“Ngapa lo garuk-garuk helm, Mam?”
“Pala gue gatel.”
“Pala lo gatel terus kenapa helm-nya yang digaruk? Coba dibuka dulu biar afdol garuk-garuknya.”
“Heh, emang kalau pantat lo gatel lo harus banget garuk-garuk sampe buka celana? Enggak, kan?”
Danish memutuskan untuk tidak bertanya lagi. Hamam jelas marah karena insiden pulangnya Pramudya tempo hari. Mereka baru sampai di Puncak tapi Dya buru-buru kembali ke Jakarta lagi setelah Danish mengadukannya pada Arya. Hamam yang merasa bertanggung jawab karena mengajaknya jelas ikut pulang, tidak jadi ikut pesta dengan teman-teman.
Dan sekarang Hamam marah padanya, itu ulah Danish memang, tapi dia juga tidak tahu kalau Arya sampai meminta adiknya pulang malam itu juga.
“Dya?” sapa Hamam dengan mata berbinar begitu dia masuk ke laundry dan menemukan gadis itu di lobi. “Kok ada di sini?”
“Dia minta ketemu sama lo sebelum balik ke Surabaya nanti malem,” jawab Danish.
“Besok aku UTS,” jawab Pramudya, mengabaikan sapaan Hamam. “Maaf ya ngerepotin Mas Hamam kemarin.”
What the fuck? Mas Hamam? Pramudya gila, ya? Hamam itu seumuran mereka!
“Ih, Dya... nggak apa-apa. Seneng banget kamu ke sini sengaja buat ketemu aku. Udah sarapan belum?”
“Belum. Aku lupa.”
“Kok gitu? Jangan lupa, sarapan itu lebih sehat daripada harapan.”
Dya tersenyum lebar. Dia suka Hamam karena pemuda itu lucu, Hamam juga sopan dan menyenangkan.
“Aduh, Dya... senyummu mengajakku berkembang biak.”
“Lo najis banget sih, Mam.” Danish susah payah menahan tawa dan sensasi menggelitik di perutnya. “Gue udah pesenin sarapan, bentar lagi dianter ke sini.”
“Gue mau nasi ya, Bos! Nggak mempan gue dikasih roti, itu cuma kudapan orang-orang lemah!”
“Iya, gue tahu!” Danish bergerak dan nyaris menyentil hidung Hamam. “Bawel anjir, gue pesenin nasi uduk lo!”
“Nah, gitu dong. Hehe, makasih!” Hamam menyengir. “Dya makan apa?”
“Nggak tahu.” Pramudya mengangkat kedua bahu. “Danish pesan nggak bilang aku.”
“Sandwich pedas kan, Dya? Gue lihat lo sering pesen itu buat sarapan.”
“Oh, iya ya?” tanyanya tak percaya. Dya bahkan tidak tahu kalau dia sering memesan menu itu, tapi sandwich pedas untuk sarapan tidak buruk juga.
Hamam terdiam, diam-diam menahan senyuman. Entah kenapa dia tahu ada yang berbeda di sana, cara Danish memperlakukan gadis itu—Pramudya, gadis yang disukainya. Ayolah, siapa yang tidak suka pada Pramudya? Mungkin kalau ada, lelaki itu buta, atau kena pelet cinta.
Dya gadis yang baik, dia baik pada orang yang dianggapnya tidak berbahaya, Dya juga menyenangkan, Dya bukan gadis seperti Juwi—pacarnya Arvin yang terlalu pendiam dan sulit berbaur, Dya juga tidak seperti Sayna yang bisa membuat Danish bertekuk lutut. Dya hanya Dya, sederhana yang mewah menguar dari seluruh tubuhnya, bahkan dari suara langkah kakinya. Hamam suka pada Dya, bukan karena dihadiahi ponsel mahal, hanya... suka saja.
Susah sekali menolak pesonanya.
“Lucu ya, lo bisa inget apa yang sering dimakan sama Dya. Biasanya lo kan pelupa,” komentar Hamam—sengaja.
“Itu care namanya, gue sama Dya kan saudara.”
“Saudara? Like... seriously? Terus kenapa gue nggak boleh macarin Dya?”
Danish terganggu mendengar ucapan itu, dia meletakkan ponsel dan siap menghajar Hamam buru-buru. “Lo nggak usah ngirebetin hidup lo sendiri deh, Mam.”
“Lo yang ribet,” tudingnya.
“Kalian berdua kenapa?”
“Si Danish udah nggak waras, Dya. Jangan temenan sama dia, sama aku aja, ya?”
“Heh!” Danish menarik tangan Pramudya menjauh dari jangkauan Hamam. “Lo tuh gue kasih tahu dari sekarang! Jangan macem-macem, lo yang bakal sakit hati, Mam! Jangan ngeribetin hidup, urusan lo banyak, ngejar-ngejar Dya bikin lo makan ati!”
“Tapi lo seenggaknya kasih gue kesempatan!” Hamam tak terima. “Gue baru tanya Dya udah sarapan apa belum, eh, lo malah udah beliin makan duluan. Lo kok gercep? Gue nggak suka.”
Danish tidak ingin berdebat, memangnya apa sih? Hanya membeli makanan, di mana istimewanya? Kenapa Hamam meributkan hal kecil seperti ini? Bahkan harga makanan itu tidak seberapa.
“Pas makananya dateng nanti lo yang bayar.” Dia memutuskan jalan tengah. “Lo pengen traktir Dya makan, kan?”
“Bukan, pea! Bukan soal bayarinnya, Dya punya duit yang lebih banyak dari gue. Ini soal perhatian dan pengertian. Gue kesel karena kalah gercep dari lo. Udah itu aja, makanannya tetep lo yang bayar.”
“Sinting,” umpat Danish sinis.
Sementara Pramudya hanya terkikik di antara keduanya. Mereka lucu, mengatakan hal-hal barusan seolah Dya tidak ada di sana. Ada-ada saja.
“Itu tangan Dya lo gandeng mulu, emangnya Dya buta? Lepasin!” Hamam bicara begitu sambil menarik tangan Danish agar terlepas dari Pramudya. Dua pemuda itu saling bertatap sinis.
“Iri kan lo?” tanya Danish sengaja.
“Nggak, ya! Mon maap aja nih gue jusru takut kalau punya gandengan karena yang gandengan itu rawan kecelakaan.”
Danish memberikan ekspresi dengan mata segaris, sedangkan Pramudya tertawa renyah sembari menatap Hamam. Dia tampak senang, dan itu membuat Danish tidak tenang. Kalau Hamam benar-benar jatuh hati padanya, maka drama keluarga Ranajaya season dua segera dimulai. Dan jika Dya membalas perasaan Hamam, Danish bisa membayangkan rentetan episode perjuangan mereka demi mendapat restu orang tua.
Namun yang paling masuk akal, Dya mempermainkan Hamam seperti pacar-pacarnya yang lain. Danish tidak rela, Hamam itu sahabatnya, Dya saudaranya, dia ingin hubungan mereka baik-baik saja, jangan sampai rusak karena perasaan tak terbalaskan.
“Dya aku pesenin kamu teh manis, aku pesennya teh tawar. Mau, kan?”
“Boleh.” Dya menjawab singkat.
“Tanya dong, kenapa Mas Hamam minumnya teh tawar?”
“Kenapa?” tanya gadis itu sambil mengulum senyuman.
“Soalnya minum teh tawar tanpa gula di sebelah kamu itu udah manis, Dya. Aku nggak mau kena diabetes melitus di usia muda.”
“Mam, jijik ah!”
Pramudya tertawa.
“Iri kan lo?” Hamam mendelik pada Danish. “Aku sedang menyukai hal-hal yang nggak perlu. Misalnya, kadar senyum kamu di hidupku. Hehe. Kita jauhan, yuk! Kasihan ini ada yang kepanasan. Itu di dadanya pasti udah ada yang berkobar kayak api neraka jahanam.”
“Hamam!” Danish meinggikan suara. “Kerja!”
“Gue mau sarapan dulu sama Dya,” ujarnya santai, Hamam mengisyaratkan Dya untuk bergeser, menjauh dari Danish dan gadis itu menurut. “Aku mau tanya, hal konyol apa yang pernah kamu lakuin pas SMA?”
Pramudya berusaha mengingatnya. “Pas aku lupa pake celana dalam ke sekolah kayaknya.”
Bukan hanya Hamam yang tertawa, bahkan Danish hampir jatuh dari kursinya mendengar jawaban dari Pramudya.
“Beneran itu? Kok bisa?” tanya Hamam penasaran.
“Bisa. Kan di rumah memang jarang pakai.”
Mendadak wajah kedua pemuda itu memanas. Pramudya memang agak tidak waras.
“Terus kamu di sekolah gimana?” Tahan, Mam, tahan... jangan mengatakan hal-hal mesum di depan gadis yang dia suka.
“Aku lupa deh. Kayaknya di lokerku ada, atau aku minta bawain ke Anya. Lupa ah. Kalau Mas Hamam apa? Ceritain pengalamannya pas SMA.”
Danish baru saja akan menyahut andai Hamam tidak segera memelototinya.
“Hm, apa ya? Aku dulu anak baik, Dya. Nggak macam-macam, nggak punya geng, nggak suka tawuran,” sindirnya pada seseorang. “Aku kayaknya cuma 3 tahun sekolah tapi nggak pernah paham sama Matematika aja.”
Dya tertawa renyah. “Itu bukan konyol, Mas, tapi bodoh.”
Tentu saja tawa Danish meledak lebih keras dari siapa pun yang ada di sana, padahal dirinya pun sama saja. Hamam dan Danish kan sebelas dua belas.
“Duh, untung Dya yang bilang.” Hamam tetap konsisten dengan senyum dan suara rendah yang sengaja dia persembahkan untuk Dya. “Tapi itu yang ketawa nggak ada otaknya, ya? Ngeledekin orang tanpa kontrasepsi lebih dulu.”
“Kontrasepsi?” tanya Dya bingung.
“Kontradiksi, Mam.”
“Kontaminasi.”
“Konsumsi.”
“Konstitusi.”
“Konspirasi.”
Dua pemuda itu bicara bersahutan dan tergelak setelahnya, candaan yang tidak masuk ke otak Pramudya. Entah siapa yang benar-benar bodoh di sana.
“Dya...”
“Udah, Hamam!” bentak Danish demi menghentikan gombalan Hamam yang meresahkan. “Lo dikit-dikit Dya, apa-apa Dya, di sini emang cuma ada lo sama Dya, sisanya rumput laut doang!”
“Gue baru tahu kalau iri dan dengki itu tidak hanya disebabkan oleh kekurangan uang.” Hamam menjawabnya tanpa menatap Danish dan pura-pura mengelus dada. “Eh, Dya nama panjangnya siapa?”
“Pramudya Gayatri.”
“Ranajaya.”
“Nggak pake Ranajaya, Nish.”
“Pake, Mas Arya bilang ke gue.”
“Duh, namanya bagus.” Hamam buru-buru menyela obrolan itu. “Aku harus hafalin dari sekarang biar lancar pas ijab kabul. Hehe. Artinya apa, Dya?”
“Nggak tahu.” Gadis itu mengangkat bahu. “Tapi Pramudya itu kebanyakan dipakai cowok, karena aku sama Anya kembar, jadi Ibu kasih nama itu biar aku jadi pelindung Anya, kan aku kakaknya.”
Hamam manggut-manggut. “Oh, gitu... tapi cocok loh di kamu, namanya bagus.”
Dya tersenyum. “Kalau Mas Hamam apa?”
“Hamam Syaif Rifa’i.”
“Artinya?”
“Hamam itu artinya kamar mandi,” sela Danish. Mulai jengkel menjadi obat nyamuk dua orang yang sedang pendekatan ini.
“Bukan ya anjir! Penulisannya beda!” kata Hamam tak terima.
“Kalau Syaif artinya apa?”
“Syaif itu artinya pedang, Dya. Kalau Syaiful Jamil artinya Pedangdut.”
Dya tertawa, lupa pada obrolan mereka yang sesungguhnya karena tahu dengan jelas bahwa Hamam hanya sedang mencari bahan lelucon untuk ditertawakan. Sayangnya, dia berhasil. Hamam semakin menarik semakin Dya mengenalnya.
“Lo nggak tanya nama panjang gue siapa?” tanya Danish pada Dya, heran kenapa di sini seolah-olah dia jadi orang ketiga.
“Gue udah tahu,” jawab Dya acuh tak acuh. “Bapak kan manggil lo tuh Adiswara, bukan nama depannya.”
Hamam di sana merasa menang, dia tertawa meremehkan. “Nish, mulai sekarang lo harus bersaing sehat sama gue,” ujarnya jumawa.
“Nggak ada yang mau saingan sama lo, Mam. Lo nya aja yang merasa tersaingi.”
Danish pasti tidak sadar kalau dia adalah saingan seluruh umat berbatang di dunia jika statusnya masih lajang alias belum sah dimiliki seseorang. “Dahlah, laper gue, abis ini mau kerja, Dya pulang ya ke Surabaya? Nanti sering-sering dong balesin chat aku di WA.”
“Iya, nanti aku balas.” Dya tersenyum lebar. Makanan mulai berdatangan dari kurir pengantar, ada roti isi daging dan roti telur pedas untuk Danish dan Dya, sementara Hamam memiliki seporsi nasi uduk dengan ayam goreng dan tahu-tempe lengkap.
“Tempe sama tahu adalah makanan enak buat hidup sehat, Mam. Nah, TAHU diri itu cara yang sehat buat hidup enak. Semoga lo ngerti.” Danish menyengir lebar setelah mengutarakan sindirannya.
“Dasar bos laknat.” Hamam mengumpat.
Sebetulnya Hamam juga tahu, Pramudya bukan gadis yang sepadan untuknya. Tapi kalau dia suka, mau bagaimana? Lagi pula Dya tidak terlihat keberatan digoda, dia tampak senang-senang saja. Kenapa Danish repot sekali sih? Mereka itu cuma ipar kuadrat, lebih seperti teman dibanding kerabat. Keduanya berstatus saudara karena ikatan hukum dari kakak-kakak mereka.
“Dya kalau dilihat-lihat mirip sama Irene Red Velvet, ya.”
Danish memutar bola mata, Hamam dan gombalannya itu tidak ada habisnya. “Beliin jus kiwi buat Dya, buruan,” titahnya.
Tampak ingin menolak, tapi Hamam dan Dya bertatap yang akhirnya membuat pemuda itu luluh dan pergi begitu saja setelah nasi uduknya tandas. Ini belum jam kerja, operasional laundry dimulai pukul 10 setiap harinya, dan pegawai lain belum bermunculan. Hanya Hamam yang terlalu rajin datang paling pagi dan pulang belakangan, bahkan libur pun dia masih sempat melongok ke laundry sebentar.
“Lo tahu gue suka jus kiwi,” kata Pramudya, dia memberikan potongan lain dari roti miliknya untuk Danish habiskan. “Gue harus sisain ruang buat jus kiwinya.”
Danish berdeham pelan, mendadak matanya tidak fokus. Dia juga bingung kenapa bisa hafal kegemaran gadis itu, Danish bahkan tidak pernah memperhatikannya.
Mereka sama-sama diam, seperti saat Hamam belum datang. Danish punya kegundahan yang dialaminya dengan Sayna sementara Dya sibuk dengan kemelut pikirannya sendiri tiap melirik ponsel dan melihat pesan yang dikirim seseorang.
Dia senang ada Hamam, merasa terhibur, Dya butuh seseorang seperti itu.
“Lo kasih Anya hadiah pas ulang tahun, kenapa gue nggak dikasih?” tanya Dya tiba-tiba. Teringat insiden gelang hadiahnya kemarin dengan Sayna.
“Gue nggak mungkin kasih hadiah buat orang yang berduka di hari peringatan kematian ibunya.”
“Gue justru butuh, buat penghiburan.”
“Gue cuma kasih Anya ciuman di pipi kanan.” Danish menatap gadis itu lekat, merinding kalau dia harus melakukan hal yang sama pada Pramudya juga.
“Kalau gitu gue minta sebuah pelukan,” jawabnya sambil menatap Danish datar. “Bisa, kan? Itu hadiah yang cocok buat hari ulang tahun bertepatan dengan peringatan kematian.”
“Sekarang?” tanya Danish tak percaya.
“Tahun depan.” Pramudya buru-buru mengibaskan tangan, duduk bersandar dan menatap ponselnya lekat-lekat. Sejak tadi dia melakukan itu kalau Danish perhatikan, bahkan saat masih ada Hamam, matanya melirik ponsel terus-terusan. “Hadiah ulang tahun gue, tahun depan. Sekarang sih udah telat.”
“O...ke.”
“Lo kenapa sama Sayna?”
“Ha?”
Tentu saja Pramudya peka. Memangnya apa yang membuat Danish galau setengah mati, kehilangan arah, kehilangan selera marah-marah, selain Sayna? Tidak ada. Hidup pemuda itu hanya seputar kuliah, laundry dan kekasihnya.
“Gue... nggak tahu.” Harusnya Danish menjawab tidak apa-apa, tapi pada Pramudya, dia tidak bisa. Jelas Danish dan Sayna ada apa-apa, meski tidak tahu itu apa. Yang jelas keadaan jadi aneh sejak kegiatan mereka malam.
Sayna yang aneh, dia aneh sejak dua minggu yang lalu dan lebih aneh lagi setelah mereka bertemu. Danish hanya bertanya—sambil menikmati kegiatan mereka, dari mana Sayna belajar hingga semahir itu saat mengulum kemaluannya?
Lalu tiba-tiba, push... dia langsung berubah, seperti orang yang hilang arah. Sayna bahkan tidak mengizinkan Danish mengantarnya ke Bandung dengan alasan akan diantar oleh ayahnya.
“Putus aja kenapa? Cari yang baru.”
Danish terkesiap. “Lo gila? Ngasih saran begitu amat.”
Pramudya menyengir. “Ya, habisnya galau terus. Memang nggak capek, Nish?”
Capek? Tentu saja. Tapi itu semua terbayar begitu melihat senyum Sayna, Pramudya tidak mengerti konsepnya, dia itu fuck girl, tidak setia.
Danish tidak ingin jadi cerdas mendadak. Tapi informasi yang diberi Sayna padanya seperti potongan puzzle dan harus dikumpulkan. Mulai dari sikapnya yang aneh, masalahnya dengan Gio dan... keahliannya yang mendadak mahir kemarin. Pasti tidak ada hubungannya, kan? Mana mungkin sih, Sayna mengkhianatinya. Danish percaya.
Ayo, enyahkan pikiran seperti itu dari kepala!
“Dya...” panggil Danish sambil mendadak memajukan tubuh dan bisa ikut melihat apa yang ada di layar ponsel gadis itu. “Hei, ini kan—”
Dia berusaha mengingat, foto seorang pria, dengan... istrinya? Terlihat seperti istrinya menebak dari roman dan usia di wajah mereka. Tapi pria itu, bukankah pria berjas putih yang mengobrol dengan Pramudya di pesta ulang tahunnya?
“Dya, itu siapa?” tanya Danish memastikan sekaligus tidak bisa menahan rasa penasaran. Tangannya menarik paksa ponsel Pramudya dan dengan cepat membaca pesan-pesan yang masuk ke sana.
“Danish!”
“Lo jangan gila!” Danish meneriakinya, dia menahan ponsel Pramudya. “Dia udah punya istri, lo jangan lebih gila dari ini, Pramudya.”
Dya tidak bisa berkata apa-apa. Dia merasa seperti sedang dimarahi oleh kakaknya.
“Balikin hp gue,” ujarnya dingin. “Nish...”
“Nggak!” Danish bahkan punya niat untuk melenyapkan benda pipih itu. “Lo mau ngapain ketemuan di hotel sama cowok itu?”
Di hotel, dengan seorang pria, tentu saja Danish tahu apa yang akan dilakukan Pramudya, dia hanya memastikannya. Gadis itu ternyata lebih gila daripada yang bisa dia duga.
“Gue beli ini di jalan tadi.” Danish menyodorkan sekotak rujak Thailand kekinian yang isinya hanya terdiri dari jambu biji non biji—maksudnya apa sih?—serta bubuk cabai dan bumbu manis asin seperti larutan oralit pedas.“Kayaknya seger, ya? Bandung panas banget hari ini, dan gue pusing.”Sayna menerimanya dengan senang hati kendati yang dia pesan tadi hanya sebungkus roti dan selai srikaya, perutnya protes minta diisi, Sayna juga kurang tidur karena harus latihan mati-matian untuk ujian tengah semesternya.Kehidupan di kampus tidak bisa dibilang normal-normal saja. Sayna harus berusaha dua kali lebih keras dibanding sebelumnya, jauh berbeda saat di mana ada Gio yang membantunya. Terlebih kabar simpang siur terdengar di seantero fakultas tiga lantai itu. Kabar dengan cepat menyebar, Gio nyaris tidak melakukan apa-apa, Sayna tahu, dia sibuk coass.Namun teman-temannya, para pendukungnya, orang yang simpati padanya,
Danish pasti sudah gila. Dia baru saja mengambil keputusan cepat tanpa memikirkan apa konsekuensinya. Mengambil jeda dengan Sayna? Memangnya bisa? Berapa lama? Berapa waktu yang dibutuhkannya? Dia sendiri tidak tahu. Pasti karena luka di kepala, Danish jadi mengambil keputusan gila, seenaknya.Dia bahkan tidak memikirkan bagaimana keadaan Sayna, seperti apa perasaannya. Danish pergi setelah mengatakan hal yang ingin dia lakukan. Apakah itu benar? Dia juga tidak tahu. Yang jelas tadi itu, Danish butuh waktu, dia harus tenang. Danish butuh ruang, dia hanya memikirkan diri dan perasaannya, lupa pada Sayna.“Duh, Dek... bikin panik aja.”Melia tampak panik sejak Danish pertama datang. Dia tidak sanggup menyetir sendiri dan menghubungi kakak iparnya untuk minta jemputan. Kemudian Arya Ranajaya dengan banyak sekali kekayaan mengirimkan sebuah helikopter untuk menjemput Danish di Hotel Singosari Bandung, dia menunggu di sana. Mobilnya diantar oleh salah sat
Pradnya bicara menggebu-gebu. Air matanya nyaris jatuh saat mengatakan semua hal itu. Baik, dia dan Danish memang tidak dekat untuk mengaku sebagai sahabat. Tapi Danish adalah keluarga barunya, saudara laki-lakinya, dan Anya sayang padanya. Di keluarga mereka—Ranajaya, pantang sekali ada yang terluka meski hanya seujung kuku saja. Apalagi ini, bocor di kepala. Danish sudah gila kalau masih menganggap ini semua tidak apa-apa.“Gimana keadaan Sayna?” Dya buka suara.Suasana yang cerah dan menyenangkan tadi sudah tidak ada sejak Anya melampiaskan kekesalannya. Anya memang begitu, dia ekspresif, tapi gadis itu baik, dia hanya khawatir pada Danish.“Iya, Nish. Sayna ada yang luka juga?” Hamam menimpalinya.“Ini nggak kayak yang kalian pikir. Gue sama Sayna memang berantem tapi bukan yang pukul-pukulan atau gimana, ini kecelakaan.”“Iya.” Dya mengangguk, berusaha mengerti ucapan Danish, tidak melihat
Merasa sudah dewasa, Danish jarang sekali berbagi hal-hal dengan ibunya. Namun untuk kasus seperti kecelakaan ini, dia tidak bisa. Lukanya menganga, tetap dipertanyakan andaipun dia rahasiakan. Dan itu sebuah petaka lain, sebab Melia membuat kehebohan yang berlebihan, mulai dari Danish harus izin ke kampus dan tidak masuk kelas sampai dia pulih, hingga mengabari teman-temannya yang jauh di luar kota.Butuh waktu yang pas bagi Aryan untuk menghubunginya, tapi Angga yang tinggal dan kuliah di Yogyakarta menelepon Danish lebih cepat dari yang ia duga. Angga, selain menanyakan bagaimana kabar dan separah apa luka yang Danish terima, juga menggosip perihal pacar terbaru Melia.“Sayang banget, gue kira Tante Mel bakal jadi ibu sambung gue dan kita jadi sodara, Nish.” Angga terdengar sedih. “Papa jadi duda udah lama, nggak kawin-kawin, gue kira nunggu Tante Mel, tapi kan nyokap lo nggak bakal nikah dulu sampai anak-anaknya mandiri. Berarti Tante lagi nunggui
Hari apa sekarang? Tepatnya... sudah berapa lama? Sayna masih menunggu. Dia bersabar meski tidak pernah mendapat kabar. Apa Danish baik-baik saja? Bagaimana keadaannya? Kapan dia akan kembali? Sayna takut, perutnya semakin besar.Danish memintanya untuk menunggu. Dia butuh waktu, tentu, Sayna mengerti itu. Tapi keadaan sekarang sudah tidak sama, ada yang harus Sayna beri tahu. Perutnya mungkin masih rata, tapi ada segumpal daging yang bertumbuh di dalam sana. Usianya menginjak bulan ketiga, 12 minggu 6 hari. Berarti sudah dua bulan Danish dan Sayna tidak berjumpa.Sayna merindukannya, sebanyak dia harus menahannya, sesakit yang harus ditahannya.“Sabar, ya...” Gadis itu mengelus permukaan perut. Katanya gerakan mulai terasa di atas usia 12 minggu, berarti tak akan lama lagi Sayna bisa merasakan sensasi kupu-kupu di sekitar sini.Malam-malam begini, dia harus terjaga karena tiba-tiba menginginkan buah semangka. Di mana Sayna harus mencarinya? A
“SAYNA!”Danish menggaungkan nama itu ketika tali yang menggantung tubuhnya sendiri membawa dia melesat jauh ke ujung pemberhentian. Kecepatannya menggila saat jarak semakin dekat, bergelantungan di ketinggian 15 meter di atas tanah dengan kecepatan 80 kilometer/jam dan hanya menggantungkan keselamatan pada seutas tali, tentu memacu adrenalin sekali.Dia perlu melakukan itu, untuk menyembuhkan diri. Lalu bersiap menemui Sayna lagi.“Norak banget, Danish!” Pradnya langsung mencibirnya saat Danish tiba di pemberhentian, turun dan melepas pengait di bagian belakang. Naik salah satu flying fox tertinggi di Indonesia memang menyenangkan.“Uuuu...” Hamam menyusul dengan sorakan bahagia yang serupa, lalu muncul Pramudya tak lama setelahnya.Mereka berempat jalan-jalan ke puncak selama Hamam dapat jatah libur dan untuk merayakan Danish yang akan segera kembali pada rutinitasnya ke Bandung tiap minggu.
Empat orang itu kemudian kembali berkeliling, menikmati pemandangan hingga berhenti di ayunan gantung yang terikat di pohon tinggi, bertingkat. Anya yang pertama ingin mencoba, dia naik lebih dulu, lalu Hamam naik di urutan berikutnya karena Anya yang meminta. Sementara Dya memilih menunggu, dia tidak suka dengan ide harus satu ayunan dengan Danish dan bergelantungan di atas sana. Danish kan kejam, dia bisa mendorong Dya tanpa aba-aba kalau dia salah bicara sedikit saja.“Kayaknya tersakiti banget jadi lo, ya.” Danish menyindir sekaligus menatap sok iba pada Pramudya. Gadis itu seperti istri tua yang ditinggal suaminya.“Gue biasa ngalah dari kecil sama Anya.” Atau lebih tepatnya, perasaan Pramudya tidak pernah benar-benar dipedulikan. Perasaannya tidak penting, orang-orang selalu abai karena Dya diam saja.“Kalau gitu lo harus bisa membatasi apa yang lo bagi sama Anya mulai sekarang.”“Mana bisa, gue sama dia sau
“Good luck!”“Uh, ghue sebenarnya nggak rela, tapi ghue mau lo bahagia, lo ceria lagi. You deserve the best, Nish.”“Makasih, Anya, Dya.”Danish tersenyum lebar mendengar ucapan dua gadis kembar itu sebelum dia berangkat ke Bandung pagi ini. Anya membelikannya baju baru yang langsung dibersihkan kemarin, sementara Dya menyiapkan bunga yang harus Danish berikan pada Sayna, juga sebuah cincin mungil untuk kelingking. Mereka bilang, Danish harus kembali pada Sayna dengan versi terbaiknya. Harus datang dan membuat Sayna jatuh cinta lagi, berkali-kali dibanding sebelumnya.“I love you, Nish.” Anya berujar sambil merangkulnya, bergelanyut di pundaknya dan menghadiahi Danish kecupan di dahi. Meski Anya bilang begitu, entah kenapa Danish tahu kalau kata cintanya terasa berbeda.“Hati-hati di jalan, makasih ya.” Terakhir, Dya yang turun dari mobilnya. Gadis itu melayangkan sebuah ciu
Sayna sekarang tahu bahwa Arunika merupakan putri sulung sekaligus putri satu-satunya dari Mark Tuan, seorang pria yang lahir dari wanita asli Sunda dan ayahnya berdarah Tionghoa. Pantas saja dia punya perawakan yang berbeda dengan para pribumi, meski dipanggil Gege oleh adiknya, tapi keluarga mereka sangat meninggikan kebudayaan dan adat Sunda. Mungkin karena ibu kandungnya memiliki latar belakang yang kental dengan budaya, kabarnya mereka adalah keluarga pengelola museum adat Sunda di Subang.Mark dan keluarganya menetap di Lembang, daerah Bandung yang juga dekat ke arah Subang. Dia bekerja sebagai direktur operasional perusahaan farmasi keluarga yang dikepalai oleh kakak kandungnya sebagai lulusan apoteker handal. PT Sagara Purnama adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri kosmetik dan kontrak manufaktur pertama di Subang. Itu sekilas yang Sayna tahu dari hasil pencariannya di internet mengenai latar belakang pria itu.“Sebenarnya saya ke rumah sakit
“Sayna, Adek koas favorit Bunda, sini-sini.” Sayna menyengir pasrah ketika salah satu perawat senior memanggil namanya sambil melambai-lambaikan tangan. Sudah pasti dia akan dapat tugas tambahan. Mereka bilang, anak-anak koas adalah keset kaki karena acapkali diperlakukan semena-mena selama menjadi sukarelawan di rumah sakit. Tak jarang yang memperlakukan mereka tidak manusiawi adalah rekan-rekan seniornya sendiri. Di stase ini tentu Sayna tidak terlepas dari orang-orang dengan profesi dokter, perawat, hingga bidan dan lain-lainnya. Namun nasib anak-anak magang dari angkatan perawat dan kebidanan jauh lebih mengenaskan. Tak jarang Sayna yang harus membimbing mereka saat ada waktu senggang. “Kamu ke perina, ya. Banyak yang mau aterm hari ini.” “Baik, Bu.” Sayna menurut dengan mudah saat kepala perawat favoritnya meminta bantuan untuk membuat dia berjaga di ruang perina dan menunggu ibu-ibu yang akan melahirkan bayi. Ruang itu terhubung
“Dede enakan? Boleh Ayah minta sun?” “Boleh.” Gadis kecil berusia dua tahun lebih itu mendongak untuk mengecup wajah sang ayah. “Napa?” “Nggak papa, ayah cuma mau minta sun aja. Kangen sama Dede.” “Hai, Nika...” sapa Sayna ramah, meski pada kenyataannya Arunika yang ini lebih suka pada Rafika saat mereka berkunjung untuk memeriksa keadaannya. “Udah minum susu belum, Sayang?” “Nggak mau.” Dia menggeleng lemah. Gadis kecil itu merengut, merapatkan tubuhnya pada sang ayah. “Sus, ini bisa nggak dititip sebentar? Nanny lagi makan siang di kantin, saya ada keperluan yang harus dibeli ke luar.” Sayna tersenyum dan mengangguk. “Silakan, Pak. Biar Arunika saya yang jaga.” “Wah, ini Tante susternya hafal nama Dede.” Pria itu bersorak senang. “Tunggu sebentar, ya? Ayah mau beli sesuatu, nanti Dede beli mainan baru deh, mau?” “Nggak mau.” Arunika menggelengkan kepala tanda tak setuju. “Nika mau minum susu sama tante?” tawar
Setelah bulan lalu mengakhiri masa abdinya di stase bedah, yang mana membuat Sayna merasakan pengalaman luar biasa selama berada di sana, mulai minggu ini dia mendapat giliran berjaga di stase anak. Meskipun mengingat perjuangan serta pelajaran yang dia dapat dari stase bedah sangat berharga dan beragam, Sayna lega karena bebas dari sana. Stase bedah memiliki pasien yang banyak, nyaris membludak untuk di-follow up setiap hari. Tapi di sana juga keterampilan Sayna sangat diuji. Kemampuannya menjahit luka semasa kuliah pra-klinik selama 3,5 tahun benar-benar direalisasikan. Sayna bahkan belajar menyunat di stase ini. Dan yang paling berkesan adalah melakukan operasi transplantasi kulit pada pasien luka bakar yang mana kulitnya diambil dari bagian paha dan ditanam ke punggung. Luar biasa, Sayna merasa jadi mahasiswi kedokteran betulan saat itu. Dan semuanya sudah berlalu, Sayna tidak yakin lulus di stase itu karena mahasiswa sepintar Gio saja dulu tidak mampu m
Anya merasa lebih tenang sekarang, karena meski saudarinya akan merantau ke negeri orang, dia mengantongi izin untuk berkunjung ke tempat Dya belajar sesering yang dia ingin. Setelah melakukan pentas drama di depan ayah dan ibunya, Anya dikonfirmasi akan segera memiliki privat jet miliknya sendiri untuk keperluan pulang pergi melongok Dya di New York. Dan berhubung keduanya anak kembar, tidak adil rasanya jika Ranajaya hanya membelikan untuk salah satu dari mereka saja. Alhasil, Dya yang tidak berminat sama sekali pada benda bisa terbang itu pun harus ikut menerima pemberian orangtuanya. Mau tidak mau.“Aku nanti minta jadwal kamu pokoknya, biar pas kamu free aku ke sana.”Dya mengangguk mendengar permintaan saudarinya itu, sedikit lega karena Anya tampak lebih bersemangat dibanding beberapa hari yang lalu. “Kamu baik-baik, ya.”“Aku yang harusnya bilang gitu.” Anya berguling dari posisinya saat ini dan telungkup untu
“Lo masih mau di sini?” Suara Danish menyadarkannya kembali. “Kalau mau sama Hamam nggak papa sih.”“Eh, nggak, Nish, nggak! Gue nggak enak juga kalau harus ke kamar Dya.” Hamam salah tingkah dan mengusap tengkuknya gelisah. “Dya sama Danish aja, ya? Biar Mas Hamam di sini jagain Anya, oke?”“Oke.”Pada akhirnya Dya pasrah saat Danish membantunya mengalungkan tangan dan berjalan tertatih menuju villa tempat mereka menginap. Sementara Hamam, Anya, Arvin, Rafid dan Herdian tinggal untuk menikmati berbagai permainan yang disuguhkan. Namun setelah dua orang itu menjauh, lima anak muda itu justru tidak meneruskan niat mereka semula.“Gila, ya. Untung lo masih ada otaknya, Mam. Kalau lo ngotot bawa Dya tadi kebayang gimana patah hatinya Danish.” Herdian membuka obrolan.“Iya, kasihan gue kalau dia harus patah hati dua kali dalam waktu dekat.” Pendapat Rafid menimpali duga
“Sial, banyak banget debu jalanan. Tutup mata, Anya!”“WAAAA....”Danish langsung mengerem sepeda motor yang dia kendarai mendengar jeritan Hamam di sebelahnya, temannya itu nyaris oleng sebelum berbelok ke kiri jalan dan berhenti.“Kenapa sih?” tanya Danish keki. Merasakan pegangan tangan Anya di pinggangnya melonggar perlahan. Mereka sedang berwisata dan menaklukan medan jalan yang berdebu dan terjal untuk sampai ke tujuan.“Gue kaget, Nish. Pas lo teriak nyuruh nutup mata itu gue refleks nutup mata juga, padahal kan gue lagi nyetir, mana bonceng Dya di belakang. Kalau Dya cedera nyawa gue bisa melayang.”Dya dan Anya tertawa, mereka kira apa. Dya yang duduk di belakang Hamam bahkan bingung sendiri saat pemuda itu mulai tidak stabil membawa kendaraannya lalu berhenti tiba-tiba.“Maaf ya, Dya.” Hamam merasa sangat berdosa. Ini harusnya jadi liburan yang paling berkesan karena Dya a
Menghabiskan dua malam di Jakarta bersama Giovanni yang diizinkan menginap oleh orangtuanya, Sayna melakukan perjalanan kembali ke perantauan. Bukan Bandung, kali ini dia harus ke Majalengka karena sedang sibuk KKN di sana. Agak sedih karena Sayna tidak bertemu dengan adiknya sama sekali berhubung anak itu sedang sibuk pendidikan, dia juga tidak tahu kapan bisa pulang ke rumah lagi, bisa dipastikan Sayna akan lebih sibuk dalam beberapa bulan kedepan.“Semangat dong!” Gio tersenyum menggoda, paham kalau gadis cantik yang duduk di sebelahnya itu tengah diserang homesick musiman yang biasa menyerang para mahasiswa KKN. “Gimana aja program kalian?”“Programnya banyak,” keluh Sayna pelan. “Ada satu anak yang ngeselin dari teknik sipil, aku sering banget nahan bogem kalau dia mulai ngoceh terus, Kak.”Giovanni mengacak rambut pendek Sayna dengan sebelah tangan. “Namanya dinamika kelompok, hadapi aja, ya. I
“Om... tolong!”Irya sedang bermain sandiwara dengan pamannya.“Om! Aku syakit!”Danish tidak menggubris.“Om, tolong aku!”“Aduh, berisik banget!” Danish menggerutu lalu berjalan mendekati bayi yang usianya entah berapa itu. Irya terlalu pintar untuk anak seusianya. Sibuk berakting demi mencari perhatian. Lihat saja, dia membuka lemari penyimpanan di kamar Danish lalu memasukkan sebelah tangan ke dalamnya dan menutup pintu lemari itu kemudian menjerit seolah sangat kesakitan.“Apa-apaan sih, Den?” tanya Danish keki. Kelakuan Irya kadang sebelas dua belas dengan ayahnya. Ada-ada saja.“Hehe, makasih Om!” seru Irya tanpa merasa berdosa atau apa.Danish menggendong anak itu dan menatapnya sambil menyipitkan mata. Tidak ingin dan tidak bisa menebak hal aneh lain yang akan dilakukan oleh Irya. Dia seperti tidak kehabisan ide untuk membuat keributan dan ingin se