"Tadi saya kecopetan, tapi alhamdulillah banyak yang menolong," jelas Naila untuk menjawab pertanyaan Daffa.
"Bukan itu yang saya tanyakan!" Daffa sedikit membentak, "siapa laki-laki yang antar kamu ke apotik?" ulangnya dengan tegas."Ra-ihan," jawab ragu Naila karena mungkin Raihan akan mendapatkan masalah.Dahi Daffa berkerut. "Siapa Raihan?""Teman kuliah yang tidak sengaja melihat saya dijambret." Naila sengaja tidak mengatakan Raihan tetangga mereka agar lelaki itu tidak diserang amarah Daffa.Tut ... tut ....Daffa memutus panggilan begitu saja. Naila tidak keberatan sama sekali dengan sikap Daffa yang ini karena sudah terbiasa."Gue harus selidiki orang yang bernama Raihan!" Daffa memutuskan membolos di jam berikutnya untuk mencari orang bernama Raihan di kampus tempat Naila menimba ilmu.Di sisi lain, Raihan sedang mengingat Naila. "Dia gadis yang baik, keluguannya terlihat dalam wajahnya yang cantik, tapi ... memang sangat disayangkan mengapa harus menikah dengan Daffa." Raihan duduk di bawah pohon seiring memainkan game di handphonenya, tetapi terjeda karena ingatannya pada si gadis."Saya tidak tahu seperti apa buruknya Daffa, saya baru mendengar kabarnya dari para pemuda, tidak melihat secara langsung, tapi saya yakin Daffa tidak cocok sama Naila."Semakin diingat-ingat, wajah Naila semakin tampak menarik, hingga di luar kesadarannya Raihan membentuk senyuman kagum, tapi kemudian segera menyadarkan diri. "Astagfirulahalladzim, apa yang saya pikirkan!" Kedua pipinya ditepuk kasar, kemudian Reihan membasuh wajahnya dengan air wudhu.Siang harinya, Ciara menemui Raihan. "Kak, antar Ciara ke rumah Naila ..., Ciara khawatir," rengeknya."Iya ... boleh. Terus, teman-teman kamu?""Fani sama Alia juga mau pergi. Mereka mau pesan ojek online biar cepat.""Iya sudah iya ... yuk." Raihan mengabulkan permintaan adiknya. Jadi, mereka semua start dari kampus.Namun, Raihan tidak menyadari jika sejak tadi Daffa sudah menghuni kampusnya. Dia mencari semua nama Raihan yang satu angkatan dengan Naila dibantu beberapa kawannya, tapi tidak ada seorangpun yang melihat istrinya hari ini yang artinya Raihan yang dimaksud si gadis bukan mahasiswa satu angkatan. "Raihan yang mana, sialan!"Tidak sulit untuk Daffa mencari informasi, dia memiliki banyak sekutu bahkan di kampus ini. Daffa mampu berkawan dengan siapa saja, temannya sangat banyak dan berasal dari berbagai kalangan, pergaulannya memang sangat luas.Raihan yang tidak disangka oleh Daffa, sudah meninggalkan kampus menuju rumah Naila. Tidak sampai satu jam, ketiga kawan cantik si gadis sudah memeluknya, sedangkan Raihan menyaksikan wajah bahagia Naila dengan penuh emosi cinta."Nai, mana yang sakit?" Alia bertanya dengan mata berkaca-kaca."Tidak ada yang sakit kok, lukanya sudah mendingan," kekeh Naila seiring menunjukan bagian yang terluka di dalam pakaian berlengan panjang."Kamu kebiasaan Nai, suka menyembunyikan rasa sakit Sebenarnya itu tidak baik," nasihat Fani diakibatkan kecemasan.Naila masih mampu terkekeh, "Saya tidak apa-apa ... percaya dong ...." Wajah menggemaskan dipasang, "yuk masuk," ajaknya pada semua orang termasuk Raihan.Jadi, kini ruang tamu cukup ramai setelah biasanya sangat sunyi. "Suami kamu mana, Nai?" tanya Ciara."Belum pulang, mungkin materinya banyak atau mungkin langsung ke perusahaan," jelas Naila, "tunggu sebentar ya, saya ambilkan minum."Fani segera mencegah, "Tidak usah Nai, biar saya yang ambil. Di mana dapurnya? Kamu istirahat saja.""Loh, mana bisa begitu," kekeh Naila."Bisa," jawab Alia yang juga siap membantu Naila.Naila mengalah, "Iya sudah deh, saya antar ke dapur ya.""Oke, tapi antar saja. Biar kita yang siapkan air," kekeh Alia.Ciara berkelakar, "Iya sudah kalian bantu Naila, saya akan duduk santai di sini. Hihi ...."Jadi, ketiga gadis berlalu ke dapur, sedangkan Ciara tinggal di ruang tamu bersama Raihan. Laki-laki ini berkata, "Kakak tidak bisa lama-lama.""Loh, kenapa?""Tidak enaklah sama tetangga, datang ke rumah seorang gadis yang sudah menikah.""Padahal tidak apa-apa kok, kan ada kita. Jangan lebay deh!" Ciara tidak peduli pada pemikiran kakaknya.Sekitar enam menit kemudian, Naila kembali bersama Fani dan Alia yang masing-masing membawa suguhan di tangannya, kecuali tuan rumah.Setelah jamuan tersusun rapih di atas meja barulah keempat gadis ini berbicara hangat seiring tertawa anggun, sedangkan Raihan duduk di teras seiring memainkan game online.Saat itu kehadiran seorang laki-laki mengagetkan Daffa yang baru saja menepikan motornya di halaman. "Siapa kamu?" tanya tidak bersahabatnya.Raihan mengakhiri permainan, kemudian menjawab pertanyaan Daffa, "Saya tetangga kamu, saya ...."Daffa menyela, "Oh iya, saya baru ingat. Kamu pemuda baru di sini kan!" Ingatan Daffa sangat pekat kala beberapa waktu lalu melihat Raihan bersama para pemuda."Iya," jawab singkat Raihan.Daffa menatap sinis. "Sedang apa kamu di sini, ini rumah saya dan istri saya!" Volume suara Daffa mulai tinggi hingga Naila segera menghampiri ke teras rumah."Eh, Daffa. Sudah pulang," sambut hangat Naila kemudian mengecup punggung tangan suaminya dengan santun."Siapa dia?" tanya Daffa pada Naila bersamaan dengan arah tatapan pada laki-laki di hadapannya."Keponakannya Tante Rumi," jawab Naila yang selalu santun.Daffa masih menatap sinis ke arah Raihan, begitupun sebaliknya. Ketiga gadis baru saja menyusul keluar, hingga tatapan Daffa mampu dikontrol perlahan setelah mengetahui jika Naila tidak hanya berdua dengan laki-laki ini.Ciara berpamitan dengan canggung karena kehadiran Daffa, "Nai, kita pulang dulu. Lagian tadi Tante Rumi chat suruh ke toko.""Oh, iya deh. Terimakasih ya, sudah menjenguk." Senyuman senang Naila."Sama-sama ...." Ketiga gadis ini cipika-cipiki dengan Naila sebagai tanda perpisahan, kemudian berpamitan pada Daffa. Pun Raihan, laki-laki ini berpamitan ala sesama lelaki.Sepeninggalan semua orang, Daffa memerhatikan gerakan aneh lengan Naila. "Kenapa tangan kamu?""Tadi kena sayatan benda tajam dari pencopet."Daffa segera menyingkap lengan baju Naila untuk melihat bukti dari cerita istrinya. "Jadi kamu diantar laki-laki karena ini?" Interogasinya.Naila mengangguk pelan bersama rasa takut."Laki-laki yang tadi?" selidik Daffa.Naila mengerjap dan segera bergeming selama beberapa saat. "Bu-kan."Daffa mengakhiri pertanyaannya karena dirinya akan mencari tahu sendiri. "Layani saya sebentar." Dia segera mengalihkan topik."Tapi saya masih menstruasi.""Kok menstruasi terus sih, kamu sengaja ya!" caci Daffa."Memang belum selesai," santun Naila walau rasa takut tetap hinggap."Ck!" Daffa berlalu dengan perasaan menggebu karena kecurigaannya terhadap laki-laki tadi semakin bertambah, "pasti Naila dekat sama laki-laki itu!"Daffa menemui para pemuda untuk menanyakan identitas keponakan Tante Rumi."Namanya Raihan, dia kuliah di kampus yang sama dengan Naila. Masa kamu tidak tahu," jelas salah seorang pemuda yang membuat Daffa mendapatkan informasi akurat.'Oh, jadi Raihan yang itu yang membawa Naila ke apotik, terus pulang kuliah sengaja mampir ke rumah. Ck, modus kamu mudah dibaca!'Maka dengan ini, Raihan menjadi tersangka.Bersambung ....Daffa datang ke toko roti milik Rumi. “Selamat malam, kebetulan kita sedang ada rasa baru,” sambutan karyawan perempuan.“Di sini ada cowok yang namanya Raihan?”“Ada, Raihan itu keponakan Bu Rumi,” jawab gadis ini.“Sekarang ada?”“Ada.”“Panggil,” titah Daffa seolah memerintah bawahan di rumahnya.Gadis ini tidak nyaman, tapi tetap memanggil Raihan. Tidak lama dirinya berlalu, kini gadis ini sudah kembali bersama laki-laki yang dicari Daffa.Raihan dan Daffa saling menatap, kemudian Raihan segera meninggalkan toko roti karena dirasa kedatangan Daffa tidak sebaik niat orang-orang yang datang kesini. “Ada apa kamu mencari saya?”Daffa segera berdecak, “Tidak usah berlaga polos, saya tahu kamu kan yang tadi membawa Naila ke apotek. Jangan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, Naila punya saya dan tidak akan pernah jadi milik kamu!” Peringatan tegas itu segera melayang karena Daffa tidak rela jika Naila didekati laki-laki lain walau tidak ada cinta dalam hatinya.Raihan juga berdeca
Waktu cepat berlalu, tiba jam makan siang Naila kembali berpapasan dengan Raihan yang hendak menuju parkiran. “Eh Naila, mau kemana?” sapa Raihan sesuai porsinya.“Mau ke kantin,” jawab canggung Naila karena walau Daffa tidak di sini, tapi gadis ini tetap ketakutan jika Raihan akan mengalami hal buruk.“Oh, saya duluan.” Lagi, Raihan menghindari Naila walau keinginan di hatinya berkebalikan.Fani dan Ciara baru saja menyusul Naila setelah dari toilet. “Kamu masih di sini Nai, kita kira sudah memesan,” kekeh Fani.“Saya sengaja jalan pelan itung-itung menunggu kalian,” kekeh Naila. Bersama kawan-kawannya, gadis ini bisa melupakan secuil kesedihannya berumah tangga dengan Daffa. Maka, bersama Fani, Ciara dan Alia, Naila bisa menarik garis senyuman ceria. Setibanya Naila di kantin, Raihan memerhatikan. “Saya tidak ada hak ikut campur dalam kehidupan kamu, tapi Daffa memang tidak pantas memiliki kamu.” Tidak lama Raihan melihat gadis itu karena kawan-kawannya segera mengajaknya berlalu da
Daffa tidak membalas, dengan sengaja laki-laki ini mengabaikan chat dari Naila karena dirasa sangat tidak penting. Kini, dirinya sedang bekerja di perusahaan ayahnya. “Kerja-kerja, tapi tidak ada hasilnya!” rutuknya bersama dengusan.Kebetulan Haris mendengarnya karena dirinya sedang berkeliling memeriksa karyawan. “Daffa, ke ruangan papa sekarang,” titahnya dengan suara biasa saja.Daffa segera menghentikan pekerjaan terhormatnya untuk mengikuti langkah kaki ayahnya hingga tiba di ruangan sang pemilik perusahaan. Laki-laki ini duduk di hadapan ayahnya.“Apa maksud kamu kerja tidak ada hasilnya? Memangnya gaji harian kamu tidak cukup untuk hidup bersama Naila,” interograsi kecil Haris.“Jujur saja tidak,” jawab Daffa yang sebenarnya tidak pernah memberikan nafkah lahir untuk Naila. Selama berumah tangga kedua orang itu hanya mengandalkan amplop dari hasil resepsi. “Papa menggaji kamu tiga ratus ribu sehari, mana mungkin tidak cukup?” heran Haris, “uang itu di luar keperluan kuliah ka
Naila menjawab kalimat kejam Daffa dengan anggukan kecil saat hatinya sendu, kemudian dilupakan begitu saja karena dia pikir menyimpan kepedihan hanya akan menambah beban di hatinya. Pada waktu magrib Naila mengajak suaminya shalat berjamaah dan memintanya menjadi imam karena sejak menikah Daffa belum pernah melakukannya.Namun alih-alih menyetujui ajakan Naila, justru Daffa memikirkan hal wajib suami dan istri. “Berarti menstruasi kamu sudah selesai, kalau begitu layani saya malam ini!" titahnya.“Iya, tapi kita harus shalat dulu sampai isha.”“Ck, shalat saja sendiri. Saya akan shalat sesudah kamu!” tolak Daffa karena dirinya memang tidak ingin memimpin shalat istrinya. Menjadi imam dalam rumah tangga saja sudah sangat memberatkannya, apalagi ditambah dalam urusan beribadah yang sebenarnya bukan kegemarannya bahkan tidak dianggap wajib. Maka, Daffa sering meninggalkannya.Naila tidak bersikukuh memerintah Daffa, baginya asalkan sudah mengingatkan. Jadi, Naila shalat sendiri di dalam
Naila sudah tiba di kelas tepat waktu. "Untung tadi ada Raihan." Gadis ini merasa lega sekalian menjalani kesehariannya sebagai mahasiswi dengan lega juga.Ciara bertanya dengan volume rendah, "Tumben datangnya meped?""Nanti saya ceritakan," kekeh kecil Naila, sedangkan Fani dan Alia hanya menatap tanpa berkata karena dosen mulai menjelaskan seiring memerhatikan peserta di kelasnya hari ini.Sementara, Raihan masih berada di halaman. Dia sedang bersama salah satu pemuda di daerah rumahnya bernama Umar. Laki-laki ini mendapatkan pertanyaan penuh selidik, "Kenapa tadi boncengan sama Naila, kamu tidak takut sama Daffa?""Kenapa harus takut? Tadi saya menolong Naila." Santai Raihan."Hah, kenapa lagi Naila!" kaget dan peduli pemuda ini."Cuma masalah kecil sih, tapi kalau saya tidak menolong Naila akan menjadi masalah besar." Masih santai Raihan."Jujur saja saya kasihan sama Naila karena sebenarnya saya sering melihat Daffa balapan liar ditemani beberapa cewek sexy!" bongkar Umar yang m
Setibanya di rumah, Raihan menanyakan tentang Naila pada Rumi, "Tante, keluarga Naila tinggal di sini juga?"Rumi sedikit memicingkan matanya. "Iya, memang kenapa?""Tidak apa-apa, cuma bertanya saja kok." Senyuman kecil Raihan.Rumi segera berkata sebagai peringatan, "Jangan cari tahu tentang Naila, gadis itu sudah dimiliki oleh Daffa. Memang benar, banyak pemuda yang mengidolakannya, tapi kamu jangan ikut-ikutan.""Tidak kok, tante. Raihan cuma bertanya saja karena kebetulan kan satu kampus sama Naila." Tawa hambarnya."Bagus kalau kamu tidak ada maksud apa-apa." Rumi sedang mencatat bahan roti yang diperlukan di tokonya dan akan diserahkan pada salah satu karyawan yang mengurusi urusan dapur.Di sisi lain, Naila juga sedang mencatat bahan makanan atas rekomendasi Farida karena melihat kulkas anak dan menantunya sangat kosong, hanya diisi oleh bahan makanan yang baru saja dibeli. "Nanti jangan sampai kosong seperti ini, banyak sekali ruangan yang belum terisi.""Iya, ma," patuh Nail
Raihan hendak memeriksa halte bus di depan, tapi saat itu Umar datang. "Mau kemana lagi kamu, sudah hampir sampai kenapa putar balik?""Saya mau memeriksa Naila, saya takut dia melewatkan halte bus," aku Raihan."Sudah, tidak perlu terlalu pedulikan Naila, takutnya dilihat sama Daffa," peringatan Umar.Raihan kesulitan untuk mengabaikan Naila karena gadis itu terlihat membutuhkan bantuan, tapi akhirnya dirinya menyerah pada perasaannya dan memilih mendengarkan Umar. Kini, kedua laki-laki itu sudah masuk ke dalam kelas. Hingga selesai materi, laki-laki ini tidak pernah bertemu dengan Naila. Maka, dia memilih menghubungi adiknya Ciara, tapi tidak mendapat jawaban. "Tumben anak itu cuek," kekehnya.Raihan menuju ke parkiran untuk nongkrong bersama kawan-kawannya termasuk Umar, sedangkan Naila baru saja memulai materi pertamanya. Di kampus ini banyak sekali kegiatan untuk mahasiswa dan mahasiswi, tapi tidak seaktif di kampus favorit yang menaungi Daffa, bahkan Daffa menjadi salah satu ang
Raihan mengikuti motor Daffa dan kawannya menuju ke sebuah area yang entah di mana. Laki-laki ini tidak mengenal daerah di kota yang dipijaknya sekarang karena ini adalah kali pertama dirinya menaungi kota besar ini. Areanya sangat ramai kendaraan, Raihan pikir Daffa gila dan tidak memerhatikan keadaan karena balapan di tempat seperti ini sama saja dengan bunuh diri."Kita balapan di sini," ucap Daffa dengan seringai."Tempat ini berbahaya, polisi bisa muncul kapan saja selain itu akan membahayakan orang lain." Bukan maksud Raihan menjadi pengecut karena semua yang dikatakannya memang benar."Kalau mau mundur, iya sudah mundur saja. Pengecut!" ejek Daffa."Saya bukan pengecut, lihat keadaanya." Raihan masih menunjukan sabarnya.Daffa segera berkata pada kawan-kawaannya, "Ternyata warga baru ini seperti seorang gadis!" Tawa mengejeknya yang diikuti kawan-kawannya.Raihan berdecak kecil, "Di mana garis finishnya?" Ekspresinya menyimpan banyak kekesalan.Daffa menyeringai puas, kemudian