Naila sedang berjalan di jalanan umum di dekat rumahnya. Namun, dia menundukan wajahnya setiap berpapasan dengan seorang laki-laki yang bukan mahramnya, sehingga tanpa sengaja, dirinya menyenggol tas ransel seorang lelaki hingga terjatuh.
"Maaf." Segera, Naila berkata dengan panik seiring membantu mengambil tas di atas tanah.
"Iya, tidak apa," ucap Raihan--si pemilik tas.
Naila dan Raihan saling memandang sekejap, tetapi Naila kembali menundukkan kepalanya. Dengan santun dan sesal, Naila berkata, "Sekali lagi, saya minta maaf."
"Tidak apa." Raihan memaafkan dengan enteng.
"Kalau begitu, saya permisi," pamit Naila.
"Eu, tunggu!" cegah Raihan, "saya sedang mencari alamat, kamu bisa bantu? Kebetulan saya mahasiswa pindahan yang akan kuliah di kampus dekat sini. Saya tidak tahu jalan," kekeh Raihan.
Naila memutuskan membantu laki-laki di hadapannya sebagai permohonan maafnya. "Memangnya kamu mau ke mana?" Sekali lagi, Naila dan Raihan beradu tatapan sekejap karena Naila segera menundukan wajahnya lagi, menatap tanah di bawahnya.
"Mau ke rumah tante saya," jawab Raihan seiring mencoba mencari tahu wajah si gadis.
"Iya sudah, saya akan antar. Coba lihat alamatnya," pinta Naila tanpa menatap wajah laki-laki di hadapannya, dirinya hanya menatap secarik kertas di dalam genggaman Raihan.
Raihan menyodorkan cacatan kecil itu. Naila mengenali alamat yang tertulis di atas permukaan kertas. "Oh, ini sih tidak jauh dari sini. Ini rumah Tante Rumi yang buka toko roti kan?" tanya Naila untuk memastikan seiring menatap ke arah Raihan.
"Iya, Tante Rumi adiknya mama saya," jawab Raihan bersama tatapan kagum pada gadis berhijab rumahan di hadapannya.
"Saya akan mengantar kamu, mari," ajak Naila yang mulai berjalan di hadapan Raihan.
Selama dalam perjalanan, laki-laki jangkung ini memerhatikan cara berjalan Naila yang sedikit pincang seperti pernah menginjak sesuatu yang menyakiti telapak kakinya.
Tidak ada obrolan di antara Raihan dan Naila hingga gadis ini berhenti di salah satu ruko. "Ini rumah Tante Rumi."
Raihan segera menyebarkan tatapan ke arah rumah mewah itu dengan toko roti di pinggirnya, kemudian memicingkan tatapan kala melihat wanita yang sedang mengemas beberapa roti ke dalam kotak. "Eh iya, itu tante saya," riang Raihan, "thank ya, mampir yuk," ajaknya pada Naila.
"Tidak usah, terimakasih. Sebenarnya saya mau ke warung," tolak halus Naila.
"Oh, iya sudah. Maaf ya, kamu jadi antar saya," sesal Raihan. Seandainya dia tahu lebih awal maka dirinya tidak akan meminta diantar atau hanya sekedar menanyakan alamat.
"Tidak apa. Kalau begitu saya permisi." Naila berlalu sebelum sempat saling memperkenalkan diri.
Raihan menatap sekejap kepergian Naila, kemudian menemui Rumi. "Siang, tante."
"Eh, Raihan. Kapan kamu datang?" sambut hangat Rumi.
"Barusanlah, tante," kekeh Raihan, "tadi Raihan diantar cewek, tapi belum sempat kenalan, padahal cantik," sesalnya.
"Bagaimana ciri-cirinya, siapa tahu tante mengenalnya karena kalau anak-anak sini tante tahu," tutur santai Rumi seiring membantu karyawannya melayani pembeli.
"Eu ... cantik, tapi sedikit pincang, mungkin telapak kakinya terluka."
Rumi segera membidik tatapannya pada Raihan. "Mungkin itu Naila, tante dengar kakinya terkena pecahan gelas."
"Hah, kasihan sekali. Sudah diobati, kan?" cemas Raihan pada seseorang yang baru saja ditemuinya.
"Iya mungkin sudah, tapi tante tidak tahu." Rumi menggendikan bahunya, kemudian berpesan, "kalau kamu bertemu Naila lagi, lebih baik cukup menyapa karena Naila baru saja satu minggu menikah."
"Eu, iya tante." Ada nada kecewa dalam suara Raihan karena sebenarnya dirinya ingin memiliki kesempatan kedua bertemu Naila.
Sementara, Naila baru saja pulang ke rumah setelah membeli perban baru untuk kakinya yang dibalut sepatu dan kaos kaki agar tidak terkena polusi udara. "Aw," rintih gadis ini kala kaos kaki itu menempel di area luka.
Naila mulai membalut perban pada kakinya setelah dibersihkan menggunakan alkohol. "Semoga saja tidak ada pecahan kaca yang tertinggal," harapnya seiring mengingat penyebab luka di kaki kanannya yang terjadi dua hari yang lalu.
"Kamu kemana saja sih, jam segini baru pulang?" tanya ketus Daffa-suaminya Naila. Mereka menikah hasil dari perjodohan.
"Maaf, saya banyak tugas di kampus," jawab santun Naila, sikapnya sangat jauh dengan sikap yang ditunjukan Daffa.
"Alasan. Sekarang juga sediakan kopi buat saya. Saya haus, lapar, saya kuliah sambil bekerja harusnya kamu lebih pengertian dong!" teguran Daffa yang seakan semua kesalahan ada pada Naila.
"Iya, sebentar." Naila bergegas menyimpan tas dan buku-bukunya ke kamar, kemudian segera menyeduh kopi untuk Daffa. Namun, karena airnya terlalu panas dan di dalam gelasnya tidak tersedia sendok. Maka, gelas itu pecah hingga percikan air panas menyapa rok dan tangan Naila, sedangkan kakinya terkena tumpahan air panas serta pecahan gelas. "Kya!!!" jeritnya.
Daffa segera menghampiri Naila ke dapur. "Ada apa sih, ribut sekali?" kesalnya.
Kaki Naila kepanasan sekaligus kesakitan hingga darah mengucur. Daffa menyaksikannya, tapi tidak memiliki belas kasihan. "Begitu saja tidak becus!" Laki-laki ini segera berlalu menuju rumah orangtuanya, sedangkan Naila dibiarkan sendiri bersama denyutan brutal di area kaki dan hati teriris.
Sampai saat ini Naila masih harus merasakan sakit itu, hingga tanpa sadar sebuah tetesan bening mengucur, kemudian tangan kanannya segera menyapu jejak basah dengan kasar. "Saya tidak boleh menangis. Saya menikah dengan Daffa karena saya ikhlas."
Naila adalah seorang anak petani. Orangruanya terlilit hutang belasan juta, sedangkan Daffa anak orang berada yang telah meminjamkan uang pada orangtuanya Naila.
Namun, Daffa terkenal tidak baik di daerah ini. Atittudenya sangat rendah, dia juga seorang anak motor. Maka, untuk mengubah Daffa menjadi lebih baik orangtuanya memutuskan menikahkannya dengan Naila seorang gadis baik-baik dan shalehah.
Naila adalah sosok menantu impian Haris dan Farida. Maka, mereka segera melamar Naila untuk Daffa berharap putranya menjadi lebih baik setelah dinikahkan. Lalu, soal hutang piutang semua dianggap lunas.
Awalnya Heru dan Mia tidak setuju karena masa depan Naila sangat panjang, apalagi putrinya dilamar untuk Daffa tentu saja mereka tidak memiliki minat sedikitpun.
Namun, karena Haris dan Farida telah membantu Heru dan Mia dimasa sulit. Maka, akhirnya Naila dinikahkan dengan Daffa. Pernikahan mereka terjadi satu minggu yang lalu dengan acara besar-besaran. Haris dan Farida juga sangat menyayangi Naila layaknya anak mereka sendiri, tapi kasih sayang kedua orang itu sangat berkebalikan dengan Daffa yang justru sama sekali tidak menginginkan Naila.
Maka semenjak malam pertama, Daffa memperlakukan Naila dengan cara tidak baik. Kata-kata kasar sering keluar dari mulutnya bahkan saat Naila ketakutan, Daffa semakin menjadi. Dia semakin brutal di malam pertama mereka.
Perbedaan usia Daffa dan Naila satu tahun saja. Sekarang, Daffa sudah mulai bekerja di perusahaan ayahnya karena harus menafkahi Naila, tapi tentu saja nafkah lahir itu tidak akan pernah sampai pada istrinya.
Kini, Daffa baru saja menunjukan batang hidungnya kala Naila meringis kesakitan di area kakinya. "Ngapain kamu, sudah masak belum? Jangan pemalas jadi istri!" hardik Daffa.
Bersambung ....
Akun ig _authordestiangraeni # Kalau Kakak" liat akun ig di bab, itu yang lama ya, udah nggak dipakai. Sekarang pakainya yang ini. ^^
Naila segera berusaha berdiri seiring menahan sakit. Jadi, gadis ini berjinjit kala meraih punggung tangan Daffa untuk dikecup santun. "Saya sudah menggoreng telur dan membuat sayur sop," jawab Naila seiring menatap takut ke arah Daffa karena setiap malam dirinya harus merasakan sakit di sekujur tubuh terlebih kalimat kasar Daffa selalu menjadi musik mengerikan. "Masa cuma sayur sop sama telur doang. Mama saya saja masakannya sangat enak dan beragam!" protes Daffa seiring menarik tangan kanannya yang masih digenggam Naila. "Karena saya belum bisa memasak banyak. Maaf," aku Naila seiring memohon pengampunan. "Ck!" Daffa menjatuhkan dirinya di sofa dengan wajah kecut, kemudian memandangi Naila dari bawah hingga ke atas, "layani saya saja!" tegasnya, kemudian menggendong Naila sampai ke kamar. Daffa segera melucuti hijab dan semua pakaian Naila hingga tidak tersisa sehelai benang pun. Debaran jantungnya tidak karuan, kemudian pakaiannya juga segera ditanggalkan dan mulai melakukan
Setibanya di kantin, Raihan bertemu Ciara. "Siang adik," sapanya dengan senyuman cukup lebar. "Hah, kenapa kakak beli pembalut!" heboh Ciara kala melihat isi kresek Raihan. "Buat cewek yang lagi haid, kasian udah rembes. Kamu juga pernah seperti itu di haid pertama kamu, kakak yang selamatkan. Sekarang kakak mau jadi hero buat cewek itu. Sudah dulu ya, kasihan ceweknya nunggu lama!" Raihan melesat. "Ish, siapa cewek yang dimaksud? Masa iya Kak Raihan langsung punya cewek anak kampus ini, kan ini hari pertama Kak Raihan di sini," bingung Ciara. Fani menghampiri Ciara yang tidak kunjung memesan makanan padahal dirinya dan Alia sudah memilih bangku dan menunggu. "Kok ngelamun sih, kita kan sudah lapar," protes kecilnya lebih banyak mengeluh. "Sorry, tadi ada kakak aku. Kamu lihat tidak?" "Oh, yang barusan?" "Iya, itu kakak aku." "Iya ampun ... tinggi sekali." "Iya, kan sudah aku bilang Kak Raihan tiang listrik," kekeh Ciara. Di sisi lain, Raihan sudah sampai di tempat Naila men
Raihan melewati rumah Naila sekitar pukul delapan malam. Sebelum dirinya bertanya pada para pemuda, para pemuda itu sudah menunjukan rumah Naila terlebih dahulu seiring menayayangkan gadis favorite mereka diambil Daffa, laki-laki yang dianggap tidak pantas bersama si gadis. Raihan mulai mencari informasi tentang Daffa. "Memangnya mengapa Daffa?" "Daffa itu anak motor dan sering membuat masalah di daerah sini, tapi memang sih dia punya solidaritas tinggi, aktif juga dalam karang taruna. Cuma kebanyakan warga terutama kalangan emak-emak tidak menyukainya karena kelakuannya itu." Cerita salah satu pemuda. "Lalu, Naila bagaimana?" lanjut Raihan. "Naila gadis baik, Salihah, dia juga pintar mengaji dan anak teladan. Berprestasi juga. Saya pernah satu SMA sama Naila, dia banyak menjuarai cerdas cermat, tapi sekarang Naila kuliah di universitas yang berbeda dengan saya. Bahkan sama Daffa juga beda." Raihan mendengarkan dengan saksama. "Tapi bagaimanapun Daffa, nyatanya Naila tetap memili
Daffa tidak pergi ke kampusnya, tapi dia kembali ke kampus yang menaungi Naila karena ingin mengetahui reaksi para gadis di sana kala melihatnya. Laki-laki ini menggunakan jaket kulit, celana jeans dan sepatu boots. Daffa tampak sangat keren dan luar biasa. Para gadis di kampus segera menyukainya hingga Daffa menyeringai bangga. "Ternyata benar, ternyata wajah saya tidak familiar di sini artinya Naila tidak mengatakan pernikahan petaka itu." Seringai Daffa semakin sempurna. Naila melihat kehadiran Daffa kala dirinya sedang berada di lantai dua. "Ada apa Daffa kesini, apa mau cari saya?" Sebuah panggilan segera terhubung pada suaminya Namun, Daffa memutusnya. Dahi Naila berkerut, tapi dengan sikap laki-laki ini membuat dirinya tahu jika teman hidupnya tidak sedang mencari. Naila dan ketiga kawannya segera masuk ke dalam kelas sepuluh menit sebelum dimulai, sedangkan Daffa masih berkeliaran di area kampus. Bahkan beberapa gadis memberanikan diri menyapanya. "Eh, Daffa," sapa salah
Acara keluarga sangat hangat, begitupun dengan Daffa yang memakai kedok menyayangi Naila hingga keluarga mereka tidak dapat melihat cacatnya rumah tangga yang masih hitungan hari. Malam harinya setelah isha Heru dan Mia berpamitan, sedangkan Naila ditahan pulang oleh Farida dan Haris. "Menginap di sini ya, lagian di rumah kan cuma berdua saja. Memangnya tidak sepi," kekeh Farida. Haris menggoda anak dan menantunya bersama kekeh, "Mama seperti tidak pernah pengantin baru saja. Justru semakin sepi semakin suka." Naila tersenyum kecil, kemudian Daffa berkata pada kedua orangtuanya, "Malam ini kita akan menginap." Jadi, ini adalah malam pertama Naila tidur di dalam kamar Daffa karena mereka melakukan malam pertama pernikahan di kamarnya Naila, kemudian segera pindah ke dalam rumah pemberian Haris dan Farida. Daffa sibuk sendiri dengan dunianya, sedangkan Naila mulai berbaring di atas tempat tidur besar. "Saya mau tidur duluan, boleh?" Naila meminta izin dengan santun. "Tidur saja,"
"Tadi saya kecopetan, tapi alhamdulillah banyak yang menolong," jelas Naila untuk menjawab pertanyaan Daffa."Bukan itu yang saya tanyakan!" Daffa sedikit membentak, "siapa laki-laki yang antar kamu ke apotik?" ulangnya dengan tegas. "Ra-ihan," jawab ragu Naila karena mungkin Raihan akan mendapatkan masalah. Dahi Daffa berkerut. "Siapa Raihan?" "Teman kuliah yang tidak sengaja melihat saya dijambret." Naila sengaja tidak mengatakan Raihan tetangga mereka agar lelaki itu tidak diserang amarah Daffa. Tut ... tut ....Daffa memutus panggilan begitu saja. Naila tidak keberatan sama sekali dengan sikap Daffa yang ini karena sudah terbiasa."Gue harus selidiki orang yang bernama Raihan!" Daffa memutuskan membolos di jam berikutnya untuk mencari orang bernama Raihan di kampus tempat Naila menimba ilmu. Di sisi lain, Raihan sedang mengingat Naila. "Dia gadis yang baik, keluguannya terlihat dalam wajahnya yang cantik, tapi ... memang sangat disayangkan mengapa harus menikah dengan Daffa."
Daffa datang ke toko roti milik Rumi. “Selamat malam, kebetulan kita sedang ada rasa baru,” sambutan karyawan perempuan.“Di sini ada cowok yang namanya Raihan?”“Ada, Raihan itu keponakan Bu Rumi,” jawab gadis ini.“Sekarang ada?”“Ada.”“Panggil,” titah Daffa seolah memerintah bawahan di rumahnya.Gadis ini tidak nyaman, tapi tetap memanggil Raihan. Tidak lama dirinya berlalu, kini gadis ini sudah kembali bersama laki-laki yang dicari Daffa.Raihan dan Daffa saling menatap, kemudian Raihan segera meninggalkan toko roti karena dirasa kedatangan Daffa tidak sebaik niat orang-orang yang datang kesini. “Ada apa kamu mencari saya?”Daffa segera berdecak, “Tidak usah berlaga polos, saya tahu kamu kan yang tadi membawa Naila ke apotek. Jangan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, Naila punya saya dan tidak akan pernah jadi milik kamu!” Peringatan tegas itu segera melayang karena Daffa tidak rela jika Naila didekati laki-laki lain walau tidak ada cinta dalam hatinya.Raihan juga berdeca
Waktu cepat berlalu, tiba jam makan siang Naila kembali berpapasan dengan Raihan yang hendak menuju parkiran. “Eh Naila, mau kemana?” sapa Raihan sesuai porsinya.“Mau ke kantin,” jawab canggung Naila karena walau Daffa tidak di sini, tapi gadis ini tetap ketakutan jika Raihan akan mengalami hal buruk.“Oh, saya duluan.” Lagi, Raihan menghindari Naila walau keinginan di hatinya berkebalikan.Fani dan Ciara baru saja menyusul Naila setelah dari toilet. “Kamu masih di sini Nai, kita kira sudah memesan,” kekeh Fani.“Saya sengaja jalan pelan itung-itung menunggu kalian,” kekeh Naila. Bersama kawan-kawannya, gadis ini bisa melupakan secuil kesedihannya berumah tangga dengan Daffa. Maka, bersama Fani, Ciara dan Alia, Naila bisa menarik garis senyuman ceria. Setibanya Naila di kantin, Raihan memerhatikan. “Saya tidak ada hak ikut campur dalam kehidupan kamu, tapi Daffa memang tidak pantas memiliki kamu.” Tidak lama Raihan melihat gadis itu karena kawan-kawannya segera mengajaknya berlalu da