Share

Berubah Pikiran

Empat orang itu kemudian kembali berkeliling, menikmati pemandangan hingga berhenti di ayunan gantung yang terikat di pohon tinggi, bertingkat. Anya yang pertama ingin mencoba, dia naik lebih dulu, lalu Hamam naik di urutan berikutnya karena Anya yang meminta. Sementara Dya memilih menunggu, dia tidak suka dengan ide harus satu ayunan dengan Danish dan bergelantungan di atas sana. Danish kan kejam, dia bisa mendorong Dya tanpa aba-aba kalau dia salah bicara sedikit saja.

“Kayaknya tersakiti banget jadi lo, ya.” Danish menyindir sekaligus menatap sok iba pada Pramudya. Gadis itu seperti istri tua yang ditinggal suaminya.

“Gue biasa ngalah dari kecil sama Anya.” Atau lebih tepatnya, perasaan Pramudya tidak pernah benar-benar dipedulikan. Perasaannya tidak penting, orang-orang selalu abai karena Dya diam saja.

“Kalau gitu lo harus bisa membatasi apa yang lo bagi sama Anya mulai sekarang.”

“Mana bisa, gue sama dia saudara.”

“Tapi dia mau memilikinya sendirian.”

“Gue bisa cari lagi.”

Danish terkekeh. “Lo boleh iris kuping gue kalau nemu satu orang lagi yang persis Hamam di dunia ini. Hamam itu nggak ada duanya.”

Dya ikut tertawa, Danish benar, Hamam itu ekslusif, si pencuri perhatian.

“Hei, sad boy!” seru Anya dari atas ayunan. “Sini naik, rebahan, lihat ke langit.” Danish dan Dya menengadahkan kepala mereka. “Gimana? Bumi itu luas, Danish. Jangan persempit dengan kalimat, lo nggak bisa bahagia tanpa Sayna. Itu bullshit!”

Danish menggelengkan kepala tak habis pikir. “Dia gigih banget pengen gue sama Sayna nggak balik lagi,” curhatnya pada kembaran Anya—Pramudya.

“Biarin aja. Anya kan nggak tahu semua, senyaman lo aja, Nish.”

Mereka berdua menjauh dari ayunan, duduk di rerumputan. Danish menarik napas dalam, dia siap bertemu lagi dengan Sayna. Membawa hati yang baru, yang tidak ada lubang lagi di dalamnya.

“Lo suka gue sebagai apa sih, Dya?” Danish bertanya, dia sempat terganggu dengan pernyataan gadis itu, takut dirinya direbut jika memperlakukan Dya dengan baik, merasa gayung bersambut.

“Banyak,” jawab Dya santai. “Sebagai saudara laki-laki, sebagai teman, sebagai... perempuan ke laki-laki. Banyak dimensi sih.”

“Lo pernah minta gue jadiin lo pacar. Kalau lo suka sebagai saudara, itu nggak akan bisa.”

“Kata siapa?” Dya tertawa. “Sebelum nikah sama Mbak Dinara, Mas Arya dijodohkan sama sepupu kami dari pihak ibu. Mereka pacaran lama.”

“Gue nggak ngerti jalan pikiran kalian.” Danish menggelengkan kepalanya. “Terlatih buat nggak setia apa gimana?”

Pramudya tersenyum simpul, tidak berniat melanjutkan obrolan itu dengan Danish. Mereka sama-sama diam, dua bulan tidak bertemu setelah terakhir di Senci waktu itu, membuat mereka kehilangan banyak obrolan. Seolah semuanya sudah baik-baik saja, tidak ada yang perlu lagi Danish keluhkan. Kehadirannya saja sudah cukup sebagai support system yang menguatkan.

“Dya,” panggil Danish pelan. Kadang mulutnya terasa aneh menyebut nama Dya yang terlalu sederhana, tiga huruf saja. “Lo... gimana? Kenapa harus dia? Kenapa jadi simpanan orang beristri? Lo bisa dapat lebih.”

“Ke dia, gue merasa pulang.” Pramudya memutuskan untuk tidak menyimpan rahasianya lagi sendirian. Dia punya teman, Danish adalah teman untuk saling menguatkan.

“Nggak semua tempat pulang itu aman, Dya. Itu bisa jadi berbahaya, lo harus hati-hati menaruh harapan.”

“Tapi gue nyaman.”

“Itu nggak aman.”

Danish bersikeras, lalu termenung memandangi gadis itu, Dya seusia dengannya tapi tampak jauh lebih muda. Dia terlihat kecil, terlalu timpang berdiri di samping pria beristri itu.

“Dan... itu jahat, Dya.” Danish meneruskan. “Lo menyakiti perempuan lain diam-diam, sesama kaum kalian, pas lo sama suaminya ada hubungan. Kalau nggak bisa jadi perempuan baik-baik, menurut gue lo nggak perlu jahat juga. Kita ini hidup bukan mau gantiin tugasnya setan.”

Kenapa Danish begitu padanya? Dya heran, saat Anya menolak keras Danish kembali bersama Sayna, Dya selalu mendukungnya. Kenapa Danish tidak bisa begitu? Danish secara tidak langsung menyuruh Dya untuk berpisah dengan Kevin, bukan?

“Ternyata bener yang selama ini pernah gue bilang.” Danish tersenyum miris. “Sepak terjang lo di dunia pelakoran memang bukan kaleng-kaleng lagi.”

Pramudya tidak bisa tersinggung, karena kenyataannya memang benar begitu. Menggandeng pacar orang bukan masalah besar, dia sudah melakukan hal yang lebih parah. Tidur dengan suami orang—misalnya. Diturunkan dan ditinggal Danish tiba-tiba, bukan apa-apa baginya, Dya bahkan pernah ditinggal menikah oleh orang yang dia cinta.

Menunggu Danish selama lebih dari 12 jam tiap Jumat? Jangan dibesar-besarkan, Dya bahkan harus menunggu Kevin sampai waktu yang tidak bisa ditentukan. Dia sudah tahu yang lebih sakit, lebih parah, jadi dapat perlakuan buruk dan semena-mena dari Danish dan Sayna tidak membuatnya terluka.

“Dya...”

“Gue cinta sama dia, Nish.” Pramudya melirik pemuda itu dengan tatapan matanya yang dalam, yang jarang sekali dia perlihatkan. “Gue kira lo akan mengerti, seperti perasaan lo ke Sayna.”

“Itu berbeda. Sayna belum jadi milik siapa-siapa.”

Sama, Danish. Perasaan cinta tiap orang itu saru, mirip, rasanya menggebu, rindu, ingin memiliki dan ingin hidup di samping orang itu. Tak peduli statusnya apa dan pada siapa.

“Selamat pulang ke Sayna.” Dya mengalihkan obrolan mereka. “Gue yakin kali ini akan lebih baik dari sebelumnya. Memaafkan adalah cara mencintai yang paling sopan, yang udah berhasil lo lakukan.”

Danish tersenyum, dadanya terasa ringan, seringan bulu. “Makasih, Dya.”

“Nanti, kalau lo merasa ada di titik terbawah lo lagi, berhenti dulu. Terus bangun, bikin paragraf baru, finish what you started, Nish.”

Bahasa anak sastra memang begitu, ya? Danish tidak mengerti. “Oke.” Namun dia mencoba untuk memahami.

Pramudya membiarkan Danish menarik ponsel yang sedang dia pegang, membiarkan pemuda itu tahu gambar siapa yang jadi latar belakangnya terpampang. Membiarkan Danish melakukan sesukanya.

“Kenapa?” tanya Dya peka.

“Kenapa foto gue dijadiin wallpaper hp lo, Dya?”

“Lo ganteng di foto itu,” jawabnya santai. Dia mengambil gambar Danish setelah mereka usai bermain arung jeram tahun lalu.

“Yah, gue bisa pahami kenapa lo nggak pakai foto cowok beristri itu.” Danish melirik sinis. “Bahaya, kan? Jadi gue adalah kambing hitamnya.”

Pramudya tertawa sambil menarik ponselnya.

“Bentar, gue pinjem dulu,” larang Danish. “Cowok piaraan lo yang lain nggak ada fotonya memang?”

“Ada.” Dya mengangguk. “Tapi lo yang paling ganteng, Nish. Makanya foto lo doang yang gue pajang.”

“Pinter lo emang.” Pemuda itu merasa geli, tapi tidak bisa kesal, lalu dia menyusuri kolom percakapan di ponsel Dya—hal yang sebenarnya tidak pernah Danish lakukan, itu tidak sopan, kan? Tapi Pramudya bukan tipe pemarah atau apa, jadi santai saja. Jarinya berhenti di kolom percakapan Dya dan Hamam, membaca dialog secara cepat, dan sedikit iri karena Danish tidak pernah dapat pesan seperti itu dari Dya.

Dia hanya mengirimkan lokasi saat datang ke Jakarta, tanpa berkata apa-apa. Andai Danish dan Hamam bersaing untuk memepet Pramudya, sudah jelas siapa pemenangnya. Hamam jauh lebih unggul dari berbagai hal.

“Nih...” Pramudya menyodorkan ponsel Danish yang dia tarik paksa dari saku pemuda itu. “Chat Sayna.”

Danish mengernyit. “Buat apa? Gue mau ke sana.”

Chat aja,” ujarnya.

Namun dia menurut, tangannya bergerak membuka ponsel yang lama menganggur, kolom percakapannya dengan Sayna mungkin berdebu dan perlu disapu. Danish berdebar memulai obrolan kembali dengan gadis itu.

Danish: Hai, Sayna. Apa kabar?

Mereka berdua menunggu, Danish tidak melarang Dya untuk ikut menimbrung, mereka menunggu jawaban yang akan dikirim oleh Sayna. Beberapa detik setelah pesannya terkirim, Danish tersenyum, ada dua centang biru. Sayna membaca pesan itu.

Sayna: Hai, Nish. Gue baik. Lo sendiri apa kabar?

Senyumnya makin lebar, Danish tidak tahu dia akan sebahagia ini setelah sekian lama tidak berkabar dengan kekasihnya.

Danish: Gue oke. Lusa gue ke Bandung, ya? Lo ada?

Sayna: Ada. Gue tunggu. Sekarang lagi apa?

Danish: Gue lagi bareng sama Dya.

“Nish, kenapa?” Pramudya bertanya-tanya. Jawaban Danish itu sangat bodoh, dia jelas kenal bagaimana Sayna.

“Kan gue memang lagi bareng sama lo.”

Dya bingung, padahal mereka datang bersama Anya dan Hamam juga. “Nanti Sayna salah paham.”

“Kalau gitu dia harus berhenti salam paham mulai sekarang. Lo sama gue saudara kan, Dya?”

****

Danish: Gue lagi bareng sama Dya.

Sayna: Have fun, ya. Sampai jumpa lusa.

Butuh waktu cukup lama untuk membalas pesan sialan itu. Rasanya tidak dihubungi sama sekali selama lebih dua bulan sudah cukup kejam. Diminta menunggu dengan sabar, tanpa kabar, dalam keadaan hamil muda, sudah membuat Sayna tiap detik berdebar-debar. Kemudian saat dia akhirnya dihubungi lagi, pesan yang didapatnya justru seperti ini.

Danish dan Dya sedang bersama, sementara di sini Sayna sendirian—merana.

Sayna tahu dirinya pantas dihukum untuk banyak hal, dia tahu semesta, dunia bahkan manusia sedang kompak memberinya karma. Dia tahu dirinya pantas mendapatkan perlakuan buruk setelah semua hal tercela yang pernah dia lakukan. Namun langsung diduakan seperti sekarang, Sayna tetap kepayahan.

Kedatangan Danish lusa bahkan masih abu-abu. Jika dia bersama dengan Pramudya saat ini, bukan mustahil perpisahan adalah jalan terbaik yang Danish ambil. Dia akan bersama gadis itu, hidup bahagia, jadi kekasih orang kaya raya, dan bisa hidup semaunya. Sementara Sayna? Terseok sendiri, tertatih menata masa depannya agar tidak lebih hancur daripada ini.

Sayna: Nish, kangen...(draft)

Sayna: Nish, ada yang mau gue omongin. (draft)

Sayna: Sebentar lagi kita punya anak, Bolu mau punya adik, Nish. (draft)

Sayna: Nish, jangan tinggalin gue, ya? Nanti anak kita gimana?(draft)

Sayna: Gue tiba-tiba pengen rujak Bangkok yang kayak terakhir kali lo beli. Anak kita kepengen, Nish. Coba ada lo di sini. (draft)

Sayna: Papa Danish... (draft)

Sayna: Nish, gue nggak percaya kita punya anak sebentar lagi. (draft)

Sayna: Kangen, Nish. Lagi apa? Kepalanya masih sakit? (draft)

Sayna: Nish, maaf... (draft)

Sayna: Nish, sakit... (draft)

Sayna: Kapan ke sini? (draft)

Dan masih banyak lagi. Pesan-pesan yang tidak Sayna kirimkan saat rasa rindunya pada Danish menggila. Membuatnya mendidih hingga kepala. Dan apa yang dia dapat? Kabar pertama setelah lebih dari dua bulan tidak saling bicara, hadirnya sosok Pramudya di antara mereka, Danish menunjukkannya terang-terangan. Sayna kehilangan banyak harapan.

Matanya tertuju pada obat tidur hingga obat-obatan lain di sudut meja. Obat yang pernah dia telan kemudian kembali Sayna muntahkan di masa-masa dia kesulitan. Apa kali ini juga harus kembali dia lakukan?

“Maafin aku ya, Bu... Ayah...”

Entah sejak kapan, air matanya sudah bercucuran. Sayna menumpahkan butiran obat-obatan itu ke dalam genggaman, perlahan mencoba untuk menelan.

Dia tahu dirinya pantas ditinggalkan. Sayna sadar terlalu banyak melakukan kesalahan dan bahkan tidak pantas dimaafkan. Namun bukankah Danish keterlaluan? Dua bulan tanpa kabar, dua bulan meminta Sayna menunggu dengan sabar, tiba-tiba muncul dengan pesan seperti itu.

Sayna ingin mati.

Lebih baik dia tidak hidup lagi di dunia ini.

Buat apa hidup begini?

Buat apa dia mengandung benih seseorang tapi orang itu bukan miliknya lagi?

Sayna ingin memberi tahu Danish saat dia kembali nanti. Dia tidak mau kehamilannya menjadi alasan Danish datang ke sini. Bukan itu, Sayna tidak menginginkannya. Dia ingin Danish kembali jadi miliknya lagi, lalu mereka membicarakan soal masa depan, bersama-sama. Sekarang, apa masih bisa?

Tunggu dulu....

Sayna pasti sudah gila.

Bayangan kedua orangtuanya langsung terlintas di kepala, wajah kecewa mereka, air mata ibu dan ayahnya, kepercayaan yang hancur dan porak poranda.

Ini tidak benar.

Sayna langsung memuntahkan obat yang belum berhasil dia telan sepenuhnya. Dia tidak ingin menjadi topik berita utama media harian, lalu ibu dan ayahnya dipermalukan. Bukan hanya itu, Danish, Melia, Dinara, pasti akan ikut terkena imbasnya.

Mati bukan jalan terbaik saat ini.

Sayna harus hidup meski tengah menerima karma instan yang amat menyakitkan.

Dia harus bertahan, dia harus bertemu Danish dan mengatakan semua kenyataan yang tengah menimpa mereka berdua. Danish harus tahu langsung dari mulutnya sendiri.

“Kak?”

“Ya?” Sayna merasa ditarik dari pusaran tanpa dasar yang membuat pikirannya melayang-layang. “Dede?”

“Aku boleh ke kosan?” tanya Inara pelan. Suaranya terdengar sedih, kenapa gadis itu?

“Kakak... lagi nggak mau ketemu siapa-siapa dulu.”

Bahkan sepupu terbaiknya pun bukan orang yang tepat. Sayna hanya butuh Danish, Sayna ingin membagi hal ini dengan Danish, berdua saja, tidak mau orang lain.

“Kakak sehat, kan?”

“Sehat.” Sayna tersenyum, mengusap perutnya yang terlihat lebih besar dari bulan lalu, memandang cermin, menatap bayangan menakutkan di dalamnya.

Seorang gadis dengan rambut berantakan, mata sembab dan... menyedihkan. Pantas kalau Danish berpindah haluan. Pramudya jauh lebih cantik dibanding Sayna, bukan?

“Kak—”

Suara Inara tertahan karena tangis Sayna meledak lebih keras dibanding sebelumnya. Dia tidak bicara apa-apa lagi, hanya mendengar Sayna meraung-raung, dan ikut terisak setelahnya. Meski Sayna tidak bilang apa-apa, kesedihannya sampai ke sana, Inara merasakan itu. Luka yang tidak terucap, kesedihan tidak tertahankan, dibagi Sayna lewat suara tangisnya.

“Aku mau peluk Kakak...” Inara harus menelan bongkahan menyakitkan di tenggorokan untuk bisa berkata demikian.

“Danish...” Sayna berbisik pelan. Dia hanya ingin kekasihnya, Sayna hanya mau Danish yang memberi pelukan. Jarinya bergerak memutus panggilan, Sayna menatap nyalang langit-langit kamarnya yang terang benderang.

“Nish, anak kita perempuan,” gumamnya disela isakan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status