Hamam telah mengubah subjek dari “Berkat Doa Ibu” menjadi “HBD RAFID”
Rafid: Selamat ulang tahun buat gue...
Arvin: Ikan hiu makan tomat, hahaha tua amat!
Hamam: AJG!
Herdian: Heh, dateng-dateng langsung ngomong kasar lo. Jempol tuh dididik dulu ngapa?
Hamam: AJG (Astagfirullah Jangan Gitu)
Danish: Baru tahu gue *laugh
Hamam: Ngumpul kuy, biar bos gue yang traktir.
Danish: TAI!
Hamam: TAI (Tak apa, Aku Ikhlas)
Herdian: Ngarang banget lo, setan *laugh
Arvin: Kuy, kapan kumpul? Pada ke Bandung aja, gue siapin villa. Kalian berangkat bareng Danish.
Rafid: Gue sih lagi pengen dinner dulu sama cewek gue minggu ini, tapi masalahnya gue nggak ada duit. Sue banget ultah akhir bulan.
Hamam: Elah, Fid, lo kayak nggak punya temen aja. Tenang, gue bantuin, Bro!
Hamam: Biar gue yang ngajak cewek lo dinner minggu ini kalau lo nggak ada duit.
Rafid: Tai.
Herdian: Duit dari mana lo, Mam?
Hamam: Kasbon lah sama bos gue (kiss Danish)
Arvin: Najis *laugh
Danish: Udah tua ya lo, Fid. Gue sih ultahnya tahun depan. Party di Bandung aja, gue bayarin semua, Arvin siapin villa. Akhir minggu ini, yak.
Rafid: Boleh bawa cewek gue?
Arvin: Boleh. Tapi di villa gue nggak boleh ngewe.
Hamam: Danish mundur otomatis
Hamam: Eh, nggak jadi deng. Dia sama Sayna lagi marahan. HAHAHA.
Danish: Setan.
Herdian: Dua puluh tahun, Fid. Lo sekarang seumuran sama kita semua, kita udah kepala dua. Welcome ke dunia dewasa muda, jangan disia-siakan masa berhargamu, berusahalah sekeras mungkin, karena time is waktu.
Rafid: Time is money, Herdian.
Herdian: Nah, maksud gue gitu.
Arvin: Geble
Arvin: Siapa lagi yang mau bawa cewek? Nish, lo bawa Sayna?
Hamam: Bawa lah, mana mungkin enggak sih.
Hamam: Nish, gue izin bawa Dya, ya? Hehe.
Danish: Nggak usah ngide lo, Mam! Party si Rafid bisa jadi ajang tawuran kalau Sayna lihat gue sama Dya barengan.
Hamam: Dya bareng gue! Gue kekepin, gue iket kalau perlu biar kalian nggak deket-deket!
Arvin: Kayak bakal sudi aja itu si Dya.
Herdian: Tahu tuh, pedenya naik setengah kilo habis dikasih hape baru sama si Dya.
Rafid: Inget, Mam, dia cuma ngasih hp bukan ngasih hati.
Danish: Dya kayaknya sih oke aja kalau tahu gue ada di sana *sunglasses
Danish: Tapi, Mam, jangan minder ya kalau lo disangkain supirnya dia.
Arvin: Mulut lo, Nish! Si Hamam cakep tahu!
Rafid: Cakep kalau dilihat dari sedotan.
Hamam: Nggak apa-apa, sebenarnya itu pujian. Cakep kalau dilihat dari sedotan.
Hamam: Lah, dilihat dari sedotan aja cakep, gimana kalau dilihat langsung, kan?
Arvin: Tai! bisaan ngelesnya kek bajaj
Herdian: Nggak papa jelek yang penting sombong, Mam.
Hamam: *jempol
Danish: Gue nggak bawa Sayna kayaknya.
Arvin: Marahan kalian?
Hamam: Ho’oh, biasalah, Vin, masalahnya orang-orang LDR. Miskomunikasi.
Herdian: Miskomunikasi adalah ibu dari segala masalah.
Rafid: Tul!
Hamam: Terus ayah dari masalah siapa?
Danish: Maskomunikasi.
Arvin: anjeng! *laugh
Rafid: Gue keselek ludah sendiri *laugh
Herdian: Danish masih ada goblo-goblonya
Hamam: Nggak usah pada ngehina bos gue, woy!
Arvin: Oke, oke sori. Nish, ngapa nggak pake kesempatan nanti sebagai ajang ngajak Sayna baikan? Kita bantuin deh, gue rela megangin spanduk forgive me segede gaban depan kosannya.
Herdian: Gue siap jadi seksi dokumentasi, Nish.
Rafid: Gue bisa muterin instrumen yang keren pas lo berlutut sambil bawa bunga.
Hamam: Gue bantu doa aja.
Hamam: Gue sih nggak berani macem-macem sama Sayna, ya.
Danish: Nggak usah mancing keributan deh mendingan.
Hamam: Bener. Sayna itu galak, suka nyeruduk kayak banteng. Ngeliat Danish bawa bunga mawar merah bukannya tunduk malah ngamuk
Arvin: HAHAHAHA
Herdian: Tapi setahu gue banteng itu buta warna deh, nggak bakal dia nyeruduk yang pegang warna merah-merah gitu. Dia cuma nyerang kalau ada yang mancing aja.
Rafid: Kasihan ya, lagi enak-enak mancing diseruduk banteng.
Hamam: Untung pas gue mancing di empang nggak ada banteng, adanya kebo.
Herdian: Tai! Ini gue yang salah ngomong apa otak lo berdua yang masih pentium satu?
Arvin: *laugh
Danish: Kalau si Dya tahu kelakuan Hamam yang begini, gue yakin dia nggak bakal mau kita ajak pergi *laugh
Hamam: Heh, nggak usah ya lo bawa-bawa Dya dalam kasus ini!
Hamam: Dya tahu kok gue emang nggak sempurna. Tapi seenggaknya kalau habis nyeduh kntl manis kemasannya langsung gue buang nggak dijilat dulu
Arvin: *laugh
Arvin: Ketikan lo menimbulkan birahi, Mam
Rafid: Gue juga nggak sempurna, tapi seenggaknya gue kalau nuangin kecap nggak pernah zigzag
Herdian: Emang kenapa kalau zigzag, njir? Nggak ada salahnya!
Arvin: Katanya yang nuang kecap zigzag itu tanda orang tidak berpendirian.
Hamam: Serem juga filosofinya.
Herdian: Wih, kok bener sih? Gue gitu soalnya
Rafid: Eh, nggak deh. Lo tegas banget pas dulu jadi ketua kelas.
Arvin: Bener juga sih. Lo nggak usah berkecil hati, Yan. Jangan meremehkan diri sendiri karena itu tugas orang lain untuk meremehkan diri lo.
Herdian: Makasih ya, Nyet! Gue sangat termotivasi.
Hamam: Lo juga, Vin, gue kasih wejangan. Jangan terlalu tulus dalam mencintai Juwi, karena setahu gue si Tulus sibuk nyanyi
Danish: Tai
Rafid: Udahan ah, gue masih ada kegiatan, gini-gini gue masih takut sama Tuhan.
Herdian: Oh iya bener, udah adzan barusan.
Hamam: Alhamdulillah ya kalian. Tapi gue ingetin satu hal, secinta-cintanya kalian pada sang pencipta, jangan pernah ada inisiatif untuk menemui-Nya. Bahaya.
Arvin: Lo bakal diundang masuk neraka jalur prestasi kayaknya.
Hamam: AJG lo, Vin!
Hamam: (Astagfirullah Jangan Gitu)
Kolom percakapan itu berakhir. Danish tidak tahu kalau di usianya yang sekarang dia merasa obrolan dengan teman-teman SMA-nya terasa lucu. Dulu dia sering kesal dan pusing pada dialog tidak berfaedah itu. Sekarang beberapa hal sudah berbeda, termasuk pemikirannya. Dulu Danish bisa berteman dengan siapa saja, tapi begitu dewasa ada seleksi alam yang harus dilewatinya. Ruang lingkup itu mengecil, temannya makin hari berkurang, yang tersisa hanya beberapa.
“Lo kenapa sih? Lagi off bukannya diem di rumah malah pake ke sini?”
Setelah berkutat lama dengan ponsel masing-masing, akhirnya Danish buka suara pada Hamam yang ada di seberang tempat duduknya. Pemuda itu tengah senyum-senyum sendiri sambil memegang gadget baru yang dihadiahkan oleh Pramudya.
Beberapa waktu lalu Dya ulang tahun, lalu dia memaksa Hamam menerima hadiah darinya. Sungguh hal yang aneh, tapi Danish malah takut kalau Hamam semakin terpesona pada Pramudya lalu terperosok dalam hubungan mengkhawatirkan dengannya. Dya kan, fuck girl.
“Bingung gue di rumah nggak ngapa-ngapain,” sahut Hamam cuek. “Pas bangun tidur, gue lihat nyokap sama bokap udah pada sibuk aja, siap-siap mau ke pasar, nggak tega gue, Nish. Akhirnya gue tidur lagi biar nggak kelihatan.”
Danish berdecak jengkel. “Bantuin, Hamam!”
“Ngapain? Gue kan beban orangtua, nggak usah cari muka pake bantu-bantu segala.”
Danish memang harus mengakui kalau dirinya sering kalah berdebat dengan Hamam. “Terserah lo deh, Mam. Tapi pesan gue, ya, selama orangtua lo masih ada, sering-sering deh berbakti ke mereka, kek gue gini contohnya.”
“Najis.” Hamam mengumpat jijik. “Berbakti apaan lo tiap Bu Melia kencan sama Pak Tio dijudesin mulu? Gila apa, ya? Calon bapak lo itu.”
“Nggak, ya!”
“Nggak usah kekanakan gitu deh, Nish. Lo tahu yang sebenarnya gimana.”
Hamam jelas tahu, Tiodore sudah show off ke mana-mana, dia dikenal sebagai pengusaha kaya yang gemar mengimpor barang-barang mewah dan menjualnya pada orang kaya di seluruh pelosok negeri. Relasi pria itu luas sekali, dia dekat dengan banyak klan bangsawan, termasuk Ranajaya asal Surabaya.
“Nish, suatu hari Bu Melia pasti bakal bahas ini, kalau beliau mau berumah tangga lagi, buat temen hidup sih. Gue nggak yakin mereka bakal ngasih lo adik bayi, tapi—”
“Udah, Mam. Gue pusing.”
Hamam hanya menganggukkan kepala dengan takzim. “Pesan gue cuma satu, sebagai anak, lo harus hormati orangtua lo sebagaimana lo menghormati Bapak dan Ibu lo, Nish.”
“Mulai ngaco lo, kan? Balik sana!”
Hamam tertawa, tidak membiarkan Danish jengkel lebih lama, meskipun setelahnya Danish tetap diselimuti pikiran dan kekalutan tak berujung, akhir-akhir ini dia seringkali bertanya-tanya. Kenapa Sayna sebenarnya?
Gadis itu memeriksa bagian bawah tubuhnya yang lengket dan lembab. Lagi-lagi tidak dapat menahan lelehan air mata yang menyeruak. Sebuah pengkhianatan sungguhan telah dia lakukan pada kekasihnya. Dan bagaimanapun Sayna mencoba menyangkal, bukti seperti ini tidak bisa diabaikan. Tubuhnya merespons kegiatan sialan itu dengan benar, menolak kerja sama dengan otak dan akal sehat yang terus merasa jijik saat itu dilakukan.Sayna merasai berahinya sendiri karena merasa jahat dan ingin tubuhnya mendapat lebih saat bersama Giovanni. Bagaimana itu bisa terjadi? Kenapa harus begini? Kenapa tubuhnya harus ingin? Sementara otak dan akal sehatnya tidak menginginkan apa-apa.Apakah ini lumrah terjadi? Apa orang-orang yang diperkosa juga mengalami hal yang sama?“Kakak Sayna!”Suara itu mengejutkannya, membuat Sayna seperti ditarik dari keadaan setengah sadar dan segera membuka matanya lebar-lebar. Dia menolehkan kepala dan melihat seorang gadis muda berambu
“Hati-hati, ya. Titip salam buat Imo, kamu jangan bandel, jangan pacaran terus, pacarnya nggak boleh banyak-banyak, denger nggak?”“Iya.”Inara menyengir dengan rambut cokelatnya yang sengaja Sayna selipkan di belakang telinga. Dia semakin menggemaskan ketika kupingnya terlihat dengan ukuran daun telinga yang lebih lebar dibanding seharusnya.“Naik bus yang mana?” Danish menimbrung obrolan. Pagi itu mereka telah sampai di terminal Cibiru untuk mengantar Inara pulang ke Sumedang. Banyak bis antar kota dan minibus elf berjejer di sana. Rata-rata jurusan Bandung – Cirebon – Majalengka, entah yang mana satu milik Inara.“Aku mau naik Buhe!” Gadis Sunda berwajah bule itu menunjuk salah satu nama armada dengan mayoritas minibus berwarna merah tua keunguan, Buhe Jaya. “Biar kayak terbang dari Bandung ke Sumedang.”“Ih, jangan!” Sayna segera melarangnya. “Naik b
Kemesraan ini, janganlah cepat berlalu...Kemesraan ini ingin kukenang selalu...Hatiku damai, jiwaku tenteram di sampingmu...Hatiku damai... jiwaku tenteram bersamamu...“Aduh, suaranya ngajakin berumah tangga ya, Teh.”Sayna terkikik mendengar komentar ibunda saat mereka menonton Danish dan Chandraka tengah berkaraoke ria. Suara mereka menggema, memenuhi ruang keluarga.Keduanya sampai di Jakarta siang menjelang sore, Danish langsung dicegat, tidak boleh pulang cepat, makan bersama dengan keluarga Sayna dan melakukan hal menyenangkan dengan mereka. Ikrar juga ada di sana, duduk di karpet lantai sambil memegangi senter dan menggoyangkannya ke kiri dan kanan bergantian, bertingkah seolah tengah menonton live music penyanyi papan atas.“Tapi ibu tadi cuma bercanda,” ralat Linda segera, melihat putrinya tidak memberi reaksi apa-apa. “Ibu sangat berharap Teteh jadi sama Ninish, tapi nanti, ya? Selesai c
Pramudya mengerjap pelan saat merasakan cahaya yang masuk lebih daripada satu jam lalu. Sekarang sudah lebih terang, tirai kamarnya terbuka lebar, pasti salah satu dari dayang-dayang Dinara yang melakukannya. Dia tidak suka. Tapi apa boleh buat, ini bukan rumahnya, dia harus ikut peraturan yang ada di sana.“Lho, ada kamu toh?” Sapaan pertama dia dengar dari Pradnya ketika membuka pintu kamar.“Kamu ngapain? Bukannya jalan sama pacarmu?”“Besok aku ke Solo,” jawab Pradnya acuh tak acuh. “Kamu kok tumben nginep? Bukannya Sabtu jadwal sama Mas Gum?”Dya menyeringai, dia bahkan lupa kalau urutan kencannya di hari keenam adalah Gumelar, tapi Anya punya ingatan yang lebih bagus, dia sering tak sengaja mengingatkan itu.“Aku habis dari Puncak, tapi Danish ngadu ke Mas Arya dan aku disuruh pulang malam-malam. Baru sampai sini jam 2 pagi.”Anya terkikik, wajah saudarinya saat mengisahkan it
“Ngapa lo garuk-garuk helm, Mam?”“Pala gue gatel.”“Pala lo gatel terus kenapa helm-nya yang digaruk? Coba dibuka dulu biar afdol garuk-garuknya.”“Heh, emang kalau pantat lo gatel lo harus banget garuk-garuk sampe buka celana? Enggak, kan?”Danish memutuskan untuk tidak bertanya lagi. Hamam jelas marah karena insiden pulangnya Pramudya tempo hari. Mereka baru sampai di Puncak tapi Dya buru-buru kembali ke Jakarta lagi setelah Danish mengadukannya pada Arya. Hamam yang merasa bertanggung jawab karena mengajaknya jelas ikut pulang, tidak jadi ikut pesta dengan teman-teman.Dan sekarang Hamam marah padanya, itu ulah Danish memang, tapi dia juga tidak tahu kalau Arya sampai meminta adiknya pulang malam itu juga.“Dya?” sapa Hamam dengan mata berbinar begitu dia masuk ke laundry dan menemukan gadis itu di lobi. “Kok ada di sini?”“Dia minta ketemu sama lo sebel
“Gue beli ini di jalan tadi.” Danish menyodorkan sekotak rujak Thailand kekinian yang isinya hanya terdiri dari jambu biji non biji—maksudnya apa sih?—serta bubuk cabai dan bumbu manis asin seperti larutan oralit pedas.“Kayaknya seger, ya? Bandung panas banget hari ini, dan gue pusing.”Sayna menerimanya dengan senang hati kendati yang dia pesan tadi hanya sebungkus roti dan selai srikaya, perutnya protes minta diisi, Sayna juga kurang tidur karena harus latihan mati-matian untuk ujian tengah semesternya.Kehidupan di kampus tidak bisa dibilang normal-normal saja. Sayna harus berusaha dua kali lebih keras dibanding sebelumnya, jauh berbeda saat di mana ada Gio yang membantunya. Terlebih kabar simpang siur terdengar di seantero fakultas tiga lantai itu. Kabar dengan cepat menyebar, Gio nyaris tidak melakukan apa-apa, Sayna tahu, dia sibuk coass.Namun teman-temannya, para pendukungnya, orang yang simpati padanya,
Danish pasti sudah gila. Dia baru saja mengambil keputusan cepat tanpa memikirkan apa konsekuensinya. Mengambil jeda dengan Sayna? Memangnya bisa? Berapa lama? Berapa waktu yang dibutuhkannya? Dia sendiri tidak tahu. Pasti karena luka di kepala, Danish jadi mengambil keputusan gila, seenaknya.Dia bahkan tidak memikirkan bagaimana keadaan Sayna, seperti apa perasaannya. Danish pergi setelah mengatakan hal yang ingin dia lakukan. Apakah itu benar? Dia juga tidak tahu. Yang jelas tadi itu, Danish butuh waktu, dia harus tenang. Danish butuh ruang, dia hanya memikirkan diri dan perasaannya, lupa pada Sayna.“Duh, Dek... bikin panik aja.”Melia tampak panik sejak Danish pertama datang. Dia tidak sanggup menyetir sendiri dan menghubungi kakak iparnya untuk minta jemputan. Kemudian Arya Ranajaya dengan banyak sekali kekayaan mengirimkan sebuah helikopter untuk menjemput Danish di Hotel Singosari Bandung, dia menunggu di sana. Mobilnya diantar oleh salah sat
Pradnya bicara menggebu-gebu. Air matanya nyaris jatuh saat mengatakan semua hal itu. Baik, dia dan Danish memang tidak dekat untuk mengaku sebagai sahabat. Tapi Danish adalah keluarga barunya, saudara laki-lakinya, dan Anya sayang padanya. Di keluarga mereka—Ranajaya, pantang sekali ada yang terluka meski hanya seujung kuku saja. Apalagi ini, bocor di kepala. Danish sudah gila kalau masih menganggap ini semua tidak apa-apa.“Gimana keadaan Sayna?” Dya buka suara.Suasana yang cerah dan menyenangkan tadi sudah tidak ada sejak Anya melampiaskan kekesalannya. Anya memang begitu, dia ekspresif, tapi gadis itu baik, dia hanya khawatir pada Danish.“Iya, Nish. Sayna ada yang luka juga?” Hamam menimpalinya.“Ini nggak kayak yang kalian pikir. Gue sama Sayna memang berantem tapi bukan yang pukul-pukulan atau gimana, ini kecelakaan.”“Iya.” Dya mengangguk, berusaha mengerti ucapan Danish, tidak melihat
Sayna sekarang tahu bahwa Arunika merupakan putri sulung sekaligus putri satu-satunya dari Mark Tuan, seorang pria yang lahir dari wanita asli Sunda dan ayahnya berdarah Tionghoa. Pantas saja dia punya perawakan yang berbeda dengan para pribumi, meski dipanggil Gege oleh adiknya, tapi keluarga mereka sangat meninggikan kebudayaan dan adat Sunda. Mungkin karena ibu kandungnya memiliki latar belakang yang kental dengan budaya, kabarnya mereka adalah keluarga pengelola museum adat Sunda di Subang.Mark dan keluarganya menetap di Lembang, daerah Bandung yang juga dekat ke arah Subang. Dia bekerja sebagai direktur operasional perusahaan farmasi keluarga yang dikepalai oleh kakak kandungnya sebagai lulusan apoteker handal. PT Sagara Purnama adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri kosmetik dan kontrak manufaktur pertama di Subang. Itu sekilas yang Sayna tahu dari hasil pencariannya di internet mengenai latar belakang pria itu.“Sebenarnya saya ke rumah sakit
“Sayna, Adek koas favorit Bunda, sini-sini.” Sayna menyengir pasrah ketika salah satu perawat senior memanggil namanya sambil melambai-lambaikan tangan. Sudah pasti dia akan dapat tugas tambahan. Mereka bilang, anak-anak koas adalah keset kaki karena acapkali diperlakukan semena-mena selama menjadi sukarelawan di rumah sakit. Tak jarang yang memperlakukan mereka tidak manusiawi adalah rekan-rekan seniornya sendiri. Di stase ini tentu Sayna tidak terlepas dari orang-orang dengan profesi dokter, perawat, hingga bidan dan lain-lainnya. Namun nasib anak-anak magang dari angkatan perawat dan kebidanan jauh lebih mengenaskan. Tak jarang Sayna yang harus membimbing mereka saat ada waktu senggang. “Kamu ke perina, ya. Banyak yang mau aterm hari ini.” “Baik, Bu.” Sayna menurut dengan mudah saat kepala perawat favoritnya meminta bantuan untuk membuat dia berjaga di ruang perina dan menunggu ibu-ibu yang akan melahirkan bayi. Ruang itu terhubung
“Dede enakan? Boleh Ayah minta sun?” “Boleh.” Gadis kecil berusia dua tahun lebih itu mendongak untuk mengecup wajah sang ayah. “Napa?” “Nggak papa, ayah cuma mau minta sun aja. Kangen sama Dede.” “Hai, Nika...” sapa Sayna ramah, meski pada kenyataannya Arunika yang ini lebih suka pada Rafika saat mereka berkunjung untuk memeriksa keadaannya. “Udah minum susu belum, Sayang?” “Nggak mau.” Dia menggeleng lemah. Gadis kecil itu merengut, merapatkan tubuhnya pada sang ayah. “Sus, ini bisa nggak dititip sebentar? Nanny lagi makan siang di kantin, saya ada keperluan yang harus dibeli ke luar.” Sayna tersenyum dan mengangguk. “Silakan, Pak. Biar Arunika saya yang jaga.” “Wah, ini Tante susternya hafal nama Dede.” Pria itu bersorak senang. “Tunggu sebentar, ya? Ayah mau beli sesuatu, nanti Dede beli mainan baru deh, mau?” “Nggak mau.” Arunika menggelengkan kepala tanda tak setuju. “Nika mau minum susu sama tante?” tawar
Setelah bulan lalu mengakhiri masa abdinya di stase bedah, yang mana membuat Sayna merasakan pengalaman luar biasa selama berada di sana, mulai minggu ini dia mendapat giliran berjaga di stase anak. Meskipun mengingat perjuangan serta pelajaran yang dia dapat dari stase bedah sangat berharga dan beragam, Sayna lega karena bebas dari sana. Stase bedah memiliki pasien yang banyak, nyaris membludak untuk di-follow up setiap hari. Tapi di sana juga keterampilan Sayna sangat diuji. Kemampuannya menjahit luka semasa kuliah pra-klinik selama 3,5 tahun benar-benar direalisasikan. Sayna bahkan belajar menyunat di stase ini. Dan yang paling berkesan adalah melakukan operasi transplantasi kulit pada pasien luka bakar yang mana kulitnya diambil dari bagian paha dan ditanam ke punggung. Luar biasa, Sayna merasa jadi mahasiswi kedokteran betulan saat itu. Dan semuanya sudah berlalu, Sayna tidak yakin lulus di stase itu karena mahasiswa sepintar Gio saja dulu tidak mampu m
Anya merasa lebih tenang sekarang, karena meski saudarinya akan merantau ke negeri orang, dia mengantongi izin untuk berkunjung ke tempat Dya belajar sesering yang dia ingin. Setelah melakukan pentas drama di depan ayah dan ibunya, Anya dikonfirmasi akan segera memiliki privat jet miliknya sendiri untuk keperluan pulang pergi melongok Dya di New York. Dan berhubung keduanya anak kembar, tidak adil rasanya jika Ranajaya hanya membelikan untuk salah satu dari mereka saja. Alhasil, Dya yang tidak berminat sama sekali pada benda bisa terbang itu pun harus ikut menerima pemberian orangtuanya. Mau tidak mau.“Aku nanti minta jadwal kamu pokoknya, biar pas kamu free aku ke sana.”Dya mengangguk mendengar permintaan saudarinya itu, sedikit lega karena Anya tampak lebih bersemangat dibanding beberapa hari yang lalu. “Kamu baik-baik, ya.”“Aku yang harusnya bilang gitu.” Anya berguling dari posisinya saat ini dan telungkup untu
“Lo masih mau di sini?” Suara Danish menyadarkannya kembali. “Kalau mau sama Hamam nggak papa sih.”“Eh, nggak, Nish, nggak! Gue nggak enak juga kalau harus ke kamar Dya.” Hamam salah tingkah dan mengusap tengkuknya gelisah. “Dya sama Danish aja, ya? Biar Mas Hamam di sini jagain Anya, oke?”“Oke.”Pada akhirnya Dya pasrah saat Danish membantunya mengalungkan tangan dan berjalan tertatih menuju villa tempat mereka menginap. Sementara Hamam, Anya, Arvin, Rafid dan Herdian tinggal untuk menikmati berbagai permainan yang disuguhkan. Namun setelah dua orang itu menjauh, lima anak muda itu justru tidak meneruskan niat mereka semula.“Gila, ya. Untung lo masih ada otaknya, Mam. Kalau lo ngotot bawa Dya tadi kebayang gimana patah hatinya Danish.” Herdian membuka obrolan.“Iya, kasihan gue kalau dia harus patah hati dua kali dalam waktu dekat.” Pendapat Rafid menimpali duga
“Sial, banyak banget debu jalanan. Tutup mata, Anya!”“WAAAA....”Danish langsung mengerem sepeda motor yang dia kendarai mendengar jeritan Hamam di sebelahnya, temannya itu nyaris oleng sebelum berbelok ke kiri jalan dan berhenti.“Kenapa sih?” tanya Danish keki. Merasakan pegangan tangan Anya di pinggangnya melonggar perlahan. Mereka sedang berwisata dan menaklukan medan jalan yang berdebu dan terjal untuk sampai ke tujuan.“Gue kaget, Nish. Pas lo teriak nyuruh nutup mata itu gue refleks nutup mata juga, padahal kan gue lagi nyetir, mana bonceng Dya di belakang. Kalau Dya cedera nyawa gue bisa melayang.”Dya dan Anya tertawa, mereka kira apa. Dya yang duduk di belakang Hamam bahkan bingung sendiri saat pemuda itu mulai tidak stabil membawa kendaraannya lalu berhenti tiba-tiba.“Maaf ya, Dya.” Hamam merasa sangat berdosa. Ini harusnya jadi liburan yang paling berkesan karena Dya a
Menghabiskan dua malam di Jakarta bersama Giovanni yang diizinkan menginap oleh orangtuanya, Sayna melakukan perjalanan kembali ke perantauan. Bukan Bandung, kali ini dia harus ke Majalengka karena sedang sibuk KKN di sana. Agak sedih karena Sayna tidak bertemu dengan adiknya sama sekali berhubung anak itu sedang sibuk pendidikan, dia juga tidak tahu kapan bisa pulang ke rumah lagi, bisa dipastikan Sayna akan lebih sibuk dalam beberapa bulan kedepan.“Semangat dong!” Gio tersenyum menggoda, paham kalau gadis cantik yang duduk di sebelahnya itu tengah diserang homesick musiman yang biasa menyerang para mahasiswa KKN. “Gimana aja program kalian?”“Programnya banyak,” keluh Sayna pelan. “Ada satu anak yang ngeselin dari teknik sipil, aku sering banget nahan bogem kalau dia mulai ngoceh terus, Kak.”Giovanni mengacak rambut pendek Sayna dengan sebelah tangan. “Namanya dinamika kelompok, hadapi aja, ya. I
“Om... tolong!”Irya sedang bermain sandiwara dengan pamannya.“Om! Aku syakit!”Danish tidak menggubris.“Om, tolong aku!”“Aduh, berisik banget!” Danish menggerutu lalu berjalan mendekati bayi yang usianya entah berapa itu. Irya terlalu pintar untuk anak seusianya. Sibuk berakting demi mencari perhatian. Lihat saja, dia membuka lemari penyimpanan di kamar Danish lalu memasukkan sebelah tangan ke dalamnya dan menutup pintu lemari itu kemudian menjerit seolah sangat kesakitan.“Apa-apaan sih, Den?” tanya Danish keki. Kelakuan Irya kadang sebelas dua belas dengan ayahnya. Ada-ada saja.“Hehe, makasih Om!” seru Irya tanpa merasa berdosa atau apa.Danish menggendong anak itu dan menatapnya sambil menyipitkan mata. Tidak ingin dan tidak bisa menebak hal aneh lain yang akan dilakukan oleh Irya. Dia seperti tidak kehabisan ide untuk membuat keributan dan ingin se