“Hati-hati, ya. Titip salam buat Imo, kamu jangan bandel, jangan pacaran terus, pacarnya nggak boleh banyak-banyak, denger nggak?”
“Iya.”
Inara menyengir dengan rambut cokelatnya yang sengaja Sayna selipkan di belakang telinga. Dia semakin menggemaskan ketika kupingnya terlihat dengan ukuran daun telinga yang lebih lebar dibanding seharusnya.
“Naik bus yang mana?” Danish menimbrung obrolan. Pagi itu mereka telah sampai di terminal Cibiru untuk mengantar Inara pulang ke Sumedang. Banyak bis antar kota dan minibus elf berjejer di sana. Rata-rata jurusan Bandung – Cirebon – Majalengka, entah yang mana satu milik Inara.
“Aku mau naik Buhe!” Gadis Sunda berwajah bule itu menunjuk salah satu nama armada dengan mayoritas minibus berwarna merah tua keunguan, Buhe Jaya. “Biar kayak terbang dari Bandung ke Sumedang.”
“Ih, jangan!” Sayna segera melarangnya. “Naik bis aja, turun di pintu keluar tol Kojengkang terus naik ojeg dari sana. Jangan pake Buhe, ngeri, De.”
“Emang kenapa?” Danish bertanya bingung.
“Naik Buhe tuh bisa-bisa badannya udah nyampe Sumedang tapi nyawanya masih ketinggalan di Bandung. Jangan, ya?”
“Ih, si Kakak mah, padahal aku udah lama nggak naik wahana ekstrem.”
“Nanti kita main ke Transtudio aja kalau pengen wahana ekstrem, lebih aman. Naik Buhe kamu itu nitipin nyawa, De. Punya berapa emangnya? Ada cadangan?”
Meski tampak nakal dan usil, pada akhirnya Inara menuruti titah sang kakak dengan menaiki salah satu bis yang melintas di Bandung dan Sumedang. Gadis itu duduk di dekat jendela, masih melambai-lambai pada Danish dan Sayna hingga ia menghilang bersama bisnya dari pandangan.
Dan di detik itu, Sayna langsung merasa kehilangan.
Dia selalu merasa begitu tiap bertemu Inara dan berpisah setelahnya, mungkin karena mereka jarang bertemu juga.
“Pokoknya, Kakak sama Aa kasep jangan putus, ya? Kalau putus siap-siap aja, aku langsung masukin slot kedua. Kakak mending pulang ke Jakarta, Ibu pasti kangen. Nggak apa-apa, Kak, jangan terus merasa bersalah, sedihnya juga butuh jeda.”
Sedihnya juga butuh jeda...
Entah kenapa kalimat gadis itu terngiang di telinga Sayna.
Dirinya memang berdosa, Sayna tidak akan melupakan kesalahannya, dia akan menebus itu semua, tapi saat ini—saat kekasihnya ada di depan mata, dia ingin rehat sejenak. Seperti kata Inara, sedihnya juga butuh jeda. Sayna ingin berhenti merasakan itu meski sebentar saja.
“Mau makan dulu, Say?”
Danish memecah hening. Sejak masuk tol menuju Jakarta, hanya suara sayup-sayup alunan lagu Nothing Like You yang berdenging. Dia membiarkan Sayna tidak mengeluarkan suara, gadis itu terlihat sendu begitu tidak bisa lagi melihat sepupunya. Dan Danish cukup terkejut dengan kenyataan bahwa Sayna sedekat itu dengan Inara, padahal mereka jarang berjumpa, terlebih Sayna jarang sekali bercerita soal sepupunya.
“Nanti aja di rumah. Udah lapar, ya?”
“Nggak sih, gue makan snack bar juga kenyang.”
“Kita makan bareng Ayah sama Ibu, ya.”
Tidak ada sahutan, sebab itu bukan jenis kalimat diskusi, tapi keputusan dan permintaan berbalut perintah dari Sayna. Danish mengemudi dengan tenang, sementara kekasihnya duduk di sisi kiri sembari memangku anak berbulu mereka yang terlihat mengantuk ketika tubuhnya dielus-elus.
Danish sengaja mengajak Bolu untuk menemui Sayna ke Bandung. Dia bingung karena nyaris dua minggu kekasihnya menolak diajak bertemu, Danish datang sendiri tanpa meminta izin, menyusun strategi hingga ide membawa Bolu terlintas karena Sayna pasti rindu pada anaknya, dia tidak akan menolak kehadiran bocah berbulu itu jika Danish membawa Bolu ikut serta.
“Nish, gue mau ngomong sesuatu...”
Kalimat yang terngiang-ngiang di telinganya hingga sekarang.
Namun reaksi Sayna setelah mengatakan hal itu sangat di luar dugaan. Dia gemetar hebat, terlihat ketakutan dan sekarat, Danish tidak sanggup menyaksikannya. Pasti yang akan dia katakan adalah hal yang berat, yang membuat dadanya sesak, tapi Sayna memaksakan diri dan Danish menyuruhnya untuk berhenti.
“Jangan bilang apa-apa kalau itu bikin lo makin terluka. Jangan bilang apa-apa, gue cuma mau lo baik-baik aja.”
Entah apa yang akan dikatakan Sayna, kalau itu sebuah pengakuan untuk kesalahan, Danish sudah berjanji akan memaafkannya, sebesar apa pun, dia tidak peduli, asal Sayna baik-baik saja. Asal mereka bisa tetap bersama.
“Nanti kita main, ya.” Suara Sayna tiba-tiba terdengar, padahal Danish membiarkan gadis itu merenung, menenangkan diri atau mungkin tidur.
“Main apa?” tanya Danish polos.
Sayna mengerling. “Main...” ujarnya sambil tersenyum geli. “Nggak kangen, ya?”
Danish membeliak. Maksudnya, suasana sedang tidak mendukung untuk hal seperti itu saat ini. Dia kira Sayna akan butuh waktu lebih lama untuk menenangkan diri dan tidak mau diganggu, apalagi disentuh olehnya lebih jauh. Danish cukup terkejut dengan pernyataan gadis itu, tiba-tiba saja wajahnya panas, pasti dia sedang merona malu. Payah sekali ya, baru dua minggu tidak bertemu dan sudah secanggung itu.
“Uh... kangen banget,” jawab Danish setelah butuh waktu untuk berpikir dulu.
Sayna tersenyum manis, sebelah tangannya terulur untuk mengusap rambut Danish. Kegiatan seperti itu salah satu cara melepas stres yang paling baik, jadi Danish akan melakukan permainan terbaik agar Sayna merasa lebih baik.
Terdengar bodoh dan murahan sekali, tapi nyatanya Sayna merasa perlu melakukan hal itu segera dengan kekasihnya. Licik memang, dia ingin menghapus jejak Giovanni dan meminta Danish melakukannya diam-diam. Sebab sampai sekarang Sayna tidak mampu mengatakan kejujurannya. Danish memintanya segera untuk diam.
“Kalau lo takut itu bakal jadi pemicu kemarahan dan kekecewaan gue, nggak apa-apa disimpan sendiri aja, Sayna. Nggak semua hal harus dibagikan, dan kita satu sama lain juga tahu kalau lo atau pun gue, bukan orang yang sempurna. Asal kita tetap sama-sama, kita baik-baik aja, gue bahagia.”
Dia bahagia, katanya.
Danish bahagia karena sering berpura-pura tidak tahu saat dia dibohongi, dicurangi, agar hubungan mereka baik-baik saja. Agar keduanya tidak bertengkar. Dulu, Giovanni adalah pemicunya, dan Sayna menyesal sekali saat ini. Kekasihnya melakukan pengorbanan untuk hal tidak berarti.
“Intinya, Kak Gio nggak akan lagi gangguin kita.”
Entah dapat keberanian dari mana, kalimat itu terlontar dari mulutnya, bahkan setelah mereka memutuskan untuk mengubur itu semua.
“Ketahuan belangnya?” seringai Danish sambil melirik kecil, urat-urat di lehernya terlihat. Merasa terkejut karena perubahan Sayna akhir-akhir ini dipicu oleh kakak tingkatnya itu, hal yang tidak pernah terpikirkan olehnya.
“Iya.” Sayna mengangguk. “Gue udah menghalau dia sejauh mungkin, dia nggak akan gangguin kita lagi.”
Bagus sekali, Sayna. Katakan saja kebohongannya, cuci tangan yang bersih, buat dirinya sesuci mungkin.
“Bagus.” Danish tersenyum tipis. “Gue nggak akan tanya kalian kenapa dan dia ngapain aja, tapi gue harap yang dia lakukan sepadan sama perubahan lo akhir-akhir ini. Udah kayak putus cinta sih, Say.”
Tidak. Danish, jangan salah pengertian padanya. Sayna berubah bukan karena patah hati tidak bisa berteman—atau bergantung, pada Giovanni lagi.
“Gue justru takut kita putus, Nish. Gue patah hati sama hubungan kita, bukan dia.” Sayna membela dirinya.
Danish berbelok ke kiri, peduli setan saat ini tengah berada di jalan bebas hambatan. Dia menepi agar bisa mendengar suara Sayna lebih jelas lagi.
“Lo juga matahin hati gue, Sayna, dua minggu nggak ada kabarnya—” Danish membuang napas keras, dia janji akan memaafkan gadis itu apa pun yang terjadi. Tapi Danish tidak bisa untuk tidak marah mendengar alasannya.
“Maaf...” Sayna buru-buru memegang tangan Danish, menatapnya penuh rasa bersalah. “Gue janji nggak akan gitu lagi.”
“Oke, udah lupain aja. Gue kangen sama lo, kita jangan berantem lagi, ya?”
Sayna segera menganggukkan kepala. Dia sudah memikirkannya dengan Inara, bahwa memberi tahu Danish tidak sesederhana kedengarannya. Pemuda itu sumbu pendek, dia pencemburu, bukan mustahil Danish akan memukul Gio hingga babak belur, dan urusan bisa lebih panjang. Sayna tidak mau kuliahnya terganggu, dia tidak ingin lebih mengecewakan Ayah dan Ibu.
“Beberapa hal memang lebih baik disimpan sendiri untuk kebaikan semuanya, Kak. Itu nggak membuat kita lantas jadi orang jahat kok, justru Kakak rahasiakan soal itu buat kebaikan bersama, kan?”
Meski pada akhirnya, Sayna harus menanggung rasa sesak itu sendirian sebagai risiko. Dia tidak apa-apa, asal hubungannya dengan Danish baik-baik saja, asal Danish tetap mencintainya.
Untung Inara datang. Orang pertama yang dia ajak bicara sejak tragedinya dengan Giovanni terjadi. Inara adalah sahabat sekaligus obat, dia hadir disaat yang tepat, kendatipun mereka tidak begitu dekat. Ada ratusan kilometer jarak yang membuat keduanya jarang berjumpa dan bicara.
Setiap orang yang hadir dalam hidup punya perannya sendiri-sendiri, seperti orang-orang dalam hidup Sayna. Siapa sangka kakak tingkat rupawan yang ia jadikan panutan berakhir dengan label bajingan? Siapa yang mengira jika saudari yang jarang sekali hadir dalam momen pentingnya justru datang saat Sayna sendiri?
Dan siapa sangka seseorang merelakan peluknya saat ini ketika Sayna merasa dunia tengah melemparinya dengan tatapan benci?
Bahkan dirinya pun terluka, Sayna diam-diam telah melukainya, tapi dia tidak pernah pergi, dia selalu datang lagi dan lagi.
****
Kemesraan ini, janganlah cepat berlalu...Kemesraan ini ingin kukenang selalu...Hatiku damai, jiwaku tenteram di sampingmu...Hatiku damai... jiwaku tenteram bersamamu...“Aduh, suaranya ngajakin berumah tangga ya, Teh.”Sayna terkikik mendengar komentar ibunda saat mereka menonton Danish dan Chandraka tengah berkaraoke ria. Suara mereka menggema, memenuhi ruang keluarga.Keduanya sampai di Jakarta siang menjelang sore, Danish langsung dicegat, tidak boleh pulang cepat, makan bersama dengan keluarga Sayna dan melakukan hal menyenangkan dengan mereka. Ikrar juga ada di sana, duduk di karpet lantai sambil memegangi senter dan menggoyangkannya ke kiri dan kanan bergantian, bertingkah seolah tengah menonton live music penyanyi papan atas.“Tapi ibu tadi cuma bercanda,” ralat Linda segera, melihat putrinya tidak memberi reaksi apa-apa. “Ibu sangat berharap Teteh jadi sama Ninish, tapi nanti, ya? Selesai c
Pramudya mengerjap pelan saat merasakan cahaya yang masuk lebih daripada satu jam lalu. Sekarang sudah lebih terang, tirai kamarnya terbuka lebar, pasti salah satu dari dayang-dayang Dinara yang melakukannya. Dia tidak suka. Tapi apa boleh buat, ini bukan rumahnya, dia harus ikut peraturan yang ada di sana.“Lho, ada kamu toh?” Sapaan pertama dia dengar dari Pradnya ketika membuka pintu kamar.“Kamu ngapain? Bukannya jalan sama pacarmu?”“Besok aku ke Solo,” jawab Pradnya acuh tak acuh. “Kamu kok tumben nginep? Bukannya Sabtu jadwal sama Mas Gum?”Dya menyeringai, dia bahkan lupa kalau urutan kencannya di hari keenam adalah Gumelar, tapi Anya punya ingatan yang lebih bagus, dia sering tak sengaja mengingatkan itu.“Aku habis dari Puncak, tapi Danish ngadu ke Mas Arya dan aku disuruh pulang malam-malam. Baru sampai sini jam 2 pagi.”Anya terkikik, wajah saudarinya saat mengisahkan it
“Ngapa lo garuk-garuk helm, Mam?”“Pala gue gatel.”“Pala lo gatel terus kenapa helm-nya yang digaruk? Coba dibuka dulu biar afdol garuk-garuknya.”“Heh, emang kalau pantat lo gatel lo harus banget garuk-garuk sampe buka celana? Enggak, kan?”Danish memutuskan untuk tidak bertanya lagi. Hamam jelas marah karena insiden pulangnya Pramudya tempo hari. Mereka baru sampai di Puncak tapi Dya buru-buru kembali ke Jakarta lagi setelah Danish mengadukannya pada Arya. Hamam yang merasa bertanggung jawab karena mengajaknya jelas ikut pulang, tidak jadi ikut pesta dengan teman-teman.Dan sekarang Hamam marah padanya, itu ulah Danish memang, tapi dia juga tidak tahu kalau Arya sampai meminta adiknya pulang malam itu juga.“Dya?” sapa Hamam dengan mata berbinar begitu dia masuk ke laundry dan menemukan gadis itu di lobi. “Kok ada di sini?”“Dia minta ketemu sama lo sebel
“Gue beli ini di jalan tadi.” Danish menyodorkan sekotak rujak Thailand kekinian yang isinya hanya terdiri dari jambu biji non biji—maksudnya apa sih?—serta bubuk cabai dan bumbu manis asin seperti larutan oralit pedas.“Kayaknya seger, ya? Bandung panas banget hari ini, dan gue pusing.”Sayna menerimanya dengan senang hati kendati yang dia pesan tadi hanya sebungkus roti dan selai srikaya, perutnya protes minta diisi, Sayna juga kurang tidur karena harus latihan mati-matian untuk ujian tengah semesternya.Kehidupan di kampus tidak bisa dibilang normal-normal saja. Sayna harus berusaha dua kali lebih keras dibanding sebelumnya, jauh berbeda saat di mana ada Gio yang membantunya. Terlebih kabar simpang siur terdengar di seantero fakultas tiga lantai itu. Kabar dengan cepat menyebar, Gio nyaris tidak melakukan apa-apa, Sayna tahu, dia sibuk coass.Namun teman-temannya, para pendukungnya, orang yang simpati padanya,
Danish pasti sudah gila. Dia baru saja mengambil keputusan cepat tanpa memikirkan apa konsekuensinya. Mengambil jeda dengan Sayna? Memangnya bisa? Berapa lama? Berapa waktu yang dibutuhkannya? Dia sendiri tidak tahu. Pasti karena luka di kepala, Danish jadi mengambil keputusan gila, seenaknya.Dia bahkan tidak memikirkan bagaimana keadaan Sayna, seperti apa perasaannya. Danish pergi setelah mengatakan hal yang ingin dia lakukan. Apakah itu benar? Dia juga tidak tahu. Yang jelas tadi itu, Danish butuh waktu, dia harus tenang. Danish butuh ruang, dia hanya memikirkan diri dan perasaannya, lupa pada Sayna.“Duh, Dek... bikin panik aja.”Melia tampak panik sejak Danish pertama datang. Dia tidak sanggup menyetir sendiri dan menghubungi kakak iparnya untuk minta jemputan. Kemudian Arya Ranajaya dengan banyak sekali kekayaan mengirimkan sebuah helikopter untuk menjemput Danish di Hotel Singosari Bandung, dia menunggu di sana. Mobilnya diantar oleh salah sat
Pradnya bicara menggebu-gebu. Air matanya nyaris jatuh saat mengatakan semua hal itu. Baik, dia dan Danish memang tidak dekat untuk mengaku sebagai sahabat. Tapi Danish adalah keluarga barunya, saudara laki-lakinya, dan Anya sayang padanya. Di keluarga mereka—Ranajaya, pantang sekali ada yang terluka meski hanya seujung kuku saja. Apalagi ini, bocor di kepala. Danish sudah gila kalau masih menganggap ini semua tidak apa-apa.“Gimana keadaan Sayna?” Dya buka suara.Suasana yang cerah dan menyenangkan tadi sudah tidak ada sejak Anya melampiaskan kekesalannya. Anya memang begitu, dia ekspresif, tapi gadis itu baik, dia hanya khawatir pada Danish.“Iya, Nish. Sayna ada yang luka juga?” Hamam menimpalinya.“Ini nggak kayak yang kalian pikir. Gue sama Sayna memang berantem tapi bukan yang pukul-pukulan atau gimana, ini kecelakaan.”“Iya.” Dya mengangguk, berusaha mengerti ucapan Danish, tidak melihat
Merasa sudah dewasa, Danish jarang sekali berbagi hal-hal dengan ibunya. Namun untuk kasus seperti kecelakaan ini, dia tidak bisa. Lukanya menganga, tetap dipertanyakan andaipun dia rahasiakan. Dan itu sebuah petaka lain, sebab Melia membuat kehebohan yang berlebihan, mulai dari Danish harus izin ke kampus dan tidak masuk kelas sampai dia pulih, hingga mengabari teman-temannya yang jauh di luar kota.Butuh waktu yang pas bagi Aryan untuk menghubunginya, tapi Angga yang tinggal dan kuliah di Yogyakarta menelepon Danish lebih cepat dari yang ia duga. Angga, selain menanyakan bagaimana kabar dan separah apa luka yang Danish terima, juga menggosip perihal pacar terbaru Melia.“Sayang banget, gue kira Tante Mel bakal jadi ibu sambung gue dan kita jadi sodara, Nish.” Angga terdengar sedih. “Papa jadi duda udah lama, nggak kawin-kawin, gue kira nunggu Tante Mel, tapi kan nyokap lo nggak bakal nikah dulu sampai anak-anaknya mandiri. Berarti Tante lagi nunggui
Hari apa sekarang? Tepatnya... sudah berapa lama? Sayna masih menunggu. Dia bersabar meski tidak pernah mendapat kabar. Apa Danish baik-baik saja? Bagaimana keadaannya? Kapan dia akan kembali? Sayna takut, perutnya semakin besar.Danish memintanya untuk menunggu. Dia butuh waktu, tentu, Sayna mengerti itu. Tapi keadaan sekarang sudah tidak sama, ada yang harus Sayna beri tahu. Perutnya mungkin masih rata, tapi ada segumpal daging yang bertumbuh di dalam sana. Usianya menginjak bulan ketiga, 12 minggu 6 hari. Berarti sudah dua bulan Danish dan Sayna tidak berjumpa.Sayna merindukannya, sebanyak dia harus menahannya, sesakit yang harus ditahannya.“Sabar, ya...” Gadis itu mengelus permukaan perut. Katanya gerakan mulai terasa di atas usia 12 minggu, berarti tak akan lama lagi Sayna bisa merasakan sensasi kupu-kupu di sekitar sini.Malam-malam begini, dia harus terjaga karena tiba-tiba menginginkan buah semangka. Di mana Sayna harus mencarinya? A
Sayna sekarang tahu bahwa Arunika merupakan putri sulung sekaligus putri satu-satunya dari Mark Tuan, seorang pria yang lahir dari wanita asli Sunda dan ayahnya berdarah Tionghoa. Pantas saja dia punya perawakan yang berbeda dengan para pribumi, meski dipanggil Gege oleh adiknya, tapi keluarga mereka sangat meninggikan kebudayaan dan adat Sunda. Mungkin karena ibu kandungnya memiliki latar belakang yang kental dengan budaya, kabarnya mereka adalah keluarga pengelola museum adat Sunda di Subang.Mark dan keluarganya menetap di Lembang, daerah Bandung yang juga dekat ke arah Subang. Dia bekerja sebagai direktur operasional perusahaan farmasi keluarga yang dikepalai oleh kakak kandungnya sebagai lulusan apoteker handal. PT Sagara Purnama adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri kosmetik dan kontrak manufaktur pertama di Subang. Itu sekilas yang Sayna tahu dari hasil pencariannya di internet mengenai latar belakang pria itu.“Sebenarnya saya ke rumah sakit
“Sayna, Adek koas favorit Bunda, sini-sini.” Sayna menyengir pasrah ketika salah satu perawat senior memanggil namanya sambil melambai-lambaikan tangan. Sudah pasti dia akan dapat tugas tambahan. Mereka bilang, anak-anak koas adalah keset kaki karena acapkali diperlakukan semena-mena selama menjadi sukarelawan di rumah sakit. Tak jarang yang memperlakukan mereka tidak manusiawi adalah rekan-rekan seniornya sendiri. Di stase ini tentu Sayna tidak terlepas dari orang-orang dengan profesi dokter, perawat, hingga bidan dan lain-lainnya. Namun nasib anak-anak magang dari angkatan perawat dan kebidanan jauh lebih mengenaskan. Tak jarang Sayna yang harus membimbing mereka saat ada waktu senggang. “Kamu ke perina, ya. Banyak yang mau aterm hari ini.” “Baik, Bu.” Sayna menurut dengan mudah saat kepala perawat favoritnya meminta bantuan untuk membuat dia berjaga di ruang perina dan menunggu ibu-ibu yang akan melahirkan bayi. Ruang itu terhubung
“Dede enakan? Boleh Ayah minta sun?” “Boleh.” Gadis kecil berusia dua tahun lebih itu mendongak untuk mengecup wajah sang ayah. “Napa?” “Nggak papa, ayah cuma mau minta sun aja. Kangen sama Dede.” “Hai, Nika...” sapa Sayna ramah, meski pada kenyataannya Arunika yang ini lebih suka pada Rafika saat mereka berkunjung untuk memeriksa keadaannya. “Udah minum susu belum, Sayang?” “Nggak mau.” Dia menggeleng lemah. Gadis kecil itu merengut, merapatkan tubuhnya pada sang ayah. “Sus, ini bisa nggak dititip sebentar? Nanny lagi makan siang di kantin, saya ada keperluan yang harus dibeli ke luar.” Sayna tersenyum dan mengangguk. “Silakan, Pak. Biar Arunika saya yang jaga.” “Wah, ini Tante susternya hafal nama Dede.” Pria itu bersorak senang. “Tunggu sebentar, ya? Ayah mau beli sesuatu, nanti Dede beli mainan baru deh, mau?” “Nggak mau.” Arunika menggelengkan kepala tanda tak setuju. “Nika mau minum susu sama tante?” tawar
Setelah bulan lalu mengakhiri masa abdinya di stase bedah, yang mana membuat Sayna merasakan pengalaman luar biasa selama berada di sana, mulai minggu ini dia mendapat giliran berjaga di stase anak. Meskipun mengingat perjuangan serta pelajaran yang dia dapat dari stase bedah sangat berharga dan beragam, Sayna lega karena bebas dari sana. Stase bedah memiliki pasien yang banyak, nyaris membludak untuk di-follow up setiap hari. Tapi di sana juga keterampilan Sayna sangat diuji. Kemampuannya menjahit luka semasa kuliah pra-klinik selama 3,5 tahun benar-benar direalisasikan. Sayna bahkan belajar menyunat di stase ini. Dan yang paling berkesan adalah melakukan operasi transplantasi kulit pada pasien luka bakar yang mana kulitnya diambil dari bagian paha dan ditanam ke punggung. Luar biasa, Sayna merasa jadi mahasiswi kedokteran betulan saat itu. Dan semuanya sudah berlalu, Sayna tidak yakin lulus di stase itu karena mahasiswa sepintar Gio saja dulu tidak mampu m
Anya merasa lebih tenang sekarang, karena meski saudarinya akan merantau ke negeri orang, dia mengantongi izin untuk berkunjung ke tempat Dya belajar sesering yang dia ingin. Setelah melakukan pentas drama di depan ayah dan ibunya, Anya dikonfirmasi akan segera memiliki privat jet miliknya sendiri untuk keperluan pulang pergi melongok Dya di New York. Dan berhubung keduanya anak kembar, tidak adil rasanya jika Ranajaya hanya membelikan untuk salah satu dari mereka saja. Alhasil, Dya yang tidak berminat sama sekali pada benda bisa terbang itu pun harus ikut menerima pemberian orangtuanya. Mau tidak mau.“Aku nanti minta jadwal kamu pokoknya, biar pas kamu free aku ke sana.”Dya mengangguk mendengar permintaan saudarinya itu, sedikit lega karena Anya tampak lebih bersemangat dibanding beberapa hari yang lalu. “Kamu baik-baik, ya.”“Aku yang harusnya bilang gitu.” Anya berguling dari posisinya saat ini dan telungkup untu
“Lo masih mau di sini?” Suara Danish menyadarkannya kembali. “Kalau mau sama Hamam nggak papa sih.”“Eh, nggak, Nish, nggak! Gue nggak enak juga kalau harus ke kamar Dya.” Hamam salah tingkah dan mengusap tengkuknya gelisah. “Dya sama Danish aja, ya? Biar Mas Hamam di sini jagain Anya, oke?”“Oke.”Pada akhirnya Dya pasrah saat Danish membantunya mengalungkan tangan dan berjalan tertatih menuju villa tempat mereka menginap. Sementara Hamam, Anya, Arvin, Rafid dan Herdian tinggal untuk menikmati berbagai permainan yang disuguhkan. Namun setelah dua orang itu menjauh, lima anak muda itu justru tidak meneruskan niat mereka semula.“Gila, ya. Untung lo masih ada otaknya, Mam. Kalau lo ngotot bawa Dya tadi kebayang gimana patah hatinya Danish.” Herdian membuka obrolan.“Iya, kasihan gue kalau dia harus patah hati dua kali dalam waktu dekat.” Pendapat Rafid menimpali duga
“Sial, banyak banget debu jalanan. Tutup mata, Anya!”“WAAAA....”Danish langsung mengerem sepeda motor yang dia kendarai mendengar jeritan Hamam di sebelahnya, temannya itu nyaris oleng sebelum berbelok ke kiri jalan dan berhenti.“Kenapa sih?” tanya Danish keki. Merasakan pegangan tangan Anya di pinggangnya melonggar perlahan. Mereka sedang berwisata dan menaklukan medan jalan yang berdebu dan terjal untuk sampai ke tujuan.“Gue kaget, Nish. Pas lo teriak nyuruh nutup mata itu gue refleks nutup mata juga, padahal kan gue lagi nyetir, mana bonceng Dya di belakang. Kalau Dya cedera nyawa gue bisa melayang.”Dya dan Anya tertawa, mereka kira apa. Dya yang duduk di belakang Hamam bahkan bingung sendiri saat pemuda itu mulai tidak stabil membawa kendaraannya lalu berhenti tiba-tiba.“Maaf ya, Dya.” Hamam merasa sangat berdosa. Ini harusnya jadi liburan yang paling berkesan karena Dya a
Menghabiskan dua malam di Jakarta bersama Giovanni yang diizinkan menginap oleh orangtuanya, Sayna melakukan perjalanan kembali ke perantauan. Bukan Bandung, kali ini dia harus ke Majalengka karena sedang sibuk KKN di sana. Agak sedih karena Sayna tidak bertemu dengan adiknya sama sekali berhubung anak itu sedang sibuk pendidikan, dia juga tidak tahu kapan bisa pulang ke rumah lagi, bisa dipastikan Sayna akan lebih sibuk dalam beberapa bulan kedepan.“Semangat dong!” Gio tersenyum menggoda, paham kalau gadis cantik yang duduk di sebelahnya itu tengah diserang homesick musiman yang biasa menyerang para mahasiswa KKN. “Gimana aja program kalian?”“Programnya banyak,” keluh Sayna pelan. “Ada satu anak yang ngeselin dari teknik sipil, aku sering banget nahan bogem kalau dia mulai ngoceh terus, Kak.”Giovanni mengacak rambut pendek Sayna dengan sebelah tangan. “Namanya dinamika kelompok, hadapi aja, ya. I
“Om... tolong!”Irya sedang bermain sandiwara dengan pamannya.“Om! Aku syakit!”Danish tidak menggubris.“Om, tolong aku!”“Aduh, berisik banget!” Danish menggerutu lalu berjalan mendekati bayi yang usianya entah berapa itu. Irya terlalu pintar untuk anak seusianya. Sibuk berakting demi mencari perhatian. Lihat saja, dia membuka lemari penyimpanan di kamar Danish lalu memasukkan sebelah tangan ke dalamnya dan menutup pintu lemari itu kemudian menjerit seolah sangat kesakitan.“Apa-apaan sih, Den?” tanya Danish keki. Kelakuan Irya kadang sebelas dua belas dengan ayahnya. Ada-ada saja.“Hehe, makasih Om!” seru Irya tanpa merasa berdosa atau apa.Danish menggendong anak itu dan menatapnya sambil menyipitkan mata. Tidak ingin dan tidak bisa menebak hal aneh lain yang akan dilakukan oleh Irya. Dia seperti tidak kehabisan ide untuk membuat keributan dan ingin se