“Dede enakan? Boleh Ayah minta sun?”
“Boleh.” Gadis kecil berusia dua tahun lebih itu mendongak untuk mengecup wajah sang ayah. “Napa?”
“Nggak papa, ayah cuma mau minta sun aja. Kangen sama Dede.”
“Hai, Nika...” sapa Sayna ramah, meski pada kenyataannya Arunika yang ini lebih suka pada Rafika saat mereka berkunjung untuk memeriksa keadaannya. “Udah minum susu belum, Sayang?”
“Nggak mau.” Dia menggeleng lemah. Gadis kecil itu merengut, merapatkan tubuhnya pada sang ayah.
“Sus, ini bisa nggak dititip sebentar? Nanny lagi makan siang di kantin, saya ada keperluan yang harus dibeli ke luar.”
Sayna tersenyum dan mengangguk. “Silakan, Pak. Biar Arunika saya yang jaga.”
“Wah, ini Tante susternya hafal nama Dede.” Pria itu bersorak senang. “Tunggu sebentar, ya? Ayah mau beli sesuatu, nanti Dede beli mainan baru deh, mau?”
“Nggak mau.” Arunika menggelengkan kepala tanda tak setuju.
“Nika mau minum susu sama tante?” tawar
“Sayna, Adek koas favorit Bunda, sini-sini.” Sayna menyengir pasrah ketika salah satu perawat senior memanggil namanya sambil melambai-lambaikan tangan. Sudah pasti dia akan dapat tugas tambahan. Mereka bilang, anak-anak koas adalah keset kaki karena acapkali diperlakukan semena-mena selama menjadi sukarelawan di rumah sakit. Tak jarang yang memperlakukan mereka tidak manusiawi adalah rekan-rekan seniornya sendiri. Di stase ini tentu Sayna tidak terlepas dari orang-orang dengan profesi dokter, perawat, hingga bidan dan lain-lainnya. Namun nasib anak-anak magang dari angkatan perawat dan kebidanan jauh lebih mengenaskan. Tak jarang Sayna yang harus membimbing mereka saat ada waktu senggang. “Kamu ke perina, ya. Banyak yang mau aterm hari ini.” “Baik, Bu.” Sayna menurut dengan mudah saat kepala perawat favoritnya meminta bantuan untuk membuat dia berjaga di ruang perina dan menunggu ibu-ibu yang akan melahirkan bayi. Ruang itu terhubung
Sayna sekarang tahu bahwa Arunika merupakan putri sulung sekaligus putri satu-satunya dari Mark Tuan, seorang pria yang lahir dari wanita asli Sunda dan ayahnya berdarah Tionghoa. Pantas saja dia punya perawakan yang berbeda dengan para pribumi, meski dipanggil Gege oleh adiknya, tapi keluarga mereka sangat meninggikan kebudayaan dan adat Sunda. Mungkin karena ibu kandungnya memiliki latar belakang yang kental dengan budaya, kabarnya mereka adalah keluarga pengelola museum adat Sunda di Subang.Mark dan keluarganya menetap di Lembang, daerah Bandung yang juga dekat ke arah Subang. Dia bekerja sebagai direktur operasional perusahaan farmasi keluarga yang dikepalai oleh kakak kandungnya sebagai lulusan apoteker handal. PT Sagara Purnama adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri kosmetik dan kontrak manufaktur pertama di Subang. Itu sekilas yang Sayna tahu dari hasil pencariannya di internet mengenai latar belakang pria itu.“Sebenarnya saya ke rumah sakit
Kalau tidak salah menghitung, ini adalah percobaan kedua entah ketiga kalinya. Meski berulang kali berusaha mengendalikan diri, menahan hasrat sepenuh hati dan memutus kontak saat titik aman sudah tidak didapat lagi, kenyataannya tidak sejalan dengan pikiran realistis tersebut.Saat pakaian yang mereka kenakan tersibak lebih tinggi, atau saat denyut di ujung tubuh sudah tidak terkendali, harusnya mereka berhenti. Harusnya mereka pergi ke tempat yang menyenangkan, bukannya menepi ke tempat sepi, bukan merengsek ke tempat tidur dan merusak tatanannya yang rapi. Harusnya, mereka pergi jalan-jalan dan makan es krim, tapi ternyata ada yang lebih menyenangkan dan lebih disukai daripada sekadar es krim yang manis, dingin dan creamy.Harusnya sepasang kekasih bisa tetap saling menyayangi tanpa perlu saling tumpang tindih. Harusnya mereka mengerjakan tugas kuliah di akhir minggu ini atau pergi jalan-jalan untuk menyegarkan diri, bukannya terjebak di ruangan beruku
Hello, Sayna bab 1 Danish memutar kemudinya dari kampus yang berlokasi di Joseph Wibowo Center menuju ke area Setiabudi karena seorang mahasiswa dengan pengeluaran sangat besar tidak diperkenankan istirahat sebelum menguras tenaganya sampai habis. Ya, dia harus bekerja sepulang mengenyam pendidikan di universitas tiap sore hari. Bukan pekerjaan kecil seperti mengantar cucian dengan sepeda motor lagi, sejak Danish tamat SMA dia mengurus salah satu cabang laundry milik ibunya yang biasa mereka sebut sebagai workshop. Di tempat itu, Danish menduduki posisi sebagai branch manager atau kepala pimpinan workshop yang tugasnya menangangi sekaligus mengawasi operasional perusahaan. Awalnya dia pikir itu tidak akan sulit, hanya mengatasi beberapa masalah seperti mesin atau setrika rusak, kurir yang tidak masuk kerja atau terjebak macet, juga tetek bengek kecil lainnya, dan ternyata itu cuma ada dalam mimpi saja. Danish tidak pernah tahu jika
Menuju akhir blok, akhirnya Sayna dan teman seangkatannya ada di fase ini setelah lebih dari dua bulan bergelut dengan sistem humaniora neurologi. Meski agak berat, karena neuro atau saraf ada pada tiap tubuh manusia termasuk cadaver di lab fakultasnya, dia tetap tabah menjalani itu semua. Satu kali lagi kelas PBL – Program Best Learning dan kelas tutorial untuk kemudian menghadapi Skills Lab Sabtu nanti.“Say, sini duduknya di sebelah aku!” panggil Fika sambil melambai padanya.Belajar dengan sistem PBL berarti menghadiri kelas bersama seluruh teman seangkatannya di ruangan yang mirip gedung olahraga dengan kursi di atas undakan bertingkat. Semakin belakang, semakin tinggi letak kursinya dan Sayna suka berada di sana. Dia berjalan menaiki tangga untuk menyusul Fika yang sudah punya spot favorit di kelasnya.Di depan sana, dosen siap memulai pelajaran, dua infokus di kiri dan kanan juga sudah dinyalakan.
“Sayna... maaf!”Suara itu mengganggunya kala Sayna tengah duduk di kantin fakultas sembari menyantap potongan dimsum ayam dan ikan. Sabtu dan Minggu bersama Danish nyaris kacau karena panggilan telepon dari orang ini, Sayna tidak bisa untuk tidak kesal padanya. Kentara sekali jika Danish berusaha keras untuk memaklumi dan tidak membahas soal Gio lebih jauh selama mereka menghabiskan akhir minggu meski dia tampak terganggu.“Say, jangan ngambek atuh, nanti cantiknya berkurang lho.” Gio tidak menyerah, masih menggoda dan berusaha membujuknya. “Kakak habis ini jaga di Pediatric sampai besok, kita nggak akan ketemu, pengen kangen-kangenan dulu.”Fakultas kedokteran tempatnya menimba ilmu memang terletak tak jauh dari rumah sakit umum tempat coass nanti, jadi setelah menyelesaikan serangkaian prosedur kelulusan dan menyandang titel Sarjana Kedokteran, Giovani menjadi dokter muda di rumah sa
“Heh! Jaga tangan lo!”Pramudya terkesiap ketika harusnya dia kembali menerima pukulan di kepala namun tubuh seseorang menghalangi serangan itu di hadapannya. Gadis itu mengintip dari balik kelopak mata yang tertutup rapat, Danish ada di sana. Dia memakai setelan Balenciaga satu set kaus dengan kemeja jins yang dibeli bulan lalu oleh Pradnya. Dan... Pramudya merasa lega.“Jagain tuh cewek lo, jangan kegatelan sama cowok orang!”“Lo yang harusnya jagain buaya itu, sialan!”Adu mulut tak terhindarkan, Pramudya tidak tahu apa yang terjadi pada Danish hari ini hingga dia tiba-tiba muncul bahkan tak sampai dua jam setelah terakhir kali mengirim lokasi via pesan. Lalu setelahnya, Danish mengamuk seperti banteng gila, berlebihan sekali melihat dia marah besar hanya karena memergoki gadis itu menampar wajah Pramudya. Pasti ada sesuatu, Danish hanya butuh pelampiasan.“Lo juga!” Dia masih mengomel sambil menye
“Nish, itu ada kiriman dari Anya. Baju couple lho, lucu katanya. Buat kamu sama Sayna.”Danish mengangguk saja, melempar pandangannya pada kantong yang teronggok di sofa—Balenciaga. “Mama mau ke mana? Udah gaya aja.”“Hm...” Ibunya tersenyum merona. “Ada janji makan makan malam sama Om Tio, mama udah cantik belum pakai baju ini, Dek?”Danish tahu, dia tidak seharusnya bersikap seperti itu. Menunjukkan terang-terangan bahwa dia keberatan dengan hubungan baru yang dijalin oleh Melia. Namun tanpa bisa dicegah, senyum di bibirnya meluntur begitu mendengar kalimat sang ibu. Danish tidak bisa berpura-pura lebih lama, dia diam saja dan hanya pergi meninggalkan ibunya sambil menenteng kantong oleh-oleh yang dihadiahkan Anya, gadis itu pasti baru kembali plesiran dari Eropa.Dan berjam-jam berikutnya, Danish menghabiskan waktu di perjalanan menuju ke tempat Sayna. Ini masih Jumat malam, harusnya mereka
Sayna sekarang tahu bahwa Arunika merupakan putri sulung sekaligus putri satu-satunya dari Mark Tuan, seorang pria yang lahir dari wanita asli Sunda dan ayahnya berdarah Tionghoa. Pantas saja dia punya perawakan yang berbeda dengan para pribumi, meski dipanggil Gege oleh adiknya, tapi keluarga mereka sangat meninggikan kebudayaan dan adat Sunda. Mungkin karena ibu kandungnya memiliki latar belakang yang kental dengan budaya, kabarnya mereka adalah keluarga pengelola museum adat Sunda di Subang.Mark dan keluarganya menetap di Lembang, daerah Bandung yang juga dekat ke arah Subang. Dia bekerja sebagai direktur operasional perusahaan farmasi keluarga yang dikepalai oleh kakak kandungnya sebagai lulusan apoteker handal. PT Sagara Purnama adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri kosmetik dan kontrak manufaktur pertama di Subang. Itu sekilas yang Sayna tahu dari hasil pencariannya di internet mengenai latar belakang pria itu.“Sebenarnya saya ke rumah sakit
“Sayna, Adek koas favorit Bunda, sini-sini.” Sayna menyengir pasrah ketika salah satu perawat senior memanggil namanya sambil melambai-lambaikan tangan. Sudah pasti dia akan dapat tugas tambahan. Mereka bilang, anak-anak koas adalah keset kaki karena acapkali diperlakukan semena-mena selama menjadi sukarelawan di rumah sakit. Tak jarang yang memperlakukan mereka tidak manusiawi adalah rekan-rekan seniornya sendiri. Di stase ini tentu Sayna tidak terlepas dari orang-orang dengan profesi dokter, perawat, hingga bidan dan lain-lainnya. Namun nasib anak-anak magang dari angkatan perawat dan kebidanan jauh lebih mengenaskan. Tak jarang Sayna yang harus membimbing mereka saat ada waktu senggang. “Kamu ke perina, ya. Banyak yang mau aterm hari ini.” “Baik, Bu.” Sayna menurut dengan mudah saat kepala perawat favoritnya meminta bantuan untuk membuat dia berjaga di ruang perina dan menunggu ibu-ibu yang akan melahirkan bayi. Ruang itu terhubung
“Dede enakan? Boleh Ayah minta sun?” “Boleh.” Gadis kecil berusia dua tahun lebih itu mendongak untuk mengecup wajah sang ayah. “Napa?” “Nggak papa, ayah cuma mau minta sun aja. Kangen sama Dede.” “Hai, Nika...” sapa Sayna ramah, meski pada kenyataannya Arunika yang ini lebih suka pada Rafika saat mereka berkunjung untuk memeriksa keadaannya. “Udah minum susu belum, Sayang?” “Nggak mau.” Dia menggeleng lemah. Gadis kecil itu merengut, merapatkan tubuhnya pada sang ayah. “Sus, ini bisa nggak dititip sebentar? Nanny lagi makan siang di kantin, saya ada keperluan yang harus dibeli ke luar.” Sayna tersenyum dan mengangguk. “Silakan, Pak. Biar Arunika saya yang jaga.” “Wah, ini Tante susternya hafal nama Dede.” Pria itu bersorak senang. “Tunggu sebentar, ya? Ayah mau beli sesuatu, nanti Dede beli mainan baru deh, mau?” “Nggak mau.” Arunika menggelengkan kepala tanda tak setuju. “Nika mau minum susu sama tante?” tawar
Setelah bulan lalu mengakhiri masa abdinya di stase bedah, yang mana membuat Sayna merasakan pengalaman luar biasa selama berada di sana, mulai minggu ini dia mendapat giliran berjaga di stase anak. Meskipun mengingat perjuangan serta pelajaran yang dia dapat dari stase bedah sangat berharga dan beragam, Sayna lega karena bebas dari sana. Stase bedah memiliki pasien yang banyak, nyaris membludak untuk di-follow up setiap hari. Tapi di sana juga keterampilan Sayna sangat diuji. Kemampuannya menjahit luka semasa kuliah pra-klinik selama 3,5 tahun benar-benar direalisasikan. Sayna bahkan belajar menyunat di stase ini. Dan yang paling berkesan adalah melakukan operasi transplantasi kulit pada pasien luka bakar yang mana kulitnya diambil dari bagian paha dan ditanam ke punggung. Luar biasa, Sayna merasa jadi mahasiswi kedokteran betulan saat itu. Dan semuanya sudah berlalu, Sayna tidak yakin lulus di stase itu karena mahasiswa sepintar Gio saja dulu tidak mampu m
Anya merasa lebih tenang sekarang, karena meski saudarinya akan merantau ke negeri orang, dia mengantongi izin untuk berkunjung ke tempat Dya belajar sesering yang dia ingin. Setelah melakukan pentas drama di depan ayah dan ibunya, Anya dikonfirmasi akan segera memiliki privat jet miliknya sendiri untuk keperluan pulang pergi melongok Dya di New York. Dan berhubung keduanya anak kembar, tidak adil rasanya jika Ranajaya hanya membelikan untuk salah satu dari mereka saja. Alhasil, Dya yang tidak berminat sama sekali pada benda bisa terbang itu pun harus ikut menerima pemberian orangtuanya. Mau tidak mau.“Aku nanti minta jadwal kamu pokoknya, biar pas kamu free aku ke sana.”Dya mengangguk mendengar permintaan saudarinya itu, sedikit lega karena Anya tampak lebih bersemangat dibanding beberapa hari yang lalu. “Kamu baik-baik, ya.”“Aku yang harusnya bilang gitu.” Anya berguling dari posisinya saat ini dan telungkup untu
“Lo masih mau di sini?” Suara Danish menyadarkannya kembali. “Kalau mau sama Hamam nggak papa sih.”“Eh, nggak, Nish, nggak! Gue nggak enak juga kalau harus ke kamar Dya.” Hamam salah tingkah dan mengusap tengkuknya gelisah. “Dya sama Danish aja, ya? Biar Mas Hamam di sini jagain Anya, oke?”“Oke.”Pada akhirnya Dya pasrah saat Danish membantunya mengalungkan tangan dan berjalan tertatih menuju villa tempat mereka menginap. Sementara Hamam, Anya, Arvin, Rafid dan Herdian tinggal untuk menikmati berbagai permainan yang disuguhkan. Namun setelah dua orang itu menjauh, lima anak muda itu justru tidak meneruskan niat mereka semula.“Gila, ya. Untung lo masih ada otaknya, Mam. Kalau lo ngotot bawa Dya tadi kebayang gimana patah hatinya Danish.” Herdian membuka obrolan.“Iya, kasihan gue kalau dia harus patah hati dua kali dalam waktu dekat.” Pendapat Rafid menimpali duga
“Sial, banyak banget debu jalanan. Tutup mata, Anya!”“WAAAA....”Danish langsung mengerem sepeda motor yang dia kendarai mendengar jeritan Hamam di sebelahnya, temannya itu nyaris oleng sebelum berbelok ke kiri jalan dan berhenti.“Kenapa sih?” tanya Danish keki. Merasakan pegangan tangan Anya di pinggangnya melonggar perlahan. Mereka sedang berwisata dan menaklukan medan jalan yang berdebu dan terjal untuk sampai ke tujuan.“Gue kaget, Nish. Pas lo teriak nyuruh nutup mata itu gue refleks nutup mata juga, padahal kan gue lagi nyetir, mana bonceng Dya di belakang. Kalau Dya cedera nyawa gue bisa melayang.”Dya dan Anya tertawa, mereka kira apa. Dya yang duduk di belakang Hamam bahkan bingung sendiri saat pemuda itu mulai tidak stabil membawa kendaraannya lalu berhenti tiba-tiba.“Maaf ya, Dya.” Hamam merasa sangat berdosa. Ini harusnya jadi liburan yang paling berkesan karena Dya a
Menghabiskan dua malam di Jakarta bersama Giovanni yang diizinkan menginap oleh orangtuanya, Sayna melakukan perjalanan kembali ke perantauan. Bukan Bandung, kali ini dia harus ke Majalengka karena sedang sibuk KKN di sana. Agak sedih karena Sayna tidak bertemu dengan adiknya sama sekali berhubung anak itu sedang sibuk pendidikan, dia juga tidak tahu kapan bisa pulang ke rumah lagi, bisa dipastikan Sayna akan lebih sibuk dalam beberapa bulan kedepan.“Semangat dong!” Gio tersenyum menggoda, paham kalau gadis cantik yang duduk di sebelahnya itu tengah diserang homesick musiman yang biasa menyerang para mahasiswa KKN. “Gimana aja program kalian?”“Programnya banyak,” keluh Sayna pelan. “Ada satu anak yang ngeselin dari teknik sipil, aku sering banget nahan bogem kalau dia mulai ngoceh terus, Kak.”Giovanni mengacak rambut pendek Sayna dengan sebelah tangan. “Namanya dinamika kelompok, hadapi aja, ya. I
“Om... tolong!”Irya sedang bermain sandiwara dengan pamannya.“Om! Aku syakit!”Danish tidak menggubris.“Om, tolong aku!”“Aduh, berisik banget!” Danish menggerutu lalu berjalan mendekati bayi yang usianya entah berapa itu. Irya terlalu pintar untuk anak seusianya. Sibuk berakting demi mencari perhatian. Lihat saja, dia membuka lemari penyimpanan di kamar Danish lalu memasukkan sebelah tangan ke dalamnya dan menutup pintu lemari itu kemudian menjerit seolah sangat kesakitan.“Apa-apaan sih, Den?” tanya Danish keki. Kelakuan Irya kadang sebelas dua belas dengan ayahnya. Ada-ada saja.“Hehe, makasih Om!” seru Irya tanpa merasa berdosa atau apa.Danish menggendong anak itu dan menatapnya sambil menyipitkan mata. Tidak ingin dan tidak bisa menebak hal aneh lain yang akan dilakukan oleh Irya. Dia seperti tidak kehabisan ide untuk membuat keributan dan ingin se