“Jadi... sampai sekarang belum ada yang tahu?”
Melia, Dinara, Pradnya bahkan Ceu Yati pun menggelengkan kepala. Mereka semua serempak melakukan gerakan itu untuk menjawab pertanyaan yang diajukan Ayudia. Hari yang cerah untuk melakukan perkumpulan kecil di ruang lingkup keluarga, Ayudia sengaja terbang ke Jakarta melihat dua anak gadisnya keranjingan pulang pergi demi menemani ipar mereka yang tengah patah hati.
Kemudian semuanya berkumpul di dapur, karena Melia sibuk membuat roti untuk Danish. Bungsunya itu menolak makan dan hanya bisa menjejali roti ke perutnya, itu pun harus roti buatan Melia. Dan seorang ibu, demi anaknya apa sih yang tidak? Melia rela melepas pakaian kerja dan kembali berkarier di dapur dengan apron serta tangan bertabur terigu.
“Pacarnya Ninish ini apa, toh? Calon dokter?”
“Iya, Bu.” Dinara menimpali jawaban mertuanya.
“Keluarganya sekaya apa?” tanya Ayudia lagi.
&l
“Aduh, aduh... sakit banget ini.”“Sakit? Sakit apa, Nish?”“Encok nih kayaknya, pinggang aku nyeri.”“Ya, ampun! Kok encok terus gimana ceritanya? Udah ke dokter belum?”“Belum, Bu, ntar aja. Nunggu Sayna yang jadi dokternya. Hehehe.”Sayna mengenang potongan itu, Danish selalu berlebihan jika kebetulan tangan Sayna jahil dan memelintir kulit perut atau pinggangnya. Dia akan meringis dan mengadu pada ibu, lalu mengatakan kalimat-kalimat yang lucu. Danish, Sayna rindu sekali padamu.“Pesen apa lagi? Gurame sambel cobek? Apa sambel mangga? Teteh mau apa aja? Kangkung terasi? Tumis genjer?”Sayna mengalihkan pandangan. “Aku kangkung aja, Bu.”“Biar nanti tainya warna ijo ya, Kak?”“Inara!” tegur wanita akhir tiga puluhan yang Sayna sebut sebagai Imo—alias Bibi, ibu kandung sepupunya. Sementara itu yang
Danish tidak tahu jika halaman belakang rumahnya akan sedikit berubah jadi pemakaman keluarga dan bukan hanya taman bunga biasa. Setelah janin Sayna dikubur di sana, Bolu—Chinchilla lucu berbulu miliknya juga bersemayam di tempat itu. Dia mengalami dehidrasi dan masalah pencernaan hingga tak bisa diselamatkan lagi, Bolu ditemukan oleh Dya, malam hari sebelum gadis itu pulang ke rumah keluarganya di Jakarta. Saat Danish sudah tidur lebih dulu.Awalnya dia tidak merasa apa-apa, kehilangan Bolu yang hanya hewan peliharaan tidak begitu melukainya. Danish tahu rasanya kehilangan lebih parah dari itu. Dia tidak menangis saat menguburkan Bolu di belakang rumah, Danish meyakini kalau Sayna pun pasti akan bersikap sama. Gadis itu bahkan mengeluarkan anaknya dari dalam perut setelah dibuat mati lebih dulu. Dan dengan tanpa pikir panjang membuang jasadnya ke lubang pembuangan.Danish tidak bersedih untuk kepergian Bolu dari hidupnya.Tidak sama sekali.Tapi ke
“Irya, turun.”“Iya.”“Den Irya... turun, ya?”“Iya.”“Iya, ayo turun!”“Iya.”“Iryaaaaa....”“Iya....”“Den, cah lanangku yang paling guanteng se-Jakarta sampai Surabaya. Dengerin Om-nya, turun ya, Sayang?”“Nggih...”“Sek, turun.”“Nggih...”“Irya...”“Iya...”“Den...”“Nggih...”“Nggih-nggih mboten kepanggih.”Anya menaruh kentang goreng dan saus sambal yang dibawanya di dekat Danish, sementara itu dia menyongsong Irya—keponakannya dari Arya dan Dinara—yang tengah memanjat palang jendela lalu menurunkan bocah itu agar dia berdiri dengan benar. Irya berusia hampir dua tahun dan sedang aktif-aktifnya, dia punya karakter manis, suaranya halus dan e
“Pekerjaan seberat apa pun akan terasa ringan kalau yang mengerjakannya adalah orang lain dan kita cuma lihat-lihat aja di Instagram.” Hamam dan petuahnya yang menyesatkan tidak ingin Danish gubris sama sekali.Mereka berdua berboncengan dengan sepeda motor dari rumah Danish menuju ke laundry. Danish mulai bekerja lagi, dia mulai bosan dengan kegiatan tidak bermanfaatnya di rumah. Terlebih Anya dan Dya tidak sesering itu berkunjung. Melihat Danish sudah lebih ceria, mereka pun mengurangi intensitas untuk datang, dan Danish terpaksa mencari kesibukan. Apa lagi selain bekerja?Meski tidak sesemangat dulu, tapi ini lebih baik dibanding tidak melakukan apa-apa.“Lo tuh bisa nggak sih? Kalau ada apa-apa, ada masalah sama Sayna, sedihnya biasa aja. Nggak usah bawa-bawa Dya sama Anya. Mereka jadi nggak pernah ke sini sejak kejadian lo depresi kemarin, Nish.”“Gue nggak depresi,” sangkal Danish tak terima.“Yah, po
Who are you? Cause you’re not the girl, i falling love with... BabyWho are you?Cause nothing has changed, you’re not the sameI hate it...I... i’m sick of waiting for love.... lo...ve...I... i know that you’re the one... one...Song by: Lauv feat BTS – Who?Suara petikan melodi, serta alunan nada yang keluar dari bibir tipis Danish membuat dua gadis itu terpesona. Bahkan seorang pemuda jomblo yang ada di sana pun, ikut terpana. Mereka sama-sama takjub mendengar lantunan lagu menyayat hati yang dinyanyikan Danish siang itu. Diiringi desiran ombak dan angin yang mendayu-dayu.“Dalem banget lagunya.” Pradnya berkomentar paling dulu saat Danish menghentikan petikan di gitarnya. “Sini ghue sawer dulu.”Cup!Danish menyengir geli sampai hidungnya berkerut saat Anya mencium seluruh bag
“Sayna...”“Hm?”“Lo nggak dicariin sama Ibu?”Sayna menoleh dan menatap wajah tampan pemuda itu. “Nggak. Memang kenapa?”“Soalnya tiap malem lo selalu hadir di mimpi gue. Hehehe.”Sampai hari ini Sayna bahkan masih mendecih pelan jika pikirannya sedang melayang dan terkenang kembali momen indahnya dengan Danish. Terlebih ini sudah malam, dia berjalan sendirian setelah menyelesaikan banyak kegiatan di kampusnya, melamun sepanjang jalan. Melelahkan sekali jadi mahasiswa kedokteran yang teladan. Dia bahkan tidak bisa tenang untuk sekadar mengambil napas.Blok urologi memiliki praktikum hingga 6 lab, padahal blok reproduksi yang 5 lab saja sudah membuat Sayna sesak napas. Dia menjalani kehidupan ekstrem di masa perkuliahan, di mana kemarin sore baru saja melakukan asistensi, hari ini praktikum dan besok mengumpulkan laporan untuk lusanya jadwal responsi. Setiap hari Sayna memulai kegia
Perempuan bukan permen karet yang jika sudah lelah dikunyah, tidak manis lagi, lantas disepah, dibuang begitu saja. Mereka juga bukan panti rehab yang bisa mengobati luka-luka batin para pria patah hati. Mereka begitu mulia, itu kenapa surga berada di telapak kakinya. Dan untuk semua pemikiran itu, Danish akhirnya berhenti menghakimi pilihan Sayna.Gadis itu pun manusia biasa, dia bisa melakukan kesalahan, entah disengaja atau di luar kesadarannya.“Yang itu cantik, namanya Swastamita.” Sayna memandang takjub pada box-box bayi di dalam ruangan berdinding kaca transparan yang tengah mereka kunjungi.Dia meminta izin pada Giovanni untuk bertandang ke kamar inap bayi di rumah sakit universitas karena kebetulan minggu ini Gio kembali berjaga di stase pediatric. Setelah diperbolehkan—meski jam besuk rumah sakit sudah habis, Danish dan Sayna bisa berada di sana, berdiri di luar ruangan para bayi yang baru dilahirkan. Menganggap seolah-olah tengah men
“Deep banget, njir. Yuk, Vin, ganti nama jadi Arvin Teguh aja.”Arvin tidak menggubrisnya ketika kelompok itu sampai di dekat Grand Caravan yang akan mengantar mereka ke kediaman Ranajaya. Dan hanya beberapa menit menempuh perjalanan darat setelah turun dari pesawat, Danish dan teman-teman tiba di rumah Pradnya dan Pramudya yang terkenal kaya raya, maka dari itu reaksi serta decak kagum yang bergaung dari anak-anak itu terdengar tidak aneh lagi.“Hai semua! Selamat datang!”“Haaaiiii!”Herdian, Hamam, Arvin dan Rafid menyongsong gadis berambut panjang lurus yang menyambut kedatangan mereka dengan wajah riang. Bahkan tampak tidak canggung saat gadis itu memberikan pelukan selamat datang pada tiap orang.“Apa kabar?” tanya Arvin memulai basa-basi. “Makin cantik aja.”Dikomentari seperti itu, sebelah alis Anya terangkat, kemudian dia melirik Danish dan mereka berdua t
Sayna sekarang tahu bahwa Arunika merupakan putri sulung sekaligus putri satu-satunya dari Mark Tuan, seorang pria yang lahir dari wanita asli Sunda dan ayahnya berdarah Tionghoa. Pantas saja dia punya perawakan yang berbeda dengan para pribumi, meski dipanggil Gege oleh adiknya, tapi keluarga mereka sangat meninggikan kebudayaan dan adat Sunda. Mungkin karena ibu kandungnya memiliki latar belakang yang kental dengan budaya, kabarnya mereka adalah keluarga pengelola museum adat Sunda di Subang.Mark dan keluarganya menetap di Lembang, daerah Bandung yang juga dekat ke arah Subang. Dia bekerja sebagai direktur operasional perusahaan farmasi keluarga yang dikepalai oleh kakak kandungnya sebagai lulusan apoteker handal. PT Sagara Purnama adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri kosmetik dan kontrak manufaktur pertama di Subang. Itu sekilas yang Sayna tahu dari hasil pencariannya di internet mengenai latar belakang pria itu.“Sebenarnya saya ke rumah sakit
“Sayna, Adek koas favorit Bunda, sini-sini.” Sayna menyengir pasrah ketika salah satu perawat senior memanggil namanya sambil melambai-lambaikan tangan. Sudah pasti dia akan dapat tugas tambahan. Mereka bilang, anak-anak koas adalah keset kaki karena acapkali diperlakukan semena-mena selama menjadi sukarelawan di rumah sakit. Tak jarang yang memperlakukan mereka tidak manusiawi adalah rekan-rekan seniornya sendiri. Di stase ini tentu Sayna tidak terlepas dari orang-orang dengan profesi dokter, perawat, hingga bidan dan lain-lainnya. Namun nasib anak-anak magang dari angkatan perawat dan kebidanan jauh lebih mengenaskan. Tak jarang Sayna yang harus membimbing mereka saat ada waktu senggang. “Kamu ke perina, ya. Banyak yang mau aterm hari ini.” “Baik, Bu.” Sayna menurut dengan mudah saat kepala perawat favoritnya meminta bantuan untuk membuat dia berjaga di ruang perina dan menunggu ibu-ibu yang akan melahirkan bayi. Ruang itu terhubung
“Dede enakan? Boleh Ayah minta sun?” “Boleh.” Gadis kecil berusia dua tahun lebih itu mendongak untuk mengecup wajah sang ayah. “Napa?” “Nggak papa, ayah cuma mau minta sun aja. Kangen sama Dede.” “Hai, Nika...” sapa Sayna ramah, meski pada kenyataannya Arunika yang ini lebih suka pada Rafika saat mereka berkunjung untuk memeriksa keadaannya. “Udah minum susu belum, Sayang?” “Nggak mau.” Dia menggeleng lemah. Gadis kecil itu merengut, merapatkan tubuhnya pada sang ayah. “Sus, ini bisa nggak dititip sebentar? Nanny lagi makan siang di kantin, saya ada keperluan yang harus dibeli ke luar.” Sayna tersenyum dan mengangguk. “Silakan, Pak. Biar Arunika saya yang jaga.” “Wah, ini Tante susternya hafal nama Dede.” Pria itu bersorak senang. “Tunggu sebentar, ya? Ayah mau beli sesuatu, nanti Dede beli mainan baru deh, mau?” “Nggak mau.” Arunika menggelengkan kepala tanda tak setuju. “Nika mau minum susu sama tante?” tawar
Setelah bulan lalu mengakhiri masa abdinya di stase bedah, yang mana membuat Sayna merasakan pengalaman luar biasa selama berada di sana, mulai minggu ini dia mendapat giliran berjaga di stase anak. Meskipun mengingat perjuangan serta pelajaran yang dia dapat dari stase bedah sangat berharga dan beragam, Sayna lega karena bebas dari sana. Stase bedah memiliki pasien yang banyak, nyaris membludak untuk di-follow up setiap hari. Tapi di sana juga keterampilan Sayna sangat diuji. Kemampuannya menjahit luka semasa kuliah pra-klinik selama 3,5 tahun benar-benar direalisasikan. Sayna bahkan belajar menyunat di stase ini. Dan yang paling berkesan adalah melakukan operasi transplantasi kulit pada pasien luka bakar yang mana kulitnya diambil dari bagian paha dan ditanam ke punggung. Luar biasa, Sayna merasa jadi mahasiswi kedokteran betulan saat itu. Dan semuanya sudah berlalu, Sayna tidak yakin lulus di stase itu karena mahasiswa sepintar Gio saja dulu tidak mampu m
Anya merasa lebih tenang sekarang, karena meski saudarinya akan merantau ke negeri orang, dia mengantongi izin untuk berkunjung ke tempat Dya belajar sesering yang dia ingin. Setelah melakukan pentas drama di depan ayah dan ibunya, Anya dikonfirmasi akan segera memiliki privat jet miliknya sendiri untuk keperluan pulang pergi melongok Dya di New York. Dan berhubung keduanya anak kembar, tidak adil rasanya jika Ranajaya hanya membelikan untuk salah satu dari mereka saja. Alhasil, Dya yang tidak berminat sama sekali pada benda bisa terbang itu pun harus ikut menerima pemberian orangtuanya. Mau tidak mau.“Aku nanti minta jadwal kamu pokoknya, biar pas kamu free aku ke sana.”Dya mengangguk mendengar permintaan saudarinya itu, sedikit lega karena Anya tampak lebih bersemangat dibanding beberapa hari yang lalu. “Kamu baik-baik, ya.”“Aku yang harusnya bilang gitu.” Anya berguling dari posisinya saat ini dan telungkup untu
“Lo masih mau di sini?” Suara Danish menyadarkannya kembali. “Kalau mau sama Hamam nggak papa sih.”“Eh, nggak, Nish, nggak! Gue nggak enak juga kalau harus ke kamar Dya.” Hamam salah tingkah dan mengusap tengkuknya gelisah. “Dya sama Danish aja, ya? Biar Mas Hamam di sini jagain Anya, oke?”“Oke.”Pada akhirnya Dya pasrah saat Danish membantunya mengalungkan tangan dan berjalan tertatih menuju villa tempat mereka menginap. Sementara Hamam, Anya, Arvin, Rafid dan Herdian tinggal untuk menikmati berbagai permainan yang disuguhkan. Namun setelah dua orang itu menjauh, lima anak muda itu justru tidak meneruskan niat mereka semula.“Gila, ya. Untung lo masih ada otaknya, Mam. Kalau lo ngotot bawa Dya tadi kebayang gimana patah hatinya Danish.” Herdian membuka obrolan.“Iya, kasihan gue kalau dia harus patah hati dua kali dalam waktu dekat.” Pendapat Rafid menimpali duga
“Sial, banyak banget debu jalanan. Tutup mata, Anya!”“WAAAA....”Danish langsung mengerem sepeda motor yang dia kendarai mendengar jeritan Hamam di sebelahnya, temannya itu nyaris oleng sebelum berbelok ke kiri jalan dan berhenti.“Kenapa sih?” tanya Danish keki. Merasakan pegangan tangan Anya di pinggangnya melonggar perlahan. Mereka sedang berwisata dan menaklukan medan jalan yang berdebu dan terjal untuk sampai ke tujuan.“Gue kaget, Nish. Pas lo teriak nyuruh nutup mata itu gue refleks nutup mata juga, padahal kan gue lagi nyetir, mana bonceng Dya di belakang. Kalau Dya cedera nyawa gue bisa melayang.”Dya dan Anya tertawa, mereka kira apa. Dya yang duduk di belakang Hamam bahkan bingung sendiri saat pemuda itu mulai tidak stabil membawa kendaraannya lalu berhenti tiba-tiba.“Maaf ya, Dya.” Hamam merasa sangat berdosa. Ini harusnya jadi liburan yang paling berkesan karena Dya a
Menghabiskan dua malam di Jakarta bersama Giovanni yang diizinkan menginap oleh orangtuanya, Sayna melakukan perjalanan kembali ke perantauan. Bukan Bandung, kali ini dia harus ke Majalengka karena sedang sibuk KKN di sana. Agak sedih karena Sayna tidak bertemu dengan adiknya sama sekali berhubung anak itu sedang sibuk pendidikan, dia juga tidak tahu kapan bisa pulang ke rumah lagi, bisa dipastikan Sayna akan lebih sibuk dalam beberapa bulan kedepan.“Semangat dong!” Gio tersenyum menggoda, paham kalau gadis cantik yang duduk di sebelahnya itu tengah diserang homesick musiman yang biasa menyerang para mahasiswa KKN. “Gimana aja program kalian?”“Programnya banyak,” keluh Sayna pelan. “Ada satu anak yang ngeselin dari teknik sipil, aku sering banget nahan bogem kalau dia mulai ngoceh terus, Kak.”Giovanni mengacak rambut pendek Sayna dengan sebelah tangan. “Namanya dinamika kelompok, hadapi aja, ya. I
“Om... tolong!”Irya sedang bermain sandiwara dengan pamannya.“Om! Aku syakit!”Danish tidak menggubris.“Om, tolong aku!”“Aduh, berisik banget!” Danish menggerutu lalu berjalan mendekati bayi yang usianya entah berapa itu. Irya terlalu pintar untuk anak seusianya. Sibuk berakting demi mencari perhatian. Lihat saja, dia membuka lemari penyimpanan di kamar Danish lalu memasukkan sebelah tangan ke dalamnya dan menutup pintu lemari itu kemudian menjerit seolah sangat kesakitan.“Apa-apaan sih, Den?” tanya Danish keki. Kelakuan Irya kadang sebelas dua belas dengan ayahnya. Ada-ada saja.“Hehe, makasih Om!” seru Irya tanpa merasa berdosa atau apa.Danish menggendong anak itu dan menatapnya sambil menyipitkan mata. Tidak ingin dan tidak bisa menebak hal aneh lain yang akan dilakukan oleh Irya. Dia seperti tidak kehabisan ide untuk membuat keributan dan ingin se