Danish pasti sudah gila. Dia baru saja mengambil keputusan cepat tanpa memikirkan apa konsekuensinya. Mengambil jeda dengan Sayna? Memangnya bisa? Berapa lama? Berapa waktu yang dibutuhkannya? Dia sendiri tidak tahu. Pasti karena luka di kepala, Danish jadi mengambil keputusan gila, seenaknya.
Dia bahkan tidak memikirkan bagaimana keadaan Sayna, seperti apa perasaannya. Danish pergi setelah mengatakan hal yang ingin dia lakukan. Apakah itu benar? Dia juga tidak tahu. Yang jelas tadi itu, Danish butuh waktu, dia harus tenang. Danish butuh ruang, dia hanya memikirkan diri dan perasaannya, lupa pada Sayna.
“Duh, Dek... bikin panik aja.”
Melia tampak panik sejak Danish pertama datang. Dia tidak sanggup menyetir sendiri dan menghubungi kakak iparnya untuk minta jemputan. Kemudian Arya Ranajaya dengan banyak sekali kekayaan mengirimkan sebuah helikopter untuk menjemput Danish di Hotel Singosari Bandung, dia menunggu di sana. Mobilnya diantar oleh salah satu pegawai kepercayaan Ranajaya, mungkin baru tiba nanti malam.
“Kamu kok bisa kecelakaan? Gimana ceritanya?”
Bukan luka yang besar memang, hanya robekan di bagian belakang kepala, tapi cukup membuat Danish pusing, ditambah masalah yang terjadi antara dirinya dan Sayna, dia tidak bisa menyetir sendiri untuk pulang.
“Tapi kok kecelakaan lukanya di belakang? Kamu gimana nyetirnya, Nish? Ngejengkang?”
Danish berdecak kecil, biasanya Melia tidak pernah banyak bertanya. “Aku nggak bilang habis kecelakaan mobil, kan?”
“Terus?”
“Ini jatuh.”
“Jatuh di mana?”
Dia tidak mungkin bilang kalau kejadiannya di kamar Sayna, karena pasti akan menimbulkan banyak spekulasi. Melia bisa saja menduga-duga, itu tidak boleh terjadi.
“Lagi main, Ma. Terus aku kepeleset, di belakang ada meja, kepalaku kepentok sama ujungnya.”
Melia meringis, membayangkan kepala anak kesayangannya terbentur lalu berdarah hingga harus menerima beberapa jahitan. Tapi cukup aneh karena tidak tahu seberapa keras Danish terjatuh hingga benturannya berakibat sefatal itu. Bukan rahasia lagi jika putra bungsu Melia adalah seorang pelatih taekwondo, apakah refleks mempertahankan dirinya sudah tidak berfungsi lagi?
“Bener udah nggak apa-apa?”
“Danish! Oalah, Nish...”
“Nish, kamu nggak apa-apa?”
“Irya bawa ke sana, bawa ke luar aja, jangan gangguin Om Danish, masih sakit ini.”
Sepertinya minta bantuan pada Arya untuk melakukan penjemputan bukan ide bagus. Danish baru tiba satu jam yang lalu, dan lihat sekarang, bukan hanya Dinara—kakak kandungnya, bahkan Ayudia Ranajaya pun hadir, datang menjenguk, wajahnya tampak panik. Ah, tidak. Semua orang panik.
“Kok nggak di rumah sakit? Sek, kita minta Sriwijaya kosongin lantai buat tempat Ninish dirawat, ya. Ibuk telepon sebentar.”
“Bu, nggak perlu.”
“Itu kepalanya, Bu Mel. Ada perban putih-putih ngeri, kasihan.”
“Nggak apa-apa, Bu. Itu buat menutup luka jahitan, dibiarkan terbuka lebih ngeri lagi.”
“Aduh, gimana ini? Sebentar ya tak suruh Mas Harjo beli kasur yang bisa dipakai tidur telungkup itu, sakit toh Nish kalau tidurnya terlentang nanti? Lukanya kehimpit gitu.”
Heboh sekali, Ayudia Ranajaya dan sifat berlebihannya tidak berubah sama sekali. Danish bisa membayangkan bagaimana kehebohan di Surabaya sana saat Pramudya dibopong turun dari pesawat karena pingsan selama perjalanan. Ayudia pasti melakukan penyambutan yang histeris ala serah terima jenazah.
Untung saja, ada Melia yang bisa mengimbanginya, jadi pawangnya.
“Kenapa, Dek?” tanya Dinara lembut. Tangan dan jari wanita itu bergerak mengelus rambut, memeriksa perban di kepalanya. “Kecelakaan di mana? Sayna mana?”
Hanya Dinara yang ingat kalau Danish ke Bandung untuk bertemu Sayna. “Dia nggak bisa ikut, besok harus ujian di kampusnya. Tapi tadi aku ke rumah sakit sama Sayna kok, Mbak.”
Dinara mengangguk. “Mas Arya ke sini sebentar lagi. Semua orang panik, Nish. Takut kamu kenapa-napa. Masih sakit kepalanya?”
“Udah enggak.” Danish menggeleng. “Aku sebenarnya nggak apa-apa, cuma nggak bisa nyetir mobil aja buat pulang.”
Tentu saja, Jakarta Bandung sama sekali tidak dekat.
Setelahnya hanya pertanyaan dan obrolan serta keributan yang berasal dari tiga ibu-ibu berisik itu bersahutan. Sementara dua gadis lajang—kembar—di sana, memilih diam saja, tidak buka suara atau mendekat ke tempat Danish berbaring, mereka berdua duduk di sofa, tidak terlihat khawatir atau apa. Hanya menjenguk sebagai basa-basi belaka.
“Nduk... Anya, Dya, mbok ya ini Danish disapa dulu, toh? Saudaranya sakit lho, lihat itu kepalanya bocor, duh... kasihan kamu, Le. Cepet sembuh, ya? Nanti ibu’e belikan mobil baru.”
Danish hampir tersedak, sedangkan Dinara terbahak-bahak, dan Melia buru-buru menolak halus tawaran menggiurkan itu dengan berbagai alasan.
“Kami turun dulu ke bawah, ada Om Tio mau jenguk. Boleh nanti Om Tio naik ke sini?” tanya Melia hati-hati. Tahu betul putranya belum bisa menerima kehadiran pria itu.
“Aku mau istirahat dulu,” tolak Danish. Dia membuang pandang, tidak menatap ibu atau pun kakaknya. Dinara mungkin sudah lupa kejadian masa lalu mereka dengan seorang ayah tiri yang menyebabkan trauma, tapi Danish tidak.
“Nggak papa, Ma. Mereka butuh waktu.” Suara Dinara menyahut, lalu para ibu itu pergi tanpa menutup pintu kamarnya, sebab masih ada Dya dan Anya bersama Danish di sana.
“Gue sampai bosen lihat kalian,” gerutu Danish sebagai sapaan. “Padahal Surabaya sama Jakarta jauhan, tapi kita sering banget ketemu.”
“Dya yang sering, ghue kan enggak.” Anya mengelak.
“Ya, lo berdua kan kembar, mirip, rasanya kayak ketemu kalian berdua meski cuma satu yang datang ke sini.”
Pramudya meringis, niat baiknya tadi langsung pupus begitu mendengar ocehan Danish. “Lo kayaknya udah sembuh, udah bisa ngomong seenaknya lagi. Gue pergi.” Gadis itu berdiri dan meninggalkan saudarinya di kamar Danish.
“Dya mau ke mana?”
“Ke laundry.”
“Hah?” Danish terperangah. “Heh, lo mau ngapain?”
“Nyuci baju.”
“Ghue ikut!” Anya menyahut dan dia juga menyusul Dya keluar dari kamar bujangan itu.
Danish memijit pelipis. Kenapa sih hari ini menjengkelkan sekali? Dia kira datangnya dua gadis itu bisa membuat harinya sedikit lebih baik. Buat apa pula mereka ke laundry? Di sana tidak ada siapa-siapa. Danish pemiliknya.
“Argh, sial!” Pemuda itu menggeram kesal, lalu meraih kunci mobilnya yang lain dan menyusul si kembar sebelum gadis-gadis itu pergi lebih dulu.
Dia sendiri tidak tahu kenapa hatinya tidak tenang dan merasa khawatir untuk hal yang tidak perlu. Perasaannya tidak menentu.
****
Hamam tidak tahu dia mimpi apa semalam, yang jelas ketiban durian runtuh bukan ungkapan tepat untuk itu. Entah sejak kapan Hamam menyukai Dya, mungkin sejak pertama kali melihatnya, hanya saja Pramudya itu seseorang yang istimewa, anak sultan asal Surabaya, jadi kesempatan Hamam sangat kecil untuk bisa bersapa dengannya. Butuh satu tahun lebih untuk dilirik oleh Dya sebagai seorang manusia, bukan hanya seonggok daging tidak bernyawa.
Dan ketika sedang senang-senangnya berhasil mencuri perhatian Dya, hari ini Hamam menemukan Dya yang lainnya. Tentu saja, mereka anak kembar, yang satunya memiliki wajah lebih tegas dan ada kesan galak, tapi dia malah lebih ramah dibanding Dya. Namanya Anya—Pradnya Paramitha Ranajaya, adik kembarnya Pramudya.
“Jackpot!” Hamam bersorak tertahan sambil meremat pundak Danish, berdiri di belakang bosnya itu. “Mungkin ini yang disebut pepatah, tak ada rotan akar pun jadi. Nggak dapat Dya, ada Anya yang jadi cadangannya.”
Danish melirik temannya sinis. Mana bisa begitu, kalau iya, apa kabar nasib suami Pradnya dan Pramudya di masa depan? Keduanya jelas tidak sama.
“Hai, Mas Hamam. Aku Anya, Dya bilang Mas Hamam baik, nggak berbahaya, aman dijadikan teman. Ayo kenalan!”
Sejak turun dari mobil pun, Anya sudah tersenyum lebar sambil melambaikan tangan padanya, justru Dya yang tersenyum tipis seadanya. Anya ternyata sangat ramah. Hamam suka padanya juga.
“Ha—Hamam,” ujar Hamam gugup sambil mengulurkan tangan. “Salam kenal, Anya.”
“Salam kenal, Mas Hamam. Nanti aku beliin jam tangan atau mobil baru sebagai hadiah perkenalan, ya.”
Danish dan Hamam tersedak berbarengan. Andai yang mengatakan itu bukan anak sultan, mereka bisa menganggapnya sebagai lelucon atau bualan belaka. Tapi kalau anak-anak Ranajaya yang bilang, maka jangan coba-coba mengiakannya.
“Nggak perlu sungkan, hadiah itu perlu untuk menghargai hubungan dan pertemuan. Dya kan udah kasih Mas Hamam hp baru, aku belum kasih apa-apa.”
Hamam menatap Danish panik. “Hadiah perkenalannya es krim aja boleh, nggak?”
“Oh, mau es krim?” Anya bersorak. “Boleh! Kebetulan aku juga suka.”
“Lo bakal dikirim es krim sepbarik-pabriknya, Mam. Lihat aja.” Danish berbisik pelan.
“Ya, masa gue pilih mobil? Gila aja, nyokap ntar nyangka gue jadi piaraan tante girang pula.”
Danish hanya mengangkat bahu acuh tak acuh.
“Gue pilih jam tangan aja apa, ya?”
“Jam tangan dari mereka itu seharga mobil.”
“Gila.” Hamam setengah bergumam dengan wajah meringis yang tidak mampu dia sembunyikan. Sementara Anya dan Dya tertawa berdua.
“Mas Hamam nggak balas chat-ku lagi semalam. Udah bobo, ya?” tanya Dya ketika mereka duduk di sofa laundry. Hanya ada dua sofa di sana, yang panjang berwarna khaki diduduki oleh Dya, Anya dan Danish, sementara di sisi kirinya Hamam duduk sendiri. Dia iri sekali melihat bosnya seolah-olah tengah dikelilingi dua istri.
“Maaf, Dya. Aku harus bangun pagi buat kerja, terus kuliah sampai jam 10 malam, kecapekan.”
“Nggak apa-apa.” Dya tersenyum ringan.
“Aku juga mau dong nomornya Mas Hamam, kita bisa chattingan, kan?” Yang satu lagi, menyodorkan ponsel ke arah Hamam.
Danish geleng-geleng kepala melihat tingkah keduanya. Pradnya dan Pramudya adalah fakir teman, sosialisasi mereka kritis, seringkali dimanfaatkan, makanya terlalu bersikap hati-hati jika bertemu orang baru. Tapi jika dua-duanya sudah mematikan radar pendeteksi bahaya andalan mereka, lihat saja yang dilakukannya. Anya dan Dya bisa memindahkan seluruh isi planet demi membahagiakan teman-teman yang mereka suka.
“Nish,” bisik Hamam pelan sambil mengetikkan nomor di ponsel Anya. “Cara ngebedainnya gimana sih? Gue mendadak blur gini, lupa yang mana Dya, mereka mirip soalnya.”
“Ya, mirip kan kembar, pea!” Danish bahkan tidak perlu merendahkan suaranya. “Nih, cara bedainnya itu lo denger aja pas mereka ngobrol sama gue. Yang ghue-nya medok itu Anya, kalau yang gue-nya normal itu Dya.”
“Lo sengaja ngeledek ghue, ya?”
“Nah, itu Anya.” Danish menunjuk gadis berbaju biru yang baru saja bicara. Aksen Betawi medoknya khas di telinga, Hamam suka.
“Oke, gampang!” Hamam menjentikkan jarinya, bangga karena dia tahu yang mana Dya dan Anya mulai sekarang. “Eh, topi lo bagus nih, Nish.”
Danish kira temannya itu tidak akan peka, dia sengaja pakai topi untuk menutup perban di belakang kepala. Hamam mulai curiga dan mengangkat sedikit topinya, melihat apa yang terjadi di sana.
“Woah!” Dia berseru lemah. “Kenapa lo?”
“Kepentok ujung meja.” Danish terkekeh. Tidak ingin tampak lebih menyedihkan.
“Njir, kok bisa? Memangnya sekeras apa?”
Pramudya yang awalnya tidak terlalu peduli mulai mencuri dengar percakapan itu. Hamam benar, memang sekeras apa sampai berdarah dan dijahit begitu?
“Jatuh,” jawab Danish pelan. “Terus kepentok gitu.”
“Nggak lucu.”
“Lo kecelakaan di Bandung, kan?” Anya akhirnya buka suara, tapi mulai merasa ganjil setelahnya. “Nish, kenapa?”
“Nggak apa-apa. Gue sama Sayna—”
“Sayna?” Dya ikut bicara. “Kenapa Sayna?”
“Dia mabuk?” Anya menambah rentetan pertanyaan.
“Nggak.” Danish mengibaskan tangan. “Dia nggak mabuk, Sayna bukan cewek kayak gitu.”
“Jadi kalian bertengkar secara sadar sampai lo celaka gini, Nish?”
Danish ingin kabur, dia tidak suka mereka membahas topik itu, apalagi beramai-ramai seperti ini. Pun dia juga bersalah pada Sayna karena memaksanya, merebut ponselnya, hingga memepet gadis itu ke dinding dan dia berteriak kesakitan.
“Gue nggak apa-apa,” jelasnya singkat.
“Nggak apa-apa? Seriously?” Pradnya menatap wajah Danish lekat-lekat. “Ini jelas kenapa-napa, Nish.”
“Sayna sama Danish jago beladiri, mungkin sesuatu kayak gini nggak bisa dihindari kalau mereka berdua lagi bertengkar.” Hamam memberikan pembelaan meski pada dasarnya pun dia tidak yakin.
“Nish, itu nggak baik.” Anya memasang ekspresi khawatir, beda dengan Pramudya yang wajahnya datar-datar saja, padahal dia yang paling Danish percayai. “Lo sama Sayna itu udah toxic banget.”
“Jangan sok tahu, Anya.”
“Ghue tahu!” Anya berang. “Ini buktinya.” Tangan gadis itu membuka topi yang Danish pakai sembarangan.
“Lo nggak bisa menyimpulkan begitu aja hanya dengan melihat keadaan gue sekarang. Lo nggak tahu apa yang gue lakuin ke Sayna, kan?”
“Nggak tahu, tapi yang jelas nggak baik-baik aja. Lo nggak bisa seenaknya bilang ini nggak apa-apa, ini baik-baik aja. Lo jangan gila, Danish! Lo dilahirkan sama Bu Melia susah payah, disayang sama semua orang, dibesarkan mati-matian bukan buat diperlakukan begini. Lo nggak tahu kan gimana khawatirnya kita sekeluarga? Gimana paniknya Mas Arya pas ngabarin kalau lo celaka di sana? Sendirian pula. Ghue, Ibuk sama Dya jauh-jauh dari Surabaya buat apa? Dan sampai sini lo yang cuma berantem sama Sayna bilang kalau ini nggak apa-apa? Nggak papa ndasmu!”
Pradnya bicara menggebu-gebu. Air matanya nyaris jatuh saat mengatakan semua hal itu. Baik, dia dan Danish memang tidak dekat untuk mengaku sebagai sahabat. Tapi Danish adalah keluarga barunya, saudara laki-lakinya, dan Anya sayang padanya. Di keluarga mereka—Ranajaya, pantang sekali ada yang terluka meski hanya seujung kuku saja. Apalagi ini, bocor di kepala. Danish sudah gila kalau masih menganggap ini semua tidak apa-apa.“Gimana keadaan Sayna?” Dya buka suara.Suasana yang cerah dan menyenangkan tadi sudah tidak ada sejak Anya melampiaskan kekesalannya. Anya memang begitu, dia ekspresif, tapi gadis itu baik, dia hanya khawatir pada Danish.“Iya, Nish. Sayna ada yang luka juga?” Hamam menimpalinya.“Ini nggak kayak yang kalian pikir. Gue sama Sayna memang berantem tapi bukan yang pukul-pukulan atau gimana, ini kecelakaan.”“Iya.” Dya mengangguk, berusaha mengerti ucapan Danish, tidak melihat
Merasa sudah dewasa, Danish jarang sekali berbagi hal-hal dengan ibunya. Namun untuk kasus seperti kecelakaan ini, dia tidak bisa. Lukanya menganga, tetap dipertanyakan andaipun dia rahasiakan. Dan itu sebuah petaka lain, sebab Melia membuat kehebohan yang berlebihan, mulai dari Danish harus izin ke kampus dan tidak masuk kelas sampai dia pulih, hingga mengabari teman-temannya yang jauh di luar kota.Butuh waktu yang pas bagi Aryan untuk menghubunginya, tapi Angga yang tinggal dan kuliah di Yogyakarta menelepon Danish lebih cepat dari yang ia duga. Angga, selain menanyakan bagaimana kabar dan separah apa luka yang Danish terima, juga menggosip perihal pacar terbaru Melia.“Sayang banget, gue kira Tante Mel bakal jadi ibu sambung gue dan kita jadi sodara, Nish.” Angga terdengar sedih. “Papa jadi duda udah lama, nggak kawin-kawin, gue kira nunggu Tante Mel, tapi kan nyokap lo nggak bakal nikah dulu sampai anak-anaknya mandiri. Berarti Tante lagi nunggui
Hari apa sekarang? Tepatnya... sudah berapa lama? Sayna masih menunggu. Dia bersabar meski tidak pernah mendapat kabar. Apa Danish baik-baik saja? Bagaimana keadaannya? Kapan dia akan kembali? Sayna takut, perutnya semakin besar.Danish memintanya untuk menunggu. Dia butuh waktu, tentu, Sayna mengerti itu. Tapi keadaan sekarang sudah tidak sama, ada yang harus Sayna beri tahu. Perutnya mungkin masih rata, tapi ada segumpal daging yang bertumbuh di dalam sana. Usianya menginjak bulan ketiga, 12 minggu 6 hari. Berarti sudah dua bulan Danish dan Sayna tidak berjumpa.Sayna merindukannya, sebanyak dia harus menahannya, sesakit yang harus ditahannya.“Sabar, ya...” Gadis itu mengelus permukaan perut. Katanya gerakan mulai terasa di atas usia 12 minggu, berarti tak akan lama lagi Sayna bisa merasakan sensasi kupu-kupu di sekitar sini.Malam-malam begini, dia harus terjaga karena tiba-tiba menginginkan buah semangka. Di mana Sayna harus mencarinya? A
“SAYNA!”Danish menggaungkan nama itu ketika tali yang menggantung tubuhnya sendiri membawa dia melesat jauh ke ujung pemberhentian. Kecepatannya menggila saat jarak semakin dekat, bergelantungan di ketinggian 15 meter di atas tanah dengan kecepatan 80 kilometer/jam dan hanya menggantungkan keselamatan pada seutas tali, tentu memacu adrenalin sekali.Dia perlu melakukan itu, untuk menyembuhkan diri. Lalu bersiap menemui Sayna lagi.“Norak banget, Danish!” Pradnya langsung mencibirnya saat Danish tiba di pemberhentian, turun dan melepas pengait di bagian belakang. Naik salah satu flying fox tertinggi di Indonesia memang menyenangkan.“Uuuu...” Hamam menyusul dengan sorakan bahagia yang serupa, lalu muncul Pramudya tak lama setelahnya.Mereka berempat jalan-jalan ke puncak selama Hamam dapat jatah libur dan untuk merayakan Danish yang akan segera kembali pada rutinitasnya ke Bandung tiap minggu.
Empat orang itu kemudian kembali berkeliling, menikmati pemandangan hingga berhenti di ayunan gantung yang terikat di pohon tinggi, bertingkat. Anya yang pertama ingin mencoba, dia naik lebih dulu, lalu Hamam naik di urutan berikutnya karena Anya yang meminta. Sementara Dya memilih menunggu, dia tidak suka dengan ide harus satu ayunan dengan Danish dan bergelantungan di atas sana. Danish kan kejam, dia bisa mendorong Dya tanpa aba-aba kalau dia salah bicara sedikit saja.“Kayaknya tersakiti banget jadi lo, ya.” Danish menyindir sekaligus menatap sok iba pada Pramudya. Gadis itu seperti istri tua yang ditinggal suaminya.“Gue biasa ngalah dari kecil sama Anya.” Atau lebih tepatnya, perasaan Pramudya tidak pernah benar-benar dipedulikan. Perasaannya tidak penting, orang-orang selalu abai karena Dya diam saja.“Kalau gitu lo harus bisa membatasi apa yang lo bagi sama Anya mulai sekarang.”“Mana bisa, gue sama dia sau
“Good luck!”“Uh, ghue sebenarnya nggak rela, tapi ghue mau lo bahagia, lo ceria lagi. You deserve the best, Nish.”“Makasih, Anya, Dya.”Danish tersenyum lebar mendengar ucapan dua gadis kembar itu sebelum dia berangkat ke Bandung pagi ini. Anya membelikannya baju baru yang langsung dibersihkan kemarin, sementara Dya menyiapkan bunga yang harus Danish berikan pada Sayna, juga sebuah cincin mungil untuk kelingking. Mereka bilang, Danish harus kembali pada Sayna dengan versi terbaiknya. Harus datang dan membuat Sayna jatuh cinta lagi, berkali-kali dibanding sebelumnya.“I love you, Nish.” Anya berujar sambil merangkulnya, bergelanyut di pundaknya dan menghadiahi Danish kecupan di dahi. Meski Anya bilang begitu, entah kenapa Danish tahu kalau kata cintanya terasa berbeda.“Hati-hati di jalan, makasih ya.” Terakhir, Dya yang turun dari mobilnya. Gadis itu melayangkan sebuah ciu
Danish membeliak, menahan napas terang-terangan, lalu perlahan menarik telapak tangannya yang bermukim di perut gadis itu. Reaksi yang... wajar sebenarnya.Reaksi super wajar. Memangnya apa? Sayna ingin kabar kehamilannya disambut bahagia? Mereka bahkan belum menikah, bagaimana bisa kehadiran janin di luar nikah membuat Danish berbunga-bunga? Dia justru kaget, panik, reaksi yang sangat tertebak.Namun... Sayna tetap kecewa. Dia tidak suka pada ekspresi dan reaksi kekasihnya. Janin itu ada di perut akibat perbuatan mereka berdua. Kenapa Danish sedikit saja tidak ingin berterima kasih padanya? 14 minggu sama sekali tidak mudah mengandung benih itu sendirian.“Kenapa? Kenapa bisa, Say?”Sakit mendengar pertanyaan itu, saat Sayna tidak mungkin hamil sendiri tanpa dibuahi. Tapi seperti takdir kebanyakan, perempuan memang selalu jadi pihak yang paling dihakimi. “Bisa, Nish. Karena kita cuma pakai kontrasepsi, bukan angkat rahim atau vasektomi.
Danish tidak percaya pada pendengarannya sendiri. Sama sekali. Dia mungkin perlu memotong daun telinga untuk benar-benar memastikan bahwa, ini bukan mimpi. Sayna di hadapannya berwajah kuyu, mata sayu, bernapas pendek, menahan ringisan ngilu.“Say...” Danish menyebut namanya dengan setengah tak percaya. “Bohong, kan?”Sayna menggeleng, membiarkan Danish menangkup wajahnya, mengalirkan anak sungai dari mata cantiknya.“Maaf,” bisik gadis itu pelan, yang tentu membuat Danish justru semakin tertekan.“Jangan gila, Sayna.” Pemuda itu menggeram, tangkupannya di wajah Sayna berubah perlahan menjadi cengkeraman. “Bilang kalau lo cuma bohongin gue.”Gadis itu menggeleng untuk kali kedua, air matanya turun semakin deras dari sana, dan ketika Danish memeriksa, dia menyadari ada darah yang turun di sela-sela kaki Sayna, menguarkan bau anyir yang khas. Danish langsung menjatuhkan tubuh, sementara Sayn
Sayna sekarang tahu bahwa Arunika merupakan putri sulung sekaligus putri satu-satunya dari Mark Tuan, seorang pria yang lahir dari wanita asli Sunda dan ayahnya berdarah Tionghoa. Pantas saja dia punya perawakan yang berbeda dengan para pribumi, meski dipanggil Gege oleh adiknya, tapi keluarga mereka sangat meninggikan kebudayaan dan adat Sunda. Mungkin karena ibu kandungnya memiliki latar belakang yang kental dengan budaya, kabarnya mereka adalah keluarga pengelola museum adat Sunda di Subang.Mark dan keluarganya menetap di Lembang, daerah Bandung yang juga dekat ke arah Subang. Dia bekerja sebagai direktur operasional perusahaan farmasi keluarga yang dikepalai oleh kakak kandungnya sebagai lulusan apoteker handal. PT Sagara Purnama adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri kosmetik dan kontrak manufaktur pertama di Subang. Itu sekilas yang Sayna tahu dari hasil pencariannya di internet mengenai latar belakang pria itu.“Sebenarnya saya ke rumah sakit
“Sayna, Adek koas favorit Bunda, sini-sini.” Sayna menyengir pasrah ketika salah satu perawat senior memanggil namanya sambil melambai-lambaikan tangan. Sudah pasti dia akan dapat tugas tambahan. Mereka bilang, anak-anak koas adalah keset kaki karena acapkali diperlakukan semena-mena selama menjadi sukarelawan di rumah sakit. Tak jarang yang memperlakukan mereka tidak manusiawi adalah rekan-rekan seniornya sendiri. Di stase ini tentu Sayna tidak terlepas dari orang-orang dengan profesi dokter, perawat, hingga bidan dan lain-lainnya. Namun nasib anak-anak magang dari angkatan perawat dan kebidanan jauh lebih mengenaskan. Tak jarang Sayna yang harus membimbing mereka saat ada waktu senggang. “Kamu ke perina, ya. Banyak yang mau aterm hari ini.” “Baik, Bu.” Sayna menurut dengan mudah saat kepala perawat favoritnya meminta bantuan untuk membuat dia berjaga di ruang perina dan menunggu ibu-ibu yang akan melahirkan bayi. Ruang itu terhubung
“Dede enakan? Boleh Ayah minta sun?” “Boleh.” Gadis kecil berusia dua tahun lebih itu mendongak untuk mengecup wajah sang ayah. “Napa?” “Nggak papa, ayah cuma mau minta sun aja. Kangen sama Dede.” “Hai, Nika...” sapa Sayna ramah, meski pada kenyataannya Arunika yang ini lebih suka pada Rafika saat mereka berkunjung untuk memeriksa keadaannya. “Udah minum susu belum, Sayang?” “Nggak mau.” Dia menggeleng lemah. Gadis kecil itu merengut, merapatkan tubuhnya pada sang ayah. “Sus, ini bisa nggak dititip sebentar? Nanny lagi makan siang di kantin, saya ada keperluan yang harus dibeli ke luar.” Sayna tersenyum dan mengangguk. “Silakan, Pak. Biar Arunika saya yang jaga.” “Wah, ini Tante susternya hafal nama Dede.” Pria itu bersorak senang. “Tunggu sebentar, ya? Ayah mau beli sesuatu, nanti Dede beli mainan baru deh, mau?” “Nggak mau.” Arunika menggelengkan kepala tanda tak setuju. “Nika mau minum susu sama tante?” tawar
Setelah bulan lalu mengakhiri masa abdinya di stase bedah, yang mana membuat Sayna merasakan pengalaman luar biasa selama berada di sana, mulai minggu ini dia mendapat giliran berjaga di stase anak. Meskipun mengingat perjuangan serta pelajaran yang dia dapat dari stase bedah sangat berharga dan beragam, Sayna lega karena bebas dari sana. Stase bedah memiliki pasien yang banyak, nyaris membludak untuk di-follow up setiap hari. Tapi di sana juga keterampilan Sayna sangat diuji. Kemampuannya menjahit luka semasa kuliah pra-klinik selama 3,5 tahun benar-benar direalisasikan. Sayna bahkan belajar menyunat di stase ini. Dan yang paling berkesan adalah melakukan operasi transplantasi kulit pada pasien luka bakar yang mana kulitnya diambil dari bagian paha dan ditanam ke punggung. Luar biasa, Sayna merasa jadi mahasiswi kedokteran betulan saat itu. Dan semuanya sudah berlalu, Sayna tidak yakin lulus di stase itu karena mahasiswa sepintar Gio saja dulu tidak mampu m
Anya merasa lebih tenang sekarang, karena meski saudarinya akan merantau ke negeri orang, dia mengantongi izin untuk berkunjung ke tempat Dya belajar sesering yang dia ingin. Setelah melakukan pentas drama di depan ayah dan ibunya, Anya dikonfirmasi akan segera memiliki privat jet miliknya sendiri untuk keperluan pulang pergi melongok Dya di New York. Dan berhubung keduanya anak kembar, tidak adil rasanya jika Ranajaya hanya membelikan untuk salah satu dari mereka saja. Alhasil, Dya yang tidak berminat sama sekali pada benda bisa terbang itu pun harus ikut menerima pemberian orangtuanya. Mau tidak mau.“Aku nanti minta jadwal kamu pokoknya, biar pas kamu free aku ke sana.”Dya mengangguk mendengar permintaan saudarinya itu, sedikit lega karena Anya tampak lebih bersemangat dibanding beberapa hari yang lalu. “Kamu baik-baik, ya.”“Aku yang harusnya bilang gitu.” Anya berguling dari posisinya saat ini dan telungkup untu
“Lo masih mau di sini?” Suara Danish menyadarkannya kembali. “Kalau mau sama Hamam nggak papa sih.”“Eh, nggak, Nish, nggak! Gue nggak enak juga kalau harus ke kamar Dya.” Hamam salah tingkah dan mengusap tengkuknya gelisah. “Dya sama Danish aja, ya? Biar Mas Hamam di sini jagain Anya, oke?”“Oke.”Pada akhirnya Dya pasrah saat Danish membantunya mengalungkan tangan dan berjalan tertatih menuju villa tempat mereka menginap. Sementara Hamam, Anya, Arvin, Rafid dan Herdian tinggal untuk menikmati berbagai permainan yang disuguhkan. Namun setelah dua orang itu menjauh, lima anak muda itu justru tidak meneruskan niat mereka semula.“Gila, ya. Untung lo masih ada otaknya, Mam. Kalau lo ngotot bawa Dya tadi kebayang gimana patah hatinya Danish.” Herdian membuka obrolan.“Iya, kasihan gue kalau dia harus patah hati dua kali dalam waktu dekat.” Pendapat Rafid menimpali duga
“Sial, banyak banget debu jalanan. Tutup mata, Anya!”“WAAAA....”Danish langsung mengerem sepeda motor yang dia kendarai mendengar jeritan Hamam di sebelahnya, temannya itu nyaris oleng sebelum berbelok ke kiri jalan dan berhenti.“Kenapa sih?” tanya Danish keki. Merasakan pegangan tangan Anya di pinggangnya melonggar perlahan. Mereka sedang berwisata dan menaklukan medan jalan yang berdebu dan terjal untuk sampai ke tujuan.“Gue kaget, Nish. Pas lo teriak nyuruh nutup mata itu gue refleks nutup mata juga, padahal kan gue lagi nyetir, mana bonceng Dya di belakang. Kalau Dya cedera nyawa gue bisa melayang.”Dya dan Anya tertawa, mereka kira apa. Dya yang duduk di belakang Hamam bahkan bingung sendiri saat pemuda itu mulai tidak stabil membawa kendaraannya lalu berhenti tiba-tiba.“Maaf ya, Dya.” Hamam merasa sangat berdosa. Ini harusnya jadi liburan yang paling berkesan karena Dya a
Menghabiskan dua malam di Jakarta bersama Giovanni yang diizinkan menginap oleh orangtuanya, Sayna melakukan perjalanan kembali ke perantauan. Bukan Bandung, kali ini dia harus ke Majalengka karena sedang sibuk KKN di sana. Agak sedih karena Sayna tidak bertemu dengan adiknya sama sekali berhubung anak itu sedang sibuk pendidikan, dia juga tidak tahu kapan bisa pulang ke rumah lagi, bisa dipastikan Sayna akan lebih sibuk dalam beberapa bulan kedepan.“Semangat dong!” Gio tersenyum menggoda, paham kalau gadis cantik yang duduk di sebelahnya itu tengah diserang homesick musiman yang biasa menyerang para mahasiswa KKN. “Gimana aja program kalian?”“Programnya banyak,” keluh Sayna pelan. “Ada satu anak yang ngeselin dari teknik sipil, aku sering banget nahan bogem kalau dia mulai ngoceh terus, Kak.”Giovanni mengacak rambut pendek Sayna dengan sebelah tangan. “Namanya dinamika kelompok, hadapi aja, ya. I
“Om... tolong!”Irya sedang bermain sandiwara dengan pamannya.“Om! Aku syakit!”Danish tidak menggubris.“Om, tolong aku!”“Aduh, berisik banget!” Danish menggerutu lalu berjalan mendekati bayi yang usianya entah berapa itu. Irya terlalu pintar untuk anak seusianya. Sibuk berakting demi mencari perhatian. Lihat saja, dia membuka lemari penyimpanan di kamar Danish lalu memasukkan sebelah tangan ke dalamnya dan menutup pintu lemari itu kemudian menjerit seolah sangat kesakitan.“Apa-apaan sih, Den?” tanya Danish keki. Kelakuan Irya kadang sebelas dua belas dengan ayahnya. Ada-ada saja.“Hehe, makasih Om!” seru Irya tanpa merasa berdosa atau apa.Danish menggendong anak itu dan menatapnya sambil menyipitkan mata. Tidak ingin dan tidak bisa menebak hal aneh lain yang akan dilakukan oleh Irya. Dia seperti tidak kehabisan ide untuk membuat keributan dan ingin se