Kemesraan ini, janganlah cepat berlalu...
Kemesraan ini ingin kukenang selalu...
Hatiku damai, jiwaku tenteram di sampingmu...
Hatiku damai... jiwaku tenteram bersamamu...
“Aduh, suaranya ngajakin berumah tangga ya, Teh.”
Sayna terkikik mendengar komentar ibunda saat mereka menonton Danish dan Chandraka tengah berkaraoke ria. Suara mereka menggema, memenuhi ruang keluarga.
Keduanya sampai di Jakarta siang menjelang sore, Danish langsung dicegat, tidak boleh pulang cepat, makan bersama dengan keluarga Sayna dan melakukan hal menyenangkan dengan mereka. Ikrar juga ada di sana, duduk di karpet lantai sambil memegangi senter dan menggoyangkannya ke kiri dan kanan bergantian, bertingkah seolah tengah menonton live music penyanyi papan atas.
“Tapi ibu tadi cuma bercanda,” ralat Linda segera, melihat putrinya tidak memberi reaksi apa-apa. “Ibu sangat berharap Teteh jadi sama Ninish, tapi nanti, ya? Selesai coass deh, biar perjuangan ibu sama Ayah ada hasilnya. Kuliahin Teteh sampai jadi dokter, kalau mau ambil spesialis silakan diobrolin sama Danish.”
Sayna tersenyum dan mengiakannya. Dia berjanji akan berjuang lebih keras lagi, Sayna akan menjadi anak yang baik untuk ibu dan ayahnya, dia tidak akan membuat orang sejenis Giovanni hadir ke hidupnya lagi. Sudah saatnya menyeleksi orang yang pantas dijadikan teman atau tidak. Dia pernah terjebak, dan akan lebih berhati-hati.
“Tahun depan kan De Ikrar tamat SMA. Ibu nyekolahin dua anak sendirian, maaf kalau Teteh harus lebih sabar tiap punya keinginan, ya?”
“Iya, Bu. Nggak apa-apa.”
“Padahal aku mau jadi tentara aja, nggak usah kuliah, aku mau melestarikan profesi Ayah.”
Suara Ikrar menyahuti keduanya. Tahun depan beberapa hal akan berubah, Chandraka pensiun, sumber pendapatan jauh lebih sedikit tentunya, dan Ikrar tamat SMA. Mungkin dia ingin jadi tentara, tapi tetap saja itu pun butuh biaya, belum lagi uang semesteran Sayna. Kampusnya—fakultasnya terutama, bukan tempat murah.
“Adek boleh jadi apa pun yang kamu mau,” ujar Linda berwibawa. Mereka tetap mengobrol kendati harus berpacu dengan alunan musik dari speaker dan suara Danish plus Chandraka terdengar bersahutan. “Buat Teteh, pesan ibu cuma satu, tolong lulus tepat waktu, ya? Bantu ibu.”
Sayna merasa matanya agak pedih mendengar ucapan itu, mengingat kelakuannya akhir-akhir ini yang hampir saja—andai Giovanni melapor dan membuat keributan, akan menghambat progress kuliahnya.
“Iya, Bu,” jawab gadis itu.
“Jadi mau pada main ke Puncak? Ibu sama Ayah ketemu kalian sebentar pisan.”
“Iya, Bu. Izin, ya? Teman kami ulang tahun.” Danish berjalan menghampiri Sayna dan Linda setelah selesai menyanyikan lagu terakhir bersama Chandraka, menyahuti obrolan segera.
“Ya udah, hati-hati. Ada siapa aja?”
“Rame kok, Bu.”
“Tidurnya di penginapan, kan? Jangan di tenda, Nish, kasihan nanti Sayna masuk angin.”
“Ih, Ayah!”
Tidak sulit meminta izin dari orangtua Sayna saat Danish ikut terlibat di dalamnya. Di awal kemunculan saja pemuda itu sudah sangat dipercaya, apalagi saat ini setelah dua tahun lebih dia resmi menjadi kekasih Sayna. Linda dan Chandra amat mempercayainya.
Dan Danish punya pesona aneh yang membuatnya nyaris selalu dimaafkan bagaimanapun dia membuat kesalahan. Maka dengan dia, Sayna tidak terlalu takut berbuat dosa. Ibu dan Ayah mempercayai Danish lebih daripada mempercayainya, bersama Danish dia akan aman sejahtera. Seperti hari ini, mereka tidak ikut ke pesta ulang tahun Rafid di Puncak—meski awalnya akan di Lembang, Danish dan Sayna memilih untuk ke daerah Jakarta Pusat, mencari hotel terdekat dan melakukan hal-hal nekat.
Mereka sudah biasa, jadi tidak apa-apa.
“Bolu, nginep di sini dulu. Mama sama Papa mau bikinin adek buat kamu.”
Suara Danish bergema di ruangan 5x3 meter itu ketika Sayna berganti baju.
“Nish,” tegur gadis itu tidak suka. Mereka harus selesai kuliah lebih dulu jika ingin memberi seorang adik untuk Bolu.
“Bikinnya aja, Say. Nggak dijadiin kok, kita cuma produksi, nggak langsung jadi.” Pemuda itu terkekeh geli. Wajah Sayna tampak khawatir sekali, mungkin karena obrolan dengan ibunya tadi.
Meski samar, tapi Danish masih bisa mendengar. Kekhawatiran keluarga Sayna, perubahan ekonomi yang akan mereka hadapi saat ayahnya tidak lagi bekerja, juga perjuangan untuk biaya pendidikan, dan beban Sayna sebagai tumpuan harapan. Dia anak sulung, ada tanggung jawab yang diembannya meski Danish tidak tahu itu apa. Mirip dengan Dinara dulu.
“Nish!” panggil Sayna ceria saat layar ponsel Danish menyala, ada panggilan video dari Arvin, dia segera mengangkatnya.
“Hei, Masbro! Belum mulai beraktivitas kan, kalian?”
“Hai, Vin!”
“Sayna!” pekik Arvin yang langsung dikerubungi teman-temannya.
“Makin cantik aja, Say. Apa kabar?” Herdian menyalip di depan layar.
“Hai, Ibu Negara. Kami telepon cuma buat ngelapor kalau Rafid menghabiskan uang Baginda Danish Adiswara dengan baik dan benar, kita party dan semua dia yang bayar.”
Sayna tertawa senang mendengarnya, ternyata dia rindu pada mereka—teman-temannya di SMA. “Have fun! Rafid, happy birthday. Wyatb, gbu, gws, spbu, sbmptn, snmptn, de el-el, de el-el. Hehe.”
“Ih, Sayna lucu! Jadi pengen cium.”
“Heh!” Danish melotot keji pada Hamam dan mulutnya yang serampangan itu. “Udahan ah, matiin dulu. Gue—” Danish menggantung kalimatnya, dia merasa melihat sesuatu yang aneh di layar itu. Seseorang, di belakang kerumunan teman-temannya. “Dya?”
“Hah?” Sayna ikut memperhatikan layar.
“DYA!” pekik Danish tak sadar—tidak terkendali, ketika benar-benar menangkap sosok Pramudya di sana. “Dya, lo ngapain di sana?!” tanyanya panik melihat gadis itu bergabung dengan teman-temannya, sementara Danish tidak ikut serta.
Dia memilih berduaan saja dengan Sayna karena waktu mereka jauh lebih berharga. Tapi kenapa melihat Pramudya bergabung dengan Hamam di ulang tahun Rafid membuatnya tidak tenang?
“Eh, sabar, Bos! Gue kan udah bilang mau ajak Dya,” kata Hamam dengan tampang tak berdosa.
“Gue kira lo bercanda, nyet!”
Hamam mendekatkan wajah dan berbisik, “Gue juga, anjim! Gue kira dia bakal nolak, lah ternyata iya-iya aja anaknya.”
“Sinting,” umpat Danish pelan.
“Gue pacarin, ya?”
“Jangan coba-coba!”
“Lo udah punya Sayna, pea! Masa lo mau beristri dua? Kasih gue kesempatan sama Dya.”
“Dya!” panggil Danish tak peduli pada ocehan Hamam. “Lo udah izin sama Mas Arya, kan? Gue nggak mau ya abang lo nanya-nanyain lo di mana ke gue kayak wak—”
Tut.
Beberapa detik yang lalu, suara tawa teman-teman Danish terdengar bersamaan dengan layar ponsel yang semakin dekat dengan Pramudya. Tapi begitu wajah Dya dan Danish berhadapan, tanpa menanggapi apa-apa, Pramudya mematikan sambungan secara sepihak.
“Mampus gue,” umpat Danish pelan.
“Cepet hubungi Mas Arya dan kasih tahu adiknya di mana, dan lo nggak ada di sana.” Sayna mengemukakan pendapatnya.
“Oh, bener juga.” Danish buru-buru mengetikkan pesan dan mengirim laporan itu pada kakak iparnya. Bahwa, dia sedang tidak bersama Pramudya, gadis itu hanya pergi dengan teman-temannya tapi Danish tidak ikut serta. Dan semoga dia baik-baik saja, semoga Dya tidak macam-macam dengan Hamam.
Danish mendadak khawatir, resah dan gelisah, dia harusnya ikut dengan mereka lalu menyewa kamar yang agak jauh agar bisa bebas berduaan dengan Sayna semalaman.
“Nish, waktu lo turunin Dya di jalan itu Mas Arya marah banget, ya?” Sayna jadi ikut tidak tenang melihat kekasihnya panik tak keruan begitu tahu Pramudya ada di sana.
Dia bahkan tidak bisa marah atau merasa cemburu pada reaksi Danish barusan. Entah kenapa Sayna tahu bahwa Danish mengkhawatirkan Dya bukan dalam konteks yang membuatnya salah paham. Danish pernah dimarahi karena terlibat dalam kasus menghilangnya Pramudya, pantas jika saat ini dia resah melihat gadis itu bersama teman-temannya, tanpa dia ikut serta.
“Mas Arya selalu lebay kalau itu menyangkut adik-adiknya.” Danish berujar pasrah. “Dia pernah ngediemin gue karena insiden Pramudya yang lo siram pake kopi itu, Sayna. Inget, kan?”
Sayna gemetar. Dia ingat. Padahal itu sudah lama sekali. Dulu Sayna pernah sangat gila dalam menjaga Danish-nya.
“Gue nggak sengaja,” akunya memutar fakta. Itu sebuah kesalahan, Sayna yang sekarang tidak demikian.
Dia hanya minta Danish menjaga jarak dengan si kembar, itu saja. Namun sekarang bahkan sudah tidak bisa. Yang dia lakukan pada Danish jauh lebih kejam. Perbuatannya dengan Giovanni tidak terampuni, Sayna tidak punya hak melarang Danish untuk jauh dari ipar-iparnya lagi. Mereka bersaudara, jadi tidak apa-apa.
“Maaf gue merusak suasana.” Danish menghampiri Sayna, merangkulnya, mengendus wanginya yang memberi candu, bermukim di ceruk leher gadis itu. Menggodanya tanpa aba-aba. Danish merindukannya, sangat.
Sayna bingung, mendadak rasanya agak canggung. Kenapa aneh sekali? Mereka hanya dua minggu tidak bertatap muka, kenapa rasanya sudah sangat lama? Apa karena Sayna sempat lupa pada Danish dan perasaannya? Terlalu banyak bergulung dengan luka?
“I miss you,” bisik Danish pelan. Mata mereka bertatap. Sayna bahkan harus menelan ludah susah payah saat bertemu dengan netra jelaga milik kekasihnya yang berkilauan, membuatnya tenggelam, membawanya masuk seolah ingin menelan Sayna hidup-hidup. Terlebih saat Danish mendekatkan wajah hingga ujung hidung mereka bersentuhan, sekujur tubuhnya meremang hebat, suara rendah Danish mengalun di telinga. “Jangan begitu lagi, hm?”
Gadis itu mengangguk, dia terhipnotis, kesadarannya ditarik menjauh, alam bawah sadarnya mengambil alih. Ketika jari-jari Danish merapikan rambut di sekitar wajah, menangkup pipinya, meminta Sayna untuk balas menatapnya.
“Boleh sekarang?”
Tidak ada jawaban yang bergaung, entah kenapa tatapannya tertuju pada bibir pemuda itu, seolah menjadi isyarat dan ajakan untuk bercumbu. Dan Danish mengerti, bibir mereka beradu, manis, menyecap rindu, meski entah kenapa Sayna justru berdebar hebat hingga ingin menangis. Dia ingat kejadian hari itu. Pengkhianatannya pada Danish.
Sensasi asing saat kain yang mereka kenakan berhasil diloloskan berhasil membuat Sayna gemetar hebat. Dia menginginkannya, menginginkan ini, menginginkan Danish melakukannya. Menyentuh dan memanjakan tubuhnya—seperti yang dilakukan Gio waktu itu. Dia ingin Danish yang keras, memintanya meremas, sementara wajah keduanya tetap saling menyecap.
Sayna ingin, seperti yang dia lakukan dengan Gio waktu itu. Dia ingin menuntaskannya.
“Shit! Sayna...”
Danish mengerang hebat. Ini pertama kalinya Sayna melakukan itu, yang tidak dia tahu adalah dirinya bukan orang pertama bagi gadis itu. Sesuatu yang baru, getar yang hebat, debaran dahsyat merasuki keduanya, menguasai mereka.
Sumpah demi nirwana, Sayna menyukainya. Sangat menyukainya. Meski dia tahu ada yang tidak benar di sana. Tidak benar membuat Danish melakukan semua itu dengan refleksi Giovanni dalam kepala.
“Sayna, belajar ini dari mana?”
Mendengar Danish bertanya, membuat gadis itu semakin merasa berdosa.
“Ngh... gue suka.” Dia mengerang. “Jangan lakuin ini ke orang, ya? Sama gue aja.”
Pramudya mengerjap pelan saat merasakan cahaya yang masuk lebih daripada satu jam lalu. Sekarang sudah lebih terang, tirai kamarnya terbuka lebar, pasti salah satu dari dayang-dayang Dinara yang melakukannya. Dia tidak suka. Tapi apa boleh buat, ini bukan rumahnya, dia harus ikut peraturan yang ada di sana.“Lho, ada kamu toh?” Sapaan pertama dia dengar dari Pradnya ketika membuka pintu kamar.“Kamu ngapain? Bukannya jalan sama pacarmu?”“Besok aku ke Solo,” jawab Pradnya acuh tak acuh. “Kamu kok tumben nginep? Bukannya Sabtu jadwal sama Mas Gum?”Dya menyeringai, dia bahkan lupa kalau urutan kencannya di hari keenam adalah Gumelar, tapi Anya punya ingatan yang lebih bagus, dia sering tak sengaja mengingatkan itu.“Aku habis dari Puncak, tapi Danish ngadu ke Mas Arya dan aku disuruh pulang malam-malam. Baru sampai sini jam 2 pagi.”Anya terkikik, wajah saudarinya saat mengisahkan it
“Ngapa lo garuk-garuk helm, Mam?”“Pala gue gatel.”“Pala lo gatel terus kenapa helm-nya yang digaruk? Coba dibuka dulu biar afdol garuk-garuknya.”“Heh, emang kalau pantat lo gatel lo harus banget garuk-garuk sampe buka celana? Enggak, kan?”Danish memutuskan untuk tidak bertanya lagi. Hamam jelas marah karena insiden pulangnya Pramudya tempo hari. Mereka baru sampai di Puncak tapi Dya buru-buru kembali ke Jakarta lagi setelah Danish mengadukannya pada Arya. Hamam yang merasa bertanggung jawab karena mengajaknya jelas ikut pulang, tidak jadi ikut pesta dengan teman-teman.Dan sekarang Hamam marah padanya, itu ulah Danish memang, tapi dia juga tidak tahu kalau Arya sampai meminta adiknya pulang malam itu juga.“Dya?” sapa Hamam dengan mata berbinar begitu dia masuk ke laundry dan menemukan gadis itu di lobi. “Kok ada di sini?”“Dia minta ketemu sama lo sebel
“Gue beli ini di jalan tadi.” Danish menyodorkan sekotak rujak Thailand kekinian yang isinya hanya terdiri dari jambu biji non biji—maksudnya apa sih?—serta bubuk cabai dan bumbu manis asin seperti larutan oralit pedas.“Kayaknya seger, ya? Bandung panas banget hari ini, dan gue pusing.”Sayna menerimanya dengan senang hati kendati yang dia pesan tadi hanya sebungkus roti dan selai srikaya, perutnya protes minta diisi, Sayna juga kurang tidur karena harus latihan mati-matian untuk ujian tengah semesternya.Kehidupan di kampus tidak bisa dibilang normal-normal saja. Sayna harus berusaha dua kali lebih keras dibanding sebelumnya, jauh berbeda saat di mana ada Gio yang membantunya. Terlebih kabar simpang siur terdengar di seantero fakultas tiga lantai itu. Kabar dengan cepat menyebar, Gio nyaris tidak melakukan apa-apa, Sayna tahu, dia sibuk coass.Namun teman-temannya, para pendukungnya, orang yang simpati padanya,
Danish pasti sudah gila. Dia baru saja mengambil keputusan cepat tanpa memikirkan apa konsekuensinya. Mengambil jeda dengan Sayna? Memangnya bisa? Berapa lama? Berapa waktu yang dibutuhkannya? Dia sendiri tidak tahu. Pasti karena luka di kepala, Danish jadi mengambil keputusan gila, seenaknya.Dia bahkan tidak memikirkan bagaimana keadaan Sayna, seperti apa perasaannya. Danish pergi setelah mengatakan hal yang ingin dia lakukan. Apakah itu benar? Dia juga tidak tahu. Yang jelas tadi itu, Danish butuh waktu, dia harus tenang. Danish butuh ruang, dia hanya memikirkan diri dan perasaannya, lupa pada Sayna.“Duh, Dek... bikin panik aja.”Melia tampak panik sejak Danish pertama datang. Dia tidak sanggup menyetir sendiri dan menghubungi kakak iparnya untuk minta jemputan. Kemudian Arya Ranajaya dengan banyak sekali kekayaan mengirimkan sebuah helikopter untuk menjemput Danish di Hotel Singosari Bandung, dia menunggu di sana. Mobilnya diantar oleh salah sat
Pradnya bicara menggebu-gebu. Air matanya nyaris jatuh saat mengatakan semua hal itu. Baik, dia dan Danish memang tidak dekat untuk mengaku sebagai sahabat. Tapi Danish adalah keluarga barunya, saudara laki-lakinya, dan Anya sayang padanya. Di keluarga mereka—Ranajaya, pantang sekali ada yang terluka meski hanya seujung kuku saja. Apalagi ini, bocor di kepala. Danish sudah gila kalau masih menganggap ini semua tidak apa-apa.“Gimana keadaan Sayna?” Dya buka suara.Suasana yang cerah dan menyenangkan tadi sudah tidak ada sejak Anya melampiaskan kekesalannya. Anya memang begitu, dia ekspresif, tapi gadis itu baik, dia hanya khawatir pada Danish.“Iya, Nish. Sayna ada yang luka juga?” Hamam menimpalinya.“Ini nggak kayak yang kalian pikir. Gue sama Sayna memang berantem tapi bukan yang pukul-pukulan atau gimana, ini kecelakaan.”“Iya.” Dya mengangguk, berusaha mengerti ucapan Danish, tidak melihat
Merasa sudah dewasa, Danish jarang sekali berbagi hal-hal dengan ibunya. Namun untuk kasus seperti kecelakaan ini, dia tidak bisa. Lukanya menganga, tetap dipertanyakan andaipun dia rahasiakan. Dan itu sebuah petaka lain, sebab Melia membuat kehebohan yang berlebihan, mulai dari Danish harus izin ke kampus dan tidak masuk kelas sampai dia pulih, hingga mengabari teman-temannya yang jauh di luar kota.Butuh waktu yang pas bagi Aryan untuk menghubunginya, tapi Angga yang tinggal dan kuliah di Yogyakarta menelepon Danish lebih cepat dari yang ia duga. Angga, selain menanyakan bagaimana kabar dan separah apa luka yang Danish terima, juga menggosip perihal pacar terbaru Melia.“Sayang banget, gue kira Tante Mel bakal jadi ibu sambung gue dan kita jadi sodara, Nish.” Angga terdengar sedih. “Papa jadi duda udah lama, nggak kawin-kawin, gue kira nunggu Tante Mel, tapi kan nyokap lo nggak bakal nikah dulu sampai anak-anaknya mandiri. Berarti Tante lagi nunggui
Hari apa sekarang? Tepatnya... sudah berapa lama? Sayna masih menunggu. Dia bersabar meski tidak pernah mendapat kabar. Apa Danish baik-baik saja? Bagaimana keadaannya? Kapan dia akan kembali? Sayna takut, perutnya semakin besar.Danish memintanya untuk menunggu. Dia butuh waktu, tentu, Sayna mengerti itu. Tapi keadaan sekarang sudah tidak sama, ada yang harus Sayna beri tahu. Perutnya mungkin masih rata, tapi ada segumpal daging yang bertumbuh di dalam sana. Usianya menginjak bulan ketiga, 12 minggu 6 hari. Berarti sudah dua bulan Danish dan Sayna tidak berjumpa.Sayna merindukannya, sebanyak dia harus menahannya, sesakit yang harus ditahannya.“Sabar, ya...” Gadis itu mengelus permukaan perut. Katanya gerakan mulai terasa di atas usia 12 minggu, berarti tak akan lama lagi Sayna bisa merasakan sensasi kupu-kupu di sekitar sini.Malam-malam begini, dia harus terjaga karena tiba-tiba menginginkan buah semangka. Di mana Sayna harus mencarinya? A
“SAYNA!”Danish menggaungkan nama itu ketika tali yang menggantung tubuhnya sendiri membawa dia melesat jauh ke ujung pemberhentian. Kecepatannya menggila saat jarak semakin dekat, bergelantungan di ketinggian 15 meter di atas tanah dengan kecepatan 80 kilometer/jam dan hanya menggantungkan keselamatan pada seutas tali, tentu memacu adrenalin sekali.Dia perlu melakukan itu, untuk menyembuhkan diri. Lalu bersiap menemui Sayna lagi.“Norak banget, Danish!” Pradnya langsung mencibirnya saat Danish tiba di pemberhentian, turun dan melepas pengait di bagian belakang. Naik salah satu flying fox tertinggi di Indonesia memang menyenangkan.“Uuuu...” Hamam menyusul dengan sorakan bahagia yang serupa, lalu muncul Pramudya tak lama setelahnya.Mereka berempat jalan-jalan ke puncak selama Hamam dapat jatah libur dan untuk merayakan Danish yang akan segera kembali pada rutinitasnya ke Bandung tiap minggu.
Sayna sekarang tahu bahwa Arunika merupakan putri sulung sekaligus putri satu-satunya dari Mark Tuan, seorang pria yang lahir dari wanita asli Sunda dan ayahnya berdarah Tionghoa. Pantas saja dia punya perawakan yang berbeda dengan para pribumi, meski dipanggil Gege oleh adiknya, tapi keluarga mereka sangat meninggikan kebudayaan dan adat Sunda. Mungkin karena ibu kandungnya memiliki latar belakang yang kental dengan budaya, kabarnya mereka adalah keluarga pengelola museum adat Sunda di Subang.Mark dan keluarganya menetap di Lembang, daerah Bandung yang juga dekat ke arah Subang. Dia bekerja sebagai direktur operasional perusahaan farmasi keluarga yang dikepalai oleh kakak kandungnya sebagai lulusan apoteker handal. PT Sagara Purnama adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri kosmetik dan kontrak manufaktur pertama di Subang. Itu sekilas yang Sayna tahu dari hasil pencariannya di internet mengenai latar belakang pria itu.“Sebenarnya saya ke rumah sakit
“Sayna, Adek koas favorit Bunda, sini-sini.” Sayna menyengir pasrah ketika salah satu perawat senior memanggil namanya sambil melambai-lambaikan tangan. Sudah pasti dia akan dapat tugas tambahan. Mereka bilang, anak-anak koas adalah keset kaki karena acapkali diperlakukan semena-mena selama menjadi sukarelawan di rumah sakit. Tak jarang yang memperlakukan mereka tidak manusiawi adalah rekan-rekan seniornya sendiri. Di stase ini tentu Sayna tidak terlepas dari orang-orang dengan profesi dokter, perawat, hingga bidan dan lain-lainnya. Namun nasib anak-anak magang dari angkatan perawat dan kebidanan jauh lebih mengenaskan. Tak jarang Sayna yang harus membimbing mereka saat ada waktu senggang. “Kamu ke perina, ya. Banyak yang mau aterm hari ini.” “Baik, Bu.” Sayna menurut dengan mudah saat kepala perawat favoritnya meminta bantuan untuk membuat dia berjaga di ruang perina dan menunggu ibu-ibu yang akan melahirkan bayi. Ruang itu terhubung
“Dede enakan? Boleh Ayah minta sun?” “Boleh.” Gadis kecil berusia dua tahun lebih itu mendongak untuk mengecup wajah sang ayah. “Napa?” “Nggak papa, ayah cuma mau minta sun aja. Kangen sama Dede.” “Hai, Nika...” sapa Sayna ramah, meski pada kenyataannya Arunika yang ini lebih suka pada Rafika saat mereka berkunjung untuk memeriksa keadaannya. “Udah minum susu belum, Sayang?” “Nggak mau.” Dia menggeleng lemah. Gadis kecil itu merengut, merapatkan tubuhnya pada sang ayah. “Sus, ini bisa nggak dititip sebentar? Nanny lagi makan siang di kantin, saya ada keperluan yang harus dibeli ke luar.” Sayna tersenyum dan mengangguk. “Silakan, Pak. Biar Arunika saya yang jaga.” “Wah, ini Tante susternya hafal nama Dede.” Pria itu bersorak senang. “Tunggu sebentar, ya? Ayah mau beli sesuatu, nanti Dede beli mainan baru deh, mau?” “Nggak mau.” Arunika menggelengkan kepala tanda tak setuju. “Nika mau minum susu sama tante?” tawar
Setelah bulan lalu mengakhiri masa abdinya di stase bedah, yang mana membuat Sayna merasakan pengalaman luar biasa selama berada di sana, mulai minggu ini dia mendapat giliran berjaga di stase anak. Meskipun mengingat perjuangan serta pelajaran yang dia dapat dari stase bedah sangat berharga dan beragam, Sayna lega karena bebas dari sana. Stase bedah memiliki pasien yang banyak, nyaris membludak untuk di-follow up setiap hari. Tapi di sana juga keterampilan Sayna sangat diuji. Kemampuannya menjahit luka semasa kuliah pra-klinik selama 3,5 tahun benar-benar direalisasikan. Sayna bahkan belajar menyunat di stase ini. Dan yang paling berkesan adalah melakukan operasi transplantasi kulit pada pasien luka bakar yang mana kulitnya diambil dari bagian paha dan ditanam ke punggung. Luar biasa, Sayna merasa jadi mahasiswi kedokteran betulan saat itu. Dan semuanya sudah berlalu, Sayna tidak yakin lulus di stase itu karena mahasiswa sepintar Gio saja dulu tidak mampu m
Anya merasa lebih tenang sekarang, karena meski saudarinya akan merantau ke negeri orang, dia mengantongi izin untuk berkunjung ke tempat Dya belajar sesering yang dia ingin. Setelah melakukan pentas drama di depan ayah dan ibunya, Anya dikonfirmasi akan segera memiliki privat jet miliknya sendiri untuk keperluan pulang pergi melongok Dya di New York. Dan berhubung keduanya anak kembar, tidak adil rasanya jika Ranajaya hanya membelikan untuk salah satu dari mereka saja. Alhasil, Dya yang tidak berminat sama sekali pada benda bisa terbang itu pun harus ikut menerima pemberian orangtuanya. Mau tidak mau.“Aku nanti minta jadwal kamu pokoknya, biar pas kamu free aku ke sana.”Dya mengangguk mendengar permintaan saudarinya itu, sedikit lega karena Anya tampak lebih bersemangat dibanding beberapa hari yang lalu. “Kamu baik-baik, ya.”“Aku yang harusnya bilang gitu.” Anya berguling dari posisinya saat ini dan telungkup untu
“Lo masih mau di sini?” Suara Danish menyadarkannya kembali. “Kalau mau sama Hamam nggak papa sih.”“Eh, nggak, Nish, nggak! Gue nggak enak juga kalau harus ke kamar Dya.” Hamam salah tingkah dan mengusap tengkuknya gelisah. “Dya sama Danish aja, ya? Biar Mas Hamam di sini jagain Anya, oke?”“Oke.”Pada akhirnya Dya pasrah saat Danish membantunya mengalungkan tangan dan berjalan tertatih menuju villa tempat mereka menginap. Sementara Hamam, Anya, Arvin, Rafid dan Herdian tinggal untuk menikmati berbagai permainan yang disuguhkan. Namun setelah dua orang itu menjauh, lima anak muda itu justru tidak meneruskan niat mereka semula.“Gila, ya. Untung lo masih ada otaknya, Mam. Kalau lo ngotot bawa Dya tadi kebayang gimana patah hatinya Danish.” Herdian membuka obrolan.“Iya, kasihan gue kalau dia harus patah hati dua kali dalam waktu dekat.” Pendapat Rafid menimpali duga
“Sial, banyak banget debu jalanan. Tutup mata, Anya!”“WAAAA....”Danish langsung mengerem sepeda motor yang dia kendarai mendengar jeritan Hamam di sebelahnya, temannya itu nyaris oleng sebelum berbelok ke kiri jalan dan berhenti.“Kenapa sih?” tanya Danish keki. Merasakan pegangan tangan Anya di pinggangnya melonggar perlahan. Mereka sedang berwisata dan menaklukan medan jalan yang berdebu dan terjal untuk sampai ke tujuan.“Gue kaget, Nish. Pas lo teriak nyuruh nutup mata itu gue refleks nutup mata juga, padahal kan gue lagi nyetir, mana bonceng Dya di belakang. Kalau Dya cedera nyawa gue bisa melayang.”Dya dan Anya tertawa, mereka kira apa. Dya yang duduk di belakang Hamam bahkan bingung sendiri saat pemuda itu mulai tidak stabil membawa kendaraannya lalu berhenti tiba-tiba.“Maaf ya, Dya.” Hamam merasa sangat berdosa. Ini harusnya jadi liburan yang paling berkesan karena Dya a
Menghabiskan dua malam di Jakarta bersama Giovanni yang diizinkan menginap oleh orangtuanya, Sayna melakukan perjalanan kembali ke perantauan. Bukan Bandung, kali ini dia harus ke Majalengka karena sedang sibuk KKN di sana. Agak sedih karena Sayna tidak bertemu dengan adiknya sama sekali berhubung anak itu sedang sibuk pendidikan, dia juga tidak tahu kapan bisa pulang ke rumah lagi, bisa dipastikan Sayna akan lebih sibuk dalam beberapa bulan kedepan.“Semangat dong!” Gio tersenyum menggoda, paham kalau gadis cantik yang duduk di sebelahnya itu tengah diserang homesick musiman yang biasa menyerang para mahasiswa KKN. “Gimana aja program kalian?”“Programnya banyak,” keluh Sayna pelan. “Ada satu anak yang ngeselin dari teknik sipil, aku sering banget nahan bogem kalau dia mulai ngoceh terus, Kak.”Giovanni mengacak rambut pendek Sayna dengan sebelah tangan. “Namanya dinamika kelompok, hadapi aja, ya. I
“Om... tolong!”Irya sedang bermain sandiwara dengan pamannya.“Om! Aku syakit!”Danish tidak menggubris.“Om, tolong aku!”“Aduh, berisik banget!” Danish menggerutu lalu berjalan mendekati bayi yang usianya entah berapa itu. Irya terlalu pintar untuk anak seusianya. Sibuk berakting demi mencari perhatian. Lihat saja, dia membuka lemari penyimpanan di kamar Danish lalu memasukkan sebelah tangan ke dalamnya dan menutup pintu lemari itu kemudian menjerit seolah sangat kesakitan.“Apa-apaan sih, Den?” tanya Danish keki. Kelakuan Irya kadang sebelas dua belas dengan ayahnya. Ada-ada saja.“Hehe, makasih Om!” seru Irya tanpa merasa berdosa atau apa.Danish menggendong anak itu dan menatapnya sambil menyipitkan mata. Tidak ingin dan tidak bisa menebak hal aneh lain yang akan dilakukan oleh Irya. Dia seperti tidak kehabisan ide untuk membuat keributan dan ingin se