Merasa sudah dewasa, Danish jarang sekali berbagi hal-hal dengan ibunya. Namun untuk kasus seperti kecelakaan ini, dia tidak bisa. Lukanya menganga, tetap dipertanyakan andaipun dia rahasiakan. Dan itu sebuah petaka lain, sebab Melia membuat kehebohan yang berlebihan, mulai dari Danish harus izin ke kampus dan tidak masuk kelas sampai dia pulih, hingga mengabari teman-temannya yang jauh di luar kota.
Butuh waktu yang pas bagi Aryan untuk menghubunginya, tapi Angga yang tinggal dan kuliah di Yogyakarta menelepon Danish lebih cepat dari yang ia duga. Angga, selain menanyakan bagaimana kabar dan separah apa luka yang Danish terima, juga menggosip perihal pacar terbaru Melia.
“Sayang banget, gue kira Tante Mel bakal jadi ibu sambung gue dan kita jadi sodara, Nish.” Angga terdengar sedih. “Papa jadi duda udah lama, nggak kawin-kawin, gue kira nunggu Tante Mel, tapi kan nyokap lo nggak bakal nikah dulu sampai anak-anaknya mandiri. Berarti Tante lagi nungguin lo kelar kuliah, Nish.”
Uh, kepalanya sakit dan obrolan berat dengan Angga siang bolong begini membuat Danish semakin pusing. Kenapa sih harus menikah lagi? Ibunya terlihat bahagia sendirian, punya suami berarti ada yang harus diurusi, ada komitmen yang dibangun, ada tanggung jawab baru. Kenapa Melia ingin hidup repot lagi seperti itu?
“Dibanding cowoknya itu, mending bokap gue ke mana-mana kan, Nish?”
“Iya sih.” Minimal, Danish sudah kenal dengan papanya Angga sejak kecil. Mereka juga bersahabat sudah lama, pasti lebih mudah bersaudara dengan Angga dibanding anak dari Tiodore yang masih asing. “Tapi gue tetap nggak mau Mama nikah sama bokap lo. Dia masih suka abuse nggak, sih?”
“Elah, lo sama bokap gue lebih jagoan lo kali. Kalo dia mukul Tante Mel, lo cekek aja sampe mati. Hehe.”
Angga sepertinya sudah tidak waras, pasti dia yang sebenarnya diam-diam memiliki keinginan terpendam untuk membunuh ayah kandungnya sendiri.
“Eh, udahan ya, gue ada kelas. Jangan mati dulu, luka dikit di kepala nggak apa-apa, itu proses pendewasaan namanya. Hahaha. Sampai ketemu pas liburan, ya!”
Sambungan telepon itu terputus, dan Danish sendirian lagi, tidak apa siapa-siapa di rumah selain Ceu Yati yang sibuk mengurusi Bolu—Chincillanya yang lucu. Melia ke kantor, Dinara baru saja pulang setelah menjemput Irya dari sekolah bayi, tidak ada yang bisa menemani Danish saat ini.
Tanpa Sayna, hidupnya hampa sekali. Apa kabar gadis itu? bagaimana perasaannya setelah ditinggal pergi? Sayna yang Danish kenal biasanya berbalik marah dan memusuhi, apa kali ini dia tetap begitu? Atau Sayna menunggunya seperti yang Danish mau?
Danish merindukanya, tapi masih sulit untuk kembali bersama, dia butuh waktu. Minimal sampai dia lupa pada bayang-bayang kesalahan gadis itu. Dia bersumpah sudah memaafkannya, tapi untuk lupa, berapa lama Danish butuh jeda dengan Sayna?
Setelah semuanya, perjuangan mereka, pengorbanan Sayna, perbuatan keduanya, Danish tahu dia tidak bisa ke mana-mana. Tidak akan ke mana-mana. Meski dia ingin, itu tetap tidak akan dia lakukan. Dia harus bertanggung jawab pada Sayna, orangtuanya, masa depannya. Danish sudah merenggut hal yang paling berharga dari Sayna—mahkotanya.
“Nish,” kata Arya segera saat Danish menerima panggilan telepon darurat itu dari iparnya. “Kamu di mana? Kamu tahu kalau Dya ke Jakarta?”
Mendadak, Danish terkesiap. Dia mengabaikan pesan yang dikirimkan gadis itu dua jam lalu, karena Danish sedang tidak ingin bertemu siapa-siapa.
“Kenapa, Mas?” tanyanya.
“Dya nunggu kamu di Senci, kamu nggak tahu apa gimana? Lupa?”
Danish memijit pelipisnya. “Aku ke sana.”
****
“Kok bisa-bisanya? Kalian berantem apa gimana? Mas ke sini jam 11 dan ini jam 1 siang tapi Danish belum datang juga. Kenapa kamu nggak pulang aja?”
Pramudya menundukkan kepala mendengar kakaknya yang nomor dua tengah mengomel dan terlihat kesal. Dya bertemu Arya di kawasan ini kurang lebih dua jam lalu ketika pria itu menuju tempat meeting dengan klien bisnisnya. Dan saat Arya selesai, gadis itu masih di sana, dia datang sendirian ke Jakarta, tidak mampir ke rumah, dia akan bertemu Danish—katanya.
“Mas, maaf.” Danish muncul tergopoh-gopoh, lupa mandi bahkan berganti pakaian. Dia hanya mengenakan sweater dan menutup kepalanya dengan hoodie berwarna merah tua. “Aku tadi ketiduran habis baca chat dari Dya.”
“Danish masih harus pemulihan.” Pramudya menambah alasan.
Arya menarik napas, rahangnya yang tadi mengeras mulai dilemaskan. “Mas pulang dulu kalau gitu. Baik-baik kalian berdua.”
“Iya, Mas.” Dua anak muda itu menjawab patuh.
Biasanya Arya tidak gampang kesal, Arya selalu sabar pada banyak hal, tapi dia bisa berbeda kalau itu menyangkut adik-adiknya. Bahkan status Danish sebagai ipar satu-satunya, yang biasanya istimewa, tidak diindahkan. Arya tetap marah, jika salah satu dari si kembar diperlakukan tidak benar.
“Lo kenapa, sih?” tanya Danish jengkel. Pramudya gila kalau dia pikir Danish bersedia diajak main sementara kuliahnya saja harus libur. “Gue udah bilang, jangan ganggu gue dulu!”
Dya jelas tahu kalau Danish dan Sayna sedang bermasalah, mereka dalam masa jeda. Danish tidak mau ada Dya di sana, tidak mau memberi celah atau apa. Danish harus move off , dari seseorang yang mencoba mendekat, dari hubungan yang ingin mengikat.
“Sori.” Gadis itu menjawab pelan. Kepalanya tertunduk. Dia datang ke Jakarta bukan untuk Danish, hanya... ingin saja. Sayang sekali Dya harus bertemu Arya dan terpaksa membeberkan alasan.
“Lo tahu gue pusing, Dya! Kepala gue aja belum sembuh, dan yang kayak ginian nambah-nambahin masalah aja. Lo lihat gimana keselnya muka Mas Arya. Gara-gara lo kan?!”
Bukankah mereka teman? Dya butuh seseorang saat ini, dan hanya Danish satu-satunya yang tahu soal itu. Dua hari dikurung dalam lemari, tanpa makan dan minum, pengap, gelap, Dya langsung terbang ke Jakarta begitu dia bebas dari sana. Dia sengaja duduk di tempat ramai, Dya rindu riuhnya suara orang berlalu lalang.
“Gue pergi dulu,” ucapnya dengan pikiran dan perasaan tak keruan.
“Ke mana lo? Balik sana ke Surabaya! Kalau lo masih keliaran di Jakarta, lo tahu siapa yang jadi jaminan keberadaan dan keselamatan lo?” Danish menjeda, telunjuknya mengarah ke wajah. “Gue, Pramudya.”
“Gue mau ketemu sama Mas Hamam.”
Itu ide buruk. Dya memang jago membuat keadaan semakin terpuruk. “Jangan macam-macam sama Hamam.” Danish mengatakannya dengan nada mengancam. “Lo nggak pantas buat Hamam, Dya. Dia orang baik, dia pantes dapat cewek baik-baik.”
“Gue cuma mau berteman.” Suara Pramudya terdengar putus asa. “Gue nggak ada maksud apa-apa.”
“Hamam suka sama lo!”
“Terus itu salah gue?”
Danish tidak habis pikir dengan pemikiran orang seperti ini. Memang bukan salahnya, itu murni urusan Hamam dengan dirinya sendiri, tapi Pramudya pasti tahu bahwa dia tidak bisa memberi Hamam apa-apa, bahkan sekadar harapan. Harusnya dia bisa pergi, menjauh saja, jangan buat Hamam pada akhirnya menderita.
“Harusnya gue nggak pernah kasih lo kesempatan buat jadi teman. Lo makin seenaknya, ngelunjak!”
“Nish—”
“Balik ke rumah lo, Dya!”
“Oke.” Gadis itu mengalah, dia menyerah. Hidup memang tidak adil, tidak pernah adil untuknya. “Gue pergi.”
Seumur mengenal Pramudya, Danish tidak pernah di posisi seperti ini. Melihat gadis itu berbalik pergi, meninggalkannya sendiri. Dya biasanya bertahan sekuat batu karang, menunggu tak patah arang. Hari ini dia terlihat berbeda, entah kenapa.
Danish meraih gelas minum di hadapannya—milik gadis itu, menenggaknya hingga tandas. Semuanya kacau sekali akhir-akhir ini, Dya tidak terlihat baik-baik saja, tapi Danish bisa apa? Dirinya sendiri pun kerepotan. Hatinya berantakan, perasaannya berserakan.
“Sori, Dya.” Danish bergumam pelan, menyimpan wajahnya di atas meja, menarik napas dalam dan membuangnya keras-keras.
Dia rindu pada Sayna, semakin hari rasanya Danish makin tersiksa, padahal dia sendiri yang meminta jeda. Padahal Danish yang memutuskan pergi dulu dari Sayna, menjauh darinya, tapi kenapa dia yang tersiksa? Apa sudahi saja?
Buat apa ada jeda kalau dia menderita? Kalau perasaannya pada Sayna tetap sama? Danish mencintainya, sangat, masih.
Lalu apa yang terjadi di pertemuan mereka nanti setelah cedera begini hebatnya? Bagaimana Danish bisa melupakan bagian Sayna bermain gila dengan orang lain di belakangnya?
Katanya, waktu menyembuhkan luka, padahal tidak pernah terjadi apa-apa jika tidak ada usaha. Waktu tidak menyembuhkan apa-apa, bahkan waktu berjalan terlalu lambat untuk membuat Danish melupakan semuanya hingga dia sekarat.
Sudah satu minggu, dan Sayna jadi orang yang paling Danish hindari sekaligus paling ingin dia rengkuh dalam pelukannya saat ini.
****
Hari apa sekarang? Tepatnya... sudah berapa lama? Sayna masih menunggu. Dia bersabar meski tidak pernah mendapat kabar. Apa Danish baik-baik saja? Bagaimana keadaannya? Kapan dia akan kembali? Sayna takut, perutnya semakin besar.Danish memintanya untuk menunggu. Dia butuh waktu, tentu, Sayna mengerti itu. Tapi keadaan sekarang sudah tidak sama, ada yang harus Sayna beri tahu. Perutnya mungkin masih rata, tapi ada segumpal daging yang bertumbuh di dalam sana. Usianya menginjak bulan ketiga, 12 minggu 6 hari. Berarti sudah dua bulan Danish dan Sayna tidak berjumpa.Sayna merindukannya, sebanyak dia harus menahannya, sesakit yang harus ditahannya.“Sabar, ya...” Gadis itu mengelus permukaan perut. Katanya gerakan mulai terasa di atas usia 12 minggu, berarti tak akan lama lagi Sayna bisa merasakan sensasi kupu-kupu di sekitar sini.Malam-malam begini, dia harus terjaga karena tiba-tiba menginginkan buah semangka. Di mana Sayna harus mencarinya? A
“SAYNA!”Danish menggaungkan nama itu ketika tali yang menggantung tubuhnya sendiri membawa dia melesat jauh ke ujung pemberhentian. Kecepatannya menggila saat jarak semakin dekat, bergelantungan di ketinggian 15 meter di atas tanah dengan kecepatan 80 kilometer/jam dan hanya menggantungkan keselamatan pada seutas tali, tentu memacu adrenalin sekali.Dia perlu melakukan itu, untuk menyembuhkan diri. Lalu bersiap menemui Sayna lagi.“Norak banget, Danish!” Pradnya langsung mencibirnya saat Danish tiba di pemberhentian, turun dan melepas pengait di bagian belakang. Naik salah satu flying fox tertinggi di Indonesia memang menyenangkan.“Uuuu...” Hamam menyusul dengan sorakan bahagia yang serupa, lalu muncul Pramudya tak lama setelahnya.Mereka berempat jalan-jalan ke puncak selama Hamam dapat jatah libur dan untuk merayakan Danish yang akan segera kembali pada rutinitasnya ke Bandung tiap minggu.
Empat orang itu kemudian kembali berkeliling, menikmati pemandangan hingga berhenti di ayunan gantung yang terikat di pohon tinggi, bertingkat. Anya yang pertama ingin mencoba, dia naik lebih dulu, lalu Hamam naik di urutan berikutnya karena Anya yang meminta. Sementara Dya memilih menunggu, dia tidak suka dengan ide harus satu ayunan dengan Danish dan bergelantungan di atas sana. Danish kan kejam, dia bisa mendorong Dya tanpa aba-aba kalau dia salah bicara sedikit saja.“Kayaknya tersakiti banget jadi lo, ya.” Danish menyindir sekaligus menatap sok iba pada Pramudya. Gadis itu seperti istri tua yang ditinggal suaminya.“Gue biasa ngalah dari kecil sama Anya.” Atau lebih tepatnya, perasaan Pramudya tidak pernah benar-benar dipedulikan. Perasaannya tidak penting, orang-orang selalu abai karena Dya diam saja.“Kalau gitu lo harus bisa membatasi apa yang lo bagi sama Anya mulai sekarang.”“Mana bisa, gue sama dia sau
“Good luck!”“Uh, ghue sebenarnya nggak rela, tapi ghue mau lo bahagia, lo ceria lagi. You deserve the best, Nish.”“Makasih, Anya, Dya.”Danish tersenyum lebar mendengar ucapan dua gadis kembar itu sebelum dia berangkat ke Bandung pagi ini. Anya membelikannya baju baru yang langsung dibersihkan kemarin, sementara Dya menyiapkan bunga yang harus Danish berikan pada Sayna, juga sebuah cincin mungil untuk kelingking. Mereka bilang, Danish harus kembali pada Sayna dengan versi terbaiknya. Harus datang dan membuat Sayna jatuh cinta lagi, berkali-kali dibanding sebelumnya.“I love you, Nish.” Anya berujar sambil merangkulnya, bergelanyut di pundaknya dan menghadiahi Danish kecupan di dahi. Meski Anya bilang begitu, entah kenapa Danish tahu kalau kata cintanya terasa berbeda.“Hati-hati di jalan, makasih ya.” Terakhir, Dya yang turun dari mobilnya. Gadis itu melayangkan sebuah ciu
Danish membeliak, menahan napas terang-terangan, lalu perlahan menarik telapak tangannya yang bermukim di perut gadis itu. Reaksi yang... wajar sebenarnya.Reaksi super wajar. Memangnya apa? Sayna ingin kabar kehamilannya disambut bahagia? Mereka bahkan belum menikah, bagaimana bisa kehadiran janin di luar nikah membuat Danish berbunga-bunga? Dia justru kaget, panik, reaksi yang sangat tertebak.Namun... Sayna tetap kecewa. Dia tidak suka pada ekspresi dan reaksi kekasihnya. Janin itu ada di perut akibat perbuatan mereka berdua. Kenapa Danish sedikit saja tidak ingin berterima kasih padanya? 14 minggu sama sekali tidak mudah mengandung benih itu sendirian.“Kenapa? Kenapa bisa, Say?”Sakit mendengar pertanyaan itu, saat Sayna tidak mungkin hamil sendiri tanpa dibuahi. Tapi seperti takdir kebanyakan, perempuan memang selalu jadi pihak yang paling dihakimi. “Bisa, Nish. Karena kita cuma pakai kontrasepsi, bukan angkat rahim atau vasektomi.
Danish tidak percaya pada pendengarannya sendiri. Sama sekali. Dia mungkin perlu memotong daun telinga untuk benar-benar memastikan bahwa, ini bukan mimpi. Sayna di hadapannya berwajah kuyu, mata sayu, bernapas pendek, menahan ringisan ngilu.“Say...” Danish menyebut namanya dengan setengah tak percaya. “Bohong, kan?”Sayna menggeleng, membiarkan Danish menangkup wajahnya, mengalirkan anak sungai dari mata cantiknya.“Maaf,” bisik gadis itu pelan, yang tentu membuat Danish justru semakin tertekan.“Jangan gila, Sayna.” Pemuda itu menggeram, tangkupannya di wajah Sayna berubah perlahan menjadi cengkeraman. “Bilang kalau lo cuma bohongin gue.”Gadis itu menggeleng untuk kali kedua, air matanya turun semakin deras dari sana, dan ketika Danish memeriksa, dia menyadari ada darah yang turun di sela-sela kaki Sayna, menguarkan bau anyir yang khas. Danish langsung menjatuhkan tubuh, sementara Sayn
Sayna meraih ponselnya, sudah lebih dari 1 jam sejak butir-butir Misoprostol itu dimasukkan ke vagina. Darah yang keluar semakin banyak, janin itu luruh, hanya organ intinya belum jatuh. Gadis itu membiarkan Danish membaca seluruh instruksinya. Memerhatikan layar ponsel dengan saksama. “Gila, Sayna...” Danish berucap dengan bibir gemetar. Tidak menyangka jika kekasihnya yang terlalu pintar tega berbuat sejauh ini. Melakukan aborsi terencana, dinaungi oleh lembaga yang memihak hak-hak perempuan, difasilitasi dengan obat-obatan dan bimbingan online untuk mengeksekusi kandungan. Sayna butuh ditemani oleh satu orang yang sehat dalam melakukan proses aborsinya, berada dekat dengan rumah sakit untuk berjaga-jaga kemungkinan komplikasi, dan itulah gunanya Danish ada di sini. “Sekarang kita masuk ke tahap selanjutnya.” Sayna berujar sambil menekuk kedua kaki dan melebarkannya, membuat Danish bisa menonton lelehan-lelehan darah dari jalan lahir. Lalu tangan g
Dua garis merah muda didapatinya pagi itu. Sayna masih harus terus melakukan tes kehamilan hingga dua minggu setelah keguguran. Dia memotret hasilnya dan mengirim gambar tersebut via pesan multimedia. Sayna masih diawasi hingga pendarahannya berhenti dan garis dua itu berubah menjadi satu saat mengambil tes urin nanti.Gadis itu meraih kotak obat di mana ada butiran asing yang harus ditelannya untuk beberapa waktu kedepan, kabarnya adalah obat pembersih kandungan. Sebab Sayna tidak melakukan kuretase setelah keguguran. Dia mengalami pendarahan seperti wanita habis melahirkan, tanda kehamilan pun masih bisa Sayna rasakan.Pinggang yang nyeri, dada membesar, hingga sedikit mual dan pusing. Hormonnya turun kembali, perlahan-lahan setelah tidak ada janin dalam perutnya lagi.Dan Sayna masih merasa itu semua hanyalah mimpi.Dia masih ingin menyangkal kalau semua itu tidak benar, kalau yang dilakukannya terakhir kali dengan Danish hanyalah mimpi buruk yang acap
Sayna sekarang tahu bahwa Arunika merupakan putri sulung sekaligus putri satu-satunya dari Mark Tuan, seorang pria yang lahir dari wanita asli Sunda dan ayahnya berdarah Tionghoa. Pantas saja dia punya perawakan yang berbeda dengan para pribumi, meski dipanggil Gege oleh adiknya, tapi keluarga mereka sangat meninggikan kebudayaan dan adat Sunda. Mungkin karena ibu kandungnya memiliki latar belakang yang kental dengan budaya, kabarnya mereka adalah keluarga pengelola museum adat Sunda di Subang.Mark dan keluarganya menetap di Lembang, daerah Bandung yang juga dekat ke arah Subang. Dia bekerja sebagai direktur operasional perusahaan farmasi keluarga yang dikepalai oleh kakak kandungnya sebagai lulusan apoteker handal. PT Sagara Purnama adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri kosmetik dan kontrak manufaktur pertama di Subang. Itu sekilas yang Sayna tahu dari hasil pencariannya di internet mengenai latar belakang pria itu.“Sebenarnya saya ke rumah sakit
“Sayna, Adek koas favorit Bunda, sini-sini.” Sayna menyengir pasrah ketika salah satu perawat senior memanggil namanya sambil melambai-lambaikan tangan. Sudah pasti dia akan dapat tugas tambahan. Mereka bilang, anak-anak koas adalah keset kaki karena acapkali diperlakukan semena-mena selama menjadi sukarelawan di rumah sakit. Tak jarang yang memperlakukan mereka tidak manusiawi adalah rekan-rekan seniornya sendiri. Di stase ini tentu Sayna tidak terlepas dari orang-orang dengan profesi dokter, perawat, hingga bidan dan lain-lainnya. Namun nasib anak-anak magang dari angkatan perawat dan kebidanan jauh lebih mengenaskan. Tak jarang Sayna yang harus membimbing mereka saat ada waktu senggang. “Kamu ke perina, ya. Banyak yang mau aterm hari ini.” “Baik, Bu.” Sayna menurut dengan mudah saat kepala perawat favoritnya meminta bantuan untuk membuat dia berjaga di ruang perina dan menunggu ibu-ibu yang akan melahirkan bayi. Ruang itu terhubung
“Dede enakan? Boleh Ayah minta sun?” “Boleh.” Gadis kecil berusia dua tahun lebih itu mendongak untuk mengecup wajah sang ayah. “Napa?” “Nggak papa, ayah cuma mau minta sun aja. Kangen sama Dede.” “Hai, Nika...” sapa Sayna ramah, meski pada kenyataannya Arunika yang ini lebih suka pada Rafika saat mereka berkunjung untuk memeriksa keadaannya. “Udah minum susu belum, Sayang?” “Nggak mau.” Dia menggeleng lemah. Gadis kecil itu merengut, merapatkan tubuhnya pada sang ayah. “Sus, ini bisa nggak dititip sebentar? Nanny lagi makan siang di kantin, saya ada keperluan yang harus dibeli ke luar.” Sayna tersenyum dan mengangguk. “Silakan, Pak. Biar Arunika saya yang jaga.” “Wah, ini Tante susternya hafal nama Dede.” Pria itu bersorak senang. “Tunggu sebentar, ya? Ayah mau beli sesuatu, nanti Dede beli mainan baru deh, mau?” “Nggak mau.” Arunika menggelengkan kepala tanda tak setuju. “Nika mau minum susu sama tante?” tawar
Setelah bulan lalu mengakhiri masa abdinya di stase bedah, yang mana membuat Sayna merasakan pengalaman luar biasa selama berada di sana, mulai minggu ini dia mendapat giliran berjaga di stase anak. Meskipun mengingat perjuangan serta pelajaran yang dia dapat dari stase bedah sangat berharga dan beragam, Sayna lega karena bebas dari sana. Stase bedah memiliki pasien yang banyak, nyaris membludak untuk di-follow up setiap hari. Tapi di sana juga keterampilan Sayna sangat diuji. Kemampuannya menjahit luka semasa kuliah pra-klinik selama 3,5 tahun benar-benar direalisasikan. Sayna bahkan belajar menyunat di stase ini. Dan yang paling berkesan adalah melakukan operasi transplantasi kulit pada pasien luka bakar yang mana kulitnya diambil dari bagian paha dan ditanam ke punggung. Luar biasa, Sayna merasa jadi mahasiswi kedokteran betulan saat itu. Dan semuanya sudah berlalu, Sayna tidak yakin lulus di stase itu karena mahasiswa sepintar Gio saja dulu tidak mampu m
Anya merasa lebih tenang sekarang, karena meski saudarinya akan merantau ke negeri orang, dia mengantongi izin untuk berkunjung ke tempat Dya belajar sesering yang dia ingin. Setelah melakukan pentas drama di depan ayah dan ibunya, Anya dikonfirmasi akan segera memiliki privat jet miliknya sendiri untuk keperluan pulang pergi melongok Dya di New York. Dan berhubung keduanya anak kembar, tidak adil rasanya jika Ranajaya hanya membelikan untuk salah satu dari mereka saja. Alhasil, Dya yang tidak berminat sama sekali pada benda bisa terbang itu pun harus ikut menerima pemberian orangtuanya. Mau tidak mau.“Aku nanti minta jadwal kamu pokoknya, biar pas kamu free aku ke sana.”Dya mengangguk mendengar permintaan saudarinya itu, sedikit lega karena Anya tampak lebih bersemangat dibanding beberapa hari yang lalu. “Kamu baik-baik, ya.”“Aku yang harusnya bilang gitu.” Anya berguling dari posisinya saat ini dan telungkup untu
“Lo masih mau di sini?” Suara Danish menyadarkannya kembali. “Kalau mau sama Hamam nggak papa sih.”“Eh, nggak, Nish, nggak! Gue nggak enak juga kalau harus ke kamar Dya.” Hamam salah tingkah dan mengusap tengkuknya gelisah. “Dya sama Danish aja, ya? Biar Mas Hamam di sini jagain Anya, oke?”“Oke.”Pada akhirnya Dya pasrah saat Danish membantunya mengalungkan tangan dan berjalan tertatih menuju villa tempat mereka menginap. Sementara Hamam, Anya, Arvin, Rafid dan Herdian tinggal untuk menikmati berbagai permainan yang disuguhkan. Namun setelah dua orang itu menjauh, lima anak muda itu justru tidak meneruskan niat mereka semula.“Gila, ya. Untung lo masih ada otaknya, Mam. Kalau lo ngotot bawa Dya tadi kebayang gimana patah hatinya Danish.” Herdian membuka obrolan.“Iya, kasihan gue kalau dia harus patah hati dua kali dalam waktu dekat.” Pendapat Rafid menimpali duga
“Sial, banyak banget debu jalanan. Tutup mata, Anya!”“WAAAA....”Danish langsung mengerem sepeda motor yang dia kendarai mendengar jeritan Hamam di sebelahnya, temannya itu nyaris oleng sebelum berbelok ke kiri jalan dan berhenti.“Kenapa sih?” tanya Danish keki. Merasakan pegangan tangan Anya di pinggangnya melonggar perlahan. Mereka sedang berwisata dan menaklukan medan jalan yang berdebu dan terjal untuk sampai ke tujuan.“Gue kaget, Nish. Pas lo teriak nyuruh nutup mata itu gue refleks nutup mata juga, padahal kan gue lagi nyetir, mana bonceng Dya di belakang. Kalau Dya cedera nyawa gue bisa melayang.”Dya dan Anya tertawa, mereka kira apa. Dya yang duduk di belakang Hamam bahkan bingung sendiri saat pemuda itu mulai tidak stabil membawa kendaraannya lalu berhenti tiba-tiba.“Maaf ya, Dya.” Hamam merasa sangat berdosa. Ini harusnya jadi liburan yang paling berkesan karena Dya a
Menghabiskan dua malam di Jakarta bersama Giovanni yang diizinkan menginap oleh orangtuanya, Sayna melakukan perjalanan kembali ke perantauan. Bukan Bandung, kali ini dia harus ke Majalengka karena sedang sibuk KKN di sana. Agak sedih karena Sayna tidak bertemu dengan adiknya sama sekali berhubung anak itu sedang sibuk pendidikan, dia juga tidak tahu kapan bisa pulang ke rumah lagi, bisa dipastikan Sayna akan lebih sibuk dalam beberapa bulan kedepan.“Semangat dong!” Gio tersenyum menggoda, paham kalau gadis cantik yang duduk di sebelahnya itu tengah diserang homesick musiman yang biasa menyerang para mahasiswa KKN. “Gimana aja program kalian?”“Programnya banyak,” keluh Sayna pelan. “Ada satu anak yang ngeselin dari teknik sipil, aku sering banget nahan bogem kalau dia mulai ngoceh terus, Kak.”Giovanni mengacak rambut pendek Sayna dengan sebelah tangan. “Namanya dinamika kelompok, hadapi aja, ya. I
“Om... tolong!”Irya sedang bermain sandiwara dengan pamannya.“Om! Aku syakit!”Danish tidak menggubris.“Om, tolong aku!”“Aduh, berisik banget!” Danish menggerutu lalu berjalan mendekati bayi yang usianya entah berapa itu. Irya terlalu pintar untuk anak seusianya. Sibuk berakting demi mencari perhatian. Lihat saja, dia membuka lemari penyimpanan di kamar Danish lalu memasukkan sebelah tangan ke dalamnya dan menutup pintu lemari itu kemudian menjerit seolah sangat kesakitan.“Apa-apaan sih, Den?” tanya Danish keki. Kelakuan Irya kadang sebelas dua belas dengan ayahnya. Ada-ada saja.“Hehe, makasih Om!” seru Irya tanpa merasa berdosa atau apa.Danish menggendong anak itu dan menatapnya sambil menyipitkan mata. Tidak ingin dan tidak bisa menebak hal aneh lain yang akan dilakukan oleh Irya. Dia seperti tidak kehabisan ide untuk membuat keributan dan ingin se