“Gue beli ini di jalan tadi.” Danish menyodorkan sekotak rujak Thailand kekinian yang isinya hanya terdiri dari jambu biji non biji—maksudnya apa sih?—serta bubuk cabai dan bumbu manis asin seperti larutan oralit pedas.
“Kayaknya seger, ya? Bandung panas banget hari ini, dan gue pusing.”
Sayna menerimanya dengan senang hati kendati yang dia pesan tadi hanya sebungkus roti dan selai srikaya, perutnya protes minta diisi, Sayna juga kurang tidur karena harus latihan mati-matian untuk ujian tengah semesternya.
Kehidupan di kampus tidak bisa dibilang normal-normal saja. Sayna harus berusaha dua kali lebih keras dibanding sebelumnya, jauh berbeda saat di mana ada Gio yang membantunya. Terlebih kabar simpang siur terdengar di seantero fakultas tiga lantai itu. Kabar dengan cepat menyebar, Gio nyaris tidak melakukan apa-apa, Sayna tahu, dia sibuk coass.
Namun teman-temannya, para pendukungnya, orang yang simpati padanya, membuat Sayna merasa tertekan. Beberapa teror misterius hingga terang-terangan sudah dia terima. Semuanya menuntut Sayna untuk minta maaf pada Gio, tapi gadis itu lebih suka mengabaikannya.
“Mau makan siang ke mana? Eatery atau Karnivor? Biar gue reservasi.” Sayna memecah hening, melupakan gangguan-gangguan yang bersumber dari kepalanya sendiri. Sebentar lagi jam makan Danish.
“Uh, pacar gue perhatian banget!” Danish berujar senang. “Lo tuh kayak G****e tahu nggak, Say?”
“Karena gue tahu apa yang lo mau?”
Danish menggeleng. “Karena lo selalu punya semua hal yang gue cari.”
Mereka sama-sama tersenyum. Danish menggeser posisinya hingga mendaratkan kepala di pangkuan Sayna, berbalik arah dan menyembunyikan wajah di perut ramping gadis itu. Dia senang berada di sana, menghirup wangi parfum, sabun dan detergen dari tubuh dan pakaian Sayna yang bercampur jadi satu.
“Lo tahu, dari skala 1 sampai 10, kadar cinta gue ke lo cuma dua aja.”
“Kok sedikit?” Sayna mengernyit.
“Iya, dualeeemmmm banget!”
Keduanya terkikik. Terdengar menggelikan memang, di usia dua puluhan masih memakai gombalan murah meriah seperti itu. Tapi ada kalanya itu perlu, terutama karena hubungan mereka tegang akhir-akhir ini, bahkan sedikit canggung.
“Makan yuk! Nggak apa-apa steak lagi? Soalnya pagi udah makan roti,” kata Danish menginterupsi.
“Boleh deh, tadi udah makan pentol sih dari Mamang yang suka keliling deket sini.”
“Oh, ya? Abis makan pentol ternyata. Pentol borax, ya?”
“Ih, Danish hati-hati ah ngomongnya.”
“Kirain pake borax, soalnya gue heran kenapa cinta gue ke lo nggak pernah basi kayak gini.”
“Haha, apa sih?”
Danish semakin mengeratkan pelukannya di tubuh Sayna. Melingkarkan kedua tangan dan mengait di punggung gadisnya, menyembunyikan wajah yang pasti sudah merona semena-mena.
“Masih lama ya lulusnya? Gue udah nggak tahan sebenarnya LDR-an, pengen deketan, ketemu tiap hari, Say. Kalau kata Hamam, cukup antartika yang jauh, antar kita jangan.”
Sayna tertawa, Hamam dan teorinya memang ada-ada saja. Tapi itu terdengar menggemaskan.
“Nanti mau stay di mana? Gue pengen mengabdi di kampung Ibu, Nish. Rumah sakit di Sumedang cuma sedikit, dokternya juga. Kita bisa pindah ke sana, kan? Urus bisnis jarak jauh, atau lo bisa pulang pergi kayak gini.”
Danish membuang napas, dia kira hubungan jarak jauh mereka akan segera berakhir. Sayna tahu dengan jelas bahwa setelah menikah, perempuan harus patuh pada suaminya, tapi itu terlalu berisiko untuk karier dan impiannya. Jadi sedari dini, dia sudah merancang masa depan mereka, dan Danish bisa apa selain mengiakannya?
Apa Sayna tidak pernah berpikir bahwa Danish pun bisa lelah? Jakarta Bandung sama sekali tidak dekat, apalagi Jakarta Sumedang.
Dunia orang dewasa ternyata sesulit ini. Danish tidak tahu kalau bertambah tua usianya, bertambah pula beban-beban di pundaknya. Dia punya banyak tanggung jawab, dihadapkan pada pilihan-pilihan yang menyulitkan. Rasanya tidak enak, lebih baik kembali jadi anak kecil yang tidak tahu apa-apa.
“Nish,” panggil Sayna sambil mengelus rambut Danish yang halus. “Lo nggak punya mimpi?”
“Ada,” jawab pemuda itu pelan. “Jagain Mama, nerusin bisnis keluarga, banyak yang bergantung di sana, Sayna, mereka cari makan bareng gue di laundry, dan... hidup sama lo, sama-sama, bikin lo bahagia.”
Sayna tersenyum kecil, ternyata dia ada di urutan ketiga. Syukurlah, akal sehat Danish masih berfungsi dengan baik.
“Sebentar.” Gadis itu memanjangkan tangan untuk meraih ponsel yang tergeletak agak jauh dari jangkauan. Sebuah pesan masuk menginterupsi, siapa tahu Rafika yang menghubungi, mereka ada janji untuk meminjam boneka organ peraga sebagai bahan latihan.
0811xxx: Sayna, better kamu ikuti arus. Turuti tuntutan itu, minta maaf. Itu nggak akan membuat kamu lantas hina, semua orang akan melupakannya pelan-pelan.
Brengsek ini...
Berani-beraninya dia mengirimi pesan. Dia tahu dirinya banyak dukungan? Apa Gio pikir Sayna akan goyah? Minta maaf secara terbuka? Yang benar saja. Itu sama dengan mengakui semua tuduhan terhadapnya, kan?
“Say, kenapa?” Danish cukup peka. Sayna diam lama setelah memeriksa ponselnya. Air wajah gadis itu juga tidak terbaca, aneh sekali melihatnya tiba-tiba diam tanpa suara. “Siapa yang chat?”
“Bukan siapa-siapa.” Sayna buru-buru menarik ponselnya rapat ke dada, tampak antisipasi berlebihan, takut Danish benar-benar merebutnya. Dan tanpa sempat dia sadari, bibirnya gemetar.
“Say, kenapa? Sini gue lihat hapenya.” Danish berusaha merebut, pasti ada yang tidak beres, ini persis minggu lalu, Sayna gemetaran, tampak sangat mengkhawatirkan.”Sayna!”
“Nggak!” tolak gadis itu buru-buru. Dia menjauh dari Danish, menggenggam ponselnya kuat-kuat. Jangan sampai Danish berhasil mendapatkannya. Jangan sampai Danish tahu, Inara bilang itu berbahaya.
“Siniin!” pinta Danish setengah memaksa.
“Nggak! Danish jangan! Nish lo tahu yang namanya privasi nggak sih?”
“Gue khawatir sama lo!” Danish meradang. “Siniin! Gue tahu ada yang nggak beres!”
“Nggak ada apa-apa! Jangan ikut campur! Lo nggak tahu apa-apa! Lo nggak akan bisa ngapa-ngapain! Lo nggak bisa bantu melindungi gue!”
Danish merasa terhina mendengar ocehan gadis itu padanya. Dia berjalan tanpa ampun dan memepet Sayna ke dinding hingga tidak bisa ke mana-mana, lalu menarik paksa benda pipih sumber kekacauan itu. Semakin Sayna melarangnya, semakin Danish membabi-buta.
“Lepasin!” Sayna menjerit, lengannya sakit.
“Kasih ke gue hapenya. Cepetan!”
“Nggak! Lo nggak berhak! Lo bukan siapa-siapa gue, lo nggak berhak hancurin hidup gue lebih dari ini!”
“SAYNA!”
Terjadi perebutan tak terelakkan. Tenaga keduanya sama besar, mereka adalah atlet hebat, tidak ada yang berusaha mendebat, Sayna dan Danish beradu siapa yang lebih kuat. Danish menjepit gadis itu dengan tubuhnya yang berat, sementara Sayna memberontak, mempertahankan diri, hingga melepaskan diri susah payah dari gencetan Danish.
“Lo gila!” umpatnya pada pemuda yang telah membuat dirinya tergila-gila. Seluruh tubuh Sayna sakit, remuk, Danish jelas lebih kuat. “Sakit, Danish!”
“Kasihin ke gue!” paksa Danish pantang menyerah. “Say—”
BRUK!
“Arghhh... fuck you!” umpatnya keras pada gadis itu.
Danish baru berhenti dari kegilaannya saat kaki Sayna melakukan tendangan hingga dia terdorong jatuh. Tubuhnya terhempas, bagian belakang kepalanya membentur ujung meja marmer di samping tempat tidur. Danish meringis merasakan hangat lembab dan bau anyir mengalir dari sana. Ia mendadak pening.
“Nish...” Sayna langsung lemas melihat kekasihnya jatuh terdorong hingga bersimbah darah. “Maaf...”
***
Maksudnya tidak begitu. Sayna tidak ingin membuat Danish rendah diri sama sekali. Logikanya, jika Danish tahu, dia pasti akan marah besar, dia pasti akan mengamuk. Lalu kemungkinan mencari Gio dan membuat kakak tingkat Sayna itu babak belur. Urusan mereka jadi semakin panjang, terutama jika Gio melaporkannya. Kuliah Sayna jelas terganggu, imbasnya tidak jauh dari Ayah dan Ibu. Dia tidak mau hancur lebih dari ini, tidak mau sampai separah itu. Sayna masih bisa menahannya sendiri meski belum sepenuhnya teratasi.
Dia hanya berharap orang-orang akan cepat melupakannya.
“Sayna?” panggil suara yang asing di telinga. Gadis itu menoleh ke belakang, tirai rumah sakit tersibak bersamaan dengan sosok pemuda jangkung berjas putih di baliknya. “Siapa yang luka?”
“Ah, Kak Bintang.” Dia kakak tingkat Sayna juga, seangkatan dengan Giovanni, mereka cukup dekat. “Ini pacar aku, Kak.”
“Sakit? Oh, udah tindakan, ya? Cuma evaluasi aja, kayaknya nggak perlu rawat inap nih. Masih pusing?” tanya Bintang pada Danish.
“Udah enggak,” jawab pemuda itu sok kuat. “Saya bisa pulang sekarang, kan?”
“Satu jam lagi, ya. Lukanya di kepala, bagian belakang pula. Kena berapa jahitan tadi, Say?”
“Uh, tiga kayaknya, Kak.”
“Wah...” Bintang terperangah. “Kenapa? Jatuh apa gimana?”
“Jatuh,” jawab Danish buru-buru. “Kepeleset gitu, kena ujung meja.”
“Pantesan atuh. Eh, kapan hari itu si Gio juga digotong dari kos-kosannya, Say. Babak belur tuh, kamu tahu nggak? Kamu kan deket sama dia, kirain kalian pacaran, ternyata kamu udah punya pacar, ya.”
Sayna menggeleng. “Aku nggak tahu dia kenapa.”
“Oh, gitu. Oke deh, nanti satu jam lagi saya ke sini. Tenang aja, pacarnya anak kampus sini, Mas, nggak akan diganggu gugat kok, setelah aman baru boleh pulang, nanti izin sama dokter jaga dulu.”
Bintang yang berstatus dokter muda alias tenaga magang di rumah sakit hanya melakukan pemeriksaan singkat tanpa detail apa-apa. Untung saja yang berjaga di UGD hari ini bukan Giovanni, bisa mati kalau pemuda itu yang ada di sini.
“Mau minum?” tanya Sayna pada Danish, pemuda itu menggeleng pasrah. Bagian belakang kepalanya diperban untuk menutup luka jahitan.
Bodoh sekali, apa yang sebenarnya mereka lakukan? Ini jelas kecelakaan, bukan? Sayna tidak sengaja. Mereka hanya berebut ponsel, tidak berniat untuk saling melukai sama sekali. Sayangnya luka Danish cukup parah, dia bersimbah darah, banyak sekali, pertolongan pertama yang Sayna berikan tidak cukup, lukanya harus dijahit, terlalu lebar jika dibiarkan.
Pembuluh darah di kepala juga banyak sekali, darah tak kunjung berhenti. Sayna memutuskan membawanya ke sini, kebetulan bangunan kos dan kampus Sayna tidak jauh dari rumah sakit.
“Nish, maaf.” Sayna berbisik lirih, dia malu sekali, apa yang dilakukannya hari ini? Danish-nya terluka, ini bukan hal biasa. “Gue nggak sengaja.”
“Gue tahu.” Danish meraih tangan gadis itu. “Gue nggak apa-apa, Sayna. Sebentar lagi juga sembuh,” ujarnya. “Jangan terlalu khawatir atau pun ngerasa bersalah.”
Mana bisa, Sayna bukan orang seperti itu. Danish tidak tahu berapa banyak rasa bersalah bertumpuk dalam hatinya, ditambah kejadian ini, rasanya Sayna ingin mati saja.
“Mana? Siapa?” Ada suara di luar tirai bilik Danish. “Ah, kamu.” Seseorang dengan jas putih yang lain menyembulkan kepala dari sana. “Saya kakak tingkat kamu, Dek. Nggak mau salam dulu?”
“Heh!” Danish membentak orang itu.
“Kena bogem juga ya, Mas? Hati-hati deh berurusan sama cewek ini, salah dikit babak belur. Udah dua orang sama Mas yang jadi korbannya.”
“Fuck! Nggak bisa profesional sedikit apa?!”
“Nish, Nish, udah!”
Sayna segera menahannya, dia khawatir Danish membuat kekacauan di sana. Kendati kakak tingkatnya yang memancing, tapi imbasnya akan tetap mereka terima bersama. Sayna tidak sanggup membayangkannya. Menahan Danish adalah satu-satunya misi saat ini.
“Ada apa sih mereka?” tanya Danish geram, bahkan amarahnya saja belum reda karena insiden rebutan ponsel tadi. “Kalian ada masalah pribadi? Apa maksudnya tadi? Gio kenapa, Sayna?”
Gadis itu membeku, dia ketakutan, akhirnya Giovanni dipertanyakan. Minggu lalu mereka sudah membahasnya, Sayna kira akan selesai sampai di sana. Dia kira Danish tidak akan bertanya.
“Lo apain dia sampai babak belur, Sayna?” tanya Danish tak habis pikir. “Apa yang dia lakuin sampai lo gebukin kayak gitu?”
Jelas bukan hal yang sederhana. Danish tahu, Sayna terlalu rasional untuk melakukan kekerasan, dia pintar melakukan pertahanan. Jika jurusnya sudah keluar, pasti itu bukan hal kecil lagi, ada sesuatu yang besar.
“Lo nggak diperkosa, kan?”
“Nggak!” jawab Sayna buru-buru, dia memegangi kedua tangan Danish. “Nggak, Nish, bukan gitu. Nggak gitu ceritanya.”
“Terus? Dia niat perkosa lo dan lo gebukin duluan? Gitu, kan?”
“Bukan, bukan...” Sayna menggelengkan kepalanya segera. Tubuhnya gemetar, dia ketakutan.
“Lo bilang dia nggak akan gangguin kita lagi, apa karena ini?” Danish mulai menerima segala prediksi yang ada di kepalanya, mengeluarkan hal-hal yang sempat dia pikirkan. “Lo digangguin sama teman-temannya, Sayna. Ini udah nggak benar, kita nggak bisa diam aja. Lo pasti punya alasan yang kuat kenapa mukulin Gio, kan?”
“Nish, please...” Sayna menangkup dua tangan Danish dan menangis di sana. “Jangan lakuin apa-apa, gue mau kuliah, Nish, gue mau semuanya baik-baik aja, gue nggak mau hal ini menghambat, ganggu proses itu, kasihan Ibu, Nish... gue harus lulus tepat waktu.”
“Sayna—”
“Gue... gue yang salah.” Gadis itu menahan raungan, bagaimanapun ini rumah sakit, mereka berada di bilik unit gawat darurat. “Gue yang mancing dia, Nish, please... jangan lakuin apa-apa.”
Danish menggelengkan kepala, tak percaya pada pendengarannya sendiri. “Lo selalu bilang gue nggak akan bisa bantu apa-apa, padahal lo sendiri yang menutup semua kesempatan itu.”
“Gue takut... please... gue takut, Danish... tolong... jangan gimana-gimana... gue takut... please, Nish... peluk gue...”
Gadis itu merasakan dada yang hangat memayungi hujan di sekujur tubuh. Dia yang kedinginan akhir-akhir ini merasa nyaman dan aman dalam dekapan itu. Danish lagi-lagi merelakan diri, melebur seperti lilin dibakar api, memberinya perlindungan saat dirinya sendiri merasa hancur hingga ingin mati.
“Nish, maaf... gue takut...”
“Ssshh... ada gue,” bisik Danish pelan. “Ada gue di sini.”
Belum sepenuhnya lega memang, tapi Sayna yang menyerahkan diri seperti ini membuat beban di pundaknya diangkat. Sayna yang jujur dan mengutarakan ketakutannya membuat Danish lebih merasa dianggap manusia, bukan hanya teman senang-senangnya di atas ranjang.
“Sayna kenapa?” pancingnya. “Lo mau bilang sekarang?”
“Dia, Nish... gue... butuh bantuan...” Sayna terbata-bata. Gadis itu bergerak, meninggikan posisi, menyuruk ke leher kekasihnya, meredam suara tangisnya di sana. “Gue... di bawah... dia berdiri, Nish... gue... hoek!”
Sayna mual, sensasi ingin muntah itu menguasainya, dia tidak sanggup bicara lebih jauh. Tubuhnya dipaksa kembali ke masa itu, lidahnya menyecap bau karet dari kondom yang membungkus benda di sela kaki Giovanni, cairannya menyembur di mulut Sayna. Dia gila membayangkannya, Sayna tidak bisa. Dan sialnya—saat itu, dia sempat menginginkannya. Tubuh sialannya ini tidak menolak.
Sayna jijik pada dirinya sendiri.
“Nish, maaf... gue terpaksa... gue—gue sengaja... tapi gue terpaksa, Nish...”
Danish menahan napasnya sejak tadi. Sayna tidak perlu menjelaskan semuanya, apa yang terjadi akhir-akhir ini sudah seperti potongan puzzle yang tersusun di kepala, dan inilah bagian terakhirnya. Danish mungkin bodoh, tapi dia paham arah pembicaraan ini, apa intinya. Semuanya sudah lengkap, dia bisa melihatnya dengan jelas sekarang.
Pengkhianatan?
Perselingkuhan?
Tidak, bukan?
Sayna bahkan membuat Giovanni babak belur setelahnya. Dia juga melakukan hal itu karena terpaksa, bukan atas keinginan atau hasratnya.
Benar, kan?
“Nish...”
Anehnya, Danish tidak merasakan sesuatu seperti ditusuk di dadanya. Tidak ada yang sakit di sana. Tidak ada sesak. Hanya mencelos dan menarik napas dalam adalah semua yang dia butuhkan.
Aneh, seolah... alam bawah sadar Danish sudah mempersiapkan banyak kemungkinan. Termasuk yang terburuk, dan mungkin ini adalah salah satunya.
Apakah ini berarti Danish ternyata sudah lama menerima pengkhianatan Sayna di belakangnya?
Kenapa perasaannya aneh sekali saat ini?
“Nish, please... gue akan lakukan apa pun. Sumpah, gue akan lakukan apa pun biar dimaafkan. Maaf, Nish... maaf...”
Tentu saja, Sayna. Danish sudah berjanji akan memaafkannya apa pun yang terjadi.
“Say,” panggilnya pelan, suara Danish sangat rendah, tanpa amarah. “Gue beliin gelang buat Dya, gelang yang waktu itu bukan hadiah buat Mbak Dinar.”
Entah kenapa, Danish merasa perlu mengakuinya, dia merasa curang jika terus merahasiakan hal itu dari Sayna.
“Hadiah ulang tahun?” tanya Sayna memastikan.
“Bukan.” Danish menggeleng. “Cuma hadiah biasa, gue mau kasih Dya hadiah, itu aja.”
Dada Sayna berdenyut, ada nyeri yang menggelanyut, tapi dia harus menahannya. Itu cuma gelang, berbanding jauh dengan apa yang dia lakukan. Tidak apa-apa. Danish hanya memberi Dya gelang, bukan tubuhnya, bukan kehormatannya, apalagi harga dirinya.
Entah kalau hatinya...
Apakah ada kepingan hati Danish di gelang yang dia hadiahkan untuk Pramudya?
“Oke.” Sayna menganggukkan kepala.
“Gue salut kalau ingat gimana Anya dan Dya nutupin hal itu demi bikin lo sama gue tetap aman.” Danish membuang napas pelan. “Tapi kenyataannya, Say, yang bikin kita bertengkar bukan orang lain, bukan faktor luar, itu diri kita sendiri.”
Air mata Sayna banjir, Danish menghapusnya dengan ibu jari, lalu bibir indah itu mendarat di dahinya. Sebuah kecupan dihadiahkan, manis, tapi sarat akan rasa sakit. Danish mati-matian menahan tangis.
“Gue janji nggak akan ke mana-mana.” Pemuda itu mengelus wajah kekasihnya, merapikan anak rambut yang berserak di wajah cantik Sayna. “Gue akan selalu menerima lo, Sayna, apa pun yang terjadi, apa pun yang lo lakukan, gue udah janji.”
“Nish...”
“Tapi gue butuh waktu kali ini.” Tangan Danish gemetar saat memegangi gadis itu, tangisnya hampir pecah, ada nyeri yang menjalar saat ini. Membayangkan dia tidak akan melihat Sayna dalam waktu dekat, Danish sekarat. “Kita butuh jeda, Sayna, perlu waktu. Kita harus sembuh dulu, baru nanti sama-sama lagi. Gue janji nggak akan ke mana-mana. Jangan takut, ya?”
Ini sakit sekali. Sayna lebih baik ditampar dan dicaci maki seperti dalam mimpi. Dia tahu kalau dirinya pantas untuk itu semua. Tapi ini apa? Danish sudah lebih dari kecewa padanya. Danish bahkan sudah tidak bisa marah lagi, dia tidak cemburu. Bukankah begitu?
Kenapa dia menerima Sayna lagi dan lagi? Memaafkannya terus menerus?
Benarkah itu cinta?
Atau hanya...
“Jangan ke mana-mana, tunggu aja.” Danish bermukim di ceruk lehernya, berbisik pelan di sana, napas hangatnya menyapu kulit terluar Sayna. “Gue nggak akan pergi, gue pasti balik lagi. Jaga diri baik-baik, jangan sampai sakit lagi, hm?”
Sayna bahkan belum sempat menjawab, saat tirai di belakangnya tersibak, dan pasien yang harusnya pergi satu jam lagi tidak bisa menunggu lebih lama.
Danish pasti sudah muak sekali padanya.
Dia tidak sudi lagi berada di sana dengan Sayna.
Sekarang dia harus bagaimana?
Danish pasti sudah gila. Dia baru saja mengambil keputusan cepat tanpa memikirkan apa konsekuensinya. Mengambil jeda dengan Sayna? Memangnya bisa? Berapa lama? Berapa waktu yang dibutuhkannya? Dia sendiri tidak tahu. Pasti karena luka di kepala, Danish jadi mengambil keputusan gila, seenaknya.Dia bahkan tidak memikirkan bagaimana keadaan Sayna, seperti apa perasaannya. Danish pergi setelah mengatakan hal yang ingin dia lakukan. Apakah itu benar? Dia juga tidak tahu. Yang jelas tadi itu, Danish butuh waktu, dia harus tenang. Danish butuh ruang, dia hanya memikirkan diri dan perasaannya, lupa pada Sayna.“Duh, Dek... bikin panik aja.”Melia tampak panik sejak Danish pertama datang. Dia tidak sanggup menyetir sendiri dan menghubungi kakak iparnya untuk minta jemputan. Kemudian Arya Ranajaya dengan banyak sekali kekayaan mengirimkan sebuah helikopter untuk menjemput Danish di Hotel Singosari Bandung, dia menunggu di sana. Mobilnya diantar oleh salah sat
Pradnya bicara menggebu-gebu. Air matanya nyaris jatuh saat mengatakan semua hal itu. Baik, dia dan Danish memang tidak dekat untuk mengaku sebagai sahabat. Tapi Danish adalah keluarga barunya, saudara laki-lakinya, dan Anya sayang padanya. Di keluarga mereka—Ranajaya, pantang sekali ada yang terluka meski hanya seujung kuku saja. Apalagi ini, bocor di kepala. Danish sudah gila kalau masih menganggap ini semua tidak apa-apa.“Gimana keadaan Sayna?” Dya buka suara.Suasana yang cerah dan menyenangkan tadi sudah tidak ada sejak Anya melampiaskan kekesalannya. Anya memang begitu, dia ekspresif, tapi gadis itu baik, dia hanya khawatir pada Danish.“Iya, Nish. Sayna ada yang luka juga?” Hamam menimpalinya.“Ini nggak kayak yang kalian pikir. Gue sama Sayna memang berantem tapi bukan yang pukul-pukulan atau gimana, ini kecelakaan.”“Iya.” Dya mengangguk, berusaha mengerti ucapan Danish, tidak melihat
Merasa sudah dewasa, Danish jarang sekali berbagi hal-hal dengan ibunya. Namun untuk kasus seperti kecelakaan ini, dia tidak bisa. Lukanya menganga, tetap dipertanyakan andaipun dia rahasiakan. Dan itu sebuah petaka lain, sebab Melia membuat kehebohan yang berlebihan, mulai dari Danish harus izin ke kampus dan tidak masuk kelas sampai dia pulih, hingga mengabari teman-temannya yang jauh di luar kota.Butuh waktu yang pas bagi Aryan untuk menghubunginya, tapi Angga yang tinggal dan kuliah di Yogyakarta menelepon Danish lebih cepat dari yang ia duga. Angga, selain menanyakan bagaimana kabar dan separah apa luka yang Danish terima, juga menggosip perihal pacar terbaru Melia.“Sayang banget, gue kira Tante Mel bakal jadi ibu sambung gue dan kita jadi sodara, Nish.” Angga terdengar sedih. “Papa jadi duda udah lama, nggak kawin-kawin, gue kira nunggu Tante Mel, tapi kan nyokap lo nggak bakal nikah dulu sampai anak-anaknya mandiri. Berarti Tante lagi nunggui
Hari apa sekarang? Tepatnya... sudah berapa lama? Sayna masih menunggu. Dia bersabar meski tidak pernah mendapat kabar. Apa Danish baik-baik saja? Bagaimana keadaannya? Kapan dia akan kembali? Sayna takut, perutnya semakin besar.Danish memintanya untuk menunggu. Dia butuh waktu, tentu, Sayna mengerti itu. Tapi keadaan sekarang sudah tidak sama, ada yang harus Sayna beri tahu. Perutnya mungkin masih rata, tapi ada segumpal daging yang bertumbuh di dalam sana. Usianya menginjak bulan ketiga, 12 minggu 6 hari. Berarti sudah dua bulan Danish dan Sayna tidak berjumpa.Sayna merindukannya, sebanyak dia harus menahannya, sesakit yang harus ditahannya.“Sabar, ya...” Gadis itu mengelus permukaan perut. Katanya gerakan mulai terasa di atas usia 12 minggu, berarti tak akan lama lagi Sayna bisa merasakan sensasi kupu-kupu di sekitar sini.Malam-malam begini, dia harus terjaga karena tiba-tiba menginginkan buah semangka. Di mana Sayna harus mencarinya? A
“SAYNA!”Danish menggaungkan nama itu ketika tali yang menggantung tubuhnya sendiri membawa dia melesat jauh ke ujung pemberhentian. Kecepatannya menggila saat jarak semakin dekat, bergelantungan di ketinggian 15 meter di atas tanah dengan kecepatan 80 kilometer/jam dan hanya menggantungkan keselamatan pada seutas tali, tentu memacu adrenalin sekali.Dia perlu melakukan itu, untuk menyembuhkan diri. Lalu bersiap menemui Sayna lagi.“Norak banget, Danish!” Pradnya langsung mencibirnya saat Danish tiba di pemberhentian, turun dan melepas pengait di bagian belakang. Naik salah satu flying fox tertinggi di Indonesia memang menyenangkan.“Uuuu...” Hamam menyusul dengan sorakan bahagia yang serupa, lalu muncul Pramudya tak lama setelahnya.Mereka berempat jalan-jalan ke puncak selama Hamam dapat jatah libur dan untuk merayakan Danish yang akan segera kembali pada rutinitasnya ke Bandung tiap minggu.
Empat orang itu kemudian kembali berkeliling, menikmati pemandangan hingga berhenti di ayunan gantung yang terikat di pohon tinggi, bertingkat. Anya yang pertama ingin mencoba, dia naik lebih dulu, lalu Hamam naik di urutan berikutnya karena Anya yang meminta. Sementara Dya memilih menunggu, dia tidak suka dengan ide harus satu ayunan dengan Danish dan bergelantungan di atas sana. Danish kan kejam, dia bisa mendorong Dya tanpa aba-aba kalau dia salah bicara sedikit saja.“Kayaknya tersakiti banget jadi lo, ya.” Danish menyindir sekaligus menatap sok iba pada Pramudya. Gadis itu seperti istri tua yang ditinggal suaminya.“Gue biasa ngalah dari kecil sama Anya.” Atau lebih tepatnya, perasaan Pramudya tidak pernah benar-benar dipedulikan. Perasaannya tidak penting, orang-orang selalu abai karena Dya diam saja.“Kalau gitu lo harus bisa membatasi apa yang lo bagi sama Anya mulai sekarang.”“Mana bisa, gue sama dia sau
“Good luck!”“Uh, ghue sebenarnya nggak rela, tapi ghue mau lo bahagia, lo ceria lagi. You deserve the best, Nish.”“Makasih, Anya, Dya.”Danish tersenyum lebar mendengar ucapan dua gadis kembar itu sebelum dia berangkat ke Bandung pagi ini. Anya membelikannya baju baru yang langsung dibersihkan kemarin, sementara Dya menyiapkan bunga yang harus Danish berikan pada Sayna, juga sebuah cincin mungil untuk kelingking. Mereka bilang, Danish harus kembali pada Sayna dengan versi terbaiknya. Harus datang dan membuat Sayna jatuh cinta lagi, berkali-kali dibanding sebelumnya.“I love you, Nish.” Anya berujar sambil merangkulnya, bergelanyut di pundaknya dan menghadiahi Danish kecupan di dahi. Meski Anya bilang begitu, entah kenapa Danish tahu kalau kata cintanya terasa berbeda.“Hati-hati di jalan, makasih ya.” Terakhir, Dya yang turun dari mobilnya. Gadis itu melayangkan sebuah ciu
Danish membeliak, menahan napas terang-terangan, lalu perlahan menarik telapak tangannya yang bermukim di perut gadis itu. Reaksi yang... wajar sebenarnya.Reaksi super wajar. Memangnya apa? Sayna ingin kabar kehamilannya disambut bahagia? Mereka bahkan belum menikah, bagaimana bisa kehadiran janin di luar nikah membuat Danish berbunga-bunga? Dia justru kaget, panik, reaksi yang sangat tertebak.Namun... Sayna tetap kecewa. Dia tidak suka pada ekspresi dan reaksi kekasihnya. Janin itu ada di perut akibat perbuatan mereka berdua. Kenapa Danish sedikit saja tidak ingin berterima kasih padanya? 14 minggu sama sekali tidak mudah mengandung benih itu sendirian.“Kenapa? Kenapa bisa, Say?”Sakit mendengar pertanyaan itu, saat Sayna tidak mungkin hamil sendiri tanpa dibuahi. Tapi seperti takdir kebanyakan, perempuan memang selalu jadi pihak yang paling dihakimi. “Bisa, Nish. Karena kita cuma pakai kontrasepsi, bukan angkat rahim atau vasektomi.
Sayna sekarang tahu bahwa Arunika merupakan putri sulung sekaligus putri satu-satunya dari Mark Tuan, seorang pria yang lahir dari wanita asli Sunda dan ayahnya berdarah Tionghoa. Pantas saja dia punya perawakan yang berbeda dengan para pribumi, meski dipanggil Gege oleh adiknya, tapi keluarga mereka sangat meninggikan kebudayaan dan adat Sunda. Mungkin karena ibu kandungnya memiliki latar belakang yang kental dengan budaya, kabarnya mereka adalah keluarga pengelola museum adat Sunda di Subang.Mark dan keluarganya menetap di Lembang, daerah Bandung yang juga dekat ke arah Subang. Dia bekerja sebagai direktur operasional perusahaan farmasi keluarga yang dikepalai oleh kakak kandungnya sebagai lulusan apoteker handal. PT Sagara Purnama adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri kosmetik dan kontrak manufaktur pertama di Subang. Itu sekilas yang Sayna tahu dari hasil pencariannya di internet mengenai latar belakang pria itu.“Sebenarnya saya ke rumah sakit
“Sayna, Adek koas favorit Bunda, sini-sini.” Sayna menyengir pasrah ketika salah satu perawat senior memanggil namanya sambil melambai-lambaikan tangan. Sudah pasti dia akan dapat tugas tambahan. Mereka bilang, anak-anak koas adalah keset kaki karena acapkali diperlakukan semena-mena selama menjadi sukarelawan di rumah sakit. Tak jarang yang memperlakukan mereka tidak manusiawi adalah rekan-rekan seniornya sendiri. Di stase ini tentu Sayna tidak terlepas dari orang-orang dengan profesi dokter, perawat, hingga bidan dan lain-lainnya. Namun nasib anak-anak magang dari angkatan perawat dan kebidanan jauh lebih mengenaskan. Tak jarang Sayna yang harus membimbing mereka saat ada waktu senggang. “Kamu ke perina, ya. Banyak yang mau aterm hari ini.” “Baik, Bu.” Sayna menurut dengan mudah saat kepala perawat favoritnya meminta bantuan untuk membuat dia berjaga di ruang perina dan menunggu ibu-ibu yang akan melahirkan bayi. Ruang itu terhubung
“Dede enakan? Boleh Ayah minta sun?” “Boleh.” Gadis kecil berusia dua tahun lebih itu mendongak untuk mengecup wajah sang ayah. “Napa?” “Nggak papa, ayah cuma mau minta sun aja. Kangen sama Dede.” “Hai, Nika...” sapa Sayna ramah, meski pada kenyataannya Arunika yang ini lebih suka pada Rafika saat mereka berkunjung untuk memeriksa keadaannya. “Udah minum susu belum, Sayang?” “Nggak mau.” Dia menggeleng lemah. Gadis kecil itu merengut, merapatkan tubuhnya pada sang ayah. “Sus, ini bisa nggak dititip sebentar? Nanny lagi makan siang di kantin, saya ada keperluan yang harus dibeli ke luar.” Sayna tersenyum dan mengangguk. “Silakan, Pak. Biar Arunika saya yang jaga.” “Wah, ini Tante susternya hafal nama Dede.” Pria itu bersorak senang. “Tunggu sebentar, ya? Ayah mau beli sesuatu, nanti Dede beli mainan baru deh, mau?” “Nggak mau.” Arunika menggelengkan kepala tanda tak setuju. “Nika mau minum susu sama tante?” tawar
Setelah bulan lalu mengakhiri masa abdinya di stase bedah, yang mana membuat Sayna merasakan pengalaman luar biasa selama berada di sana, mulai minggu ini dia mendapat giliran berjaga di stase anak. Meskipun mengingat perjuangan serta pelajaran yang dia dapat dari stase bedah sangat berharga dan beragam, Sayna lega karena bebas dari sana. Stase bedah memiliki pasien yang banyak, nyaris membludak untuk di-follow up setiap hari. Tapi di sana juga keterampilan Sayna sangat diuji. Kemampuannya menjahit luka semasa kuliah pra-klinik selama 3,5 tahun benar-benar direalisasikan. Sayna bahkan belajar menyunat di stase ini. Dan yang paling berkesan adalah melakukan operasi transplantasi kulit pada pasien luka bakar yang mana kulitnya diambil dari bagian paha dan ditanam ke punggung. Luar biasa, Sayna merasa jadi mahasiswi kedokteran betulan saat itu. Dan semuanya sudah berlalu, Sayna tidak yakin lulus di stase itu karena mahasiswa sepintar Gio saja dulu tidak mampu m
Anya merasa lebih tenang sekarang, karena meski saudarinya akan merantau ke negeri orang, dia mengantongi izin untuk berkunjung ke tempat Dya belajar sesering yang dia ingin. Setelah melakukan pentas drama di depan ayah dan ibunya, Anya dikonfirmasi akan segera memiliki privat jet miliknya sendiri untuk keperluan pulang pergi melongok Dya di New York. Dan berhubung keduanya anak kembar, tidak adil rasanya jika Ranajaya hanya membelikan untuk salah satu dari mereka saja. Alhasil, Dya yang tidak berminat sama sekali pada benda bisa terbang itu pun harus ikut menerima pemberian orangtuanya. Mau tidak mau.“Aku nanti minta jadwal kamu pokoknya, biar pas kamu free aku ke sana.”Dya mengangguk mendengar permintaan saudarinya itu, sedikit lega karena Anya tampak lebih bersemangat dibanding beberapa hari yang lalu. “Kamu baik-baik, ya.”“Aku yang harusnya bilang gitu.” Anya berguling dari posisinya saat ini dan telungkup untu
“Lo masih mau di sini?” Suara Danish menyadarkannya kembali. “Kalau mau sama Hamam nggak papa sih.”“Eh, nggak, Nish, nggak! Gue nggak enak juga kalau harus ke kamar Dya.” Hamam salah tingkah dan mengusap tengkuknya gelisah. “Dya sama Danish aja, ya? Biar Mas Hamam di sini jagain Anya, oke?”“Oke.”Pada akhirnya Dya pasrah saat Danish membantunya mengalungkan tangan dan berjalan tertatih menuju villa tempat mereka menginap. Sementara Hamam, Anya, Arvin, Rafid dan Herdian tinggal untuk menikmati berbagai permainan yang disuguhkan. Namun setelah dua orang itu menjauh, lima anak muda itu justru tidak meneruskan niat mereka semula.“Gila, ya. Untung lo masih ada otaknya, Mam. Kalau lo ngotot bawa Dya tadi kebayang gimana patah hatinya Danish.” Herdian membuka obrolan.“Iya, kasihan gue kalau dia harus patah hati dua kali dalam waktu dekat.” Pendapat Rafid menimpali duga
“Sial, banyak banget debu jalanan. Tutup mata, Anya!”“WAAAA....”Danish langsung mengerem sepeda motor yang dia kendarai mendengar jeritan Hamam di sebelahnya, temannya itu nyaris oleng sebelum berbelok ke kiri jalan dan berhenti.“Kenapa sih?” tanya Danish keki. Merasakan pegangan tangan Anya di pinggangnya melonggar perlahan. Mereka sedang berwisata dan menaklukan medan jalan yang berdebu dan terjal untuk sampai ke tujuan.“Gue kaget, Nish. Pas lo teriak nyuruh nutup mata itu gue refleks nutup mata juga, padahal kan gue lagi nyetir, mana bonceng Dya di belakang. Kalau Dya cedera nyawa gue bisa melayang.”Dya dan Anya tertawa, mereka kira apa. Dya yang duduk di belakang Hamam bahkan bingung sendiri saat pemuda itu mulai tidak stabil membawa kendaraannya lalu berhenti tiba-tiba.“Maaf ya, Dya.” Hamam merasa sangat berdosa. Ini harusnya jadi liburan yang paling berkesan karena Dya a
Menghabiskan dua malam di Jakarta bersama Giovanni yang diizinkan menginap oleh orangtuanya, Sayna melakukan perjalanan kembali ke perantauan. Bukan Bandung, kali ini dia harus ke Majalengka karena sedang sibuk KKN di sana. Agak sedih karena Sayna tidak bertemu dengan adiknya sama sekali berhubung anak itu sedang sibuk pendidikan, dia juga tidak tahu kapan bisa pulang ke rumah lagi, bisa dipastikan Sayna akan lebih sibuk dalam beberapa bulan kedepan.“Semangat dong!” Gio tersenyum menggoda, paham kalau gadis cantik yang duduk di sebelahnya itu tengah diserang homesick musiman yang biasa menyerang para mahasiswa KKN. “Gimana aja program kalian?”“Programnya banyak,” keluh Sayna pelan. “Ada satu anak yang ngeselin dari teknik sipil, aku sering banget nahan bogem kalau dia mulai ngoceh terus, Kak.”Giovanni mengacak rambut pendek Sayna dengan sebelah tangan. “Namanya dinamika kelompok, hadapi aja, ya. I
“Om... tolong!”Irya sedang bermain sandiwara dengan pamannya.“Om! Aku syakit!”Danish tidak menggubris.“Om, tolong aku!”“Aduh, berisik banget!” Danish menggerutu lalu berjalan mendekati bayi yang usianya entah berapa itu. Irya terlalu pintar untuk anak seusianya. Sibuk berakting demi mencari perhatian. Lihat saja, dia membuka lemari penyimpanan di kamar Danish lalu memasukkan sebelah tangan ke dalamnya dan menutup pintu lemari itu kemudian menjerit seolah sangat kesakitan.“Apa-apaan sih, Den?” tanya Danish keki. Kelakuan Irya kadang sebelas dua belas dengan ayahnya. Ada-ada saja.“Hehe, makasih Om!” seru Irya tanpa merasa berdosa atau apa.Danish menggendong anak itu dan menatapnya sambil menyipitkan mata. Tidak ingin dan tidak bisa menebak hal aneh lain yang akan dilakukan oleh Irya. Dia seperti tidak kehabisan ide untuk membuat keributan dan ingin se