Beranda / Fiksi Remaja / Miss Antagonist / Sekam dan Redam 2

Share

Sekam dan Redam 2

Penulis: Vinnara
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Jhare sopo aku nggak iso, jhare sopo aku nggak iso?

Eyeliner-ku nggak roto lho, terus opo’o?

Makeup-ku jan uaneh yet my friends say, hiiiii... apike!

Raimu raiku do whatever you wanna do

Buenci pol body shamming jan garai crying

Gendat gendut kura kuru lambemu lambemu

I love my body and... you should too

Siji loro telu

Hi, all i love you!

Suara Pradnya diiringi hentakan musik ketika menyanyikan kembali lirik andalan dalam lagu Pretty Real menggema di seluruh ruangan. Malam ini adalah pesta ulang tahun si kembar, suasana kediaman Ranajaya begitu meriah. Tamu sudah berdatangan sejak sore, sementara si empunya acara hanya terlihat salah satunya saja. Saudari kembarnya justru baru kembali dari halaman belakang rumah, lapangan golf pribadi keluarga, mengendarai Boogy, menerobos masuk ke ruang pesta, masih mengenakan pakaian kasualnya.

“Yang sopan toh, Nduk...” Ayudia menyambut kedatangan salah satu putri kesayangan dan kebanggaannya, Pramudya Gayatri Ranajaya. “Bajunya ganti dulu,” ujar wanita itu. Paham betul apa yang terjadi tapi terus mencoba untuk meredamnya, dari tahun ke tahun.

“Bu...”

“Dalem,” jawab sang ibu.

“Kado ulang tahunku.” Pramudya menengadahkan tangannya. “Hidupin Ibu Ayunia dari kuburnya, sebentar aja. Aku mau ketemu.”

“Dya, ayo!” teriak Pradnya dari ujung sana, beruntung sekali karena Ayudia tidak tahu harus menjawab apa terkait permintaan Pramudya padanya. “Ganti baju, dandan yang cantik, Danish datang, kan?”

Pramudya menggeleng, dia menampilkan layar ponsel untuk menunjukkan daftar penumpang yang hadir ke acara mereka, dan Danish tidak ada di sana. Lagi pula dia memang tidak akan datang kalau Sayna tidak ada.

“Yowes,” kata Pradnya sambil mengalihkan tatap pada pergelangan tangannya. “Dari siapa, toh ini? Huruf D, Danish yang beli?” Gadis itu terkikik, menyadari sebuah gelang berbandul melingkar di tangan Pramudya. “Cantik,” ungkapnya tulus. “Kelihatan murah sih, tapi ya nggak apa-apa, segitu juga dia inget. Aku penasaran dia kasih aku kado ulang tahun apa kalau kamu dibeliin gelang.”

Dya tidak tahu ini kado ulang tahun dari Danish atau bukan, jadi dia memilih untuk tidak mengatakan apa-apa pada adiknya. Dulu keluarga mereka menjuluki Danish, Dya dan Anya sebagai kembar tiga. Tapi bagi Anya itu berbeda, hubungan mereka tidak begitu. Dia melabeli diri sendiri sebagai istri pertama, Dya istri kedua, sementara Sayna adalah pacar Danish, selingkuhan mereka.

“Ya ampun, bajumu lho!” Pramudya terkesiap melihat saudarinya berjalan mendului. Gaun Anya yang terdiri dari simpul tali di punggung hingga ke panggul membuatnya amat terkejut. “Guntingnya enak nih. Mak kres, pedot kabeh.”

Pradnya terkikik geli tapi tidak tampak peduli, jelas-jelas itu sindiran keras. Dya merasa aneh karena kembarannya itu gemar sekali berpakaian seksi. Mereka kembar memang, tidak identik, kadang tidak ada persamaan sama sekali, wajah juga hanya mirip sedikit, tidak sama persis.

“Mau baca puisi lagi? Aku wes nyanyi buat persembahan spesial malam ini.”

Anya tidak dikaruniai suara yang bagus, tapi dia suka menyanyi, kadang nyanyiannya hanya terdengar seperti teriakan atau orang membaca syair, melodinya berlarian. Tapi Anya percaya diri, dan itu cukup. Sementara Pramudya, dari tahun ke tahun selalu menulis dan membaca puisi tiap ada pesta yang digelar Ranajaya.

“Belum nulis apa-apa,” akunya jujur. Pramudya tidak menyiapkan apa pun untuk malam ini. Makin dewasa, semakin sulit mengendalikan diri. Semakin susah baginya menutup kesedihan.

Anya terlentang di tempat tidur, menatap lampu kristal di tengah-tengahnya, membiarkan tiap bulir air mata berjatuhan ke sisi wajah. “Nggak usah nulis, puisimu makin tahun makin sedih.”

Pramudya mengangguk, dia mengakuinya. Puisi bukan hanya tersusun dari bait-bait indah, tapi juga menyentuh, menggambarkan bagaimana perasaan penulisnya.

“Udah, jangan nangis.” Gadis itu—sebagai kakak, karena dia lebih tua dua menit dari Anya, menyeka air mata adiknya. “Makeup mu lho, mahal.”

“Aku justru mau ngajakin kamu nangis bareng.”

Bedanya mereka adalah, Pradnya lebih terbuka, ceria dan gampang menunjukkan emosinya. Sementara Pramudya, kendati dia murung seharian, jarang sekali meneteskan air mata. Lagi pula dia tidak merasa benar-benar sedih sekarang, hanya... kosong. Seperti ada yang hilang, padahal mungkin dia tidak pernah benar-benar memilikinya.

Bagaimana rasanya kehilangan hal yang tidak pernah dia genggam secara nyata? Aneh, bukan? Perasaan yang sukar dijelaskan.

Suara tepuk tangan meriah, sorak-sorai suka cita, kamera blitz yang menyala serta gegap gempita doa-doa dari teman dan keluarga mendominasi acara ulang tahun Pradnya dan Pramudya yang ke 20. Mereka semakin dewasa, semakin berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Pramudya berjalan menjauh begitu selesai meniup lilin dan memotong kue ulang tahunnya bersama Anya.

“Wish you all the best, Nduk. Anak-anak yang tuanya lama, lahir akhir tahun.”

Pramudya langsung tersenyum saat suara Kevin Sandjaya berdengung di telinganya. Mereka saling menghampiri lalu memberi pelukan untuk satu sama lain, senang sekali bisa melihat pria itu di sini.

“Maaf ya, Mbak Hanum nggak bisa ikut. Lagi mabok parah, Nduk, muntah-muntah terus.”

Senyum di wajah gadis itu tetap terpajang profesional penuh maklum.

“Mas juga nggak bisa lama-lama.”

“Nggak apa-apa.” Melihatnya saja, Dya sudah bahagia. Bersama Kevin, dadanya selalu berdebar-debar, tapi debar itu menyenangkan untuk dirasakan.

“Kamu sudah tahu belum? Mbak Hanum mau kasih mas anak.”

Pramudya tersenyum, akhirnya... setelah dua tahun menikah Kevin dan Hanum akan punya momongan yang begitu mereka damba-dambakan. Tentu saja Dya tahu, kabar itu simpang siur di lingkungan mereka, tak lama lagi akan berderet acara syukuran, selamatan dan lain-lainnya seperti saat Dinara mengandung Irya.

“Nggak kasih selamat, Nduk?”

“Selamat, Mas.” Dya mengucapkannya singkat saja. Belum bisa merasa ikut berbahagia.

“Mukanya jangan ditekuk,” kata pria itu sembari mengusap rambut panjangnya yang tergerai menutupi punggung. “Karena Hanum mengandung, mas mungkin akan sering ajak ketemu dan minta bantuan kamu.”

Pramudya mengangguk, menahan senyumnya yang terasa kecut.

“Danish! Danish... Danish... Danish, oh my God! Ternyata lo datang!”

Sepertinya nyaris seluruh tamu terinterupsi pada suara itu. Bagaimana lantangnya Pradnya menggaungkan nama Danish lalu menyambut kedatangan pemuda itu untuk menyeretnya ke tengah aula, mengajak Danish berdansa mendadak di sana, lalu menghambur ke pelukannya.

“Kado ulang tahunnya ditalangin sama Bu Melia?” tanya Pradnya melihat Danish sama sekali tidak menenteng apa-apa. “Kalau gitu kasih hadiah yang lain, gue mau ciuman, di pipi kanan dan kiri.”

“Nggak usah ngide deh.” Danish terkikik sambil menyentil dahi Anya yang tak kalah lebar dengan saudarinya. “Mending lo suruh gue metik bintang daripada cium di sini.”

“Bawel.” Pradnya mencuri ciuman dari pipi Danish yang dibalas dengan senyuman malu super manis.

“Selamat ulang tahun, Anya.” Dia berkata begitu sambil melayangkan kecupan di pipi kanan Pradnya, kontan saja gadis yang tengah berulang tahun itu melonjak kegirangan. Kendati di sana ada kekasihnya, Pradnya tidak tampak peduli sama sekali.

“Wangi banget.” Anya bergelanyut di lengan Danish, membaui parfum yang sengaja disemprot pemuda itu di antara perpotongan lehernya. “Parfum baru, ya? Nanti ghue beliin.”

Danish menghadiahkan gadis itu senyum tipis, dia sedang tidak punya selera bercanda dengan Anya. Pikirannya kacau sekali sebelum memutuskan berangkat ke sini.

Sementara itu dari sudut lain, Pramudya memandanginya. Mereka saling melempar senyum kecil dari kejauhan, hanya sebagai tanda bahwa keduanya saling kenal.

“Ganteng ya, Nduk. Siapa namanya? Mas Adis?”

“Adis?” Dya membeo, dia bingung pada nama yang disebut Kevin barusan.

“Bukannya dari keluarga Adiswara, ya? Masih generasi pertama, harus dibesarkan namanya itu.”

Pramudya terkekeh, pasti Danish akan kegelian setengah mati saat mendengar panggilan itu. Sebagian besar keluarga dan kolega Ranajaya memang menyebut keluarga dari istri Arya adalah Adiswara. Dan berhubung perusahaan mereka baru berjalan kali pertama di tangan Melia, maka penyandang nama Adiswara sekaligus penerusnya hanyalah Danish, satu-satunya Adiswara.

“Bapak yang kenalin Mas Adis dengan nama Adiswara, biar suatu saat nanti besar seperti Ranajaya, Sandjaya, Kamandayu, Mahera dan lain-lainnya.” Kevin adalah pria dewasa yang kadang obrolannya tidak sefrekuensi dengan Pramudya. “Orang yang kamu suka, ya?”

Gadis itu terkesiap saat ponsel yang dia pegang berpindah tangan. Kevin menyengir lebar sambil menunjukkan layar, ada gambar Danish di sana. Dya pernah memotret Danish diam-diam dan menjadikan fotonya sebagai gambar latar belakang.

“Semoga sukses sama Mas Adis, ya.”

“Udah punya pacar, Mas.” Dya menundukkan kepala, alasan itu terdengar mengada-ada.

“Cuma pacar, toh? Belum janur kuning, Nduk.” Kevin memegang kedua bahu gadis mungil itu. “Sudah janur kuning pun, kalau belum bendera kuning, nggak usah ragu.”

Pramudya bahkan tidak bisa pura-pura tersenyum mendengar Kevin mengatakannya. Perasaannya pada Danish hanya sekadar suka, tanpa apa-apa menyertainya. Dya tidak berdebar saat dekat dengan Danish, tidak rindu, dan tidak pernah cemburu. Dia tidak akan memperjuangkan Danish sehebat itu. Menerobos janur kuning hingga bendera kuning.

Dya memang suka padanya, karena Danish tampak baik juga enak dilihat. Matanya butuh pemandangan yang indah-indah untuk menambah kebahagiaan dan menurunkan tingkat stres. Dia hanya suka, tapi status mereka tidak lebih dari saudara, keduanya bahkan bukan teman dekat, mengingat Danish sering bertingkah seenak jidat.

Kevin pergi dan Pramudya berjalan ke luar sendiri. Bintang-bintang di langit tidak tampak, kalah oleh lampu yang dipasang untuk memeriahkan pesta hari ini. Dan beberapa menit kemudian Danish menyusul, dia membawa dua gelas minuman beralkohol di tangan.

“Mas Arya bilang, normal melihat Pramudya murung di pesta ulang tahunnya, jadi gue disuruh bawain ini buat lo.” Pemuda itu menyodorkan salah satu gelas berisi anggur padanya. “Dya?”

“Hm?”

Danish memiringkan wajah. “Gue yang bawain ini sendiri, bukan disuruh Mas Arya.”

Pramudya melebarkan bibir untuk mengulas senyuman. “Kenapa datang?” tanyanya, melihat Sayna tidak ikut serta.

Pemuda itu mengangkat bahu. “Sedih aja sendirian di rumah.” Dia bergumam pelan.

Sejujurnya, Danish akui jika Pramudya adalah satu-satunya orang yang tahu kisah cintanya dengan Sayna. Bahkan masalah-masalah hingga keruwetannya. Pada gadis itu, dia tidak perlu mengatakan semua dari awal, Dya sudah tahu. Beda jika Danish curhat pada orang lain, mereka kebanyakan akan menanyakan detail ini dan itu. Dan jujur saja, dia datang jauh-jauh ke Surabaya karena ingin menumpahkan keluh kesahnya.

Namun melihat keadaan Pramudya tak kalah kacau saat ini—dan sekarang adalah pesta ulang tahunnya—Danish mungkin harus berpikir ulang.

“Sedih itu pas lo ngerasa sendiri di keramaian,” bisik Pramudya nyaris tak kedengaran. “Tapi sendirian saat benar-benar sendiri juga sedih sih.” Gadis itu buru-buru mengoreksi kalimatnya. Dia tahu tidak baik membandingkan kesedihan dan perasaan orang.

“Kayak lo sekarang,” tebak Danish tanpa menunggu jawaban. Dua orang itu berdiri dengan tubuh condong ke depan, bersandar di pagar sambil menikmati angin malam yang berembus pelan. “Gue paham, Dya. Pasti rasanya aneh harus pesta di hari dua orang anak kehilangan ibu mereka buat selamanya.”

Dan itu sudah terulang sebanyak dua puluh kali, sama dengan usia Pramudya sekarang.

“Aneh rasanya ngerasa kangen ke orang yang bahkan nggak pernah kita ingat.” Danish menyambung kalimat. Dia pasti tahu rasanya, Danish kehilangan ayah kandung sejak bayi.

Perasaan itu mirip. Rindu, kehilangan, tidak nyaman, tidak tergantikan terakumulasi menjadi perasaan aneh yang tidak mampu mereka terjemahkan.

“Kenapa Ibu harus... menukar kehidupannya demi gue dan Anya?” tanya Pramudya. Meski dia tahu pertanyaan itu tidak akan pernah mendapat jawaban.

“Nggak ada yang menukar kehidupan, Dya.” Danish nyaris tertawa, Pramudya jarang sekali mengutarakan perasaan dan isi kepalanya, ini momen langka. “Bahkan kalau waktu bisa diulang, dan orang-orang di sekitar kita dikasih pilihan, mereka pasti tetap bakal milih lo sama Anya lahir.”

“Maksudnya?” Dya kebingungan. “Ini kayak Bu Melia ditanya, mau suaminya tetap hidup atau lo nggak lahir?”

Meski ragu, Danish pada akhirnya mengangguk. “Gue yakin Mama bakal tetap melahirkan gue meski tahu akan kehilangan suaminya.”

Dia terdengar percaya diri, Dya suka sekali pada perasaan dan keyakinan itu.

“Suaminya Bu Melia itu ayah lo, Nish.”

Danish terkekeh, lidahnya kaku mengucap panggilan itu karena dia tidak pernah menyebut siapa pun dengan panggilan tersebut seumur hidupnya. Papa bukan miliknya, beliau hanya sempat dimiliki Dinara dan Melia. Papa tidak mau bersabar sedikit lagi hingga Danish besar dan bisa mengingatnya.

“Kenapa Sayna?” tanya Dya peka. Dia jelas tahu apa penyebab Danish bertindak aneh dan impulsif dengan menyusul penerbangan ke Surabaya naik maskapai komersil biasa.

“Aneh banget.”

“Mungkin PMS.”

“Bukan.” Danish menggeleng cepat, dia mencatat jadwal bulanan Sayna di ponsel, masih dua minggu lagi. “Dia nggak bales chat gue, nggak angkat telepon, dia cuma ngasih tahu kalau gue nggak perlu ke Bandung minggu ini, dia juga kayaknya nggak jadi pulang ke Jakarta. Gue bingung dia kenapa.”

“Tanya.”

Danish menolehkan kepala. Matanya bertatap dengan Dya. Selama berhari-hari dia lebih suka mengamankan diri, meredam-redam ledakan, dia tidak mau bertengkar dengan Sayna. Danish berdiri di posisi yang menerima dan memahaminya meski dia bertanya-tanya.

“Menurut lo gue boleh ke tempat dia meski dia udah larang sebelumnya?”

Pramudya memalingkan muka dari Danish. “Lo lebih kenal dia dari gue, Nish. Lo tahu harus gimana.”

Kenapa Pramudya sering sekali bilang begitu? Dia memang tidak serius mendengarkan Danish bicara, jarang sekali memberi solusi yang benar.

“Ehem!” Danish berdeham pelan. “Selamat ulang tahun,” ucapnya. Lupa pada tujuan utama kenapa kediaman orang kaya ini mengadakan pesta. “Lo doa yang baik-baik, minta apa aja terserah, gue bantu aminin.”

Dya tersenyum geli. Danish sejak dulu begitu, tidak pernah memberi apa-apa, atau menjanjikan apa-apa padanya. Malam ini Danish mengenakan kemeja salur berwarna hitam dan coklat pudar, memadukannya dengan jas senada, menyisir rambutnya rapi, memakai parfum baru, Dya dengan mudah mengenalinya.

Mata mereka bertatap, alis Danish selalu indah tiap dilihat, dia tampan tapi tidak cukup di situ, Danish kelihatan imut sekaligus. Sungguh definisi manusia yang aneh. Dia berdiri dengan gaya yang keren tapi jelas Pramudya bisa melihat aura menggemaskan seperti bayi di mata bulatnya. Pesona itu benar-benar membuat orang jadi gila.

Bukankah lucu ada seseorang yang terlihat cantik, tampan sekaligus seksi dan imut dalam satu waktu? Dan Danish memiliki semuanya. Mengagumkan sekali, auranya bukan lelucon.

“Gue lagi suka sama seseorang,” ucap Pramudya memecah hening di antara mereka.

“Oh, cowok yang tadi? Ganteng.”

“Bukan.” Dya menggeleng cepat. “Inisialnya L sama O.”

“Hm? Berapa huruf?”

“Dua.”

Danish tertawa, tangannya bergerak mengacak rambut Pramudya. Dia sudah tidak mempan pada kata suka yang sering diumbar-umbar oleh gadis itu.

“Sori, Dya.” Pemuda itu menerawangkan pandangannya. “Gue udah punya Sayna, satu-satunya orang yang gue suka... dan gue cinta.”

“Gue cuma bilang suka, bukan cinta.” Pramudya seolah mengoreksi pernyataannya.

Itu... jelas berbeda. Suka dan cinta itu bukan hal yang sama.

Jadi, kalau padanya Dya hanya suka, siapa orang yang dicintainya?

Bab terkait

  • Miss Antagonist    Rencana Pesta

    Hamam telah mengubah subjek dari “Berkat Doa Ibu” menjadi “HBD RAFID” Rafid: Selamat ulang tahun buat gue...Arvin: Ikan hiu makan tomat, hahaha tua amat!Hamam: AJG!Herdian: Heh, dateng-dateng langsung ngomong kasar lo. Jempol tuh dididik dulu ngapa?Hamam: AJG (Astagfirullah Jangan Gitu)Danish: Baru tahu gue *laughHamam: Ngumpul kuy, biar bos gue yang traktir.Danish: TAI!Hamam: TAI (Tak apa, Aku Ikhlas)Herdian: Ngarang banget lo, setan *laughArvin: Kuy, kapan kumpul? Pada ke Bandung aja, gue siapin villa. Kalian berangkat bareng Danish.Rafid: Gue sih lagi pengen dinner dulu sama cewek gue minggu ini, tapi masalahnya gue nggak ada duit. Sue banget ul

  • Miss Antagonist    Yang Terdalam

    Gadis itu memeriksa bagian bawah tubuhnya yang lengket dan lembab. Lagi-lagi tidak dapat menahan lelehan air mata yang menyeruak. Sebuah pengkhianatan sungguhan telah dia lakukan pada kekasihnya. Dan bagaimanapun Sayna mencoba menyangkal, bukti seperti ini tidak bisa diabaikan. Tubuhnya merespons kegiatan sialan itu dengan benar, menolak kerja sama dengan otak dan akal sehat yang terus merasa jijik saat itu dilakukan.Sayna merasai berahinya sendiri karena merasa jahat dan ingin tubuhnya mendapat lebih saat bersama Giovanni. Bagaimana itu bisa terjadi? Kenapa harus begini? Kenapa tubuhnya harus ingin? Sementara otak dan akal sehatnya tidak menginginkan apa-apa.Apakah ini lumrah terjadi? Apa orang-orang yang diperkosa juga mengalami hal yang sama?“Kakak Sayna!”Suara itu mengejutkannya, membuat Sayna seperti ditarik dari keadaan setengah sadar dan segera membuka matanya lebar-lebar. Dia menolehkan kepala dan melihat seorang gadis muda berambu

  • Miss Antagonist    Nothing Like Us

    “Hati-hati, ya. Titip salam buat Imo, kamu jangan bandel, jangan pacaran terus, pacarnya nggak boleh banyak-banyak, denger nggak?”“Iya.”Inara menyengir dengan rambut cokelatnya yang sengaja Sayna selipkan di belakang telinga. Dia semakin menggemaskan ketika kupingnya terlihat dengan ukuran daun telinga yang lebih lebar dibanding seharusnya.“Naik bus yang mana?” Danish menimbrung obrolan. Pagi itu mereka telah sampai di terminal Cibiru untuk mengantar Inara pulang ke Sumedang. Banyak bis antar kota dan minibus elf berjejer di sana. Rata-rata jurusan Bandung – Cirebon – Majalengka, entah yang mana satu milik Inara.“Aku mau naik Buhe!” Gadis Sunda berwajah bule itu menunjuk salah satu nama armada dengan mayoritas minibus berwarna merah tua keunguan, Buhe Jaya. “Biar kayak terbang dari Bandung ke Sumedang.”“Ih, jangan!” Sayna segera melarangnya. “Naik b

  • Miss Antagonist    Nothing Like Us 2

    Kemesraan ini, janganlah cepat berlalu...Kemesraan ini ingin kukenang selalu...Hatiku damai, jiwaku tenteram di sampingmu...Hatiku damai... jiwaku tenteram bersamamu...“Aduh, suaranya ngajakin berumah tangga ya, Teh.”Sayna terkikik mendengar komentar ibunda saat mereka menonton Danish dan Chandraka tengah berkaraoke ria. Suara mereka menggema, memenuhi ruang keluarga.Keduanya sampai di Jakarta siang menjelang sore, Danish langsung dicegat, tidak boleh pulang cepat, makan bersama dengan keluarga Sayna dan melakukan hal menyenangkan dengan mereka. Ikrar juga ada di sana, duduk di karpet lantai sambil memegangi senter dan menggoyangkannya ke kiri dan kanan bergantian, bertingkah seolah tengah menonton live music penyanyi papan atas.“Tapi ibu tadi cuma bercanda,” ralat Linda segera, melihat putrinya tidak memberi reaksi apa-apa. “Ibu sangat berharap Teteh jadi sama Ninish, tapi nanti, ya? Selesai c

  • Miss Antagonist    Janggal Sekali

    Pramudya mengerjap pelan saat merasakan cahaya yang masuk lebih daripada satu jam lalu. Sekarang sudah lebih terang, tirai kamarnya terbuka lebar, pasti salah satu dari dayang-dayang Dinara yang melakukannya. Dia tidak suka. Tapi apa boleh buat, ini bukan rumahnya, dia harus ikut peraturan yang ada di sana.“Lho, ada kamu toh?” Sapaan pertama dia dengar dari Pradnya ketika membuka pintu kamar.“Kamu ngapain? Bukannya jalan sama pacarmu?”“Besok aku ke Solo,” jawab Pradnya acuh tak acuh. “Kamu kok tumben nginep? Bukannya Sabtu jadwal sama Mas Gum?”Dya menyeringai, dia bahkan lupa kalau urutan kencannya di hari keenam adalah Gumelar, tapi Anya punya ingatan yang lebih bagus, dia sering tak sengaja mengingatkan itu.“Aku habis dari Puncak, tapi Danish ngadu ke Mas Arya dan aku disuruh pulang malam-malam. Baru sampai sini jam 2 pagi.”Anya terkikik, wajah saudarinya saat mengisahkan it

  • Miss Antagonist    Janggal Sekali 2

    “Ngapa lo garuk-garuk helm, Mam?”“Pala gue gatel.”“Pala lo gatel terus kenapa helm-nya yang digaruk? Coba dibuka dulu biar afdol garuk-garuknya.”“Heh, emang kalau pantat lo gatel lo harus banget garuk-garuk sampe buka celana? Enggak, kan?”Danish memutuskan untuk tidak bertanya lagi. Hamam jelas marah karena insiden pulangnya Pramudya tempo hari. Mereka baru sampai di Puncak tapi Dya buru-buru kembali ke Jakarta lagi setelah Danish mengadukannya pada Arya. Hamam yang merasa bertanggung jawab karena mengajaknya jelas ikut pulang, tidak jadi ikut pesta dengan teman-teman.Dan sekarang Hamam marah padanya, itu ulah Danish memang, tapi dia juga tidak tahu kalau Arya sampai meminta adiknya pulang malam itu juga.“Dya?” sapa Hamam dengan mata berbinar begitu dia masuk ke laundry dan menemukan gadis itu di lobi. “Kok ada di sini?”“Dia minta ketemu sama lo sebel

  • Miss Antagonist    Toxic

    “Gue beli ini di jalan tadi.” Danish menyodorkan sekotak rujak Thailand kekinian yang isinya hanya terdiri dari jambu biji non biji—maksudnya apa sih?—serta bubuk cabai dan bumbu manis asin seperti larutan oralit pedas.“Kayaknya seger, ya? Bandung panas banget hari ini, dan gue pusing.”Sayna menerimanya dengan senang hati kendati yang dia pesan tadi hanya sebungkus roti dan selai srikaya, perutnya protes minta diisi, Sayna juga kurang tidur karena harus latihan mati-matian untuk ujian tengah semesternya.Kehidupan di kampus tidak bisa dibilang normal-normal saja. Sayna harus berusaha dua kali lebih keras dibanding sebelumnya, jauh berbeda saat di mana ada Gio yang membantunya. Terlebih kabar simpang siur terdengar di seantero fakultas tiga lantai itu. Kabar dengan cepat menyebar, Gio nyaris tidak melakukan apa-apa, Sayna tahu, dia sibuk coass.Namun teman-temannya, para pendukungnya, orang yang simpati padanya,

  • Miss Antagonist    Bertahan atau Memisahkan?

    Danish pasti sudah gila. Dia baru saja mengambil keputusan cepat tanpa memikirkan apa konsekuensinya. Mengambil jeda dengan Sayna? Memangnya bisa? Berapa lama? Berapa waktu yang dibutuhkannya? Dia sendiri tidak tahu. Pasti karena luka di kepala, Danish jadi mengambil keputusan gila, seenaknya.Dia bahkan tidak memikirkan bagaimana keadaan Sayna, seperti apa perasaannya. Danish pergi setelah mengatakan hal yang ingin dia lakukan. Apakah itu benar? Dia juga tidak tahu. Yang jelas tadi itu, Danish butuh waktu, dia harus tenang. Danish butuh ruang, dia hanya memikirkan diri dan perasaannya, lupa pada Sayna.“Duh, Dek... bikin panik aja.”Melia tampak panik sejak Danish pertama datang. Dia tidak sanggup menyetir sendiri dan menghubungi kakak iparnya untuk minta jemputan. Kemudian Arya Ranajaya dengan banyak sekali kekayaan mengirimkan sebuah helikopter untuk menjemput Danish di Hotel Singosari Bandung, dia menunggu di sana. Mobilnya diantar oleh salah sat

Bab terbaru

  • Miss Antagonist    Ending Sayna

    Sayna sekarang tahu bahwa Arunika merupakan putri sulung sekaligus putri satu-satunya dari Mark Tuan, seorang pria yang lahir dari wanita asli Sunda dan ayahnya berdarah Tionghoa. Pantas saja dia punya perawakan yang berbeda dengan para pribumi, meski dipanggil Gege oleh adiknya, tapi keluarga mereka sangat meninggikan kebudayaan dan adat Sunda. Mungkin karena ibu kandungnya memiliki latar belakang yang kental dengan budaya, kabarnya mereka adalah keluarga pengelola museum adat Sunda di Subang.Mark dan keluarganya menetap di Lembang, daerah Bandung yang juga dekat ke arah Subang. Dia bekerja sebagai direktur operasional perusahaan farmasi keluarga yang dikepalai oleh kakak kandungnya sebagai lulusan apoteker handal. PT Sagara Purnama adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri kosmetik dan kontrak manufaktur pertama di Subang. Itu sekilas yang Sayna tahu dari hasil pencariannya di internet mengenai latar belakang pria itu.“Sebenarnya saya ke rumah sakit

  • Miss Antagonist    Harta, Takhta dan Duda Muda

    “Sayna, Adek koas favorit Bunda, sini-sini.” Sayna menyengir pasrah ketika salah satu perawat senior memanggil namanya sambil melambai-lambaikan tangan. Sudah pasti dia akan dapat tugas tambahan. Mereka bilang, anak-anak koas adalah keset kaki karena acapkali diperlakukan semena-mena selama menjadi sukarelawan di rumah sakit. Tak jarang yang memperlakukan mereka tidak manusiawi adalah rekan-rekan seniornya sendiri. Di stase ini tentu Sayna tidak terlepas dari orang-orang dengan profesi dokter, perawat, hingga bidan dan lain-lainnya. Namun nasib anak-anak magang dari angkatan perawat dan kebidanan jauh lebih mengenaskan. Tak jarang Sayna yang harus membimbing mereka saat ada waktu senggang. “Kamu ke perina, ya. Banyak yang mau aterm hari ini.” “Baik, Bu.” Sayna menurut dengan mudah saat kepala perawat favoritnya meminta bantuan untuk membuat dia berjaga di ruang perina dan menunggu ibu-ibu yang akan melahirkan bayi. Ruang itu terhubung

  • Miss Antagonist    Arunika Yang Baru

    “Dede enakan? Boleh Ayah minta sun?” “Boleh.” Gadis kecil berusia dua tahun lebih itu mendongak untuk mengecup wajah sang ayah. “Napa?” “Nggak papa, ayah cuma mau minta sun aja. Kangen sama Dede.” “Hai, Nika...” sapa Sayna ramah, meski pada kenyataannya Arunika yang ini lebih suka pada Rafika saat mereka berkunjung untuk memeriksa keadaannya. “Udah minum susu belum, Sayang?” “Nggak mau.” Dia menggeleng lemah. Gadis kecil itu merengut, merapatkan tubuhnya pada sang ayah. “Sus, ini bisa nggak dititip sebentar? Nanny lagi makan siang di kantin, saya ada keperluan yang harus dibeli ke luar.” Sayna tersenyum dan mengangguk. “Silakan, Pak. Biar Arunika saya yang jaga.” “Wah, ini Tante susternya hafal nama Dede.” Pria itu bersorak senang. “Tunggu sebentar, ya? Ayah mau beli sesuatu, nanti Dede beli mainan baru deh, mau?” “Nggak mau.” Arunika menggelengkan kepala tanda tak setuju. “Nika mau minum susu sama tante?” tawar

  • Miss Antagonist    Memulai Hidup Baru

    Setelah bulan lalu mengakhiri masa abdinya di stase bedah, yang mana membuat Sayna merasakan pengalaman luar biasa selama berada di sana, mulai minggu ini dia mendapat giliran berjaga di stase anak. Meskipun mengingat perjuangan serta pelajaran yang dia dapat dari stase bedah sangat berharga dan beragam, Sayna lega karena bebas dari sana. Stase bedah memiliki pasien yang banyak, nyaris membludak untuk di-follow up setiap hari. Tapi di sana juga keterampilan Sayna sangat diuji. Kemampuannya menjahit luka semasa kuliah pra-klinik selama 3,5 tahun benar-benar direalisasikan. Sayna bahkan belajar menyunat di stase ini. Dan yang paling berkesan adalah melakukan operasi transplantasi kulit pada pasien luka bakar yang mana kulitnya diambil dari bagian paha dan ditanam ke punggung. Luar biasa, Sayna merasa jadi mahasiswi kedokteran betulan saat itu. Dan semuanya sudah berlalu, Sayna tidak yakin lulus di stase itu karena mahasiswa sepintar Gio saja dulu tidak mampu m

  • Miss Antagonist    Zona Aman

    Anya merasa lebih tenang sekarang, karena meski saudarinya akan merantau ke negeri orang, dia mengantongi izin untuk berkunjung ke tempat Dya belajar sesering yang dia ingin. Setelah melakukan pentas drama di depan ayah dan ibunya, Anya dikonfirmasi akan segera memiliki privat jet miliknya sendiri untuk keperluan pulang pergi melongok Dya di New York. Dan berhubung keduanya anak kembar, tidak adil rasanya jika Ranajaya hanya membelikan untuk salah satu dari mereka saja. Alhasil, Dya yang tidak berminat sama sekali pada benda bisa terbang itu pun harus ikut menerima pemberian orangtuanya. Mau tidak mau.“Aku nanti minta jadwal kamu pokoknya, biar pas kamu free aku ke sana.”Dya mengangguk mendengar permintaan saudarinya itu, sedikit lega karena Anya tampak lebih bersemangat dibanding beberapa hari yang lalu. “Kamu baik-baik, ya.”“Aku yang harusnya bilang gitu.” Anya berguling dari posisinya saat ini dan telungkup untu

  • Miss Antagonist    Berhubungan Badan

    “Lo masih mau di sini?” Suara Danish menyadarkannya kembali. “Kalau mau sama Hamam nggak papa sih.”“Eh, nggak, Nish, nggak! Gue nggak enak juga kalau harus ke kamar Dya.” Hamam salah tingkah dan mengusap tengkuknya gelisah. “Dya sama Danish aja, ya? Biar Mas Hamam di sini jagain Anya, oke?”“Oke.”Pada akhirnya Dya pasrah saat Danish membantunya mengalungkan tangan dan berjalan tertatih menuju villa tempat mereka menginap. Sementara Hamam, Anya, Arvin, Rafid dan Herdian tinggal untuk menikmati berbagai permainan yang disuguhkan. Namun setelah dua orang itu menjauh, lima anak muda itu justru tidak meneruskan niat mereka semula.“Gila, ya. Untung lo masih ada otaknya, Mam. Kalau lo ngotot bawa Dya tadi kebayang gimana patah hatinya Danish.” Herdian membuka obrolan.“Iya, kasihan gue kalau dia harus patah hati dua kali dalam waktu dekat.” Pendapat Rafid menimpali duga

  • Miss Antagonist    Pesta Perpisahan

    “Sial, banyak banget debu jalanan. Tutup mata, Anya!”“WAAAA....”Danish langsung mengerem sepeda motor yang dia kendarai mendengar jeritan Hamam di sebelahnya, temannya itu nyaris oleng sebelum berbelok ke kiri jalan dan berhenti.“Kenapa sih?” tanya Danish keki. Merasakan pegangan tangan Anya di pinggangnya melonggar perlahan. Mereka sedang berwisata dan menaklukan medan jalan yang berdebu dan terjal untuk sampai ke tujuan.“Gue kaget, Nish. Pas lo teriak nyuruh nutup mata itu gue refleks nutup mata juga, padahal kan gue lagi nyetir, mana bonceng Dya di belakang. Kalau Dya cedera nyawa gue bisa melayang.”Dya dan Anya tertawa, mereka kira apa. Dya yang duduk di belakang Hamam bahkan bingung sendiri saat pemuda itu mulai tidak stabil membawa kendaraannya lalu berhenti tiba-tiba.“Maaf ya, Dya.” Hamam merasa sangat berdosa. Ini harusnya jadi liburan yang paling berkesan karena Dya a

  • Miss Antagonist    Memulai Hubungan Baru

    Menghabiskan dua malam di Jakarta bersama Giovanni yang diizinkan menginap oleh orangtuanya, Sayna melakukan perjalanan kembali ke perantauan. Bukan Bandung, kali ini dia harus ke Majalengka karena sedang sibuk KKN di sana. Agak sedih karena Sayna tidak bertemu dengan adiknya sama sekali berhubung anak itu sedang sibuk pendidikan, dia juga tidak tahu kapan bisa pulang ke rumah lagi, bisa dipastikan Sayna akan lebih sibuk dalam beberapa bulan kedepan.“Semangat dong!” Gio tersenyum menggoda, paham kalau gadis cantik yang duduk di sebelahnya itu tengah diserang homesick musiman yang biasa menyerang para mahasiswa KKN. “Gimana aja program kalian?”“Programnya banyak,” keluh Sayna pelan. “Ada satu anak yang ngeselin dari teknik sipil, aku sering banget nahan bogem kalau dia mulai ngoceh terus, Kak.”Giovanni mengacak rambut pendek Sayna dengan sebelah tangan. “Namanya dinamika kelompok, hadapi aja, ya. I

  • Miss Antagonist    Berjumpa Arunika

    “Om... tolong!”Irya sedang bermain sandiwara dengan pamannya.“Om! Aku syakit!”Danish tidak menggubris.“Om, tolong aku!”“Aduh, berisik banget!” Danish menggerutu lalu berjalan mendekati bayi yang usianya entah berapa itu. Irya terlalu pintar untuk anak seusianya. Sibuk berakting demi mencari perhatian. Lihat saja, dia membuka lemari penyimpanan di kamar Danish lalu memasukkan sebelah tangan ke dalamnya dan menutup pintu lemari itu kemudian menjerit seolah sangat kesakitan.“Apa-apaan sih, Den?” tanya Danish keki. Kelakuan Irya kadang sebelas dua belas dengan ayahnya. Ada-ada saja.“Hehe, makasih Om!” seru Irya tanpa merasa berdosa atau apa.Danish menggendong anak itu dan menatapnya sambil menyipitkan mata. Tidak ingin dan tidak bisa menebak hal aneh lain yang akan dilakukan oleh Irya. Dia seperti tidak kehabisan ide untuk membuat keributan dan ingin se

DMCA.com Protection Status