatap pasangan itu dengan wajah bengis, siap untuk konfrontasi berikutnya.
“Lain kali, beli barang yang berkualitas,” sindirnya sengaja—pada Danish tentunya. Bodoh sekali karena membeli sesuatu untuk ulang tahun Dya tapi harus membohongi pacarnya yang seperti singa. Dasar Danish tidak peka!
Danish membuang muka, sementara Sayna masih kuat saling tatap—nyaris bunuh, dengan Anya. Masa lalu mereka karena insiden kopi tumpah itu membuat Anya tidak pernah bisa berbaik-baik pada Sayna. Padahal yang terkena tumpahan kopi di sana adalah Pramudya.
“Jahat banget lo buang gelangnya Mbak Dinar.” Sayna mulai mencecar. “Itu hadiah dari adiknya.”
“Iya, ghue jahat. Terus kenapa?” balas Anya. “Padahal sendirinya enak, kalau mau lihat setan tinggal ngaca. Nggak punya kaca? Mau ghue beliin, ha?”
“Anya!”
“Nggak tahu diri,” ujar Pradnya belum ingin berhenti. “Ghue sebagai istri pertama yang disia-siakan nggak terima ya madu ghue diperlakukan begitu tadi. Lo cuma pacar—selingkuhannya Danish, harus tahu diri!”
Pradnya memang ada unsur tidak warasnya. Membuat Danish pusing hingga geleng-geleng kepala.
Sayna tertawa mengejek. “Siapa istri pertama? Lo? Haha!”
“Oh, baru tahu, ya? Ya ampun, Sayna ke mana aja? Kok Danish nggak kasih tahu? Eh, ups.. kan lo cuma pacarnya, ya. Pacar itu abis dipake tidur terus ditinggal begitu aja. Beda statusnya sama kita berdua.”
“Heh, mulut lo dijaga!” Sayna jelas tidak terima. “Mulut lo derajatnya masih di bawah pantat, ya? Pantat aja kalau mau kentut mikir dulu, mulut lo main sembur aja nggak ada rahangnya.”
“Buodo amat ya, Sayna! Mulut punya ghue, hidup juga hidup ghue, kenapa lo yang jadi sutradaranya?”
“Heh, udahan kenapa sih kalian?”
“Lanjut aja. Udah lama kita nggak baku hantam.”
“Dya!”
“Di... itu anak-anak kamu yang empat ribut lagi. Tolong dilerai dulu, berisik banget suaranya sampai ke sini.”
“Dya, Anya, Danish, Sayna...”
Keempatnya langsung diam begitu si empunya rumah mengeluarkan suara dan merasa terganggu atas kegiatan mereka.
“Lo sih!” Danish melotot pada Pramudya, padahal yang bertengkar sejak tadi adalah Anya dan Sayna.
“Heh—”
“Apa perlu mbak ke sana?” tanya Dinara yang suaranya terdengar sayup-sayup dari ruang keluarga.
“Nggak perlu, Mbak....” jawab keempatnya serempak.
Lalu Anya menyeret Dya untuk meninggalkan Danish dan Sayna berdua. Mereka pergi ke ruangan lain, sementara Sayna berduaan dengan Danish dan kembali tidak mengeluarkan suara seperti sebelumnya.
Benar kata Dya barusan, meski melelahkan dan menjengkelkan, Sayna juga rindu kegiatan adu mulut hingga baku hantam mereka bertiga—Danish tidak termasuk. Sebab sejak dua gadis itu pergi, suasana jadi canggung lagi, Danish dan Sayna tidak baik-baik saja karena kejadian di hotel semalam. Kegiatan keduanya terganggu akibat pikiran yang berkelebat di kepala Sayna. Perasaan rendah diri dan rasa bersalahnya mendominasi.
Sulit sekali mengenyahkan Giovanni dari kepala.
Dan yang membuat Sayna semakin merasa bersalah adalah, ternyata dia menikmatinya, tubuhnya mendamba, dia terbayang atas yang Giovanni lakukan pada tubuhnya. Dan ingin Danish memberikan penebusan atas itu semua.
“Kenapa sih?” Dya menarik paksa tangannya yang diseret Anya ketika mereka sampai di pantry, cukup jauh dari jangkauan orang-orang. “Kenapa gelangnya dibuang?”
“Jangan dicari lagi!” Anya memperingatkan. “Nanti Sayna curiga sama Danish terus mereka berantem lagi gimana? Kasihan Danish.”
Dya manggut-manggut, Anya ada benarnya juga, lebih baik cari aman saja. Mereka memang tidak suka pada Sayna, gadis itu jelmaan iblis betina, tapi kalau Danish bertengkar dengannya, dia bisa stres ala orang putus cinta. Anya dan Dya tidak tega melihatnya.
“Lagian kok ya gelang Mbak Di dikasihin ke kamu, toh? Bikin ribut aja.” Anya menggerutu pelan. “Aku kira itu hadiah ulang tahunmu.”
“Aku nggak tahu.” Dya mengangkat bahu.
“Jangan dicari lagi. Sayna itu gila, kalau dia konfirmasi ke Mbak Di, Danish bisa mati.”
“Kenapa mati?”
Dua gadis kembar itu terperanjat saat mendengar suara Sayna di belakang mereka. Dia memang sudah dianggap keluarga oleh Dinara, bebas pergi ke mana saja tanpa merasa segan atau tidak sopan.
“Nih!” Dia menyodorkan gelang putus itu pada Pramudya, tergeletak tak jauh dari ruang tamu. “Benerin, terus lo balikin ke Mbak Dinara,” ucapnya pelan.
Sayna mulai berpikir, apa mungkin gelang itu memang hadiah Danish untuk Dya? Karena Pramudya meski memiliki inisial P lebih sering dipanggil Dya, yang inisialnya sama dengan Dinara. Terlebih, dia memang baru saja berulang tahun, bisa jadi itu memang kado dari Danish, kan?
Tapi kenapa hanya satu? Kenapa Anya tidak dapat hadiah yang sama?
“Sini, tak buang aja. Bikin ribut itu gelang!”
“Anya, jangan!”
Menyaksikan gadis kembar itu berdebat tentang gelangnya, Sayna mulai merasa bahwa mungkin itu benar-benar dihadiahkan Danish untuk Pramudya.
“Kenapa sih kalian berdua kelabakan terus sama gelang itu?” Sayna melipat tangan di dada. “Gue tadi cuma tanya. Gue nggak mikir apa-apa, tapi kalau reaksi kalian aneh begini ya gue nggak bisa buat nggak curiga.”
“Curiga aja. Kerjaan lo ke Danish itu cuma curiga!” Pradnya menjawab cepat, tapi setelahnya dia pergi dengan cepat juga, Dya ditinggal berdua dengan Sayna.
Reaksi yang benar-benar aneh. Ada apa sebenarnya? Apa ada sesuatu antara Danish, Pradnya dan Pramudya? Pramudya jelas menyukai Danish, tapi apakah dia punya harapan?
“Dya,” panggil Sayna saat tidak ada siapa-siapa lagi di sana. “You desserve better.”
Pikirannya sedang tak keruan, tapi Sayna ingat dengan jelas bagaimana Danish memperlakukan Dya. Buruk sekali. Sangat tidak benar. Dya pantas dapat yang lebih baik.
“Better than Danish?” tanya gadis itu tenang. “Sure, tapi kalau gue mau jadiin dia yang terbaik, gue nggak butuh yang lebih baik. Lo juga, Sayna.”
Maksudnya?
“Lo bisa jadi yang terbaik buat Danish sampai dia nggak butuh yang terbaik versi lainnya. Jadi berhenti ngucapin hal konyol kayak gitu terutama ke gue karena nggak akan mempan.” Dya menyentuh bahu Sayna dengan telunjuknya. “Nggak ada manusia yang sempurna, Sayna. Lo nggak akan nemu orang yang 100% cocok sama lo, itu kenapa ada yang namanya toleransi. Stop talkin’ about people desserve better with her life like a bullshit.”
Sebenarnya Pramudya tidak tahu Sayna sedang memperingatkannya dalam rangka apa. Yang jelas dia geram sekali dengan kalimat itu, dan sialnya Sayna menjadi pelampiasan. Tidak apa-apa, semoga gadis itu sadar bahwa Danish dan dirinya sudah cukup baik untuk satu sama lain. Dya tidak mengerti dengan konsep desserve better yang sering bergaung akhir-akhir ini.
Bukankah membangun sebuah hubungan berarti berkompromi dengan ekspektasi? Buat apa terus berpikir bisa dapat yang lebih baik lagi?
****
“Ngapa lo garuk-garuk helm, Mam?”“Pala gue gatel.”“Pala lo gatel terus kenapa helm-nya yang digaruk? Coba dibuka dulu biar afdol garuk-garuknya.”“Heh, emang kalau pantat lo gatel lo harus banget garuk-garuk sampe buka celana? Enggak, kan?”Danish memutuskan untuk tidak bertanya lagi. Hamam jelas marah karena insiden pulangnya Pramudya tempo hari. Mereka baru sampai di Puncak tapi Dya buru-buru kembali ke Jakarta lagi setelah Danish mengadukannya pada Arya. Hamam yang merasa bertanggung jawab karena mengajaknya jelas ikut pulang, tidak jadi ikut pesta dengan teman-teman.Dan sekarang Hamam marah padanya, itu ulah Danish memang, tapi dia juga tidak tahu kalau Arya sampai meminta adiknya pulang malam itu juga.“Dya?” sapa Hamam dengan mata berbinar begitu dia masuk ke laundry dan menemukan gadis itu di lobi. “Kok ada di sini?”“Dia minta ketemu sama lo sebel
“Gue beli ini di jalan tadi.” Danish menyodorkan sekotak rujak Thailand kekinian yang isinya hanya terdiri dari jambu biji non biji—maksudnya apa sih?—serta bubuk cabai dan bumbu manis asin seperti larutan oralit pedas.“Kayaknya seger, ya? Bandung panas banget hari ini, dan gue pusing.”Sayna menerimanya dengan senang hati kendati yang dia pesan tadi hanya sebungkus roti dan selai srikaya, perutnya protes minta diisi, Sayna juga kurang tidur karena harus latihan mati-matian untuk ujian tengah semesternya.Kehidupan di kampus tidak bisa dibilang normal-normal saja. Sayna harus berusaha dua kali lebih keras dibanding sebelumnya, jauh berbeda saat di mana ada Gio yang membantunya. Terlebih kabar simpang siur terdengar di seantero fakultas tiga lantai itu. Kabar dengan cepat menyebar, Gio nyaris tidak melakukan apa-apa, Sayna tahu, dia sibuk coass.Namun teman-temannya, para pendukungnya, orang yang simpati padanya,
Danish pasti sudah gila. Dia baru saja mengambil keputusan cepat tanpa memikirkan apa konsekuensinya. Mengambil jeda dengan Sayna? Memangnya bisa? Berapa lama? Berapa waktu yang dibutuhkannya? Dia sendiri tidak tahu. Pasti karena luka di kepala, Danish jadi mengambil keputusan gila, seenaknya.Dia bahkan tidak memikirkan bagaimana keadaan Sayna, seperti apa perasaannya. Danish pergi setelah mengatakan hal yang ingin dia lakukan. Apakah itu benar? Dia juga tidak tahu. Yang jelas tadi itu, Danish butuh waktu, dia harus tenang. Danish butuh ruang, dia hanya memikirkan diri dan perasaannya, lupa pada Sayna.“Duh, Dek... bikin panik aja.”Melia tampak panik sejak Danish pertama datang. Dia tidak sanggup menyetir sendiri dan menghubungi kakak iparnya untuk minta jemputan. Kemudian Arya Ranajaya dengan banyak sekali kekayaan mengirimkan sebuah helikopter untuk menjemput Danish di Hotel Singosari Bandung, dia menunggu di sana. Mobilnya diantar oleh salah sat
Pradnya bicara menggebu-gebu. Air matanya nyaris jatuh saat mengatakan semua hal itu. Baik, dia dan Danish memang tidak dekat untuk mengaku sebagai sahabat. Tapi Danish adalah keluarga barunya, saudara laki-lakinya, dan Anya sayang padanya. Di keluarga mereka—Ranajaya, pantang sekali ada yang terluka meski hanya seujung kuku saja. Apalagi ini, bocor di kepala. Danish sudah gila kalau masih menganggap ini semua tidak apa-apa.“Gimana keadaan Sayna?” Dya buka suara.Suasana yang cerah dan menyenangkan tadi sudah tidak ada sejak Anya melampiaskan kekesalannya. Anya memang begitu, dia ekspresif, tapi gadis itu baik, dia hanya khawatir pada Danish.“Iya, Nish. Sayna ada yang luka juga?” Hamam menimpalinya.“Ini nggak kayak yang kalian pikir. Gue sama Sayna memang berantem tapi bukan yang pukul-pukulan atau gimana, ini kecelakaan.”“Iya.” Dya mengangguk, berusaha mengerti ucapan Danish, tidak melihat
Merasa sudah dewasa, Danish jarang sekali berbagi hal-hal dengan ibunya. Namun untuk kasus seperti kecelakaan ini, dia tidak bisa. Lukanya menganga, tetap dipertanyakan andaipun dia rahasiakan. Dan itu sebuah petaka lain, sebab Melia membuat kehebohan yang berlebihan, mulai dari Danish harus izin ke kampus dan tidak masuk kelas sampai dia pulih, hingga mengabari teman-temannya yang jauh di luar kota.Butuh waktu yang pas bagi Aryan untuk menghubunginya, tapi Angga yang tinggal dan kuliah di Yogyakarta menelepon Danish lebih cepat dari yang ia duga. Angga, selain menanyakan bagaimana kabar dan separah apa luka yang Danish terima, juga menggosip perihal pacar terbaru Melia.“Sayang banget, gue kira Tante Mel bakal jadi ibu sambung gue dan kita jadi sodara, Nish.” Angga terdengar sedih. “Papa jadi duda udah lama, nggak kawin-kawin, gue kira nunggu Tante Mel, tapi kan nyokap lo nggak bakal nikah dulu sampai anak-anaknya mandiri. Berarti Tante lagi nunggui
Hari apa sekarang? Tepatnya... sudah berapa lama? Sayna masih menunggu. Dia bersabar meski tidak pernah mendapat kabar. Apa Danish baik-baik saja? Bagaimana keadaannya? Kapan dia akan kembali? Sayna takut, perutnya semakin besar.Danish memintanya untuk menunggu. Dia butuh waktu, tentu, Sayna mengerti itu. Tapi keadaan sekarang sudah tidak sama, ada yang harus Sayna beri tahu. Perutnya mungkin masih rata, tapi ada segumpal daging yang bertumbuh di dalam sana. Usianya menginjak bulan ketiga, 12 minggu 6 hari. Berarti sudah dua bulan Danish dan Sayna tidak berjumpa.Sayna merindukannya, sebanyak dia harus menahannya, sesakit yang harus ditahannya.“Sabar, ya...” Gadis itu mengelus permukaan perut. Katanya gerakan mulai terasa di atas usia 12 minggu, berarti tak akan lama lagi Sayna bisa merasakan sensasi kupu-kupu di sekitar sini.Malam-malam begini, dia harus terjaga karena tiba-tiba menginginkan buah semangka. Di mana Sayna harus mencarinya? A
“SAYNA!”Danish menggaungkan nama itu ketika tali yang menggantung tubuhnya sendiri membawa dia melesat jauh ke ujung pemberhentian. Kecepatannya menggila saat jarak semakin dekat, bergelantungan di ketinggian 15 meter di atas tanah dengan kecepatan 80 kilometer/jam dan hanya menggantungkan keselamatan pada seutas tali, tentu memacu adrenalin sekali.Dia perlu melakukan itu, untuk menyembuhkan diri. Lalu bersiap menemui Sayna lagi.“Norak banget, Danish!” Pradnya langsung mencibirnya saat Danish tiba di pemberhentian, turun dan melepas pengait di bagian belakang. Naik salah satu flying fox tertinggi di Indonesia memang menyenangkan.“Uuuu...” Hamam menyusul dengan sorakan bahagia yang serupa, lalu muncul Pramudya tak lama setelahnya.Mereka berempat jalan-jalan ke puncak selama Hamam dapat jatah libur dan untuk merayakan Danish yang akan segera kembali pada rutinitasnya ke Bandung tiap minggu.
Empat orang itu kemudian kembali berkeliling, menikmati pemandangan hingga berhenti di ayunan gantung yang terikat di pohon tinggi, bertingkat. Anya yang pertama ingin mencoba, dia naik lebih dulu, lalu Hamam naik di urutan berikutnya karena Anya yang meminta. Sementara Dya memilih menunggu, dia tidak suka dengan ide harus satu ayunan dengan Danish dan bergelantungan di atas sana. Danish kan kejam, dia bisa mendorong Dya tanpa aba-aba kalau dia salah bicara sedikit saja.“Kayaknya tersakiti banget jadi lo, ya.” Danish menyindir sekaligus menatap sok iba pada Pramudya. Gadis itu seperti istri tua yang ditinggal suaminya.“Gue biasa ngalah dari kecil sama Anya.” Atau lebih tepatnya, perasaan Pramudya tidak pernah benar-benar dipedulikan. Perasaannya tidak penting, orang-orang selalu abai karena Dya diam saja.“Kalau gitu lo harus bisa membatasi apa yang lo bagi sama Anya mulai sekarang.”“Mana bisa, gue sama dia sau
Sayna sekarang tahu bahwa Arunika merupakan putri sulung sekaligus putri satu-satunya dari Mark Tuan, seorang pria yang lahir dari wanita asli Sunda dan ayahnya berdarah Tionghoa. Pantas saja dia punya perawakan yang berbeda dengan para pribumi, meski dipanggil Gege oleh adiknya, tapi keluarga mereka sangat meninggikan kebudayaan dan adat Sunda. Mungkin karena ibu kandungnya memiliki latar belakang yang kental dengan budaya, kabarnya mereka adalah keluarga pengelola museum adat Sunda di Subang.Mark dan keluarganya menetap di Lembang, daerah Bandung yang juga dekat ke arah Subang. Dia bekerja sebagai direktur operasional perusahaan farmasi keluarga yang dikepalai oleh kakak kandungnya sebagai lulusan apoteker handal. PT Sagara Purnama adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri kosmetik dan kontrak manufaktur pertama di Subang. Itu sekilas yang Sayna tahu dari hasil pencariannya di internet mengenai latar belakang pria itu.“Sebenarnya saya ke rumah sakit
“Sayna, Adek koas favorit Bunda, sini-sini.” Sayna menyengir pasrah ketika salah satu perawat senior memanggil namanya sambil melambai-lambaikan tangan. Sudah pasti dia akan dapat tugas tambahan. Mereka bilang, anak-anak koas adalah keset kaki karena acapkali diperlakukan semena-mena selama menjadi sukarelawan di rumah sakit. Tak jarang yang memperlakukan mereka tidak manusiawi adalah rekan-rekan seniornya sendiri. Di stase ini tentu Sayna tidak terlepas dari orang-orang dengan profesi dokter, perawat, hingga bidan dan lain-lainnya. Namun nasib anak-anak magang dari angkatan perawat dan kebidanan jauh lebih mengenaskan. Tak jarang Sayna yang harus membimbing mereka saat ada waktu senggang. “Kamu ke perina, ya. Banyak yang mau aterm hari ini.” “Baik, Bu.” Sayna menurut dengan mudah saat kepala perawat favoritnya meminta bantuan untuk membuat dia berjaga di ruang perina dan menunggu ibu-ibu yang akan melahirkan bayi. Ruang itu terhubung
“Dede enakan? Boleh Ayah minta sun?” “Boleh.” Gadis kecil berusia dua tahun lebih itu mendongak untuk mengecup wajah sang ayah. “Napa?” “Nggak papa, ayah cuma mau minta sun aja. Kangen sama Dede.” “Hai, Nika...” sapa Sayna ramah, meski pada kenyataannya Arunika yang ini lebih suka pada Rafika saat mereka berkunjung untuk memeriksa keadaannya. “Udah minum susu belum, Sayang?” “Nggak mau.” Dia menggeleng lemah. Gadis kecil itu merengut, merapatkan tubuhnya pada sang ayah. “Sus, ini bisa nggak dititip sebentar? Nanny lagi makan siang di kantin, saya ada keperluan yang harus dibeli ke luar.” Sayna tersenyum dan mengangguk. “Silakan, Pak. Biar Arunika saya yang jaga.” “Wah, ini Tante susternya hafal nama Dede.” Pria itu bersorak senang. “Tunggu sebentar, ya? Ayah mau beli sesuatu, nanti Dede beli mainan baru deh, mau?” “Nggak mau.” Arunika menggelengkan kepala tanda tak setuju. “Nika mau minum susu sama tante?” tawar
Setelah bulan lalu mengakhiri masa abdinya di stase bedah, yang mana membuat Sayna merasakan pengalaman luar biasa selama berada di sana, mulai minggu ini dia mendapat giliran berjaga di stase anak. Meskipun mengingat perjuangan serta pelajaran yang dia dapat dari stase bedah sangat berharga dan beragam, Sayna lega karena bebas dari sana. Stase bedah memiliki pasien yang banyak, nyaris membludak untuk di-follow up setiap hari. Tapi di sana juga keterampilan Sayna sangat diuji. Kemampuannya menjahit luka semasa kuliah pra-klinik selama 3,5 tahun benar-benar direalisasikan. Sayna bahkan belajar menyunat di stase ini. Dan yang paling berkesan adalah melakukan operasi transplantasi kulit pada pasien luka bakar yang mana kulitnya diambil dari bagian paha dan ditanam ke punggung. Luar biasa, Sayna merasa jadi mahasiswi kedokteran betulan saat itu. Dan semuanya sudah berlalu, Sayna tidak yakin lulus di stase itu karena mahasiswa sepintar Gio saja dulu tidak mampu m
Anya merasa lebih tenang sekarang, karena meski saudarinya akan merantau ke negeri orang, dia mengantongi izin untuk berkunjung ke tempat Dya belajar sesering yang dia ingin. Setelah melakukan pentas drama di depan ayah dan ibunya, Anya dikonfirmasi akan segera memiliki privat jet miliknya sendiri untuk keperluan pulang pergi melongok Dya di New York. Dan berhubung keduanya anak kembar, tidak adil rasanya jika Ranajaya hanya membelikan untuk salah satu dari mereka saja. Alhasil, Dya yang tidak berminat sama sekali pada benda bisa terbang itu pun harus ikut menerima pemberian orangtuanya. Mau tidak mau.“Aku nanti minta jadwal kamu pokoknya, biar pas kamu free aku ke sana.”Dya mengangguk mendengar permintaan saudarinya itu, sedikit lega karena Anya tampak lebih bersemangat dibanding beberapa hari yang lalu. “Kamu baik-baik, ya.”“Aku yang harusnya bilang gitu.” Anya berguling dari posisinya saat ini dan telungkup untu
“Lo masih mau di sini?” Suara Danish menyadarkannya kembali. “Kalau mau sama Hamam nggak papa sih.”“Eh, nggak, Nish, nggak! Gue nggak enak juga kalau harus ke kamar Dya.” Hamam salah tingkah dan mengusap tengkuknya gelisah. “Dya sama Danish aja, ya? Biar Mas Hamam di sini jagain Anya, oke?”“Oke.”Pada akhirnya Dya pasrah saat Danish membantunya mengalungkan tangan dan berjalan tertatih menuju villa tempat mereka menginap. Sementara Hamam, Anya, Arvin, Rafid dan Herdian tinggal untuk menikmati berbagai permainan yang disuguhkan. Namun setelah dua orang itu menjauh, lima anak muda itu justru tidak meneruskan niat mereka semula.“Gila, ya. Untung lo masih ada otaknya, Mam. Kalau lo ngotot bawa Dya tadi kebayang gimana patah hatinya Danish.” Herdian membuka obrolan.“Iya, kasihan gue kalau dia harus patah hati dua kali dalam waktu dekat.” Pendapat Rafid menimpali duga
“Sial, banyak banget debu jalanan. Tutup mata, Anya!”“WAAAA....”Danish langsung mengerem sepeda motor yang dia kendarai mendengar jeritan Hamam di sebelahnya, temannya itu nyaris oleng sebelum berbelok ke kiri jalan dan berhenti.“Kenapa sih?” tanya Danish keki. Merasakan pegangan tangan Anya di pinggangnya melonggar perlahan. Mereka sedang berwisata dan menaklukan medan jalan yang berdebu dan terjal untuk sampai ke tujuan.“Gue kaget, Nish. Pas lo teriak nyuruh nutup mata itu gue refleks nutup mata juga, padahal kan gue lagi nyetir, mana bonceng Dya di belakang. Kalau Dya cedera nyawa gue bisa melayang.”Dya dan Anya tertawa, mereka kira apa. Dya yang duduk di belakang Hamam bahkan bingung sendiri saat pemuda itu mulai tidak stabil membawa kendaraannya lalu berhenti tiba-tiba.“Maaf ya, Dya.” Hamam merasa sangat berdosa. Ini harusnya jadi liburan yang paling berkesan karena Dya a
Menghabiskan dua malam di Jakarta bersama Giovanni yang diizinkan menginap oleh orangtuanya, Sayna melakukan perjalanan kembali ke perantauan. Bukan Bandung, kali ini dia harus ke Majalengka karena sedang sibuk KKN di sana. Agak sedih karena Sayna tidak bertemu dengan adiknya sama sekali berhubung anak itu sedang sibuk pendidikan, dia juga tidak tahu kapan bisa pulang ke rumah lagi, bisa dipastikan Sayna akan lebih sibuk dalam beberapa bulan kedepan.“Semangat dong!” Gio tersenyum menggoda, paham kalau gadis cantik yang duduk di sebelahnya itu tengah diserang homesick musiman yang biasa menyerang para mahasiswa KKN. “Gimana aja program kalian?”“Programnya banyak,” keluh Sayna pelan. “Ada satu anak yang ngeselin dari teknik sipil, aku sering banget nahan bogem kalau dia mulai ngoceh terus, Kak.”Giovanni mengacak rambut pendek Sayna dengan sebelah tangan. “Namanya dinamika kelompok, hadapi aja, ya. I
“Om... tolong!”Irya sedang bermain sandiwara dengan pamannya.“Om! Aku syakit!”Danish tidak menggubris.“Om, tolong aku!”“Aduh, berisik banget!” Danish menggerutu lalu berjalan mendekati bayi yang usianya entah berapa itu. Irya terlalu pintar untuk anak seusianya. Sibuk berakting demi mencari perhatian. Lihat saja, dia membuka lemari penyimpanan di kamar Danish lalu memasukkan sebelah tangan ke dalamnya dan menutup pintu lemari itu kemudian menjerit seolah sangat kesakitan.“Apa-apaan sih, Den?” tanya Danish keki. Kelakuan Irya kadang sebelas dua belas dengan ayahnya. Ada-ada saja.“Hehe, makasih Om!” seru Irya tanpa merasa berdosa atau apa.Danish menggendong anak itu dan menatapnya sambil menyipitkan mata. Tidak ingin dan tidak bisa menebak hal aneh lain yang akan dilakukan oleh Irya. Dia seperti tidak kehabisan ide untuk membuat keributan dan ingin se