“Good luck!”
“Uh, ghue sebenarnya nggak rela, tapi ghue mau lo bahagia, lo ceria lagi. You deserve the best, Nish.”
“Makasih, Anya, Dya.”
Danish tersenyum lebar mendengar ucapan dua gadis kembar itu sebelum dia berangkat ke Bandung pagi ini. Anya membelikannya baju baru yang langsung dibersihkan kemarin, sementara Dya menyiapkan bunga yang harus Danish berikan pada Sayna, juga sebuah cincin mungil untuk kelingking. Mereka bilang, Danish harus kembali pada Sayna dengan versi terbaiknya. Harus datang dan membuat Sayna jatuh cinta lagi, berkali-kali dibanding sebelumnya.
“I love you, Nish.” Anya berujar sambil merangkulnya, bergelanyut di pundaknya dan menghadiahi Danish kecupan di dahi. Meski Anya bilang begitu, entah kenapa Danish tahu kalau kata cintanya terasa berbeda.
“Hati-hati di jalan, makasih ya.” Terakhir, Dya yang turun dari mobilnya. Gadis itu melayangkan sebuah ciuman di pipi sebelah kiri, yang entah kenapa membuat Danish risih sendiri.
“Dya!” pekik Danish tidak senang. Dia merasa kesuciannya hilang, cukup Anya saja, Dya tidak perlu seperti itu juga.
“Cium pipi nggak bikin hamil, kan?”
Gadis itu berjalan menjauh, masuk ke hotel—menyusul saudarinya yang sudah pergi lebih dulu. Semalam mereka menginap di rumahnya untuk membantu Danish bersiap ke Bandung pagi ini, rasanya menyenangkan punya saudara yang seumuran, Dya dan Anya bisa jadi teman, bisa jadi lawan, bisa jadi... sahabatnya juga.
Beberapa jam kemudian, Danish keluar dari tol Pasteur menuju arah ke kosan Sayna. Lebih dari dua bulan dia tidak menyambangi tempat ini, tapi rasanya seperti sudah lama sekali. Danish ternyata rindu, dia selalu suka suasana Bandung di akhir minggu.
Bangunan kos Sayna dicat berwarna putih dan abu-abu, dari luar dia bisa melihatnya. Kamar gadis itu, di lantai dua. Danish tersenyum, ada debar di dadanya, aneh sekali. Dan dia bahagia masih bisa merasakan itu semua.
“Sayna,” panggilnya—pada gadis berbaju cokelat yang tengah berjalan lambat untuk keluar dari gedung kosan.
“Hai...” Sayna menjawab pelan. Langkahnya tertahan, matanya bertatap lama dengan Danish sebelum salah satu dari mereka bergerak. Sayna yang berjalan duluan, dia menghampiri Danish, pemuda itu seperti biasa memarkir mobil di depan gedung kosan sambil berdiri menunggu tanpa mau repot mengirim pesan.
Melihatnya, Sayna bahagia.
“Apa kabar?” tanya Sayna begitu mereka berdiri berhadapan. Namun Danish tidak menjawab, dia melengkungkan senyum dan langsung menarik Sayna ke pelukan, membagi debar dan hangatnya sekaligus meluruhkan seluruh kerinduan yang selama ini mereka tahan-tahan.
“Nggak pernah lebih baik daripada hari ini. Lo gimana?” Danish tidak memberi Sayna jeda. “Gue kangen, Sayna. Ternyata gue masih secinta dan sesayang ini sama lo.” Bahkan setelah sekian lama tidak berjumpa, perasaannya tetap sama.
Danish ingin Sayna tahu, ingin Sayna mendengarnya.
“Kalau lo nggak datang hari ini, mungkin besok gue mati.”
“Jangan nangis.”
Danish membiarkan peluknya kembali menjadi payung untuk hujan dari wajah Sayna, membiarkan rindu, bahagia dan lega menguasai keduanya. Dia mengusap punggung dan rambut gadis itu, yang entah kenapa terasa lebih kurus dibanding sebelumnya. Sayna pasti tertekan selama mereka tidak berjumpa.
“Sayna,” panggilnya. Danish rindu menggaungkan nama gadis itu sambil memeluknya secara langsung seperti sekarang. “Maaf ya, Sayang? Maaf karena membuat lo harus menunggu lama.”
Sayna pasti sudah gila. Karena bukannya benci atau kesal seperti kemarin, dia justru semakin jatuh cinta mendengar kekasihnya hadir saat ini. Bukannya pudar, perasaannya justru semakin besar. Semua amarahnya menguar, dia hanya rindu pada sosok itu dan mengabaikan semua perasaan buruk yang berkecamuk.
“Lihat, gue bawa apa.” Danish mengambil buket bunga yang disiapkan Pramudya untuk diberikan pada Sayna. “Bunga Lily, buat Sayna yang gue cinta dan gue rindukan setengah mati. Selamat hari jadi kembali.”
Sayna tidak bisa berkata apa-apa, suara tangisnya justru semakin keras, tangannya menyasar punggung lalu berhenti di belakang kepala kekasihnya. Memeriksa bekas luka di sana.
“Gue udah nggak apa-apa.” Danish segera memberi penjelasan, bekas lukanya hilang, tidak ada rambut yang gagal tumbuh di sana. Melia membawanya perawatan setelah sembuh.
“Maaf, ya...” Sayna berbisik lirih, malu sekali jika terkenang kelakuannya waktu itu. “Maafin gue, Nish.”
Bahkan tanpa dia harus minta maaf, Danish sudah memaafkannya, itu bahkan bukan kesalahan Sayna. Itu hanya refleks melindungi diri yang keluar secara alami karena Sayna merasa terancam atas perlakuan Danish padanya.
“Sayna...” Suara rendah Danish menyebut nama kekasih tercinta. “Maaf untuk semuanya. Apa yang bisa gue lakuin buat perbaiki hubungan kita berdua? Gue mau kita terus sama-sama.”
Sayna tidak menjawab apa-apa, dia masih terisak dan perlahan mengelus perutnya, Danish harus tahu hari ini juga.
****
“Gimana keadaan di kampus?”
Ibarat ada luka gores di kaki, rasanya perih dan risih, cukup mengganggu sekali. Namun Sayna punya luka berdarah, nyaris diamputasi, jadi luka gores tadi tidak terasa seperti apa-apa. Tidak sakit sama sekali, dia mengabaikannya. Sayna punya luka yang lebih parah.
Menunggu Danish datang kembali, dengan seorang anak di perutnya adalah mimpi paling buruk dari yang terburuk, dan syukurlah Sayna sudah melaluinya. Masalah kampus bahkan tidak ada dalam pikiran Sayna, dia hanya harus hadir di kelas, mengerjakan tugas, dan berusaha lebih keras.
Sekarang Danish ada di sini, di pelukannya, berbagi banyak cerita. Dua bulan tidak berjumpa, mendengar bagaimana hari-harinya di sana tanpa Sayna.
“Jeda itu bikin gue tersiksa, gue kangen banget, Sayna.” Tapi dia pun perlu sembuh dari luka, Sayna memahaminya.
Meskipun harus ada Pramudya di antara mereka berdua.
Mereka melakukan makan malam romantis, seperti merayakan hari jadi, Danish memberi Sayna bunga yang indah. Bunga Lily, yang entah sejak kapan jadi lambang cinta mereka berdua. Kemudian menyewa sebuah kamar untuk tempat keduanya berbagi asa, memecah tabungan rindu yang begitu mencekik selama tidak berjumpa.
“Kangen sama gue nggak, Say? Sama Bolu juga, anak kita.” Danish tersenyum. Dia melirik gadis cantik yang berbaring di sebelahnya, menjadikan lengan sebagai bantal, sambil mencuri wangi yang menguar dari sana.
“Kangen,” jawab Sayna pelan. Dia tidak terlalu banyak bicara, Sayna menyentuh kulit perutnya lembut. “Kangen sampai nggak tahu gimana cara ngungkapinnya.”
Merasa tidak merana sendiri, rindu sendiri, cinta sendiri, Danish merona.
“Bolu apa kabar?”
“Kurusan,” jawab Danish jujur. “Kayak mamanya di sini. Kalian kenapa? Harus lebih banyak makan, Sayna.” Danish merengkuh pinggang Sayna, lalu tangannya naik, menelusup ke baju yang dikenakan, menangkup dada Sayna dengan sebelah tangan. “Tapi anehnya, bagian ini malah tambah besar.”
Sayna tersenyum, senang dengan kenyataan Danish masih bisa mesum.
“Mungkin karena nggak ada yang ngisap ya, Say? Jadi tambah besar.”
Gadis itu mengerang saat Danish menyerang. Tanpa aba-aba, tidak ada persiapan sebelumnya, hanya sebuah ciuman menuntut kemudian Danish turun ke dada, bermain di sana. Ya ampun, ternyata Sayna merindukannya sebanyak ini, hingga ke titik tubuhnya bergerak sendiri, memberi penerimaan penuh atas sentuhan-sentuhan itu.
“Nish...” Sayna berbisik ketika tubuh mereka tidak lagi tertutup apa-apa, entah bagaimana Danish membuka itu semua. “Pelan-pelan, ya?”
Danish menyeringai, yang entah kenapa malah membuat Sayna makin terbuai.
“Say,” sebutnya pada nama depan Sayna yang membuat gadis itu berbunga-bunga. “Dia... ngapain aja?”
Sayna bergidik ketika Danish bergerak lebih jauh, menjamah bagian dalam pahanya, mengelus di sana. Dia menunggu sesuatu, dan Sayna tahu itu.
“Hm...”
“Gini?” Sayna menggeleng, dia ingin menangis, sudah susah payah dilupakan, kenapa harus diungkit lagi saat ini? “Ssshh... jangan nangis.” Danish mengusap air yang meleleh dari matanya, lalu mendaratkak kecupan berhasrat di bibir bawah. “Gue mau hapus dia, Sayna. Gue bakal hapus semua jejaknya,” bisik Danish dengan suara rendah yang membuai. “Boleh, kan?”
Tentu saja, Sayna mengiakan. Tangannya menuntun pemuda itu, menyentuh bagian yang pernah dijamah orang lain, meminta kekasihnya berada di sana.
“Begini?” tanya Danish pelan. Dadanya berdebar hebat, membayangkan bagian favoritnya pernah disentuh Giovanni. “Benar, begini?” ulangnya sekali lagi.
“I...ya.”
“Terus, gimana lagi?” Danish menggeram rendah, saat jari lentik gadis cantiknya menyentuh area pangkal paha. Sial, jadi mereka melakukan ini juga? Dia tidak bisa menahannya lagi.
Bayangan Sayna disentuh orang lain menghantui dalam kepala, membuatnya marah bukan kepalang, tapi sekaligus memberi sensasi aneh dan baru yang menantang. Dia ingin tahu seberapa banyak Sayna menikmatinya, sampai mana lelaki itu membuat gadisnya terlena, siapa yang lebih hebat di antara mereka berdua.
“Nish... di... situ...” Suara Sayna bergema lemah, dadanya bergemuruh. Akal sehatnya tidak bisa bekerja, semua teralihkan oleh reaksi tubuh. Panas, gatal, membuatnya menggelepar.
“Gimana?” tanya Danish dengan seringai di wajah. “Lebih enak siapa?”
Sayna menatap sayu, dia tidak bisa menjawabnya, dia tidak tahu. Gio tidak pernah melakukan sejauh itu.
“Sayna?”
“Danish...” bisik Sayna lirih. “Cuma Danish...”
“Cuma gue?”
“Cuma lo satu-satunya, Nish.”
“Jangan bagi lagi ke orang lain, hm?”
Tidak, tidak akan pernah. Itu kesalahan terbodoh sepanjang hidupnya, tidak akan ada yang kedua. Sayna berani memotong leher jika dia kembali mengkhianati kekasihnya. Lalu, dia mengangguk dan Danish tersenyum puas di atasnya. Dan untuk bermenit-menit kemudian tidak ada kalimat yang bergaung di udara, yang ada hanya erangan tertahan dan kegiatan melelahkan. Membuat seluruh bagian tempat tidur berantakan.
Lalu Danish menarik kain yang berjatuhan akibat aktivitas barusan, menutup tubuh Sayna hingga ke dada, memeluk gadis itu, mendaratkan ciuman-ciuman penuh perasaan sebagai ungkapan terima kasih setelah mendapat pelepasan. Dia juga membantu Sayna membersihkan sisa-sisa kegilaan mereka berdua, lalu berbaring, bersebelahan, sama-sama mengatur napas yang masih tidak beraturan.
Sekarang sudah tidak ada jejak siapa-siapa di tubuh Sayna selain dirinya. Sayna itu miliknya. Danish merasa lebih lega.
“Lo harus lupa sama dia,” ucapnya lirih. Sebab siapa yang tahu isi kepala dan hati manusia? Siapa yang tahu kalau Sayna diam-diam senang berfantasi dengan orang selain dirinya? “Itu perintah, Sayna.”
“Iya.” Sayna mengangguk paham.
“Gue bisa jadi apa yang lo suka, jadi yang lo mau, kita bisa kompromi untuk itu. Lo cuma harus bilang, Say. Bisa, kan?”
“Iya.”
“Mau cerita sesuatu?” Danish peka, dia merasa Sayna agak berbeda, lebih diam dibanding yang biasanya. “Dua bulan lebih kita nggak ketemu, gimana aja?” Dia pun mengusap dahi gadis itu yang masih berpeluh.
“Lo dulu,” ujar gadis itu. “Ceritain, ada apa aja di sana? Ngapain aja? Tante Melia gimana? Irya, Mbak Dinara...” Sayna ingin tahu, dia rindu orang-orang itu.
“Hm... Mama.” Danish terkenang ibunya. “Mama kayaknya mau nikah lagi, Say.”
“Hah?” Sayna terperangah. “Sama siapa? Sejak kapan Tante Mel punya pacar?”
“Udah lama, sih.” Tapi Danish tidak tahu kapan tepatnya. “Dan—”
“Lo... baru bilang ke gue sekarang?” Sayna tidak senang. “Nish, gue se-nggak penting itu, ya?”
Danish langsung gelagapan, dia tidak berencana menutupinya dari Sayna, mungkin Danish salah karena selalu menunda-nunda. Namun itu bukan karena dia tidak menganggap Sayna kurang penting, hanya... belum siap saja. Butuh tenaga membicarakan soal hubungan ibunya.
“Dya tahu?” tanya Sayna tiba-tiba. Tidak, itu terdengar seperti serangan lebih tepatnya. “Pasti dia tahu, Dya pasti jauh lebih tahu daripada gue. Dya tinggal di Surabaya tapi karena dia kaya, Dya bisa ke Jakarta seenaknya. Dia pasti tahu soal Tante Melia.”
Sayna kenapa... tiba-tiba?
“Atau lo yang kasih tahu ke dia?”
“Say...”
Danish bukan pembohong yang baik, bahkan dari reaksinya saja, Sayna sudah tahu dan dia cemburu.
Gadis itu menghela napas. “Ternyata posisi gue di hati lo mulai digeser sama Dya sejak lama.”
“Say, ngomong apa sih?” tanya Danish tidak senang.
Kenapa tiba-tiba bahasan mereka malah Pramudya? Sayna tidak tahu, bahkan yang membuat pikirannya terbuka, yang meminta Danish tidak terlalu lama mengabaikannya adalah Dya. Yang membeli bunga Lily itu, memberinya semangat untuk datang lebih cepat, itu Dya, Anya, Hamam, sahabat-sahabatnya.
“Lo, sedikit demi sedikit menggantikan gue sama Dya, tanpa lo sadari, Nish. Mulai dari hal-hal kecil kayak gini, tapi penting. Pernikahan Tante Melia itu penting, kan? Itu penting buat lo, dan gue nggak dikasih kesempatan buat tahu lebih cepat.”
“Gue kira kita ketemu buat baikan, buat memperbaiki banyak kesalahan.” Danish menarik lengan yang dia jadikan bantalan. “Kalau gini lagi, kita malah mengalami kemunduran, Say.”
“Dan lo nyesel datang, kan?”
Danish tidak ingin mengiakannya, tapi ternyata dugaan Sayna memang benar. Dia menyesal, tahu begini tidak usah datang sekalian. Apa-apaan? Memangnya apa yang Danish perbuat dengan Pramudya? Kenapa Sayna bersikap seperti ini padanya?
“Kenapa sih, Sayna?” Danish sudah tidak habis pikir, dia kehabisan kata-kata.
“Lo cerita sama Dya, kan?” tanya Sayna dengan tatapan mengancam.
“Nggak.” Danish menggeleng.
“Bohong!” Gadis mendorong Danish dengan tenaganya yang lemah, dia menahan tangis. “Terus Dya tahu dari mana?”
“Kenapa kita malah jadi bahas Dya?”
“Dya tahu dari mana?!” Sayna keras kepala, sangat, dia bahkan ingin sekali mencekik dirinya sendiri saat ini. “Jawab, Nish!”
“Dya tahu sendiri, dia lihat pacar Mama pas main ke rumah, Dya—”
“Dya main ke rumah lo juga?”
Danish mengernyit bingung, masih tak habis pikir pada obrolan ini. “Gue sama Dya itu saudara, Sayna.” Ada tekanan di tiap kata yang terucap.
“Kalian bukan saudara dekat. Hubungan lo sama Dya itu nggak normal.”
“Terus gue harus gimana?!” Danish terpancing amarahnya sendiri, dia tidak sanggup menahannya lagi. “Gue harus berhenti sodaraan sama Dya? Caranya gimana? Bikin Mas Arya pisah sama Mbak Dinara?”
“Kalau perlu,” kata Sayna tanpa ragu. Dia bahkan tidak berpikir dulu untuk mengemukakan jawaban itu. Lupa pada orang di hadapannya bisa sangat terluka mendengarnya.
Danish tidak ingin meneruskan perdebatan ini, karena dia tahu itu tidak akan ada habisnya. Sayna yang tidak dia temui lebih dari dua bulan memang berbeda, bukannya membaik, keadaan mereka justru semakin buruk. Dia kebingungan setengah mati, kenapa gadis itu?
“Ada apa, Sayna?” tanya Danish nyaris putus asa, tapi masih mencoba untuk peka. “Jangan cari persoalan cuma buat pelampiasan aja.”
Mereka berdua berbaring terlentang, tanpa busana. Sayna menatap kangit-langit, air matanya mulai merebak, dadanya sesak. Dia tahu, hubungannya dengan Danish sudah rusak. Tidak lama lagi, pemuda itu pasti akan muak.
“Sayna...” Danish menarik tubuh polos Sayna ke pelukan, menghadiahinya dengan kecupan-kecupan. “Ada apa?” ulangnya untuk kali kedua.
“Gue cemburu,” aku Sayna jujur. Terdengar berlebihan memang, tapi dia tidak bisa mengatasi itu, apalagi menahannya lebih lama. “Gue tahu itu nggak baik, tapi, Nish...” Sayna menutup rapat kelopak matanya, memeras air mata, dia ingin melihat Danish lebih jelas. “Gue nggak bisa kontrol. Maaf.”
Dengan gerakan pelan, tanpa sempat Danish sadari, Sayna menarik lembut telapak tangan itu, menyimpannya di atas perut, meminta Danish untuk mengelus. Ada gejolak yang tidak bisa dijelaskan berasal dari sana, diikuti dengan sensasi seperti kupu-kupu.
“S...say?”
Sayna mengangguk. “14 minggu.”
Danish membeliak, menahan napas terang-terangan, lalu perlahan menarik telapak tangannya yang bermukim di perut gadis itu. Reaksi yang... wajar sebenarnya.Reaksi super wajar. Memangnya apa? Sayna ingin kabar kehamilannya disambut bahagia? Mereka bahkan belum menikah, bagaimana bisa kehadiran janin di luar nikah membuat Danish berbunga-bunga? Dia justru kaget, panik, reaksi yang sangat tertebak.Namun... Sayna tetap kecewa. Dia tidak suka pada ekspresi dan reaksi kekasihnya. Janin itu ada di perut akibat perbuatan mereka berdua. Kenapa Danish sedikit saja tidak ingin berterima kasih padanya? 14 minggu sama sekali tidak mudah mengandung benih itu sendirian.“Kenapa? Kenapa bisa, Say?”Sakit mendengar pertanyaan itu, saat Sayna tidak mungkin hamil sendiri tanpa dibuahi. Tapi seperti takdir kebanyakan, perempuan memang selalu jadi pihak yang paling dihakimi. “Bisa, Nish. Karena kita cuma pakai kontrasepsi, bukan angkat rahim atau vasektomi.
Danish tidak percaya pada pendengarannya sendiri. Sama sekali. Dia mungkin perlu memotong daun telinga untuk benar-benar memastikan bahwa, ini bukan mimpi. Sayna di hadapannya berwajah kuyu, mata sayu, bernapas pendek, menahan ringisan ngilu.“Say...” Danish menyebut namanya dengan setengah tak percaya. “Bohong, kan?”Sayna menggeleng, membiarkan Danish menangkup wajahnya, mengalirkan anak sungai dari mata cantiknya.“Maaf,” bisik gadis itu pelan, yang tentu membuat Danish justru semakin tertekan.“Jangan gila, Sayna.” Pemuda itu menggeram, tangkupannya di wajah Sayna berubah perlahan menjadi cengkeraman. “Bilang kalau lo cuma bohongin gue.”Gadis itu menggeleng untuk kali kedua, air matanya turun semakin deras dari sana, dan ketika Danish memeriksa, dia menyadari ada darah yang turun di sela-sela kaki Sayna, menguarkan bau anyir yang khas. Danish langsung menjatuhkan tubuh, sementara Sayn
Sayna meraih ponselnya, sudah lebih dari 1 jam sejak butir-butir Misoprostol itu dimasukkan ke vagina. Darah yang keluar semakin banyak, janin itu luruh, hanya organ intinya belum jatuh. Gadis itu membiarkan Danish membaca seluruh instruksinya. Memerhatikan layar ponsel dengan saksama. “Gila, Sayna...” Danish berucap dengan bibir gemetar. Tidak menyangka jika kekasihnya yang terlalu pintar tega berbuat sejauh ini. Melakukan aborsi terencana, dinaungi oleh lembaga yang memihak hak-hak perempuan, difasilitasi dengan obat-obatan dan bimbingan online untuk mengeksekusi kandungan. Sayna butuh ditemani oleh satu orang yang sehat dalam melakukan proses aborsinya, berada dekat dengan rumah sakit untuk berjaga-jaga kemungkinan komplikasi, dan itulah gunanya Danish ada di sini. “Sekarang kita masuk ke tahap selanjutnya.” Sayna berujar sambil menekuk kedua kaki dan melebarkannya, membuat Danish bisa menonton lelehan-lelehan darah dari jalan lahir. Lalu tangan g
Dua garis merah muda didapatinya pagi itu. Sayna masih harus terus melakukan tes kehamilan hingga dua minggu setelah keguguran. Dia memotret hasilnya dan mengirim gambar tersebut via pesan multimedia. Sayna masih diawasi hingga pendarahannya berhenti dan garis dua itu berubah menjadi satu saat mengambil tes urin nanti.Gadis itu meraih kotak obat di mana ada butiran asing yang harus ditelannya untuk beberapa waktu kedepan, kabarnya adalah obat pembersih kandungan. Sebab Sayna tidak melakukan kuretase setelah keguguran. Dia mengalami pendarahan seperti wanita habis melahirkan, tanda kehamilan pun masih bisa Sayna rasakan.Pinggang yang nyeri, dada membesar, hingga sedikit mual dan pusing. Hormonnya turun kembali, perlahan-lahan setelah tidak ada janin dalam perutnya lagi.Dan Sayna masih merasa itu semua hanyalah mimpi.Dia masih ingin menyangkal kalau semua itu tidak benar, kalau yang dilakukannya terakhir kali dengan Danish hanyalah mimpi buruk yang acap
Halaman belakang kediaman Melia Adiswara adalah taman bunga yang mekar bergantian sesuai musim. Melia mempersembahkan itu semua untuk putri tercintanya—Dinara, yang memang mencintai bunga-bunga hidup, terutama bunga matahari. Yang tidak pernah Danish tahu adalah, taman bunga itu sekaligus menjadi pemakaman untuk calon anaknya dengan Sayna.Janin 14 minggu itu dikubur di sana, tengah malam, saat di rumahnya tidak ada siapa-siapa. Danish memaksakan diri untuk membawa jasad anaknya dari Bandung ke Jakarta, karena Sayna sudah bertransformasi jadi monster, bukan lagi manusia. Dia masih ngeri jika mengingat wajah datar gadis itu ketika membuang jasad anak mereka ke lubang pembuangan.Danish masih berusaha menata hati usai tragedi itu, biar bagaimanapun ada janji yang harus dia tepati, memaafkan Sayna bukan lagi pilihan, tapi kewajiban.Namun kali ini, bagaimana caranya? Danish tidak tahu, seperti apa dia harus berusaha untuk sembuh? Dia sudah tidak memikirkan Sa
“Tunggu di sini sebentar, ya.”Rafika tersenyum senang mendengar nada ramah itu kembali. “Iya, santai aja.”Lalu dia melihat punggung gadis itu menjauh dari tempat duduk mereka. Butuh waktu lama sekali untuk membuatnya bersedia datang dengan sukarela ke tempat ini. Dia sedang butuh bantuan, Rafika tahu dengan jelas dari wajah gadis itu, tatapan matanya yang kosong dan kadang sendu.Namun tidak semua orang yang meminta bantuan mau berubah, beberapa orang ingin sembuh dari rasa sakit tanpa mau berusaha, dan awalnya Sayna pun sama. Dia membiarkannya saja, beban mental itu menggerogotinya bagai kayu dimakan rayap. Bahkan tak jarang dia melakukan penyerangan, padahal jelas sekali bahwa dia harus bekerja keras untuk pulih dari trauma.Entah trauma macam apa, yang jelas itu berkaitan erat dengan kasus-kasusnya di kampus.“Mau makan sesuatu?” tawar Giovanni ketika melihat Sayna masuk ke ruang konsultasi sementara t
Sayna terbangun dengan bunyi denting yang memuat rentetan pesan dari aplikasi perbankan dalam ponselnya. Beberapa nominal uang telah dikirimkan, jumlahnya sama setiap bulan, diterima pada tanggal yang sama pula. Pengirimnya adalah, Danish Adiswara Caka. Kekasihnya—atau calon mantan kekasihnya, Sayna tidak tahu juga.Jadi, meski sudah lama sekali tidak berkomunikasi, rekening Danish secara otomatis mengirim uang itu padanya. Mungkin dia sendiri tidak ingat, Danish memang sedikit pelupa. Nominalnya sama, perbulan sebesar 5 juta rupiah. Sayna pernah menolak dan meminta pengurangan jumlah, itu terlalu banyak untuk mahasiswi dari kelas sosial menengah sepertinya. Namun Danish berkilah, dia bilang jatahnya agak terlalu banyak jika tidak dibagi dengan Sayna.Dia punya kakak ipar kaya raya yang menanggung uang jajan sebesar 30 atau 40 juta perbulan, jumlahnya terus naik dari tahun ke tahun. Juga pendapatan dari laundry karena ibunya tidak akan memberi Danish uan
“Jadi... sampai sekarang belum ada yang tahu?”Melia, Dinara, Pradnya bahkan Ceu Yati pun menggelengkan kepala. Mereka semua serempak melakukan gerakan itu untuk menjawab pertanyaan yang diajukan Ayudia. Hari yang cerah untuk melakukan perkumpulan kecil di ruang lingkup keluarga, Ayudia sengaja terbang ke Jakarta melihat dua anak gadisnya keranjingan pulang pergi demi menemani ipar mereka yang tengah patah hati.Kemudian semuanya berkumpul di dapur, karena Melia sibuk membuat roti untuk Danish. Bungsunya itu menolak makan dan hanya bisa menjejali roti ke perutnya, itu pun harus roti buatan Melia. Dan seorang ibu, demi anaknya apa sih yang tidak? Melia rela melepas pakaian kerja dan kembali berkarier di dapur dengan apron serta tangan bertabur terigu.“Pacarnya Ninish ini apa, toh? Calon dokter?”“Iya, Bu.” Dinara menimpali jawaban mertuanya.“Keluarganya sekaya apa?” tanya Ayudia lagi.&l
Sayna sekarang tahu bahwa Arunika merupakan putri sulung sekaligus putri satu-satunya dari Mark Tuan, seorang pria yang lahir dari wanita asli Sunda dan ayahnya berdarah Tionghoa. Pantas saja dia punya perawakan yang berbeda dengan para pribumi, meski dipanggil Gege oleh adiknya, tapi keluarga mereka sangat meninggikan kebudayaan dan adat Sunda. Mungkin karena ibu kandungnya memiliki latar belakang yang kental dengan budaya, kabarnya mereka adalah keluarga pengelola museum adat Sunda di Subang.Mark dan keluarganya menetap di Lembang, daerah Bandung yang juga dekat ke arah Subang. Dia bekerja sebagai direktur operasional perusahaan farmasi keluarga yang dikepalai oleh kakak kandungnya sebagai lulusan apoteker handal. PT Sagara Purnama adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri kosmetik dan kontrak manufaktur pertama di Subang. Itu sekilas yang Sayna tahu dari hasil pencariannya di internet mengenai latar belakang pria itu.“Sebenarnya saya ke rumah sakit
“Sayna, Adek koas favorit Bunda, sini-sini.” Sayna menyengir pasrah ketika salah satu perawat senior memanggil namanya sambil melambai-lambaikan tangan. Sudah pasti dia akan dapat tugas tambahan. Mereka bilang, anak-anak koas adalah keset kaki karena acapkali diperlakukan semena-mena selama menjadi sukarelawan di rumah sakit. Tak jarang yang memperlakukan mereka tidak manusiawi adalah rekan-rekan seniornya sendiri. Di stase ini tentu Sayna tidak terlepas dari orang-orang dengan profesi dokter, perawat, hingga bidan dan lain-lainnya. Namun nasib anak-anak magang dari angkatan perawat dan kebidanan jauh lebih mengenaskan. Tak jarang Sayna yang harus membimbing mereka saat ada waktu senggang. “Kamu ke perina, ya. Banyak yang mau aterm hari ini.” “Baik, Bu.” Sayna menurut dengan mudah saat kepala perawat favoritnya meminta bantuan untuk membuat dia berjaga di ruang perina dan menunggu ibu-ibu yang akan melahirkan bayi. Ruang itu terhubung
“Dede enakan? Boleh Ayah minta sun?” “Boleh.” Gadis kecil berusia dua tahun lebih itu mendongak untuk mengecup wajah sang ayah. “Napa?” “Nggak papa, ayah cuma mau minta sun aja. Kangen sama Dede.” “Hai, Nika...” sapa Sayna ramah, meski pada kenyataannya Arunika yang ini lebih suka pada Rafika saat mereka berkunjung untuk memeriksa keadaannya. “Udah minum susu belum, Sayang?” “Nggak mau.” Dia menggeleng lemah. Gadis kecil itu merengut, merapatkan tubuhnya pada sang ayah. “Sus, ini bisa nggak dititip sebentar? Nanny lagi makan siang di kantin, saya ada keperluan yang harus dibeli ke luar.” Sayna tersenyum dan mengangguk. “Silakan, Pak. Biar Arunika saya yang jaga.” “Wah, ini Tante susternya hafal nama Dede.” Pria itu bersorak senang. “Tunggu sebentar, ya? Ayah mau beli sesuatu, nanti Dede beli mainan baru deh, mau?” “Nggak mau.” Arunika menggelengkan kepala tanda tak setuju. “Nika mau minum susu sama tante?” tawar
Setelah bulan lalu mengakhiri masa abdinya di stase bedah, yang mana membuat Sayna merasakan pengalaman luar biasa selama berada di sana, mulai minggu ini dia mendapat giliran berjaga di stase anak. Meskipun mengingat perjuangan serta pelajaran yang dia dapat dari stase bedah sangat berharga dan beragam, Sayna lega karena bebas dari sana. Stase bedah memiliki pasien yang banyak, nyaris membludak untuk di-follow up setiap hari. Tapi di sana juga keterampilan Sayna sangat diuji. Kemampuannya menjahit luka semasa kuliah pra-klinik selama 3,5 tahun benar-benar direalisasikan. Sayna bahkan belajar menyunat di stase ini. Dan yang paling berkesan adalah melakukan operasi transplantasi kulit pada pasien luka bakar yang mana kulitnya diambil dari bagian paha dan ditanam ke punggung. Luar biasa, Sayna merasa jadi mahasiswi kedokteran betulan saat itu. Dan semuanya sudah berlalu, Sayna tidak yakin lulus di stase itu karena mahasiswa sepintar Gio saja dulu tidak mampu m
Anya merasa lebih tenang sekarang, karena meski saudarinya akan merantau ke negeri orang, dia mengantongi izin untuk berkunjung ke tempat Dya belajar sesering yang dia ingin. Setelah melakukan pentas drama di depan ayah dan ibunya, Anya dikonfirmasi akan segera memiliki privat jet miliknya sendiri untuk keperluan pulang pergi melongok Dya di New York. Dan berhubung keduanya anak kembar, tidak adil rasanya jika Ranajaya hanya membelikan untuk salah satu dari mereka saja. Alhasil, Dya yang tidak berminat sama sekali pada benda bisa terbang itu pun harus ikut menerima pemberian orangtuanya. Mau tidak mau.“Aku nanti minta jadwal kamu pokoknya, biar pas kamu free aku ke sana.”Dya mengangguk mendengar permintaan saudarinya itu, sedikit lega karena Anya tampak lebih bersemangat dibanding beberapa hari yang lalu. “Kamu baik-baik, ya.”“Aku yang harusnya bilang gitu.” Anya berguling dari posisinya saat ini dan telungkup untu
“Lo masih mau di sini?” Suara Danish menyadarkannya kembali. “Kalau mau sama Hamam nggak papa sih.”“Eh, nggak, Nish, nggak! Gue nggak enak juga kalau harus ke kamar Dya.” Hamam salah tingkah dan mengusap tengkuknya gelisah. “Dya sama Danish aja, ya? Biar Mas Hamam di sini jagain Anya, oke?”“Oke.”Pada akhirnya Dya pasrah saat Danish membantunya mengalungkan tangan dan berjalan tertatih menuju villa tempat mereka menginap. Sementara Hamam, Anya, Arvin, Rafid dan Herdian tinggal untuk menikmati berbagai permainan yang disuguhkan. Namun setelah dua orang itu menjauh, lima anak muda itu justru tidak meneruskan niat mereka semula.“Gila, ya. Untung lo masih ada otaknya, Mam. Kalau lo ngotot bawa Dya tadi kebayang gimana patah hatinya Danish.” Herdian membuka obrolan.“Iya, kasihan gue kalau dia harus patah hati dua kali dalam waktu dekat.” Pendapat Rafid menimpali duga
“Sial, banyak banget debu jalanan. Tutup mata, Anya!”“WAAAA....”Danish langsung mengerem sepeda motor yang dia kendarai mendengar jeritan Hamam di sebelahnya, temannya itu nyaris oleng sebelum berbelok ke kiri jalan dan berhenti.“Kenapa sih?” tanya Danish keki. Merasakan pegangan tangan Anya di pinggangnya melonggar perlahan. Mereka sedang berwisata dan menaklukan medan jalan yang berdebu dan terjal untuk sampai ke tujuan.“Gue kaget, Nish. Pas lo teriak nyuruh nutup mata itu gue refleks nutup mata juga, padahal kan gue lagi nyetir, mana bonceng Dya di belakang. Kalau Dya cedera nyawa gue bisa melayang.”Dya dan Anya tertawa, mereka kira apa. Dya yang duduk di belakang Hamam bahkan bingung sendiri saat pemuda itu mulai tidak stabil membawa kendaraannya lalu berhenti tiba-tiba.“Maaf ya, Dya.” Hamam merasa sangat berdosa. Ini harusnya jadi liburan yang paling berkesan karena Dya a
Menghabiskan dua malam di Jakarta bersama Giovanni yang diizinkan menginap oleh orangtuanya, Sayna melakukan perjalanan kembali ke perantauan. Bukan Bandung, kali ini dia harus ke Majalengka karena sedang sibuk KKN di sana. Agak sedih karena Sayna tidak bertemu dengan adiknya sama sekali berhubung anak itu sedang sibuk pendidikan, dia juga tidak tahu kapan bisa pulang ke rumah lagi, bisa dipastikan Sayna akan lebih sibuk dalam beberapa bulan kedepan.“Semangat dong!” Gio tersenyum menggoda, paham kalau gadis cantik yang duduk di sebelahnya itu tengah diserang homesick musiman yang biasa menyerang para mahasiswa KKN. “Gimana aja program kalian?”“Programnya banyak,” keluh Sayna pelan. “Ada satu anak yang ngeselin dari teknik sipil, aku sering banget nahan bogem kalau dia mulai ngoceh terus, Kak.”Giovanni mengacak rambut pendek Sayna dengan sebelah tangan. “Namanya dinamika kelompok, hadapi aja, ya. I
“Om... tolong!”Irya sedang bermain sandiwara dengan pamannya.“Om! Aku syakit!”Danish tidak menggubris.“Om, tolong aku!”“Aduh, berisik banget!” Danish menggerutu lalu berjalan mendekati bayi yang usianya entah berapa itu. Irya terlalu pintar untuk anak seusianya. Sibuk berakting demi mencari perhatian. Lihat saja, dia membuka lemari penyimpanan di kamar Danish lalu memasukkan sebelah tangan ke dalamnya dan menutup pintu lemari itu kemudian menjerit seolah sangat kesakitan.“Apa-apaan sih, Den?” tanya Danish keki. Kelakuan Irya kadang sebelas dua belas dengan ayahnya. Ada-ada saja.“Hehe, makasih Om!” seru Irya tanpa merasa berdosa atau apa.Danish menggendong anak itu dan menatapnya sambil menyipitkan mata. Tidak ingin dan tidak bisa menebak hal aneh lain yang akan dilakukan oleh Irya. Dia seperti tidak kehabisan ide untuk membuat keributan dan ingin se