Naila segera melukis wajah sendu. "Daffa, saya mohon, izinkan saya kuliah.""Mau bertemu Raihan, kan!" Tatapan Daffa sangat mengiris."Tidak, saya kuliah karena itu salah satu kewajiban saya," jelas Naila dengan menambah sedikit ketegasan."Pokoknya hari ini kamu tidak usah kuliah, di rumah saja!" perintah Daffa bersifat mutlak, dan tugas Naila mematuhi. Laki-laki ini tidak menjamah sarapannya, dirinya segera bersiap-siap dan berlalu.Kini Naila sedang dalam kebimbangan, antara pendidikan atau suami. "Papa sama mama mau Naila jadi anak yang sukses, sukses diawali dari sekolah." Segera keputusan diambilnya, gadis ini memilih mengabaikan perintah Daffa karena yang dia tahu perintah suami memang harus dituruti, tapi selama itu baik. Jika tidak baik, maka tidak ada kewajiban harus mendengarkan.Naila pergi memakai bus seperti biasanya, kepergiannya dilihat oleh Rico yang baru saja keluar daerah. "Daffa bilang dia akan melarang Naila kuliah, tapi kenapa Naila masih pergi?"Seketika kabar k
Seusai kuliah, Raihan menghampiri Naila. "Mau pulang bersama? Kita kan searah," tawarnya walau tidak berharap Naila akan menerima kebaikannya."Tidak usah, nanti Daffa marah, apalagi Daffa mengira saya kuliah karena mau bertemu kamu," jelas Naila dengan sendu.Dahi Raihan mengeryit dalam. "Daffa sampai berpikiran seperti itu? Ck, konyol sekali," ejek Raihan."Maaf, saya tidak bisa pulang sama kamu," tolak Naila."Iya, tidak apa, tapi hati-hati ya jangan kebablasan lagi," pesan peduli Raihan.Naila hanya menatap Raihan sesaat kemudian mengangguk tipis dan berlalu. Beberapa menit kemudian bus menaungi gadis yang sedang kebingungan berlipat. "Saya harus pulang kemana? Daffa melarang saya pulang ke rumah." Dihembusnya udara pasrah, "memangnya harus kemana lagi saya pulang kalau bukan ke rumah suami."Jadi, Naila tetap kembali ke rumah yang ditinggalinya bersama Daffa. "Assalamualaikum," salamnya karena pintu rumah sudah terbuka."Wa'alaikumussalam," jawab ketus Daffa, "masih berani pulang
Umar segera mentralkan. "Sudah, jangan bahas balapan di sini. Kita kumpul bukan karena mau bersaing."Rico segera menyahut, "Tapi saya anggota geng motor, bagaimana dong? Saya juga sering memenangkan balapan." Laki-laki ini membanggakan propesinya.Raihan tidak berkata apapun karena dirinya memang tidak tertarik pada balapan motor liar atau geng motor, dia memilih hidup damai saja. Apalagi geng motor yang dibahas Rico bersangkutan dengan Daffa, sedangkan para pemuda lain menyahut ucapan Rico dengan bangga selaras dengan laki-laki itu, sekalian membahas Daffa yang sebenarnya tidak terlalu disukai karena besar kepala.Di sisi lain, orang yang dibicarakan sedang memberikan alasan pada ayahnya tentang bolosnya hari ini, "Maaf pa, perut Daffa sakit sekali jadi tidak bisa bekerja, tapi besok insyaallah.""Maka dari itu kamu harus jaga makan, jangan makan-makanan pedas dan biasakan cuci tangan sebelum makan," nasihat Haris seolah Daffa adalah anak tk."Iya, pa ...," patuh dan santun Daffa, k
Rico sudah meninggalkan kediaman Daffa, dirinya kembali ke kumpulan para pemuda, tapi ternyata perkumpulan telah bubar. Jadi, dia memutuskan mencari Raihan di kediaman Rumi. "Saya dengar Daffa mengawasi kamu sama Naila. Hati-hati saja," ucapnya tanpa basa-basi di hadapan Raihan."Kamu kesini cuma mau mengatakan itu?" Datar Raihan."Iya, tidak ada salahnya kan mengingatkan kalau Naila itu istrinya Daffa." Santai Rico seiring menghisap rokok yang baru saja dinyalakan.Raihan menilai jika Rico tidak memihak siapapun, dirinya bersikap netral, tetapi sikapnya bisa saja memicu pertikaian. "Saya dan Naila hanya teman, tidak lebih," jelasnya supaya Rico menyampaikan kalimat itu pada Daffa."Terserah apapun hubungan kalian, tapi Daffa tidak akan percaya," tandas Rico kemudian berlalu."Ck, Daffa membuat rumit hal yang seharusnya bukan masalah!" rutuk Raihan, kemudian memikirkan nasib Naila. "Bagaimana kabar kamu hari ini, semoga Daffa memperlakukan kamu sebaik mungkin dan tidak memperpanjang k
Naila melepaskan diri dari pelukan Daffa dan segera beranjak dari tempat tidur untuk mandi besar. Gadis ini berniat shalat malam untuk mempererat hubungan dengan Tuhannya sekalian meminta petunjuk tentang hatinya yang mulai merasa lain terhadap Raihan.Daffa terjaga saat Naila sudah tidak di sisinya. "Naila!" panggilan lantangnya bersama emosi akibat curiga jika istrinya menemui Raihan diam-diam atau chat sembunyi-sembunyi dengan Raihan.Naila terhenyak kala baru saja membasuh rambutnya, gadis ini segera membuka pintu kamar mandi untuk menampakan wajahnya pada Daffa. "Saya di sini, ada apa?" Santunnya."Oh." Suara singkat Daffa seiring membaringkan kembali tubuhnya.Naila melanjutkan mandinya dengan tenang karena sikap Daffa sudah melunak. Daffa sudah kembali terlelap kala Naila menyelesaikan mandinya. Segera, hair dryer diraih sebelum dirinya masuk angin. "Setelah ini saya akan tidur sebentar, kemudian shalat." Niat bulatnya.Di alam mimpi, Raihan bergandengan tangan dengan Naila hin
Naila memandangi Farida seiring berkata sangat santun kala kalimat penolakan hadir, "Naila tidak pantas mendapatkan perhiasan indah ini, lagipula Naila merasa cukup memiliki perhiasan dari Daffa saat menikah. Mama tidak perlu memberi Naila hadiah karena berhasil mengubah Daffa menjadi lebih baik, toh perubahan Daffa sudah Naila syukuri." Embusan udara dibuang. 'Andai benar Daffa berubah.'Farida membentuk senyuman bangga. "Kamu memang menantu terbaik, tapi mama sangat ikhlas memberikannya. Kalau tidak mau dipakai, disimpan saja ya sayang, anggap saja perhiasan ini kenangan-kenangan dari mama. Naila sama Daffa juga bisa memakaikannya pada anak kalian kelak. Insyaallah."Naila manggut kecil sangat santun. "Iya ma, terimakasih." Sodoran Farida diterima olehnya. Kini, keduanya duduk santai di depan televisi. Ini adalah rumah orang paling kaya di kota ini, apalagi di daerah ini, tentu saja Naila merasa sangat kecil di sini, dirinya merasa bukan siapa-siapa, mengingat keadaan hidup keluarga
Naila tetap bergeming hingga Daffa kembali mengalihkan tatapan tidak bersahabat pada si gadis, tetapi di detik kemudian dirinya mengeluarkan suara lembut. "Iya sudah, kita makan malam di rumah mama dan papa, tapi cepat selesaikan dan langsung pulang." Naila segera mengangkat wajahnya perlahan, menatap Daffa. "Iya." Suara lembut bersama anggukannya, "saya mau beres-beres dulu sebentar," pamitnya. Saat ini Daffa mulai berpikir jika dirinya terlalu sering membentak, menegur dan memarahi Naila padahal tidak semua kesalahan ada pada Naila. Laki-laki ini merenung, "Sepertinya tindakan saya terlalu kasar sama Naila, tapi wajar saja, saya tidak menginginkan pernikahan ini dan ada banyak gadis cantik di luar sana melebihi Naila, tapi saya tidak bisa bebas mendekati mereka. Ck!" Baru saja bisikan baik malaikat menyentuh hatinya, tetapi berakhir mendengarkan bisikan setan.Daffa berjalan menuju arah kamar mandi saat Naila sedang membersihkan tempat sampah di dapur. Sejenak, laki-laki ini menat
Sekitar lima belas menit setelah Daffa meninggalkan ruang makan, Naila baru saja menyusul. "Kamu ngapain sih lama-lama di sana? Emangnya tidak pernah makan makanan enak?" teguran Daffa menggunakan suara biasa saja, tetapi jelas dirinya sangat kesal."Tadi pas selesai makan, mama ganti piring saya yang isinya buah-buahan terus menyuruh saya menghabiskannya." Naila duduk ragu setelah memberikan penjelasan pada Daffa. Suaminya sudah berhenti merokok, satu batang rokok sudah habis dilalap api."Iya sudah, kita pulang sekarang!" ajakan Daffa yang segera berdiri seiring meraih tangan kanan Naila supaya istrinya juga bangkit.Naila segera bangkit dari duduknya seiring tarikan Daffa, tidak lupa mengingatkan suaminya, "Kita harus pamitan dulu.""Iya, bawel!" Daffa menggenggam tangan Naila hingga tiba di hadapan keluarganya. "Daffa sama Naila mau pulang sekarang saja.""Kok cepat-cepat ..., menginap ya," ajakan Farida yang enggan melepaskan anak dan menantunya."Tidak bisa ma, lain kali saja ya