Share

Yang Terdalam

Penulis: Vinnara
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Gadis itu memeriksa bagian bawah tubuhnya yang lengket dan lembab. Lagi-lagi tidak dapat menahan lelehan air mata yang menyeruak. Sebuah pengkhianatan sungguhan telah dia lakukan pada kekasihnya. Dan bagaimanapun Sayna mencoba menyangkal, bukti seperti ini tidak bisa diabaikan. Tubuhnya merespons kegiatan sialan itu dengan benar, menolak kerja sama dengan otak dan akal sehat yang terus merasa jijik saat itu dilakukan.

Sayna merasai berahinya sendiri karena merasa jahat dan ingin tubuhnya mendapat lebih saat bersama Giovanni. Bagaimana itu bisa terjadi? Kenapa harus begini? Kenapa tubuhnya harus ingin? Sementara otak dan akal sehatnya tidak menginginkan apa-apa.

Apakah ini lumrah terjadi? Apa orang-orang yang diperkosa juga mengalami hal yang sama?

“Kakak Sayna!”

Suara itu mengejutkannya, membuat Sayna seperti ditarik dari keadaan setengah sadar dan segera membuka matanya lebar-lebar. Dia menolehkan kepala dan melihat seorang gadis muda berambut cokelat ada di sekitar sini—di kamarnya. Lalu mengembuskan napas keras karena merasa beruntung gadis itu ada bersamanya sekarang, saat pikirannya melayang-layang.

“Ayo, makan dulu.”

“Kenapa nasi? Kakak mau seblak.” Sayna mengeluh. Aroma nasi padang dengan rempah menyengat tercium di hidung, baunya agak sulit dihilangkan untuk beberapa waktu.

“Nanti habis makan nasi aku jajanin seblak. Hayu atuh, makan nasi dulu.”

Inara tersenyum, gadis muda itu sepupu kandung Sayna dari pihak ibu. Dia sedang mengenyam pendidikan sebagai calon pramugari dan sengaja mengunjungi Sayna untuk berlibur. Usia mereka hanya selisih 1 tahun, Inara di bawahnya. Bisa dibilang, gadis itu adalah teman kecil Sayna.

“Kak,” panggil Inara sambil menyuap nasinya sementara sebelah tangan memegang ponsel. “Ibu suruh aku tanya, kenapa nggak mau pulang ke Jakarta? Padahal jarang-jarang juga, terus... aku pikir Kakak mungkin lagi ada masalah.”

Mereka berdua berhenti makan dan saling bertatap.

“Ternyata benar,” ujarnya kemudian, menyambung obrolan.

Sayna berdeham pelan. Dia tahu kalau dirinya pulang, ibunda akan dengan mudah membaca itu semua, dan dia tidak siap. Mungkin di kampus seperti tidak terjadi apa-apa, tapi beban moril yang menggantung di kepala tidak berkurang sedikit juga. Sayna menarik diri, dan semua hal jadi berbeda setelahnya.

“Cerita atuh, nggak bisa bantu juga minimal Kakak lega. Kelihatannya beban banget itu.”

Sayna menoleh ke cermin dan memeriksa kantung mata, mengerikan sekali wajahnya saat ini. Inara dan Sayna memang jarang berjumpa, mereka tidak tinggal di kota yang sama, pun keduanya jarang berkomunikasi via pesan atau apa, hanya saling memantau di sosial media. Tapi jika bertemu, bisa dibilang Sayna selalu memuntahkan segalanya pada gadis itu. Tempat sampahnya. Mereka bisa bicara semalaman, membahas apa saja.

Dan Sayna tidak perlu khawatir, Inara tidak pernah membocorkannya pada siapa-siapa. Gadis itu bisa dipercaya. Mereka dekat sebagai sahabat.

“Buat yang satu ini kayaknya enggak dulu.” Sayna tidak tahu bagaimana memulai obrolan dengan topik mengerikan itu. “Kakak belum siap, De.”

Dede, adalah panggilan kesayangan untuk gadis Sunda dengan wajah seperti boneka itu.

“Ini ada hubungannya sama si Aa kasep, nggak?”

“Kalau ada?”

“Putus aja udah, biar si Aa buat aku.” Inara menyengir lebar, dia tahu kalau Danish adalah pacar Sayna—dari sosial media tentunya, dan terang-terangan mengaku akan jadi pelakor saat hubungan Danish dan Sayna kendor.

“Ambil aja kalau dia mau.” Sayna menantangnya, melipat tangan di dada.

“Dia pasti mau.” Inara mengangguk-anggukkan kepala, percaya diri luar biasa. “Aku punya lima slot, nah nomor dua kosong nih, tiga, empat, lima udah ada.”

“Kenapa yang nomor dua kosong? Ke mana dia?”

“Baru aja meninggal, Kak. Sedih banget kalau ingat.”

Sayna tersedak, kebetulan mereka memang sedang makan dan Inara yang tahu penyebab sepupunya nyaris mati terbatuk-batuk ketika menelan nasi, hanya terkikik kegelian. Dasar gadis tidak punya perasaan.

“De, kamu harusnya masih sibuk tahlilan!” Sayna mengerang.

“Nggak perlu, Kak. Dia Hindu.” Gadis itu terkekeh ringan. “Tiga harian setelah kabar meninggalnya aku dengar sih, galau banget, Kak. Aku nangis terus siang malam, tapi sekarang udah mendingan. Aku siap kalau si Aa kasep mau menggantikan.”

“Kenapa meninggalnya?” tanya Sayna tak terpengaruh candaan gadis itu.

“Bunuh diri.”

“Hah?”

“Katanya sih gitu.”

“Udah berapa lama?”

“Kayaknya... seminggu.”

Seminggu dan dia sudah siap cari yang baru.

Sayna bergerak sambil mengelus rambut cokelat Inara yang selalu terlihat indah sejak mereka kecil dulu. Dia bisa melihat kesedihan di mata gadis itu, hanya saja Inara memang bukan orang biasa. Dia pintar membunuh perasaannya.

“Danish pasti mau kalau pelakornya kayak kamu,” bisik Sayna pelan. Aura di udara kembali sendu kala mengenang Danish di dalamnya. Dia masih belum bisa bertatap muka dengan pemuda itu.

“Iya, udah makanya siniin kalau udah nggak mau.”

Sayna tersenyum, menjauhkan tubuh usai mengacak rambut sepupunya. Inara terlahir lebih cantik dari Sayna, semua orang mengakuinya. Jika Sayna didefinisikan seperti boneka atau barbie hidup, maka Inara lebih dari itu.

Kalau Danish bilang wajah Sayna agak bule, maka Inara lebih bule lagi. Sayna mungkin putih, tapi Inara jauh lebih putih, hidungnya bangir sementara hidung Inara lebih bangir lagi, Sayna punya kornea yang cokelat, milik Inara lebih cokelat lagi. Dia seperti Sayna dalam versi yang lebih ter-upgrade.

Bukan hal aneh ketika pemuda yang mendekati Sayna berbelok pada Inara begitu mereka mengenalnya. Entah kalau Danish, semoga saja tidak.

“Kakak agak tertekan sama tugas-tugas kuliah.” Sayna buka suara setelah diam-diam memperhatikan wajah sepupunya yang paripurna. “Beberapa hal cenderung kasih pilihan yang menyulitkan.”

“Manajemen coping udah nggak work lagi?”

Gadis itu terkekeh. Inara hafal sekali, di awal-awal kuliah dulu, Sayna sering bilang jika tingkat stres mahasiswa kedokteran telah diatasi dengan metode manajemen coping.

“Ini di luar manajemen coping.” Keduanya selesai makan, Inara memilih menyingkirkan bungkusan nasi Padang yang belum dihabiskan. “Apa pendapat kamu, De, soal mahasiswi yang jual diri ke dosen demi nilai dan kelulusan?”

Alis gadis itu berkerut. “Nope,” jawabnya sambil menaikkan bahu.

“Gimana image mahasiswi itu di mata kamu?”

“Selama dia baik sama aku, nggak ada hubungannya dia mau ngapain sama dosen demi nilai-nilainya itu.”

Inara adalah si jago pura-pura tidak tahu.

“Kamu nggak kaget Kakak nanya gini?”

Dia menggeleng. “Kakak kan cantik, wajar aja misal ada dosen yang nawarin gitu.” Gadis itu mengatakannya sambil tersenyum. “Tapi pilih-pilih, ya. Sama yang muda dan ganteng atuh. Hahaha.”

Sayna ikut tertawa mendengar suara tawa sepupunya. Dia belum tahu saja seperti apa penampakan para Professor di kelas Sayna.

“Kak,” panggil Sayna sambil menatapnya. “Nggak ada yang boleh menghakimi apa pun yang Kakak lakukan, atau yang orang lain lakukan ketika kita nggak pernah ada di posisi itu. Semua orang benar untuk alasan mereka masing-masing. Tapi nggak semua orang bisa membenarkannya. Benar atau salah, itu cuma sekadar persepsi.”

“Tapi nggak pernah ada alasan masuk akal kenapa harus melakukan hal-hal murahan hanya demi sebuah nilai, De.”

“Bahkan orang menjual diri hanya karena mereka kesepian, bukan cuma butuh uang untuk makan.” Inara mungkin harusnya jadi mahasiswa jurusan psikologi, bukannya bercita-cita jadi pramugari. “Dan nilai Kakak itu berharga, kuliah adalah sebagian besar hidup Kakak. Ada usaha dan doa mati-matian di sana. Jangan disepelekan, jangan bilang hanya demi sebuah nilai. Jangan mengecilkan hal yang sebenarnya besar dan mati-matian kita perjuangkan. Kakak di sini, merantau sendiri, jauh dari orangtua, karena itu salah satu alasannya.”

Sayna menangis, tanpa dia ketahui apa penyebabnya. Dia merasa bersalah meski Inara terdengar membela. Sayna tetap merasa kotor dan keji pada semuanya, walau tidak ada yang menaikkan telunjuk untuk menudingnya.

Pasalnya, semakin dia dimengerti, semakin besar rasa bersalah itu melahap dirinya sendiri.

“Itu salah, De, jangan kasih kakak pandangan untuk cari pembenaran.”

“Aku juga nggak bilang itu benar.” Inara dengan cepat menyangkal. “Aku cuma mau Kakak nggak bergulung di situ aja, Kakak pasti punya alasan, Kakak tahu itu sebuah kesalahan. So what, kan? Aku nggak perlu repot mengingatkan Kakak, aku ke sini buat kasih dukungan, biar Kakak semangat lagi, bangkit lagi. Setiap orang punya sisi gelap mereka masing-masing, but you’re more than you think. Semangat, Kak. Nggak apa-apa sesekali kita keliru dan salah ambil keputusan.”

Sayna tersedu-sedu sambil memeluk sepupunya yang notabene berusia satu tahun lebih muda. Dia ingin sekali diyakinkan bahwa orang seperti dirinya masih berhak mendapat kesempatan.

Dan Inara, tanpa tahu dengan jelas apa yang menimpa Sayna sudah mengatakan lebih dari yang ingin dia dengar. Sayna butuh diyakinkan, dia ingin kembali pada hidupnya yang semula tapi masih sering merasa tidak pantas ada di sana. Sayna sudah berbeda karena telah melakukan hal kotor dengan Giovanni, dan itu membuatnya sangat terbebani. Dia masih merasa belum siap untuk kembali, terutama pada hubungannya dengan Danish.

“Uh, kakak nggak bisa...” Gadis itu menggugu dalam tangisnya. “Nggak punya muka lagi...” Tapi Sayna masih sangat menyayanginya. “Kalau dia tahu, dia pasti benci sama kakak.”

Takut kehilangan itu lumrah terjadi. Sayna tahu bagaimana rasanya. Namun takut memiliki karena merasa dirinya tidak pantas lagi, mengerikan sekali.

Dia takut memiliki Danish lebih lama daripada ini.

“Kak,” Inara mengusap punggungnya. “Setahu aku, saat pasangan kita membuat kesalahan, yang kita benci dari dia bukan orangnya, tapi kesalahannya. Kakak jangan menutup diri, kalau Kakak merasa bersalah, tebus kesalahannya, bukan begini, apalagi pergi.”

Tangisnya pecah semakin keras. Harusnya Sayna tidak bertemu sepupunya hari ini, atau minimal dia harusnya tidak cerita apa-apa pada gadis itu. Sayna merasa lega, sekaligus tidak pantas karena Inara tampak memihaknya, walaupun itu memang yang dia inginkan.

Sayna menutup diri, menganggap seluruh dunia maupun orang yang mengenalnya tengah memalingkan muka, memandangnya hina. Kenapa Inara tidak? Dia bahagia, tapi juga tidak suka.

“Duh, air matanya banyak pisan.” Inara terkekeh sambil mengusap wajah Sayna yang basah. “Mukanya jadi jelek gini kayak bebek, Kak. Untung air matanya bening, nggak ada lunturan eyeliner atau maskara.”

Inara sedang berusaha menghiburnya.

“Kakak tahu kenapa air mata warnanya bening?”

“Ke..napa?” Sayna balik bertanya.

“Kalau warna hijau namanya air matcha. Hehe.”

“Nggak lucu.”

Namun mengatakan hal itu, Sayna mengukir senyum sembari mencubit hidung adik sepupunya yang kelewat mancung. Dia merasa agak lega, meski merasa berdosa setelahnya. Sayna seorang pendosa tidak boleh merasakan kelegaan seperti itu. Dia harus menebus kesalahannya.

“Eh, kata Teh Ayu ada tamu di lobi. Tunggu ya, aku tadi pesen seblak delivery.”

Sayna mengangguk dan membiarkan Inara turun ke lobi. Bercerita pada orang yang tepat memang solusi yang dibutuhkannya saat ini. Meski Inara mungkin tidak membantu dan tidak mengubah sesuatu.

Sementara itu Inara berlarian menuruni anak tangga di gedung kos mewah milik sang sepupu. Heran sekali kenapa kurir pengantar seblak tidak menghubunginya dulu dan malah melapor pada resepsionis sebagai tamu. Dan begitu sampai, yang ditemuinya bukan kurir seblak atau semacam itu. Justru orang asing, orang yang tidak pernah ditemuinya secara langsung.

“Sayna ada?” tanyanya tanpa basa-basi. Kontan saja gadis itu mengangguk. “Dia sehat, kan? Saya ke sini karena dia nggak respons telepon dan pesan, udah hampir dua mingguan.”

Mengingat cerita kakak sepupunya tadi, Inara tahu kenapa Sayna melakukan itu.

“Sehat kok, A. Mau ketemu langsung?”

“Kalau boleh.” Orang itu berdiri sigap dari tempatnya duduk, buru-buru meraih ransel dan ponsel yang tergeletak di kursinya. “Oh, saya Danish. Kamu siapa?”

“Inara.” Gadis itu mengulurkan tangan sambil tersenyum. “Pacarnya Kak Sayna ya, A?”

Danish mengulum senyum. “Iya. Salam kenal ya, Inara.”

“Aku sepupunya Kakak,” ucap gadis itu percaya diri. “Aa kalau nanti putus sama si Kakak, jadi pacar aku aja, ya? Aku udah bilang tadi, kata Kakak sok aja ambil kalau dia mau. Aa mau nggak sama aku?”

Hampir dua minggu bermuram durja karena kepikiran Sayna, baru hari ini Danish bisa tertawa lepas. Inara terlihat polos, ramah tapi nakal dan lucu.

“Serius kamu sepupunya?” tanya Danish tak langsung percaya saat mereka meniti anak tangga.

“Serius. Aku sama Kakak tuh cuma beda setahunan, ibunya Kak Sayna sama papaku kakak beradik kandung. Kami kurang mirip, ya?”

Danish terkekeh, bukan kurang mirip lagi, mereka hampir tidak ada mirip-miripnya. Inara mungkin jauh lebih cantik, tapi Sayna tetap membuat Danish jatuh cinta. Jadi dia tidak tergoda.

Berhubung kamar Sayna letaknya di lantai dua, tidak perlu waktu lama untuk berjalan sampai ke sana. Danish sebenarnya bisa langsung masuk, tapi dia takut Sayna tidak mau diganggu atau sedang tidak di tempat. Dia tidak mungkin masuk ke kamar tanpa izin pemiliknya.

“De—”

“Aku bawa yang lebih hot daripada seblak.”

Sayna mematung, saat suara pintu berbarengan dengan suara sepupunya menyahut. Gadis itu bersama seseorang, orang yang setengah mati dirindukannya, orang yang juga sedang dihindarinya.

“Gue janji nggak akan nanya apa-apa.” Danish memulai, melewati sapaan yang seharusnya, mengendap-endap berjalan ke arah Sayna.

“Nish...”

“Kangen, Sayna...”

Tanpa aba-aba—melupakan Inara yang juga ada di sana, tanpa melepas ransel atau sepatunya, Danish bergegas mendekati Sayna, kemudian langsung memeluknya. Dia lupa pada semua, pada hal-hal yang seharusnya, pada logikanya.

Danish hanya rindu, dan begini cara dia menunjukkannya.

Danish hanya ingin memeluk Sayna, dan tidak membiarkan gadis itu lepas atau pergi dari pandangannya lagi. Tidak. Hampir dua minggu dia merasakan itu sendiri.

“Uhm... aku pamit dulu.”

“Jangan jauh-jauh.”

Walau tubuh gadis itu gemetar hebat dalam dekapannya, tapi dia masih sempat mewanti-wanti sang sepupu. Danish tersenyum, menambah erat pelukannya pada Sayna, sekaligus memberi izin pada Inara untuk keluar dari sana.

“De, jangan malam-malam pulangnya...”

“Iya.”

“Jangan—”

“Saya nggak nginap, Inara. Kamu jangan jauh-jauh dari sini, ya. Kami cuma butuh waktu berdua sebentar.”

Inara menyengir senang sebelum menutup pintu kamar Sayna. “Kalem we atuh kalian. Aa kasep kalau putus sama Kakak ada aku, ya. Tenang aja.”

Gadis itu mengedip genit sebelum benar-benar hilang dari pandangan. Dan meski sedang tersedu sedan, baik Danish maupun Sayna tertawa mendengar Inara bicara begitu barusan.

“Kalian beneran sepupuan?” tanya Danish memecah kebisuan, Sayna hanya mengangguk, tidak mengeluarkan suara selain sisa-sisa isakan. “Bisa beda banget.”

“Dia lebih cantik, kan?”

Danish terkekeh. “Iya,” jawabnya. “Tapi gue tetep paling suka sama Sayna Lalisa, bukan Inara, Anya, Dya atau yang lainnya.”

Sayna menyuruk di dadanya, ada hangat dan lembab sekaligus di sana, air mata gadis itu merembes di pakaian yang Danish kenakan.

“Inara itu someah, kalau kata orang Sunda. Banyak yang suka. Anaknya cantik pula.”

Danish setuju. “Pantes selama dua tahun pacaran nggak pernah dikenalin, lo takut gue kecantol sama Inara, ya?”

Mata Sayna bengkak, hidungnya merah, wajahnya basah, dia bertatap dengan Danish yang tengah melebarkan bibir dengan penuh pesona, seperti biasa. Dadanya berdebar, dan selalu suka debaran itu kendati mereka bukan lagi pasangan baru. Sayna merindukannya, sebanyak yang tidak bisa diungkapkannya.

“Nish, maaf...”

Siapa yang tidak luluh, ditatap seperti itu oleh orang yang paling dicintainya sejagat raya?

“Gue maafin,” balas Danish kemudian.

Demi apa pun, dia tidak ingin tahu. Seperti apa kesalahan Sayna, Danish akan memaafkannya, walau hal itu fatal sekalipun. Sebab hidup tanpa Sayna mengisi hari-harinya jauh lebih mengerikan, Danish tidak mau lagi merasakan hal itu.

“You desserve better, Nish.”

“Better than you?”

Sayna mengangguk, tapi tangannya terus mengerat hingga tubuh mereka makin merapat, erat. Kontradiksi dengan ucapannya itu.

“Lo punya banyak alasan buat pergi, selesai sama hubungan ini.”

Sayna benar, mereka pun tahu itu. Entah sejak kapan semua terasa rapuh. Terutama setelah gadis itu menghilang dan tidak mau dihubungi atau ditemui akhir-akhir ini.

“Tapi gue selalu punya satu alasan buat bertahan.” Danish menangkup wajah gadis itu, melayangkan kecupan sekilas di bibirnya yang bengkak dan bergetar. “Gue cinta sama lo, Sayna. Dan siapa pun yang datang, even dia ratusan kali lebih baik daripada lo, gue nggak peduli, gue nggak mau. Kalau bukan Sayna orangnya, gue nggak akan terima.”

Apa Danish akan tetap seperti ini, kalau tahu yang sebenarnya?

Kenapa Sayna ragu?

Mungkin cinta Danish memang sebesar itu, tapi logikanya juga pasti bekerja.

“Nish, gue mau ngomong sesuatu.”

To be Continued.

Bab terkait

  • Miss Antagonist    Nothing Like Us

    “Hati-hati, ya. Titip salam buat Imo, kamu jangan bandel, jangan pacaran terus, pacarnya nggak boleh banyak-banyak, denger nggak?”“Iya.”Inara menyengir dengan rambut cokelatnya yang sengaja Sayna selipkan di belakang telinga. Dia semakin menggemaskan ketika kupingnya terlihat dengan ukuran daun telinga yang lebih lebar dibanding seharusnya.“Naik bus yang mana?” Danish menimbrung obrolan. Pagi itu mereka telah sampai di terminal Cibiru untuk mengantar Inara pulang ke Sumedang. Banyak bis antar kota dan minibus elf berjejer di sana. Rata-rata jurusan Bandung – Cirebon – Majalengka, entah yang mana satu milik Inara.“Aku mau naik Buhe!” Gadis Sunda berwajah bule itu menunjuk salah satu nama armada dengan mayoritas minibus berwarna merah tua keunguan, Buhe Jaya. “Biar kayak terbang dari Bandung ke Sumedang.”“Ih, jangan!” Sayna segera melarangnya. “Naik b

  • Miss Antagonist    Nothing Like Us 2

    Kemesraan ini, janganlah cepat berlalu...Kemesraan ini ingin kukenang selalu...Hatiku damai, jiwaku tenteram di sampingmu...Hatiku damai... jiwaku tenteram bersamamu...“Aduh, suaranya ngajakin berumah tangga ya, Teh.”Sayna terkikik mendengar komentar ibunda saat mereka menonton Danish dan Chandraka tengah berkaraoke ria. Suara mereka menggema, memenuhi ruang keluarga.Keduanya sampai di Jakarta siang menjelang sore, Danish langsung dicegat, tidak boleh pulang cepat, makan bersama dengan keluarga Sayna dan melakukan hal menyenangkan dengan mereka. Ikrar juga ada di sana, duduk di karpet lantai sambil memegangi senter dan menggoyangkannya ke kiri dan kanan bergantian, bertingkah seolah tengah menonton live music penyanyi papan atas.“Tapi ibu tadi cuma bercanda,” ralat Linda segera, melihat putrinya tidak memberi reaksi apa-apa. “Ibu sangat berharap Teteh jadi sama Ninish, tapi nanti, ya? Selesai c

  • Miss Antagonist    Janggal Sekali

    Pramudya mengerjap pelan saat merasakan cahaya yang masuk lebih daripada satu jam lalu. Sekarang sudah lebih terang, tirai kamarnya terbuka lebar, pasti salah satu dari dayang-dayang Dinara yang melakukannya. Dia tidak suka. Tapi apa boleh buat, ini bukan rumahnya, dia harus ikut peraturan yang ada di sana.“Lho, ada kamu toh?” Sapaan pertama dia dengar dari Pradnya ketika membuka pintu kamar.“Kamu ngapain? Bukannya jalan sama pacarmu?”“Besok aku ke Solo,” jawab Pradnya acuh tak acuh. “Kamu kok tumben nginep? Bukannya Sabtu jadwal sama Mas Gum?”Dya menyeringai, dia bahkan lupa kalau urutan kencannya di hari keenam adalah Gumelar, tapi Anya punya ingatan yang lebih bagus, dia sering tak sengaja mengingatkan itu.“Aku habis dari Puncak, tapi Danish ngadu ke Mas Arya dan aku disuruh pulang malam-malam. Baru sampai sini jam 2 pagi.”Anya terkikik, wajah saudarinya saat mengisahkan it

  • Miss Antagonist    Janggal Sekali 2

    “Ngapa lo garuk-garuk helm, Mam?”“Pala gue gatel.”“Pala lo gatel terus kenapa helm-nya yang digaruk? Coba dibuka dulu biar afdol garuk-garuknya.”“Heh, emang kalau pantat lo gatel lo harus banget garuk-garuk sampe buka celana? Enggak, kan?”Danish memutuskan untuk tidak bertanya lagi. Hamam jelas marah karena insiden pulangnya Pramudya tempo hari. Mereka baru sampai di Puncak tapi Dya buru-buru kembali ke Jakarta lagi setelah Danish mengadukannya pada Arya. Hamam yang merasa bertanggung jawab karena mengajaknya jelas ikut pulang, tidak jadi ikut pesta dengan teman-teman.Dan sekarang Hamam marah padanya, itu ulah Danish memang, tapi dia juga tidak tahu kalau Arya sampai meminta adiknya pulang malam itu juga.“Dya?” sapa Hamam dengan mata berbinar begitu dia masuk ke laundry dan menemukan gadis itu di lobi. “Kok ada di sini?”“Dia minta ketemu sama lo sebel

  • Miss Antagonist    Toxic

    “Gue beli ini di jalan tadi.” Danish menyodorkan sekotak rujak Thailand kekinian yang isinya hanya terdiri dari jambu biji non biji—maksudnya apa sih?—serta bubuk cabai dan bumbu manis asin seperti larutan oralit pedas.“Kayaknya seger, ya? Bandung panas banget hari ini, dan gue pusing.”Sayna menerimanya dengan senang hati kendati yang dia pesan tadi hanya sebungkus roti dan selai srikaya, perutnya protes minta diisi, Sayna juga kurang tidur karena harus latihan mati-matian untuk ujian tengah semesternya.Kehidupan di kampus tidak bisa dibilang normal-normal saja. Sayna harus berusaha dua kali lebih keras dibanding sebelumnya, jauh berbeda saat di mana ada Gio yang membantunya. Terlebih kabar simpang siur terdengar di seantero fakultas tiga lantai itu. Kabar dengan cepat menyebar, Gio nyaris tidak melakukan apa-apa, Sayna tahu, dia sibuk coass.Namun teman-temannya, para pendukungnya, orang yang simpati padanya,

  • Miss Antagonist    Bertahan atau Memisahkan?

    Danish pasti sudah gila. Dia baru saja mengambil keputusan cepat tanpa memikirkan apa konsekuensinya. Mengambil jeda dengan Sayna? Memangnya bisa? Berapa lama? Berapa waktu yang dibutuhkannya? Dia sendiri tidak tahu. Pasti karena luka di kepala, Danish jadi mengambil keputusan gila, seenaknya.Dia bahkan tidak memikirkan bagaimana keadaan Sayna, seperti apa perasaannya. Danish pergi setelah mengatakan hal yang ingin dia lakukan. Apakah itu benar? Dia juga tidak tahu. Yang jelas tadi itu, Danish butuh waktu, dia harus tenang. Danish butuh ruang, dia hanya memikirkan diri dan perasaannya, lupa pada Sayna.“Duh, Dek... bikin panik aja.”Melia tampak panik sejak Danish pertama datang. Dia tidak sanggup menyetir sendiri dan menghubungi kakak iparnya untuk minta jemputan. Kemudian Arya Ranajaya dengan banyak sekali kekayaan mengirimkan sebuah helikopter untuk menjemput Danish di Hotel Singosari Bandung, dia menunggu di sana. Mobilnya diantar oleh salah sat

  • Miss Antagonist    Bertahan atau Memisahkan? 2

    Pradnya bicara menggebu-gebu. Air matanya nyaris jatuh saat mengatakan semua hal itu. Baik, dia dan Danish memang tidak dekat untuk mengaku sebagai sahabat. Tapi Danish adalah keluarga barunya, saudara laki-lakinya, dan Anya sayang padanya. Di keluarga mereka—Ranajaya, pantang sekali ada yang terluka meski hanya seujung kuku saja. Apalagi ini, bocor di kepala. Danish sudah gila kalau masih menganggap ini semua tidak apa-apa.“Gimana keadaan Sayna?” Dya buka suara.Suasana yang cerah dan menyenangkan tadi sudah tidak ada sejak Anya melampiaskan kekesalannya. Anya memang begitu, dia ekspresif, tapi gadis itu baik, dia hanya khawatir pada Danish.“Iya, Nish. Sayna ada yang luka juga?” Hamam menimpalinya.“Ini nggak kayak yang kalian pikir. Gue sama Sayna memang berantem tapi bukan yang pukul-pukulan atau gimana, ini kecelakaan.”“Iya.” Dya mengangguk, berusaha mengerti ucapan Danish, tidak melihat

  • Miss Antagonist    Jeda

    Merasa sudah dewasa, Danish jarang sekali berbagi hal-hal dengan ibunya. Namun untuk kasus seperti kecelakaan ini, dia tidak bisa. Lukanya menganga, tetap dipertanyakan andaipun dia rahasiakan. Dan itu sebuah petaka lain, sebab Melia membuat kehebohan yang berlebihan, mulai dari Danish harus izin ke kampus dan tidak masuk kelas sampai dia pulih, hingga mengabari teman-temannya yang jauh di luar kota.Butuh waktu yang pas bagi Aryan untuk menghubunginya, tapi Angga yang tinggal dan kuliah di Yogyakarta menelepon Danish lebih cepat dari yang ia duga. Angga, selain menanyakan bagaimana kabar dan separah apa luka yang Danish terima, juga menggosip perihal pacar terbaru Melia.“Sayang banget, gue kira Tante Mel bakal jadi ibu sambung gue dan kita jadi sodara, Nish.” Angga terdengar sedih. “Papa jadi duda udah lama, nggak kawin-kawin, gue kira nunggu Tante Mel, tapi kan nyokap lo nggak bakal nikah dulu sampai anak-anaknya mandiri. Berarti Tante lagi nunggui

Bab terbaru

  • Miss Antagonist    Ending Sayna

    Sayna sekarang tahu bahwa Arunika merupakan putri sulung sekaligus putri satu-satunya dari Mark Tuan, seorang pria yang lahir dari wanita asli Sunda dan ayahnya berdarah Tionghoa. Pantas saja dia punya perawakan yang berbeda dengan para pribumi, meski dipanggil Gege oleh adiknya, tapi keluarga mereka sangat meninggikan kebudayaan dan adat Sunda. Mungkin karena ibu kandungnya memiliki latar belakang yang kental dengan budaya, kabarnya mereka adalah keluarga pengelola museum adat Sunda di Subang.Mark dan keluarganya menetap di Lembang, daerah Bandung yang juga dekat ke arah Subang. Dia bekerja sebagai direktur operasional perusahaan farmasi keluarga yang dikepalai oleh kakak kandungnya sebagai lulusan apoteker handal. PT Sagara Purnama adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri kosmetik dan kontrak manufaktur pertama di Subang. Itu sekilas yang Sayna tahu dari hasil pencariannya di internet mengenai latar belakang pria itu.“Sebenarnya saya ke rumah sakit

  • Miss Antagonist    Harta, Takhta dan Duda Muda

    “Sayna, Adek koas favorit Bunda, sini-sini.” Sayna menyengir pasrah ketika salah satu perawat senior memanggil namanya sambil melambai-lambaikan tangan. Sudah pasti dia akan dapat tugas tambahan. Mereka bilang, anak-anak koas adalah keset kaki karena acapkali diperlakukan semena-mena selama menjadi sukarelawan di rumah sakit. Tak jarang yang memperlakukan mereka tidak manusiawi adalah rekan-rekan seniornya sendiri. Di stase ini tentu Sayna tidak terlepas dari orang-orang dengan profesi dokter, perawat, hingga bidan dan lain-lainnya. Namun nasib anak-anak magang dari angkatan perawat dan kebidanan jauh lebih mengenaskan. Tak jarang Sayna yang harus membimbing mereka saat ada waktu senggang. “Kamu ke perina, ya. Banyak yang mau aterm hari ini.” “Baik, Bu.” Sayna menurut dengan mudah saat kepala perawat favoritnya meminta bantuan untuk membuat dia berjaga di ruang perina dan menunggu ibu-ibu yang akan melahirkan bayi. Ruang itu terhubung

  • Miss Antagonist    Arunika Yang Baru

    “Dede enakan? Boleh Ayah minta sun?” “Boleh.” Gadis kecil berusia dua tahun lebih itu mendongak untuk mengecup wajah sang ayah. “Napa?” “Nggak papa, ayah cuma mau minta sun aja. Kangen sama Dede.” “Hai, Nika...” sapa Sayna ramah, meski pada kenyataannya Arunika yang ini lebih suka pada Rafika saat mereka berkunjung untuk memeriksa keadaannya. “Udah minum susu belum, Sayang?” “Nggak mau.” Dia menggeleng lemah. Gadis kecil itu merengut, merapatkan tubuhnya pada sang ayah. “Sus, ini bisa nggak dititip sebentar? Nanny lagi makan siang di kantin, saya ada keperluan yang harus dibeli ke luar.” Sayna tersenyum dan mengangguk. “Silakan, Pak. Biar Arunika saya yang jaga.” “Wah, ini Tante susternya hafal nama Dede.” Pria itu bersorak senang. “Tunggu sebentar, ya? Ayah mau beli sesuatu, nanti Dede beli mainan baru deh, mau?” “Nggak mau.” Arunika menggelengkan kepala tanda tak setuju. “Nika mau minum susu sama tante?” tawar

  • Miss Antagonist    Memulai Hidup Baru

    Setelah bulan lalu mengakhiri masa abdinya di stase bedah, yang mana membuat Sayna merasakan pengalaman luar biasa selama berada di sana, mulai minggu ini dia mendapat giliran berjaga di stase anak. Meskipun mengingat perjuangan serta pelajaran yang dia dapat dari stase bedah sangat berharga dan beragam, Sayna lega karena bebas dari sana. Stase bedah memiliki pasien yang banyak, nyaris membludak untuk di-follow up setiap hari. Tapi di sana juga keterampilan Sayna sangat diuji. Kemampuannya menjahit luka semasa kuliah pra-klinik selama 3,5 tahun benar-benar direalisasikan. Sayna bahkan belajar menyunat di stase ini. Dan yang paling berkesan adalah melakukan operasi transplantasi kulit pada pasien luka bakar yang mana kulitnya diambil dari bagian paha dan ditanam ke punggung. Luar biasa, Sayna merasa jadi mahasiswi kedokteran betulan saat itu. Dan semuanya sudah berlalu, Sayna tidak yakin lulus di stase itu karena mahasiswa sepintar Gio saja dulu tidak mampu m

  • Miss Antagonist    Zona Aman

    Anya merasa lebih tenang sekarang, karena meski saudarinya akan merantau ke negeri orang, dia mengantongi izin untuk berkunjung ke tempat Dya belajar sesering yang dia ingin. Setelah melakukan pentas drama di depan ayah dan ibunya, Anya dikonfirmasi akan segera memiliki privat jet miliknya sendiri untuk keperluan pulang pergi melongok Dya di New York. Dan berhubung keduanya anak kembar, tidak adil rasanya jika Ranajaya hanya membelikan untuk salah satu dari mereka saja. Alhasil, Dya yang tidak berminat sama sekali pada benda bisa terbang itu pun harus ikut menerima pemberian orangtuanya. Mau tidak mau.“Aku nanti minta jadwal kamu pokoknya, biar pas kamu free aku ke sana.”Dya mengangguk mendengar permintaan saudarinya itu, sedikit lega karena Anya tampak lebih bersemangat dibanding beberapa hari yang lalu. “Kamu baik-baik, ya.”“Aku yang harusnya bilang gitu.” Anya berguling dari posisinya saat ini dan telungkup untu

  • Miss Antagonist    Berhubungan Badan

    “Lo masih mau di sini?” Suara Danish menyadarkannya kembali. “Kalau mau sama Hamam nggak papa sih.”“Eh, nggak, Nish, nggak! Gue nggak enak juga kalau harus ke kamar Dya.” Hamam salah tingkah dan mengusap tengkuknya gelisah. “Dya sama Danish aja, ya? Biar Mas Hamam di sini jagain Anya, oke?”“Oke.”Pada akhirnya Dya pasrah saat Danish membantunya mengalungkan tangan dan berjalan tertatih menuju villa tempat mereka menginap. Sementara Hamam, Anya, Arvin, Rafid dan Herdian tinggal untuk menikmati berbagai permainan yang disuguhkan. Namun setelah dua orang itu menjauh, lima anak muda itu justru tidak meneruskan niat mereka semula.“Gila, ya. Untung lo masih ada otaknya, Mam. Kalau lo ngotot bawa Dya tadi kebayang gimana patah hatinya Danish.” Herdian membuka obrolan.“Iya, kasihan gue kalau dia harus patah hati dua kali dalam waktu dekat.” Pendapat Rafid menimpali duga

  • Miss Antagonist    Pesta Perpisahan

    “Sial, banyak banget debu jalanan. Tutup mata, Anya!”“WAAAA....”Danish langsung mengerem sepeda motor yang dia kendarai mendengar jeritan Hamam di sebelahnya, temannya itu nyaris oleng sebelum berbelok ke kiri jalan dan berhenti.“Kenapa sih?” tanya Danish keki. Merasakan pegangan tangan Anya di pinggangnya melonggar perlahan. Mereka sedang berwisata dan menaklukan medan jalan yang berdebu dan terjal untuk sampai ke tujuan.“Gue kaget, Nish. Pas lo teriak nyuruh nutup mata itu gue refleks nutup mata juga, padahal kan gue lagi nyetir, mana bonceng Dya di belakang. Kalau Dya cedera nyawa gue bisa melayang.”Dya dan Anya tertawa, mereka kira apa. Dya yang duduk di belakang Hamam bahkan bingung sendiri saat pemuda itu mulai tidak stabil membawa kendaraannya lalu berhenti tiba-tiba.“Maaf ya, Dya.” Hamam merasa sangat berdosa. Ini harusnya jadi liburan yang paling berkesan karena Dya a

  • Miss Antagonist    Memulai Hubungan Baru

    Menghabiskan dua malam di Jakarta bersama Giovanni yang diizinkan menginap oleh orangtuanya, Sayna melakukan perjalanan kembali ke perantauan. Bukan Bandung, kali ini dia harus ke Majalengka karena sedang sibuk KKN di sana. Agak sedih karena Sayna tidak bertemu dengan adiknya sama sekali berhubung anak itu sedang sibuk pendidikan, dia juga tidak tahu kapan bisa pulang ke rumah lagi, bisa dipastikan Sayna akan lebih sibuk dalam beberapa bulan kedepan.“Semangat dong!” Gio tersenyum menggoda, paham kalau gadis cantik yang duduk di sebelahnya itu tengah diserang homesick musiman yang biasa menyerang para mahasiswa KKN. “Gimana aja program kalian?”“Programnya banyak,” keluh Sayna pelan. “Ada satu anak yang ngeselin dari teknik sipil, aku sering banget nahan bogem kalau dia mulai ngoceh terus, Kak.”Giovanni mengacak rambut pendek Sayna dengan sebelah tangan. “Namanya dinamika kelompok, hadapi aja, ya. I

  • Miss Antagonist    Berjumpa Arunika

    “Om... tolong!”Irya sedang bermain sandiwara dengan pamannya.“Om! Aku syakit!”Danish tidak menggubris.“Om, tolong aku!”“Aduh, berisik banget!” Danish menggerutu lalu berjalan mendekati bayi yang usianya entah berapa itu. Irya terlalu pintar untuk anak seusianya. Sibuk berakting demi mencari perhatian. Lihat saja, dia membuka lemari penyimpanan di kamar Danish lalu memasukkan sebelah tangan ke dalamnya dan menutup pintu lemari itu kemudian menjerit seolah sangat kesakitan.“Apa-apaan sih, Den?” tanya Danish keki. Kelakuan Irya kadang sebelas dua belas dengan ayahnya. Ada-ada saja.“Hehe, makasih Om!” seru Irya tanpa merasa berdosa atau apa.Danish menggendong anak itu dan menatapnya sambil menyipitkan mata. Tidak ingin dan tidak bisa menebak hal aneh lain yang akan dilakukan oleh Irya. Dia seperti tidak kehabisan ide untuk membuat keributan dan ingin se

DMCA.com Protection Status